journal BERPOLIGAMI PERLU ADANYA PERSYARATAN PERSETUJUAN ISTER
Vol. 15. No. 1, Agustus 2015, 111-142
SYARAT ADANYA PERSETUJUAN ISTERI UNTUK
BERPOLIGAMI (ANALISIS USHUL FIKIH
MUNKAHAH TERHADAP UNDANG - UNDANG
PERKAWINAN
Riyandi. S
Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry
E-mail: riyandi@yahoo.co.id
Review
BERPOLIGAMI PERLU ADANYA PERSYARATAN PERSETUJUAN ISTERI
(ANALISIS USHUL FIKIH MUNKAHAH TERHADAP
UNDANG - UNDANG PERKAWINAN
NOMOR 1 TAHUN 1974)
Review Oleh: Abdillah
Mahasiswa Pasca
Sarjana Instutut Agama Islam
Negeri Lhokseumawe
NIM;2018540573
E-mail: tgkbeudibias@gmail.com
Info institute gama islam negeri
lhokseumawe
Pembimbing:
Dr.Danial.M.A
شرط إقرار قانون الملكية في الأسرة الإسلامية تجميع الشريعة الإسلامية
(KHI)
المشرف ، الدكتور دانيال
الملخص
تعدد الزوجات الوارد في
القانون الإيجابي ، أي قانون الزواج رقم 1 لعام 1974 ، واللائحة الحكومية رقم 9
لعام 1975 ومجموعة القوانين الإسلامية (KHI) ، والرجال المثقلون بالأزواج في الواقع (الأزواج) الذين يريدون
القيام بتعدد الزوجات نتيجة لذلك ، فإن العديد من الرجال في تعدد الزوجات في السر
دون طلب موافقة من الزوجة الأولى. البحث التالي هو دراسة نوعية معيارية. وجدت
نتائج الدراسة أن حالة تعدد الزوجات في فقه الشافعية هي قدرة الزوج على تحمل أجور
زوجاته وعائلاته بشكل عادل. في الفقه الشافعي ، لا يوجد شرط لموافقة الزوجة على
تعدد الزوجات. يمكن فهم شروط اتفاق الزوجة في إجراء تعدد الزوجات على النحو
المنصوص عليه في قانون الزواج رقم 1 لعام 1974 ، واللائحة الحكومية رقم 9 لعام
1975 ومجموعة القوانين الإسلامية
(KHI) من خلال طريقة الاستصﻻحية. يمكن اعتبار موافقة
الزوجة السبب وراء السماح بتعدد الزوجات على أساس أنه مدرج في قسم المقاصد الشريعية
، وهو الحفاظ على الدين والعقل والنسب والشرف والثروة.
كلمات مفتاحية:
تعدد الزوجات ؛ مدرسة الصافية قانون الزواج تجميع قانونيا
لإسلام
Abstract
The agreement terms of polygamy in positive law, namely
the Marriage Law No. 1 of 1974, Government Regulation No. 9 of 1975, and
Compilation of Islamic Law (KHI), is
burdensome for men who wish to practice polygamy. Consequently, many men
practice polygamy secretly without the approval of the first wife. This study
uses qualitative approach. The research result shows that the terms of polygamy
in Syafi'īyyah school is capable to bear a living wives and families. The
husband is obliged to bear a living either wives or inner birth. According to
Syafi'īyyah school no approval requirement for polygamous wives. According to
Marriage Law No. 1 of 1974,
Government Regulation No.
9 of 1975,
and Compilation of
Islamic Law (KHI), polygamy
should be done without having to seek prior approval to the wife before. If
the requisite approvals
wife approached with
istislahiyah method, it appears
that the approval of the wife may be
considered as a reason to permit polygamy on
the grounds is
included in a
portion of maqasid syar’iyyah that maintain religion, intellect, lineage,
honor and property.
Abstrak
berpoligami
yang terdapat
dalam hukum positif yaitu Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan
Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), justru memberatkan bagi laki-laki (suami) yang ingin melakukan poligami. Akibat dari itu
banyak laki-laki yang berpoligami secara rahasia tanpa meminta persetujuan dari
isteri pertama. Penelitian berikut merupakan penelitian kualitatif yang
bersifat normatif.
Hasil penelitian
menemukan bahwa syarat poligami dalam fikih
Syafi‘īyyah ialah kemampuan sang
suami untuk menanggung nafkah para isteri dan keluarganya secara adil. Dalam fikih Syafi‘īyyah tidak ada syarat persetujuan isteri untuk berpoligami. Adapun syarat persetujuan isteri dalam melakukan poligami sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bisa dipahami melalui metode istislahiyah. Persetujuan isteri
dapat
dipertimbangkan sebagai alasan diperbolehkan poligami dengan alasan ini masuk dalam bagian maqasid
syar’iyyah yakni
memelihara agama, akal,
keturunan, kehormatan dan harta.
Kata kunci:
Poligami;Munaqahah Madzhab Syafi’iyah;UU Perkawinan; KHI
A. Pendahuluan
Poligami menarik untk di
bahas dan juga merupakan topik yang
hangat diperbincangkan dalam masyarakat. Berbagai seminar dan kajian dilakukan
oleh para pakar, ilmuwan, dan akademisi
untuk mencari hukum
dan syarat-syarat poligami
yang sesuai dengan konteks zaman
modern. Setelah ditemukan jawaban mengenai hukum dan syarat poligami, masih
banyak wanita yang menentang kebolehan poligami. Syarat
adanya persetujuan dari isteri
tentang poligami terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 juga dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Syarat ini justru memberatkan bagi laki-laki (suami) yang
ingin melakukan poligami. Akibat dari
itu banyak laki-laki yang berpoligami secara diam-diam tanpa mendapatkan
persetujuan dari isterinya, karena mereka menganggap bahwa poligami boleh
dalam hukum Islam asal sanggup berlaku adil. Poligami bukan hanya menjadi
pembicaraan hangat umat Islam, malah poligami dalam Islam telah menimbulkan
banyak kritikan. Dalil poligami dalam
Islam merujuk kepada al-Qur’an Anisā` ayat 3.
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Arab-Latin: Wa in khiftum allā tuqsi fil-yatāmā fangki mā āba lakum minan-nisā`i maṡnā wa ṡulāṡa wa rubā', fa in khiftum allā ta'dil fa
wā idatan au mā malakat aimānukum, żālika adnā allā ta'ulu
Terjemah Arti: Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Terjemahan
Tafsir Bahasa Indonesia (Isi Kandungan)
Dan jika kalian khawatir tidak bisa
berbuat adil dalam memperlakukan anak-anak yatim perempuan yang berada di bawah
tanggung jawab kalian, dengan tidak memberikan kepada mereka mahar-mahar mereka
seperti wanita lainnya, maka tinggalkanlah mereka dan nikahi wanita-wanita yang
kalian sukai sealin mereka, dua, tiga, atau empat. Lalu apabila kalian khawatir
tidak dapat berbuat adil di antara mereka, maka cukuplah kalian dengan satu
saja, atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Hal itulah yang
telah Aku syariatkan bagi kalian terkait anak-anak yatim perempuan dan menikahi
seorang wanita sampai empat, atau cukup menikahi seorang perempuan saja ata
hambasahaya perempuan yang kalian miliki, itu adalah lebih dekat untuk tidak
berbuat curang dan melampaui batas.
Tafsir
Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia [1]
Dan apabila kalian takut tidak akan dapat
berlaku adil jika kalian menikah dengan anak-anak perempuan yatim yang berada
di bawah perwalian kalian (boleh jadi takut mengurangi mas kawin yang seharusnya
menjadi hak milik mereka, atau memperlakukan mereka secara buruk) maka
hindarilah mereka dan menikahlah dengan wanita-wanita baik lainnya. Jika kalian
mau, menikahlah dengan dua wanita, tiga wanita atau empat wanita. Namun jika
kalian takut tidak akan dapat berlaku adil kepada mereka, maka cukuplah menikah
dengan satu wanita saja. Atau bersenang-senanglah dengan budak-budak wanita
yang kalian miliki, karena hak-hak mereka tidak sama dengan para istri.
Ketentuan yang ada di dalam ayat tersebut yang berkenaan dengan urusan
anak-anak yatim, membatasi diri dengan menikahi satu orang wanita, dan
bersenang-senang dengan budak wanita itu lebih memungkinkan kalian untuk tidak
berbuat sewenang-wenang dan menyimpang dari kebenaran.[2]
Tafsir
Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin
Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى الْيَتٰمَىٰ فَانكِحُوا۟
(Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah) Ada seorang laki-laki yang mengasuh seorang
perempuan yatim karena ia adalah wali dari anak tersebut, kemudian laki-laki
ini ingin menikahinya namun tidak berlaku adil dalam maharnya, yakni tidak
memberinya sebagaimana suami-suami lain memberi mahar istri-istri mereka. Maka
Allah melarang para wali menikahi mereka kecuali dengan berlaku adil kepada
mereka dan memantaskan mahar mereka dan seluruh hak-hak lainnya sebagai istri.
Dan Allah memerintahkan kepada mereka untuk menikahi wanita-wanita lain selain
mereka; yakni barangsiapa yang memungkinan besar akan lalai dalam berlaku adil
terhadap perempuan yatim bersebut maka hendaklah ia tidak menikahinya, lalu
menikahi wanita lainnya.[3]
مَا طَابَ
(Yang kamu senangi )Yakni wanita yang
kalian sukai yang termasuk halal untuk kalian nikahi, adapun yang diharamkan
bagi kalian maka itu bukan sesuatu yang baik bagi kalian.
مِّنَ النِّسَآءِ
(wanita-wanita lain)Yakni yang selain
perempuan-perempuan yatim yang kalian asuh.
مَثْنَىٰ وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ
(dua, tiga atau empat) Yakni nikahilah dua
wanita, atau tiga, atau empat, dan tidak boleh lebih dari empat wanita untuk
satu laki-laki.
فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوٰحِدَةً
Maka jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja) Yakni apabila kalian takut tidak
dapat berlaku adil diantara istri-istrimu dalam pembagian nafkah dan lainnya
maka nikahilah satu istri saja dan jangan lebih dari itu. Pendapat lain
mengatakan yakni tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta.
أَو مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُكُمْ
(atau budak-budak yang kamu miliki) Yakni
dari budak wanita meski jumlah mereka banyak, dan yang dimaksud dengan
mengawini mereka adalah dengan kepemilikan bukan dengan perkawinan; dan
budak-budak tersebut tidak memiliki hak pembagian nafkah.
ذٰلِكَ أَدْنَىٰٓ
أَلَّا تَعُولُوا۟
(Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya) Yakni mencukupkan diri dengan satu istri lebih
selamat dari kezaliman jika dibandingkan dengan pilih kasih dengan salah satu
istri ketika berpologami. Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
(ألا تعولوا)
yakni agar tidak menjadi banyak
tanggunganmu. Dan Sufyan ats-Tsauri berpendapat yakni agar kalian tidak menjadi
miskin.
Tafsir
Zubdatut, Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
mudarris tafsir
Universitas
Islam Madinah. Makna kata :
ﺃﻻ ﺗﻘﺴﻄﻮ
ا alla tuqsithu:
kalian tidak adil ﻣﺜﻨﻰ ﻭﺛﻼﺙ ﻭﺭﺑﺎﻉ Matsna wa tsulatsa wa ruba’: dua, tiga
atau empat yang mana tidak halal lebih dari empat
. ﺃﺩﻧﻰ ﺃﻻ ﺗﻌﻮﻟﻮا
Adna
alla ta’ulu: Lebih dekat untuk tidak condong diantara para istri. Makna
ayat : Adapun makna ayat yang kedua: Allah telah memberikan petunjuk kepada
para wali anak perempuan yang yatim, hendaknya mereka takut dari memperlakukan
tidak adil terhadap perempuan-perempuan yatim. Jika para wali yatim menikah
lebih baik untuk menikah dengan dua, tiga atau empat dari para wanita selain
dengan wanita-wanita yatim yang dalam pengasuhannya. Menikah dengan dua, tiga,
atau tiga sesuai dengan kemampuannya adalah lebih baik daripada menikah dengan
anak yatim yang di bawah kepengasuhannya kemudian melahap harta wanita yatim
tersebut sebab hak yatim tersebut itu ebih dibutuhkan oleh para kerabatnya. Ini
adalah makna dari ayat :
ﻭﺇﻥ ﺧﻔﺘﻢ ﺃﻻ ﺗﻘﺴﻄﻮا
ﻓﻲ اﻟﻴﺘﺎﻣﻰ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮا ﻣﺎ ﻃﺎﺏ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء ﻣﺜﻨﻰ ﻭﺛﻼﺙ ﻭﺭﺑﺎﻉ
Firman Allah ta’ala {ﻓﺈﻥ ﺧﻔﺘﻢ
ﺃﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮا ﻓﻮاﺣﺪﺓ ﺃﻭ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ} Allah ingin jikalau seorang mukmin takut
untuk tidak berbuat adil kepada para istrinya karena ketidak mampuannya, maka
menikahlah dengan satu wanita saja dan merasa cukup dengannya serta tidak
menikah dengan yang lain. Atau menikah dengan budak wanitanya jikalau dia
memiliki hamba sahaya, dan yang demikian itu lebih selamat daripada
pernikahannya dengan anak yatim akan berakibat melencengnya seorang mukmin dan
terlazimnya para wanita. Ini adalah makna ayat
ﻓﺈﻥ ﺧﻔﺘﻢ ﺃﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮا ﻓﻮاﺣﺪﺓ ﺃﻭ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ
ﺫﻟﻚ ﺃﺩﻧﻰ ﺃﻻ ﺗﻌﻮﻟﻮا
Pelajaran dari ayat : Bolehnya menikahi
lebih dari satu wanita sampai 4 selama tiada ketidakadilan dan kecondongan.
Aisarut Tafasir / Abu Bakar Jabir al-Jazairi, pengajar di Masjid Nabawi Imam
Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seseorang yang
memiliki seorang anak yatim perempuan, lalu laki-laki itu menikahinya, dan ia
memiliki seranting kurma, sehingga ia menahan wanita itu karenanya, sedangkan
dalam dirinya tidak ada rasa suka terhadap si wanita, maka turunlah ayat, "Wa
in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa." Saya kira (yakni menurut Hisyam
bin Yusuf seorang rawi), "Si yatim ini adalah sekutunya dalam ranting
kurma itu dan dalam hartanya." Misalnya tidak memberikan mereka mahar
seperti halnya wanita-wanita yang lain. Yang sesuai dengan pilihanmu, misalnya
baik dalam beragama, berharta, cantik, berkedudukan dan bernasab serta
sifat-sifat lain yang mendorong untuk menikahinya, namun yang utama adalah
mencari yang baik agamanya (shalihah) sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan bahwa sepatutnya
seseorang memilih calon istri yang tepat sebelum menikah, bahkan syari'
(penetap syari'at) membolehkannya untuk melihat wanita yang hendak dinikahi
agar ia betul-betul matang dalam memilih. Jangan lebih dari empat. Berlaku adil
di sini adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi kebutuhan istri seperti dalam
hal pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat dirinya bisa berlaku adil dan sanggup
memenuhi hak istri yang lain. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan
pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan bahwa batas poligami hanya sampai empat
wanita saja. Karena mereka tidak memiliki hak yang sama dengan istri sehingga
tidak wajib adil, seperti dalam hal giliran. Menikahi wanita sampai empat
(tidak lebih), atau satu saja atau dengan budak wanita..[4] Islam
mempunyai referensi yang kuat terhadap keabsahan hukum poligami yang tidak
dapat dirubah bagi umat yang anti
terhadap poligami. Islam sangat menekankan
pentingnya memiliki tujuan
yang benar dalam setiap amal yang dilakukan. Tujuan yang
benar merupakan kunci kesuksesan yang paling mendasar diterimanya amal perbuatan
seseorang. Hal ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw
.: عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
رواه ; إماما المحدثين أبو عبد
الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وأبو الحسين مسلم
بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al
Khattab radhiallahuanhu, ia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya
setiap Amal Perbuatan itu tergantung pada niat, dan bahwa tiap-tiap orang itu
(mendapat balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa niatnya itu
berhijrah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu
akan mendapat pahala seperti yang ia niatkan (yaitu keridhaan Allah dan
Rasul-Nya). Dan barangsiapa yang niat hijrahnya itu untuk memperoleh dunia atau
karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu (hanya sebatas) pada
tujuan yang diniatkannya saja. (Riwayat
dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah
bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab yang
paling shahih yang pernah disusun).
Kandungan
Hadits :
Niat merupakan syarat layak/diterima atau
tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan menghasilkankan pahala
kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala). Waktu pelaksanaan niat
dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat
semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah. Seorang
mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua perbuatan
yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhaan
Allah maka dia akan bernilai ibadah. Yang membedakan antara ibadah dan adat
(kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat
merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman
menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati,
diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
Penjelasan
:
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah
disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak
mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada
kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab
Jihad. Hadits ini salah satu pokok
penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang
niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu
karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan.
Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari
Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’
mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.
Para ulama gemar memulai
karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai
dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi
berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits
ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang
lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya,
hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin
Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan
oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin
Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al
Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari
200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka
adalah para Imam.
Pernikahan merupakan amal perbuatan yang penting dan
mulia dalam kehidupan manusia. Islam memposisikan pernikahan sebagai sebuah
amal perbuatan yang baik. Setiap orang yang memasuki mahligai perkawinan atau
pernikahan mendapat pahala dari Allah Swt. Pernikahan bukan perbuatan yang
sifatnya duniawi saja, akan tetapi ia juga merupakan sebuah langkah untuk
memperbaiki individu dan juga masyarakat. Orang yang melaksanakan pernikahan
dengan tujuan untuk memperbaiki individu dan masyarakat akan mendapat ganjaran
yang luar biasa dari Allah Swt. Perkawinan
dapat meminimalisir perbuatan tercela, seperti keinginan untuk berzina di luar
nikah, sedangkan bagi manusia yang sudah menikah dapat menentramkan jiwa, dan
dipandang oleh masyarakat secara umum bahwa ia sudah sempurna dan terpelihara
dari perbuatan mungkar. Hal ini jelas
tercantum dalam firman Allah Swt surat
al-Furqān ayat 74 :[5]
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Arab-Latin:
Wallażīna
yaqna rabbanā hab lanā min azwājinā wa żurriyyātinā qurrata a'yuniw waj'alnā
lil-muttaqīna imāmā
Artinya: “Dan orang orang yang berkata:
"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa”.
Ayat di atas bermaksud memberikan dorongan kepada orang
yang telah berkeluarga untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sejahtera di
dunia dan di akhirat, serta senantiasa menjadi pemimpin keluarga yang
bertanggungjawab. Namun demikian pada realitasnya ada pernikahan yang tidak
dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ada pasangan suami isteri yang
awalnya saling mencintai namun berakhir dengan perselisihan yang menyakitkan,
bahkan ada suami yang mencintai perempuan lain atau ada laki-laki yang merasa
tidak cukup dengan seorang isteri. Terlebih lagi jika isterinya memiliki
menstruasi yang panjang, sakit- sakitan, memiliki masalah pribadi dan mandul
sementara laki-laki menginginkan keturunan. Kenyataan-kenyataan seperti inilah
membuat perkawinan sering bermuara pada poligami. Apabila kebaikan seorang
laki-laki terletak pada perkawinan dengan seorang wanita, tetapi ia kawin lagi
dengan wanita lain demi menurut hawa nafsu dan tanpa memenuhi syaratnya, maka
sudah barang tentu hal ini akan menimbulkan nestapa, yang kadang-kadang
menjadikannya tidak mampu mengurusi
pendidikan dan memenuhi kebutuhan keluarga serta menimbulkan mudharat
yang sangat berat.[6]
Firman Allah Swt. mengenai dalil
poligami terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Nisā’
ayat 3 yang bunyinya adalah:
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Arab-Latin:
Wa in khiftum allā tuqsiṭụ fil-yatāmā fangkiḥụ mā ṭāba
lakum minan-nisā`i maṡnā
wa ṡulāṡa wa rubā', fa in khiftum allā ta'dilụ fa wāḥidatan
au mā malakat aimānukum, żālika adnā allā ta'ụlụ
Artinya: “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Dalam ayat di atas jelas bahwa poligami (beristeri
lebih dari satu orang) merupakan suatu hal yang legal dan dibolehkan. Namun hal
ini memerlukan kepada pengkajian yang cukup mendalam, karena poligami mempunyai
berbagai persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi sebelum melakukannya. Selama ini semakin marak orang membicarakan
tentang hak perempuan yang tertindas oleh salah satu penyebabnya suami kawin
lebih dari seorang isteri (poligami)-yang dalam al-Qur’an dibolehkan suami kawin
lebih dari satu orang isteri dan tidak lebih dari empat. Padahal kaum perempuan
menilai, poligami adalah suatu masalah
besar dalam kehidupan
mereka dan mayoritas
laki-laki tidak sanggup
melakukan
poligami karena syarat
berlaku adil, menurut
mereka tidak sanggup dilaksanakan oleh laki-laki. Sedangkan
dalam hukum positif ada beberapa syarat poligami di antaranya adanya
persetujuan dari isteri. Syarat ini justru dapat menyulitkan kaum laki-laki
yang ingin melakukan poligami padahal dalam hukum Islam yang telah dijabarkan
dalam kitab fikih terutama fikih Syafi’īyyah tidak diketemukan syarat
persetujuan isteri tersebut. Bukti nyata bahwa kitab yang dipedomani dalam
merumuskan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah termasuk
kitab-kitab madzhab Syafi’īyah,
sedangkan kandungan isi kitab yang disebutkan di bawah ini tentang persoalan
persetujuan isteri untuk berpoligami tidak ditemukan. Kitab yang digunakan
sebagai pedoman oleh pakar hukum Islam dan ulama dalam merumuskan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan antaranya adalah; Hāsyyah al-Bājury, Fath
al-Mu’in, Syarqawy ’Ala
al-Tahrīr, Qawānīn Syar’īyah Li al- Sayyid Bin Yahya, Bughyah
al-Mustarsyidin, Qalyuby wa Umayrah, Fath al- Wahab, Tuhfah dan al-Fiqh’ ’alā-
Madzāhib al-Arba’ah.3
Kitab-kitab di atas yang dijadikan pedoman dan rujukan
dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah
kitab-kitab fikih Syafi’īyyah yang tidak pernah mensyaratkan adanya persetujuan
isteri untuk berpoligami. Umumnya
literatur yang ada
belum terfokus mengkaji
syarat persetujuan isteri untuk
berpoligami melalui pendekatan ushul fikih Syafi’īyyah. Di sinilah letak
signifikansi dan menariknya
pembahasan ini untuk
dikaji apalagi pengetahuan tentang masalah ini dalam
masyarakat masih tergolong minim sehingga rentan terjadi kepincangan hukum
dalam praktek poligami.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Poligami
Poligami merupakan
bahasa asing yang
dimasukkan ke dalam
bahasa Indonesia. Poligami berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari
dua kata yakni ''poly" dan "gamos". Poly
artinya banyak, sedangkan gamos
artinya perkawinan. Secara etimologis
poligami adalah suatu perkawinan
yang banyak.Dalamperkembangannya poligami secara istilah dideskripsikan
sebagai seorang lelaki yang menikahi perempuan lebih dari satu.[7]Poligami
diartikan dengan perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih satu isteri
dalam waktu yang sama, artinya seorang laki-laki menikah dengan dua, tiga dan
empat orang wanita baik dalam satu waktu atau di lain waktu. Pengertian yang
berlaku umum sekarang dalam masyarakat, bahwa poligami memiliki lebih dari satu
orang isteri atau melakukan
madu terhadap beberapa orang
isteri. Poligami berarti sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis
dalam jangka waktu tertentu.[8]
Istilah poligami dipakai dalam
pembahasan ini karena istilah tersebut lebih umum. Hukum poligami menurut para
ulama dan ahli fikih Syafi’iyah adalah boleh, dengan syarat tidak melebihi dari
empat orang, jika melebihi dari empat orang, maka hukumnya haram. Adapun
poligami yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilaksanakan
melebihi dari satu orang dalam waktu yang sama dan tidak lebih pula dari empat
orang isteri. Dalam menjaga keseimbangan dalam rumah tangga untuk proses
poligami perlu kepada syarat-syarat poligami yang sudah diatur oleh syarak agar
poligami tetap pada koridor syarak dan Undang-Undang Perkawinan. Tujuan menikah
baik dengan satu orang isteri maupun dengan memperisteri lebih dari seorang
tidak lain adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.[9]Tujuan
perkawinan baik monogami maupun poligami adalah sama. Di kalangan umat Islam
sendiri terdapat banyak orang mempraktekkan poligami. Namun poligami yang
dilakukan menuai banyak masalah apalagi poligami yang dilakukan karena dorongan
hawa nafsu semata. Karena itu Islam
menetapkan beberapa syarat
poligami dan juga
beberapa syarat lain
yang terdapat dalam hukum positif. Poligami adalah terjemahan dari
ta'addud al-zawjat (beristeri lebih dari satu). Dalam bahasa
Indonesia terdapat beberapa
istilah untuk perkawinan
dengan isteri/suami lebih dari seorang, sebagai berikut:
a. Poliandri
yaitu sistem perkawinan
yang membolehkan seorang
wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
b. Poligami yaitu sistem perkawinan yang
membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isteri dalam waktu
yang bersamaan.
Kontroversial soal
poligami bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1973, saat Rancangan Undang-undang
(RUU) Perkawinan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pro
dan kontra masalah ini sudah
mencuat ke permukaan. RUU Perkawinan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman pada
saat itu, Marseno Aji, telah memicu kontroversi keras terutama dari masyarakat
yang beragama Islam. Tidak hanya sampai di situ larangan berpoligami telah
berefek kepada banyaknya anggota Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang melakukan pernikahan
secara sembunyi-bunyi, akibat sulitnya memperoleh izin
dari pengadilan agama
dan memperoleh persetujuan
isteri. Terlepas dari polemik
yang muncul banyak
juga kalangan yang
menyatakan poligami pada hakikatnya merupakan pelecehan dan penghinaan
terhadap martabat perempuan,
karena tidak ada
perempuan yang rela
dan bersedia dimadu, sebagaimana halnya laki-laki.[10]
Pada masa Rasulullah Saw., poligami dilakukan untuk melindungi wanita yang
telah ditinggal suaminya yang syahid dalam berjihad di jalan Allah Swt.
Poligami yang dilakukan Rasulullah Saw. sendiri, juga termasuk salah satu usaha
untuk menghindari fitnah bagi kaumwanita,
bukan disebabkan dominasi pelampiasan nafsu birahi.[11]
Apabila melihat dalil berpoligami dari surat al-Nisā`ayat3, sebenarnya poligami
memiliki referensi yang kuat terkait keabsahan hukumnya yang tidak dapat
dirubah oleh umat yang anti terhadapnya. Islam
sangat menekankan pentingnya
memiliki tujuan yang
benar dalam setiap amal yang
dilakukan. Tujuan yang benar merupakan kunci kesuksesan yang paling mendasar
diterima amal perbuatan seseorang, seperti dapat dipahami dari hadis riwayat
Bukhari Muslim dari ‘Umar bin Khattab RA sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam
melakukan poligami perlu kepada dasar hukum tentang poligami itu,
2. Dasar Hukum Poligami
Setiap amal ibadah yang
dilakukan seseorang, tentu tidak bisa terlepas dari dasar hukum, artinya
kegiatan tersebut ada dalil yang kuat. Dasar hukum yang dimaksudkan di sini
ialah pegangan dalam melakukan poligami. Hal ini tidak bisa terlepas dari dalil
utama poligami yaitu surat al-Nisā` ayat 3, sebagaimana telah disebutkan di
atas. Pada masa Jahiliyah terdapat kesenjangan dalam kehidupan berkeluarga,
khusus mengenai poligami, di mana pada saat itu masyarakat melakukan poligami
tanpa batasan jumlahnya, bergantung kepada keinginan masing-masing kaum pria.
Hal ini tentu saja merugikan kaum wanita, dan cenderung semena-mena dalam memperlakukan
mereka. Ketika Islam datang ada sebahagian orang dari Bani Tsaqif yang mereka
mempunyai isteri sampai sepuluh orang, lalu
Islam membatasi kepada empat orang saja tidak boleh lebih.[12]
yang menjadi dasar ukum poligami adalah
al-Qur’an, Sunnah Rasulullah
Saw., dan Ijma’ para ulama. Berikut
dijelaskan satu per satu:
a.
Dasar hukum dari al-Qur’an. Dalil yang
bersumber dari al-Qur’an
ialah Surah al-Nisā`
ayat 3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ
أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(Hak-hak)perempuan yatim (bila
kamu mengawininya) maka
kawinilah wanita- wanita lain yang
kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat
berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak- budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah melebihi kepada tidak berbuat aniaya".
Mengenai asbāb al-nuzūl
ayat tersebut, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Al-Zubir, ia menuturkan bahwa ”Aku
bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah
Swt, yaitu Surah al-Nisā’
ayat 3. Lalu
ia menjawab: Wahai keponakanku, anak perempuan yatim ini
berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini berada
dalam pemeliharaan walinya. Rupanya harta dan kecantikannya mengagumkan
walinya, sehingga berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam
memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang ia berikan kepada isteri yang
lainnya. Karena demikian mereka dilarang menikahi perempuan tersebut, kecuali
bila dia mau berlaku adil dan memberikan mahar yang layak, serta diperintahkan
supaya kawin dengan perempuan yang mereka senangi selain mereka (perempuan
yatim yang berada dalam perwaliannya).
Menurut Hamka ”Pemaknaan
ayat ini perlu dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang berbicara
tentang anak yatim.
Dalam pangkal ayat
ketiga surat al-Nisā` ditemukan lanjutan tentang
memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristeri
lebih dari satu hingga empat. Hasil dari kesimpulan pemikiran Hamka tentang
surat al-Nisā` ayat
3 yaitu adanya
hubungan antara perintah memelihara anak yatim dengan
kebolehan beristeri lebih dari satu hingga empat.[13]
Penjelasan Hamka tentang ayat tersebut masih seputar bolehnya bagi seorang laki-laki
yang merdeka untuk berpoligami tetapi hanya sampai empat orang saja. Beda
dengan seorang hamba sahaya, yang hanya dibolehkan memperisterikan wanita
sampai dua orang. Dari kandungan ayat al-Qur’an di atas nampak dengan jelas
bahwa poligami itu dibolehkan dalam
Islam tetapi hanya
terbatas hingga empat
orang isteri. Mengenai hukum
poligami dalam Islam, menurut Imam Syafi’ī berdasarkan sunnah Rasulullah Saw, tidaklah
diperbolehkan seorang beristeri lebih dari empat. Pendapat itu telah menjadi
ijma’ para ulama, terkecuali golongan Syi’ah
yang berpendapat bahwa orang boleh
beristeri lebih dari empat orang wanita sampai sembilan, bahkan ada di antara
mereka yang tidak membatasi dengan suatu bilangan. Kaum Syiah ini bersandar
kepada perbuatan Rasulullah Saw. yang beristeri lebih dari empat orang sampai
sembilan bahkan sebelas isteri. Akan tetapi alasan itu ditolak oleh mayoritas
ulama Islam, dengan argumentasi bahwa apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
itu adalah kekhususan bagi beliau sebagai Rasul.[14]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa menurut Hamka, Islam member peluang
bagi umat Muhammad Saw. untuk berpoligami, sedangkan menurut Quraish Shihab,
surat al-Nisā` ayat 3 tidak membuat peraturan tentang poligami dan ayat ini
tidak mewajibkan kita berpoligami atau menganjurkannya, ayat tersebut hanya
berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang yang amat membutuhkan.
Quraish Shihab mengatakan
apabila perlu, kamu dapat menggabungkan dalam saat yang sama dua, tiga atau empat,
tetapi jangan lebih lalu jika kamu takut tidak akan berbuat adil dalam hal
harta dan perlakuan lahiriyah,--bukan dalam hal cinta--,jika menghimpun lebih
dari seorang isteri, maka kawini seorang saja atau kawinilah budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan
ketidakadilan, dan mencukupi satu orang isteri adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak
memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka’[15].
Sesuatu yang menarik dari penafsiran Quraish Shihab adalah penjelasan kata “adil”
dan penyebutan dua, tiga atau empat, untuk kata adil, menurut Quraish Shihab,
dalam al-Qur’an digunakan dalam dua bentuk kata yaitu tuqsithū dan ta’dilū .
Tuqsithū berarti berlaku adil antara dua orang atau lebih. Ta’dilū, berarti
berlaku adil bagi diri sendiri atau orang lain. Penyebutan dua tiga atau empat,
pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim.
Dalam ayat sebelumnya, seorang lelaki tidak dibenarkan melakukan poligami lebih
dari empat orang, karena huruf waw (و)
ǃ pada ayat ini berfungsi sebagai badal,
artinya nikahilah tiga orang isteri jika tidak dua orang dan
empat orang jika bukan tiga orang.[16]
Adapun pendapat minoritas yang dikemukakan oleh Imam al-Qurtubi yaitu seorang
muslim boleh menikah dengan Sembilan wanita sekaligus, mereka juga mengambil
dalil kepada firman Allah Swt. di atas dengan persepsi bahwa huruf waw (ǃ ) dalam ayat ini berfungsi membolehkan
penjumlahan di antara bilangan-bilangan tersebut (sembilan).[17]
Al-Zhahiri Sebahagian Dari
Pendapatnya membolehkan seorang laki-laki beristeri sampai delapan belas
orang. Adapun yang menjadi argumentasinya ialah kata- kata jamak, mastnā
berarti dua-dua, maka sama dengan empat, tsulātsa yang artinya tiga-tiga sama
dengan enam, dan
rubā’ yang berarti
empat-empat sama dengan jumlahnya delapan, dan bila
keseluruhannya dijumlahkan maka
menjadi delapan belas.[18]
Kedua pendapat di atas tidak berdasarkan kepada kaidah ilmiah dan bertentangan
dengan hadis yang membatasi hanya empat orang isteri saja, seperti hadis Nabi
terhadap seorang sahabat yang baru masuk Islam dan sahabat tersebut mempunyai
isteri lebih dari empat
orang, maka sahabat tersebut harus memilih empat orang
isteri dari keseluruhan yang ia miliki.[19]Pernikahan
yang melebihi empat orang isteri dalam Islam tidak dibenarkan, tetapi hanya
kepada Rasulullah Saw. saja yang dibenarkan melakukannya, sehingga beliau
mempunyai sembilan orang isteri selama hidupnya. Alasan dibolehkan karena
beliau adalah ma’mūn (tepercaya) dan diyakini dapat berlaku adil kepada semua
isterinya walaupun jumlahnya banyak.[20]
Rifat Hassan mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia mengatakan bahwa dari nash
al-Qur’an Surat al-Nisā` ayat 3, dapat dipahami bahwa, poligami hanya dapat
dilakukan dalam keadaan darurat saja. Bahkan ayat tersebut merupakan dalil
bahwa poligami hanya bisa dilakukan dengan wanita yang ditinggal mati suaminya
dan mempunyai anak yatim dan bukan untuk dalil poligami saat sekarang ini. ”Ia
menuding bahwa ulama yang menafsirkan surat al-Nisā’ ayat 3 adalah ”keliru”, jika
ayat ini dijadikan dalil untuk poligami dalam suasana kondusif. Pernyataan dua pemikir
kontemporer Islam di atas terasa kurang logis, jika ayat al-Qur’an surat
al-Nisa’ ayat 3 dan 129 tidak bisa menjadi dalil poligami dalam Islam, berdasarkan
dugaan Rifat Hasan
bahwa poligami dapat
menimbulkan keretakan keluarga, rumah tangga dan kerusakan masyarakat.
Pendapat Rifat Hasan ini diikuti sebagian negara Islam yang mengadopsi hukum di
Negara Barat seperti Turki. Rifat Hasan dan Madzhab al-Zhahiri berargumentasi bahwa di antara hak
penguasa adalah melarang sebagian hukum yang boleh (mubah), guna mengambil mashlahah
dan menolak mafsadah.[21]
Al-Jaziry menurutnya,
dalam surat al-Nisā` ayat 3, ada suatu prinsip yang sangat tegas disebutkan
oleh Allah Swt. yaitu membenarkan bagi
seorang laki-laki melakukan
poligami mulai dari dua, tiga sampai empat orang isteri, selama ia dapat
berlaku adil kepada semuanya. Bila tidak, maka tidak dibenarkan berpoligami dan
hanya cukup dengan seorang isteri saja, karena demikian itu lebih mudah baginya
dalam berlaku adil.
Dalam ayat ini
cukup jelas tentang
bagaimana ketentuan poligami,
yaitu dengan menitik beratkan kepada nilai keadilan yang harus mampu diciptakan
oleh seorang suami terhadap semua isterinya, dan ini menjadi suatu halyang
paling utama. Hukum berlaku adil terhadap para isteri adalah wajib. Islam tidak
dengan mudah mengizinkan umatnya berpoligami, karena Islam sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dalam keluarga, karena ini menyangkut dengan harkat
dan martabat kaum wanita yang mempunyai hak penuh terhadap keadilan suaminya,
agar tidak lahir intimidasi dan perlakuan yang semena-mena. Walaupun dalam ayat
di atas mengandung konsep poligami, hal ini bukan berarti Islam menganjurkan
umatnya untuk berpoligami, akan tetapi hanya merupakan suatu pintu yang amat
sempit yang hanya dapat dilakukan pada saat darurat saja.
Adapun Sunnah yang menjadi
dalil kebolehan berpoligami adalah hadis dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin
Salamah al-Tsaqafi masuk Islam, sedang dia mempunyai sepuluh
orang isteri pada
zaman Jahiliyah, lalu
kesemuanya masuk Islam bersamanya,
maka Nabi Muhammad SAW. bersabda.[22]
(دواد ﻮﺑا
ﻩاور)
ﻦﻫﺮﺋﺎﺳ قرأﻓو
ﺎﻌﺑرأ
ﻚﺴﻣ أ
Artinya: “Tahanlah yang
empat orang, dan ceraikan yang lainnya”
Hadīts ini Menunjukkan
Tentang hukum berpoligami, di dalamnya terdapat suatu pernyataan bahwa poligami
merupakan hal yang dibolehkan, akan tetapi tidak boleh lebih dari empat orang
isteri. Di dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi
yang mempunyai isteri sepuluh orang harus memilih empat saja dari keseluruhan
mereka.[23]
Maksud dari kandungan hadis di atas adalah bahwa poligami itu dibolehkan dalam
Islam, tetapi dibatasi dengan empat orang isteri dan tidak boleh lebih dari
empat.
c. Dasar hukum dari ijma’
Kaum muslimin telah
sepakat tentang boleh atau halalnya berpoligami, hal ini mereka ungkapkan
melalui lisan maupun
sikap atau praktek mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Kehalalan poligami telah ada semenjak masa
Rasulullah Saw. sampai saat ini. Sehingga terlihat bahwa Nabi sendiri dan para
sahabat dekatnya melakukan poligami, contohnya Umar bin Khatab, ’Ali bin ’Abi
Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Muaz bin Jabal (semoga Allah memberkahi
kehidupan mereka). Praktek poligami ini
juga dilakukan oleh
generasi selanjutnya setelah
generasi sahabat yaitu di masa tabi’īn, dan juga masyarakat lain sesudah
itu yang juga melakukan praktek poligami. Karena itu dapat disimpulkan bahwa
poligami telah dilakukan oleh berbagai kalangan umat Islam baik dulu maupun
sekarang, karena mereka menganut pendapat
bahwa poligami merupakan
suatu hal yang
halal dilakukan.[24]
Menurut Jalaluddin
al-Mahally, al-Nawawi mengatakan ”Dibolehkan bagi seorang laki-laki yang
merdeka untuk memiliki empat orang isteri sedangkan hamba sahaya hanya diizinkan
dua orang saja.[25]
Berdasarkan dalil-dalil yang telah
disebutkan di atas jelas bahwa poligami, dibolehkan dalam Islam, namun yang
perlu diperhatikan bahwa kebolehan berpoligami bukanlah secara mudah akan
tetapi membutuhkan persyaratan- persyaratan yang ketat yang mesti dipenuhi
terlebih dahulu, setelah itu baru poligami ini dapat dilakukan.
3. Pendapat Ulama Tentang
Poligami
Dalam menjalankan hukum
Islam di berbagai penjuru, ulamalah tempat umat berpegang, karena
ulamalah yang merupakan
pewaris para Nabi
yang mengerti tentang masalah
agama dan ketentuan hukum Islam, begitupun ulama mempunyai pendapat
masing-masing tentang hukum berpoligami. Di sini akan dikemukakan beberapa
pendapat ulama tentang poligami.
1.
Rasyid Ridha berpendapat
bahwa poligami diperbolehkan, bila
suami tidak mungkin menahan
mudharat (menahan hawa
nafsu) dan bila ternyata isterinya mandul.[26] Salah satu ajaran Islam, jika seseorang tidak
sanggup menahan hawa nafsu, maka ia boleh berpuasa, karena dengan puasa dapat
meredamkan dorongan nafsu yang tinggi.
2.
Khurshid Ahmad menyatakan bahwa,
berpoligami secara terbatas diperkenankan dengan ketentuan adil
terhadap tanggung jawab yang dipikul. Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa
seorang laki-laki bila ada masalah dalam
keluarganya, mereka mempunyai
dua pilihan yaitu kawin lagi atau
berbuat dosa. Di sinilah poligami dibolehkan.26 Alasan yang dikemukakan oleh
Khurshid Ahmad terasa kurang tepat, jika seorang suami mempunyai masalah dalam
keluarga yang mana masalah tersebut ditemukan dari pihak isteri, maka suami
boleh berpoligami atau menceraikannya, jadi bukan berbuat dosa atau maksiat
kepada Allah Swt.
3.
Al-Jashshash berpendapat bahwa
melakukan poligami hanya
bersifat boleh (mubah), tetapi dengan syarat mampu berbuat adil di
antara para isteri. Menurutnya ukuran adil di sini termasuk material, seperti
tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya. Sedangkan keadilan
dalam rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan semacam itu sangat berat.[27]
4.
Yusuf Qaradhawi,[28] menyatakan dengan
menitikberatkan demi
kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam
membolehkan kawin lebih dari seorang isteri, tapi dengan syarat bisa berlaku
adil terhadap semua isterinya, baik tentang masalah makanan, minuman, pakaian,
rumah, tempat tidur
dan nafkahnya. Bila
tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka tidak dibolehkan kawin lebih
dari seorang isteri.[29]
5.
Al-Qasimi berpendapat bahwa, untuk bisa
menikahi wanita lebih dari satu bergantung kepada keluasan cara berpikir suami
yakni kemampuan mengendalikan rumah tangga dan kematangan dalam segala hal dalam
bermasyarakat ( mu‘āmalah).[30]
Berdasarkan beberapa
pendapat ulama yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa poligami
dibolehkan dalam agama, dengan syarat bisa berlaku adil terhadap semua isteri
baik lahiriah maupun bathiniah, dan juga berbuat adil untuk anak-anaknya dalam
segala kebutuhan rumah tangga. Intinya para ulama sependapat dalam masalah
poligami, hanya saja ungkapan atau cara penafsirannya yang berbeda.Allah Swt.
membenarkan bagi seorang laki-laki melakukan poligami mulai dari dua, tiga,
sampai empat orang isteri, selama ia dapat berlaku adil kepada semua isterinya,
namun bila tidak, maka tidak dibenarkan berpoligami dan hanya cukup dengan
seorang isteri saja, karena demikian itu lebih mudah baginya dalam berlaku adil.
Islam tidak dengan mudah
mengizinkan umatnya berpoligami, karena Islam sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan dalam keluarga, karena ini menyangkut dengan harkat
dan martabat kaum
wanita yang mempunyai
hak penuh terhadap keadilan suaminya. Berbagai hak
seorang isteri harus dipenuhi oleh suami agar tidak lahir intimidasi dan
perlakuan yang semena-mena. Walaupun dalam ayat di atas mengandung konsep
poligami, hal ini bukan berarti Islam menganjurkan umatnya poligami, akan
tetapi merupakan suatu pintu yang amat sempit yang hanya dapat dilakukan pada
saat darurat saja.
Persyaratan untuk dapat
melakukan poligami secara global sama di antara perspektif fikih Syafi‘īyyah
dan hukum positif tetapi ada penambahan syarat pada Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun
1974, salah
satunya adanya persetujuan
isteri, dan ini dijadikan sebagai syarat bagi dibolehkan melakukan poligami,
dalam hukum positif. Dalam Pasal 59 disebutkan, bahwa dalam hal isteri tidak
mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu
orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2)
dan 57. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding
atau kasasi.[31]
Dari penjelasan di atas
tentang syarat poligami dalam perspektif fikih Syafi‘īyyah dan hukum positif
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dapat dipahami,
bahwa kebolehan poligami bukanlah suatu bentuk diskriminasi terhadap
kaum perempuan ataupun
penindasan kaum laki-laki
atas kaum perempuan. Akan tetapi,
semua ini bukan merupakan ‘illat (alasan) ataupun syarat bagi kebolehan
berpoligami. Semua hal di atas hanya merupakan penjelasan atas fakta yang
terjadi. Hukum poligami sendiri adalah hak Allah Swt. semata, yakni bahwa Allah
Swt. telah menjelaskan tentang kebolehan berpoligami. Sedangkan beristeri
seorang saja adalah suatu hal yang dianjurkan oleh Allah Swt. , dalam suatu
keadaan di mana ketika seorang suami khawatir tidak dapat berlaku adil. Selain
keadaan ini, Allah Swt. tidak
pernah mensyari’atkan seorang
suami menikahi hanya
seorang wanita saja. Dalam fikih Syafi‘īyyah maupun hukum positif,
poligami dibolehkan dengan ketentuan yang sama, dan yang paling utama
persyaratannya adalah sanggup berlaku adil, di samping itu kedua hukum ini juga
mensyaratkan ketentuan yang lain bagi bolehnya poligami. Tetapi dalam
perspektifnya jelas terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu dalam hukum
positif bagi seseorang yang melakukan poligami harus terlebih dahulu melapor ke
Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hukum baginya, dan wajib
mendapatkan persetujuan isteri baik tertulis maupun lisan, dan bila tidak maka
akan berpengaruh kepada
nikah yang ia
lakukan tersebut, artinya
ia akan mendapatkan kesulitan
jika pernikahannya digugat nantinya. Sedangkan dalam fikih Syafi’īyyah tidak
ada ketentuan tersebut. Mengenai batasan jumlah isteri yang boleh dipoligami
dalam waktu yang sama menurut fikih Syafi’īyah adalah empat orang, dan tidak
boleh lebih dari jumlah tersebut. Bila suami ingin memiliki lebih dari empat
isteri maka ia harus terlebih dahulu menceraikan isteri-isteri sebelumnya.
Mengenai batasan jumlah ini juga sama antara ketentuan hukum dalam fikih
Syafi’īyah dengan ketentuan dalam Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Adapun sebab yang berasal dari perempuan (isteri) adalah seperti menderita
penyakit kronis yang jauh harapan untuk sembuhnya atau ada hal lain yang dapat
meresahkan suami dan mengganggu ketentraman jiwanya seperti isteri yang sukar
dididik dan diarahkan dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi ketentraman
suami dalam keluarga. Alasan-alasan poligami yang telah diuraikan di atas bukan
berarti bahwa laki- laki paling dominan dibandingkan wanita, setiap hak
laki-laki mesti dipenuhi sedangkan perempuan tidak demikian.
Tetapi dengan penentuan syarat
adil kepada isteri dapat menciptakan keseimbangan, karena persoalan adil
merupakan hal yang mudah diucapkan namun sukar sekali untuk merealisasikannya.
Jarang sekali orang yang dapat melakukannya, tetapi tetap saja realitas di
lapangan terdapat kecederaan dan kepincangan penerapannya. Tidak dapat
dipungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan
dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan atau ujian. Pada umumnya,
sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera
diberikan momongan oleh Allah Swt. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan
ketika sang isteri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat
menginginkannya. Pada saat yang sama,
suami begitu menyayangi isterinya dan tidak
ingin menceraikannya.
Ada pula
keadaan ketika seorang
isteri sakit keras
sehingga menghalanginya untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai
bu dan isteri, sedangkan sang suami sangat
menyayanginya; ia tetap ingin merawat isterinya dan tidak ingin menceraikannya.
Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat
melayaninya. Ada juga
kenyataan lain yang
tidak dapat dipungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian
lelaki yang tidak cukup hanya dengan satu isteri (maksudnya, ia memiliki
syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada umumnya), Jika ia hanya
menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan
bagi sang isteri. Lebih dari itu, fakta lain yang dihadapi sekarang adalah
jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan; baik karena
terjadinya banyak peperangan
ataupun karena angka
kelahiran perempuan memang lebih banyak daripada lelaki.
Dari berbagai fakta yang
tidak dapat dipungkiri di atas, yang merupakan bagian dari permasalahan
umat manusia, dapat dibayangkan, seandainya pintu poligami ini ditutup maka
justru kerusakanlah yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dari sini
dapat dipahami, bahwa poligami sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu
solusi atas sejumlah problema di atas.
Namun demikian,
fakta-fakta di atas tidak dapat dijadikan dalil yang benar bagi kebolehan
poligami. Fakta-fakta tersebut sekadar mendukung pemahaman, bahwa poligami
merupakan salah satu
solusi bagi sebagian
permasalahan yang tengah dihadapi
umat Islam. Sementara itu, dalil tentang kebolehan poligami tetap bertumpu pada
nash-nash syari’at, yakni al-Qur’an dan
hadīst Rasullulah Saw. dan ijma’ ulama.
4. Penalaran Ushul Fikih Terhadap Syarat Persetujuan
Poligami
Kata syarat berasal dari
bahasa Arab, yaitu (طﺮﺷ)
syarth yang berarti pertanda, indikasi
atau memastikan sesuatu.
Syarat adalah suatu
sifat yang keberadaannya sangat
menentukan keberadaan hukum syari’at dan ketiadaan sifat itu membawa
kepada ketiadaan hukum,
tetapi ia berada di luar
hukum syar’i itu
sendiri dan keberadaannya itu
tidak senantiasa menyebabkan adanya hukum.[32]
Berdasarkan definisi di
atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu yang
bergantung kepadanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu
sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum tidak ada. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa syarat persetujuan isteri untuk bisa berpoligami tidak termasuk
dalam syarat syar’i, melainkan ia termasuk ke dalam syarat wadh’i. Syarat
wadh’i dibolehkan untuk pengistimbatan hukum dengan ketentuan selama tidak
melanggar ketentuan hukum syar’i sebagaimana nabi bersabda dalam satu hadīts, “Orang Islam boleh membuat syarat
selama tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal”.[33]
Maksud dari hadits di atas bahwa umat Islam dibolehkan
membuat syarat-syarat yang mendukung kemaslahatan umat selama syarat tersebut
tidak bertentangan dengan hukum syar’i, jadi maksud dengan syarat dalam
penjabaran hadis di atas adalah syarat wadh’i bukan syarat syar’i, jadi boleh
saja membuat syarat atau ketentuan-ketentuan yang mengikat antara satu pihak
dengan pihak yang lainnya dengan tujuan untuk memelihara kemaslahatan umat. Jadi dapat
di pahami bahwa
syarat yang terdapat
dalam Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 atau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975 adalah
syarat Administratif., artinya satu ketentuan yang sudah dibakukan dengan
tujuan untuk memelihara ketentraman dalam rumah tangga demi terciptanya
keadilan yang harmonis. Asbāb al-wurūd
hadis di atas bahwa seorang budak yang bernama al-Barirah mendapat perjanjian
kitabah dengan tuannya yang mana ia akan di merdekakan oleh tuannya, tetapi
tuanya membuat berbagai syarat-syarat untuk kelepasan hamba sahayanya, lantas
al-Barirah mengadu kepada Aisyah tentang kasus tersebut, lalu Aisyah mengadu
pula kepada Nabi Muhammad Saw., maka
Nabi membolehkan hal tersebut dilakukan. Poligami dalam Islam dibolehkan (mubah) bukan
wajib, bukan haram dan bukan pula disunnahkan,
Jika dikaitkan dengan
asbāb al-nuzūl ayat
poligami, terdapat beberapa riwayat tentang diturunkannya ayat ini di
antaranya, yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubir
ketika ia bertanya kepada Aisyah RA, tentang sebab turun ayat tersebut:
Aisyah R.A berkata: “wahai
anak saudara (keponakanku), ayat ini diturunkan kepada anak perempuan yatim,
yang hidup di rumah walinya, dia ikut makan harta walinya itu dan kebetulan
walinya juga mengincar harta anak yatim tersebut dan terpesona dengan
kecantikannya, wali tersebut ingin menikahinya tetapi berencana tidak mau
berbuat adil didalam memberikan maharnya, dia ingin memberikan mahar sama
dengan mahar-mahar wanita lainnya, maka Allah Swt. melarang menikahinya kecuali
kalau mau dan sanggup berbuat adil di dalam memberikan mahar yang sederajat
dengannya serta walinya diperintahkan menikahi wanita lain. Berkata Urwah,
telah berkata Aisyah: “Sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Rasulullah
Saw. setelah ayat ini (turun), sehingga Allah Swt. menurunkan surat al- Nisā’
ayat 126.
ءﺎﺴﻨﻟاﰱ ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳو
Artinya: “Dan mereka
meminta fatwa kepadamu tentang para wanita
Aisyah RA. melanjutkan
dalam ayat lain surat al-Nisā’ ayat 127.
Artinya: Sedang kamu ingin
mengawini mereka".
ﻦﻫﻮﺤﻜﻨﺗ نا نﻮﺒﻏﺮﻳو
Sebab seorang dari kamu
tidak mau menikahi anak yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan tidak
cantik. Lalu berkata Aisyah RA: “maka mereka dilarang menikahi anak yatim jika
hanya mengejar kecantikan dan hartanya, kecuali kalau berbuat adil. Hal itu
dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka jelek dan sedikit hartanya.
[34]
Beranjak dari asbāb al-nuzūl di atas para ulama memiliki beberapa pandangan
yang berbeda dalam memahami masalah ini. Syekh Muhammad Thahir Asyur di dalam
tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan Aisyah RA.[35]
Imam Ibnu Katsir walaupun dengan cara spontan, juga mengarah untuk membenarkan
riwayat Aisyah ini, dibuktikan dengan bahwa hanya riwayat ini saja yang
diungkapkan dalam tafsirnya dan ia menganggap inilah riwayat yang paling sahih,
padahal di sana ada riwayat-riwayat yang lain.[36]
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. pada tahun ke-8 Hijrah untuk
membatasi jumlah isteri dalam batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sudah
menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai isteri banyak tanpa adabatasan.
Dengan diturunkannya
ayat ini, seorang
muslim dibatasi hanya
boleh beristeri maksimal empat
orang saja. Sejak
pada masa itulah
tidak dibolehkan seorang lelaki
menikahi lebih dari empat orang isteri yang merdeka beranjak dari hadis Nabi
Saw. yang membatasi jumlah isteri kepada Ghilan (salah seorang sahabat Nabi
yang masuk Islam dengan memiliki sepuluh orang isteri). Pendapat Qiel (zhaef)
menyatakan, pada hadis tersebut kata amsik (menahan) empat orang isteri adalah
wajib dan menceraikan sisa isteri adalah ibahah (dibolehkan). Pendapat Qiel
Zhaef yang lain menyatakan sebaliknya, yaitu menahan (tidak menceraikan) empat
orang isteri hukumnya wajib sedangkan
menceraikan yang lebih dari empat orang hukumnya adalah wajib. Walaupun
demikian pendapat yang kuat bahwa tiap-tiap perbuatan baik menahan atau
menceraikan hukumnya wajib. Faedah khilaf menunjukkan bahwa berdosa seseorang
menahan isteri-isterinya di bawah empat orang berdasarkan pendapat yang
menyatakan wajib, maka wajib atasnya untuk menahan empat orang isteri karena
dengan menahan empat orang isteri, maka yang berlebih harus diceraikan.
Walaupun nantinya boleh menceraikan empat
orang isteri tersebut
dengan talak dan
tiadalah sah menceraikan
sekalian dengan tiada memilih. Pendapat yang kuat adalah yang kedua,
yaitu menahan empat orang berefek kepada
tertalak yang lain
secara paksa (otomatis)
atau perbuatan menceraikan
berimbas kepada terkhusus empat orang secara paksa (otomatis) pula.[37]
Hadīts tentang Ghilan menjelaskan firman Allah Swt. dalam surat al-Nisā’ ayat 3
yang masih umum yang dapat memberikan pengertian boleh bagi seseorang menikahi
sembilan atau delapan belas orang isteri melalui pemahaman kata-kata matsnā,
tsulātsa’, dan rubā’. Posisi hadis tersebut adalah mubāyin (menjelaskan),
yaitu, mengeluarkan sesuatu
dari posisi yang
samar-samar (tidak jelas)
kepada pengertian yang terang (jelas).[38]
Sedangkan sesuatu yang dijelaskan yaitu surat al- Nisā’ ayat 3 yang masih
global (umum) mempunyai pengertian sesuatu yang perlu kepada bayān
(penjelasan).Kata matsnā, tsulātsa’, dan rubā’ merupakan kalimat muntahā
al-jumū’, yaitu lafadh yang di
dalamnya terdapat satu
‘ilat (sebab) dari
‘ilat sembilan yang bertempat pada tempat dua ‘ilat, yaitu
‘ūdul (dipalingkan) dari bentuk aslinya. Sehingga lafadh
tersebut tidak menerima
tashrif (perubahan baris
akhir) dengan sebab masuknya ’āmil.
Dengan demikian arti lafadh matsnā adalah pemalingan dari kata itsnāni-itsnāni (dua dua),
lafadh tsulātsa merupakan
pemalingan dari kata tsulātsa-tsulātsa
(tiga tiga), dan lapadh rubā’ adalah
pemalingan dari kalimat rubā’-rubā
(empat empat).[39]
Selanjutnya dalam teks
al-Qur‘ān surat al-Nisā’ ayat 3 tersebut tsulātsa dan rubā’ di’ataf dengan waw
(و)
yang memberi faidah mutlak jama’ (berhimpun), yaitu delapan belas orang isteri,
karena seseorang boleh menghimpun isteri sebanyak dua dua (empat), tiga tiga
(enam) dan empat empat (delapan). Ataupun jika kata matsnā, tsulātsa dan rubā’
diartikan dua, tiga, dan empat dapat dipahami bahwa ayat tersebut membolehkan
menikah hingga sembilan orang dengan cara penjumlahan yang dipahami dari و
(waw) mutlak jama’ (menghimpunkan). Adapun
jika و
(waw) tersebut dijadikan berfaidah او atau
takhayyur (boleh memilih) maka terpahami bahwa seseorang yang telah menikahi
dua orang isteri tidak boleh berpindah menikahi tiga orang isteri dan orang
yang telah menikahi tiga orang isteri, tidak boleh berpindah menikahi empat
orang isteri.[40]
Hadīts Nabi tentang Ghilan di atas menjadi mubāyyin bagi surat al-Nisā’ ayat 3
yang masih umum, artinya و (waw) yang terdapat dalam
kata matsnā, tsulāsa dan rubā’ adalah و
ibāhah takhayyur (boleh memilih) yaitu seseorang boleh memilih menikahi dua,
tiga, dan empat orang isteri. Menurut Taqiyuddin al-Nabhani, hal ini dapat
dipahami dari ayat di atas jika dibaca secara berulang-ulang, yaitu nikahilah oleh
kalian wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat.[41]
Dilihat dari pemahaman dilalah ayat bahwa kebolehan poligami pada ayat di atas
tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim,
sebagaimana pendapat kaum liberal yang keliru. Sebab sebagaimana sudah dipahami
dalam ilmu ushul fikih, bahwa yang
menjadi pegangan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional surat al-Nisā ’ayat 3
yang bersifat umum, bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan
anak yatim). Mayoritas ahli tafsir sepakat bahwa dalam hal ini berlaku kaidah.[42]
ﺐﺒﺴﻟاصﻮﺼﲞﻻ ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ةﱪﻌﻟا
Artinya: Ibarat itu dengan
keumuman lafadh bukan dengan kekhususan sebab
Poligami boleh
dilakukan baik oleh
orang yang mengasuh
anak yatim maupun yang tidak
mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fikih menyebutkan:
ﻪﻣﻮﻤﻌ
اﻂﻘﺴﻳﱂ ﺐﺒﺳ ﻰﻠﻋ مﻮﻤﻌﻟ
ا
ﻆﻔﻟ درو اذا
Artinya: " Jika
terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang
khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya."
Beberapa hadis
menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw. telah mengamalkan bolehnya poligami
berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan
dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. berkata
kepada Ghailan bin Umayyah al-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya
sepuluh isteri," Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang
lainnya!" (HR Malik, al-Nasa’i, dan al-Dar al-quthni).[43] Diriwayatkan Haritsbin Qais berkata kepada
Nabi Saw., "Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri
saya, lalu saya
ceritakan hal itu
kepada Nabi Saw.
maka beliau bersabda,
"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud).[44]
Dengan demikian kebolehan poligami ini tidaklah tepat kalau dikatakan
"syaratnya harus adil." Dapat dianalisa bahwa, adil bukanlah syarat
poligami, melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat
atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan
(masyrūth). Wudhuk, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhuk harus
terwujud dulu sebelum shalat, maka kalau dikatakan "adil" adalah
syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum
orang berpoligami. Tentu ini tidak tepat. Karena yang mungkin terwujud sebelum
orang berpoligami bukanlah
"adil" itu sendiri, tapi
"perasaan" seseorang apakah dia akan bisa berlaku adil atau
tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhawatiran
tidak akan dapat
berlaku adil, maka
di sinilah Syarak mendorong dia untuk menikah dengan
satu isteri saja. Aliran liberal menolak
poligami berdasarkan dalil al-Qur’an surat al-Nisā’ ayat (4), ayat 129 yang
dikaitkan dengan kewajiban berlaku adil dalam poligami. Mereka beralasan, di
satu sisi Allah Swt. mewajibkan adil tapi di sisi lain keadilan dimaksud adalah
mustahil. Dari kaitan ini mereka memahami bahwa poligami itu dilarang dan
hukumnya haram. Mereka menganggap keadilan pada dua ayat tersebut adalah
keadilan yang sama, bukan keadilan yang berbeda. Keadilan
yang dimaksud al-Qurān Surat
al-Nisā’ ayat 3
berbeda dengan keadilan yang
dimaksud dalam surat al-Nisā’ ayat 129. Keadilan dalam ayat 3 menyangkut
nafkah, tempat tinggal dan bermalam secara bergiliran, sedangkan adil dalam
ayat 129 menyangkut cinta kasih, dan sayang. Untuk bisa adil dalam hal ini
sangat sukar, sebab tidak bisa diukur. Pemahaman aliran liberal tersebut kurang
tepat, karena jika demikian implikasinya adalah dua ayat di atas akan saling
bertentangan (kontradiksi) satu sama lain, di mana yang satu meniadakan yang
lain. Allah Swt. telah menyatakan tidak ada kontradiksi dalam al-Qur’an . Allah
Swt. berfirman dalam surat al-Nisā' ayat 82:
اﲑﺜﻛ ﺎﻓﻼﺘﺧا ﻪﻴﻓ اوﺪﺟﻮﻟ ﷲاﲑﻏﺪﻨﻋ
ﻦﻣ نﺎﻛﻮﻟو
Artinya: "Kalau
sekiranya al-Qur`ān itu dari sisi selain Allah, niscaya akan mereka dapati
pertentangan yang banyak”
Menolak poligami dengan
ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar
darurat), tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fikih dan ushul fikih.
Darurat menurut Imam Suyuthi adalah:[45]
ﺎﻫﺮﻗوا ﻚﻠﻫ عﻮﻨﻤﳌالﻮﻨﺘﻳ ﱂنا ﺪﺣ ﻪﻟﻮﺻو
Artinya: "Sampainya seseorang
pada suatu batas
(kondisi) yang jika
dia tidak mengerjakan yang haram,
maka dia akan mati atau hampir mati".
Ini artinya, seorang
laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah parah sekali keadaannya, yakni
hampir mati kalau tidak berpoligami. Ini tentu mengherankan dan tidak benar.
Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap
poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi) dan baru dibolehkan
(sebagai hukum rukshah) jika tidak ada jalan keluar selain poligami. Padahal
hukum asal poligami bukan haram, tapi mubāh. Inilah yang benar. Penolakan
poligami dengan alasan Rasulullah Saw. pernah melarang Ali bin Abi Thalib
berpoligami, ketika Ali yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada
beliau Rasulullah Saw. untuk menikah lagi dengan puteri Abu Jahal, Rasulullah
tidak memberi izin kepada Ali menikahi puteri Abu Jahal, kecuali setelah
menceraikan puterinya Fatimah. Kesan yang muncul, seolah-olah Rasulullah Saw.
menolak poligami. Aliran liberal biasanya hanya menyampaikan hadis di atas
tanpa melihat hadis yang sama dari jalur periwayatan yang lain. Dalam jalur
riwayat lain ada pernyataan Nabi Saw. yang
terkait dengan status
hukum poligami. yakni:
"Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal,
dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak
akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat
selama-lamanya" (H.R Bukhari).[46]
Sabda Rasul tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa poligami hukumnya boleh,
larangan Rasul kepada Ali yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal
bukanlah karena Rasulullah Saw. menolak poligami, melainkan karena Rasulullah
tidak senang Ali mengumpulkan puteri beliau dengan puteri musuh Allah Swt. di
bawah lindungan seorang lelaki. Ali sendiri sebenarnya berpoligami, setelah
meninggalnya Fatimah. Ibnu
Uyainah mengatakan bahwa
Ali bin Abi
Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya
Fatimah RA.48 Kelompok yang menolak poligami juga berpedoman pada survei
data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari poligami,
misalnya percekcokan antar isteri, kerawanan penyakit seksual, dan sebagainya.
Secara metodologis (ushul fikih), cara berpikir demikian perlu diluruskan,
sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk
menjustisifikasi status hukum syara’. Akal tidak dapat secara independen
memutuskan boleh tidaknya sesuatu
hukum syara’ hanya
berangkat dari fakta-fakta
empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu,
bukan untuk menyimpulkan status hukum secara
mandiri dan terlepas
dari teks. Di
sinilah tepat sekali
Imam Ghazali
Mengatakan:[47]
ﻞﻘﻌﻟﺎﺑ
كرﺪﺗ
ﻻ ﻪﻴﻋﺮﺸﻟ ا
مﺎﻜﺣﻻا
Artinya:" Hukum-hukum
syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata".
Kelompok tersebut
di atas mempergunakan
hasil survei untuk
menolak poligami, dengan argumen berupa kaidah fikih:[48]
ﱀﺎﺼﳌا
ﺐﻠﺟ ﻦﻣ ﱃواﺪﺳﺎﻔﳌاءرد
Artinya: "Menolak
kerusakan, lebih utama dari pada memperoleh kemaslahatan"
Pendapat itu menyatakan
poligami harus dilarang, karena melarang poligami artinya adalah
menolak kerusakan, yang
harus didahulukan dari
pada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami. Pendapat itu
bathil. Sebab pengamalan kaidah fikih dapat dimaknakan sebagai ijtihad. Ijtihad
tidak berlaku jika ada nash yang qath’ī (pasti) dalam suatu masalah. Dalam hal
ini telah ada nash yang qath’ī yaitu surat al-Nisa’ ayat 3 yang membolehkan
poligami. Jika ada nash yang qath’ī, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang
qath’ī itu, apalagi jika hasil ijtihadnya membatalkan hukum dalam nash qath’ī i
itu. Dari beberapa uraian di atas dapat
dipahami bahwa boleh melakukan poligami bila suami bisa berlaku adil di antara
isteri-isterinya tanpa menganggap beda di antara isterinya yang muda dengan
yang tua. Poligami boleh dilakukan tanpa lebih dahulu meminta izin kepada
isteri sebelumnya. Dalam hal ini suami akan berdosa bila membedakan jumlah
giliran bermalam di antara isteri-isterinya dengan melebihkan hak bagi salah satu dan mengurangi
bagi yang lain.
Terdapat pengecualian pada isterinya yang baru saja ia kawini, di mana
suami diharuskan untuk bermalam sampai tujuh malam bila isterinya perawan dan
jika bukan perawan (janda) diharuskan bermalam sampai tiga malam. Syafi’ī,
al-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan berlaku adil kepada para isteri. Menurut
mereka berlaku adil ini hanyamenyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri
di malam atau di siang hari.[49]
Seorang suami yang hendak berpoligami
menurut ulama fiqh paling tidak memiliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana
yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri.
Kedua, harus memperlakukan semua isterinya dengan adil. Tiap isteri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lainnya.[50]
Persyaratan demikian, memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami yang
ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non
fisik, oleh Syafi’ī dan ulama-ulama Syafi’īyyah dan orang-orang yang setuju
dengannya, diturunkan kadarnya
menjadi keadilan fisik
atau material saja.
Para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya
adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami. Setelah dikaji sumber hukum poligami baik
al-Qur’an maupun dari hadīts, masih
belum ditemukan syarat poligami yang mengharuskan adanya persetujuan/izin
isteri sebelumnya terlebih dahulu jika seseorang mau berpoligami. Setelah ditelusuri bahwa poligami di samping
memiliki hikmah dan manfaat namun terdapat juga sisi kemudharatannya, maka
syarat izin poligami dari isteri mulai diwacanakan dan dipertimbangkan menjadi
salah satu syarat untuk sahnya berpoligami. Umumnya jika seorang laki-laki
berpoligami secara diam-diam tanpa ada pemberitahuan awal dari pihak laki-laki
kepada pihak isteri jelas hal semacam ini akan menimbulkan kemudharatan dan
akhirnya bermuara kepada kerusakan rumah tangga. Tujuan pokok hukum Islam
adalah merealisasikan kemashlahatan. Tidak semua persoalan umat disebutkan
secara tegas hukumnya atau dalilnya dalam al- Qur’an dan Sunnah, hal-hal yang
tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an dan Sunnah dapat diselesaikan
melalui qiyas. Banyak persoalan baru
yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur`ān dan sunnah, sehingga harus
diselesaikan dengan metode lain seperti mashlahah al-mursalah. Imam Al-Ghazali
menyatakan: Mashlahah itu berintikan menarik manfa`at dan menolak mudharat.
Sinonimnya adalah “munasabah (relevansi suatu sifat dengan hukum) yang
bersubtansikan memelihara tujuan hukum Islam. Tujuan itu ada yang berdimensi
keagamaan dan keduniaan. Ia terbagi kepada mewujudkan yang searti dengan
menarik manfaat dan melestarikan yang searti dengan menolak mudharat”.[51]
Dari sini lahirlah mashlahat (kebaikan) dan mafsadat (keburukan), berangkat
dari tujuan syara’ menciptakan kedamaian di alam semesta ini. Tujuan pokok
hukum Islam jelas merealisasikan kemashlahatan. Tidak semua persoalan umat
telah ditegaskan atau ada
dalilnya dalam al-Qur’an
dan sunnah, sehingga
dapat diselesaikan melalui qiyās. Akan tetapi sangat banyak persoalan
baru yang tidak ada sumber hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah, sehingga harus
diselesaikan dengan metode lain seperti mashlahah al-mursalah. Al-Ghazali menyatakan sebagai berikut:[52]
.ﺔﺤﻠﺼﻣ ﻮﻬﻓ ﺔﺴﻤﳋا لﻮﺻﻻا ﻩﺬﻫ ﻆﻔﺣ ﻦﻤﻀﺘﻳ ﺎﻣ ﻞﻜﻓ
.ﺔﺤﻠﺼﻣ ﺎﻬﻌﻓدو ةﺪﺴﻔﻣ ﻮﻬﻓ لﻮﺻﻷا ﻩﺬﻫ تﻮﻔﻳ ﺎﻣ ﻞﻛو
Artinya:
“Tiap-tiap sesuatu yang mengandung tujuan
untuk memelihara ashal al- khamsah (lima hal pokok) (agama, jiwa, `akal,
keturunan dan harta), maka sesuatu tersebut termasuk mashlahah. Dan tiap-tiap
sesuatu yang tidakmengandung ashal yang lima tersebut, maka sesuatu tersebut termasuk dalam mafsadah dan
menolak mafsadah tersebut adalah mashlahah”. [53]Menurut
Al-Ghazali mashlahah adalah memelihara tujuan
syara`, dengan memelihara ushul al-khamsah (lima hal pokok) yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka jika suatu penetapan hukum mengandung
tujuan memelihara ashal yang lima maka hukum tersebut termasuk dalam mashlahah.
Apabila sebaliknya suatu penetapan hukum tidak memelihara ashal yang lima maka
hukum yang ditetapkan tersebut termasuk dalam mafsadah dan menolak mafsadah
tersebut adalah termasuk dalam mashlahah. Dengan demikian tujuan meminta
persetujuan dari isteri sebelumnya
terlebih dahulu untuk
menikahi perempuan lain
adalah untuk memelihara agama,
akal, keturunan, dan harta, karena jika tidak ada persetujuan isteri untuk
berpoligami besar kemungkinan
akan terjadi kerusakan agama, keturunan pemeliharaan rumah tangga,
serta menimbulkan kemudharatan. Al-Ghazali menyatakan, setiap mashlahah kembali
kepada pemeliharaan maksud syara` yang diketahui melalui al-Qur’an , maupun
sunnah, ijma`, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus
dan tidak pula melalui metode qiyās.[54]maka dipergunakan
mashlahah al-mursalah, karena
jika memakai qiyās maka harus ada dalil dasar (maqis
`alayhnya). Cara mengetahui mashlahah yang sesuai dengan tujuan syara` itu
adalah dengan beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari al-Qur;ān, maupun
sunnah. Oleh sebab itu cara pengambilan mashlahah seperti itu disebut mashlahah
al-mursalah, artinya terlepas dari dalil-dalil secara khusus, tetapi termasuk
dalam petunjuk umum dari maksud syara` yang lima.[55]
ﻢﻬﺴﻔﻧ
و ﻢﻬﻨﻳد ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻆﻔﳛنا ﻮﻫو
ﺔﺴﲬ
ﻖﻠﳋاﻦﻣ عﺮﺸﻟادﻮ ﺼﻘﻣو
ﻢﳍﺎﻣو ﻢﻬﻠﺴ
ﻧ
و
ﻢ
ﻬﻠﻘ
ﻋو
Yang dimaksud dengan Qiyas
ialah: Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang
hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya
persamaan dari segi ‘ilat hukum. Terdapat empat unsur qiyas yang harus ada:
a.
ashal (dasar pokok).
b.
furu’(cabang).
c.
hukum ashal.
d. ‘illah.
Keempat unsur ini harus
ada di saat memutuskan hukum syara’. Metode qiyas jika dikaitkan dengan metode
Istislahiyah atau maslahah mursalah tentu sama dari segi pengistimbatan hukum
dan cara kerjanya. Misalnya al-Qur’an memerintahkan berbuat baik kepada kedua
orang tua dan tidak mengatakan “ah” kepada keduanya. Hukum memukul kedua orang
tua diqiyaskan kepada larangan tersebut karena adanya kesamaan ‘illat yaitu sama-sama
menyakiti, bahkan memukul lebih utama (awlā) untuk dilarang dari pada
menyatakan “ah
5. Memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
akal pikiran, memelihara keturunan dan memelihara harta. Dari pernyataan Al-Ghazali tersebut dapat
dipahami bahwa, mashlahah (istishlah) menurut pandangannya adalah suatu metode
istidlal (mencari dalil) dari nash syara` yang bukan dalil tambahan terhadap
nash syara`, melainkan mashlahah tersebut
dijadikan sebagai salah
satu dalil syara`.
Dan menurut pandangan
al- Ghazali, mashlahah itu merupakan hujjah qath`īyah.[56]
(dalil yang kuat) selama mengandung arti memelihara maksud syara` walaupun
dalam penetapannya masih bersifat zhanni.
Lebih jauh lagi Imam
al-Ghazali menegaskan apabila mujtahid menafsirkan mashlahah dengan
pemeliharaan maksud syara`, maka tidak ada jalan untuk diperselisihkan dalam
mengikutinya, bahkan wajib
diyakini bahwa mashlahah seperti itu
adalah hujjah agama.
Sekiranya di dalam
suatu masalah itu
ada perselisihan atau pertentangan,
maka perselisihan tersebut
hanyalah perselisihan antara satu
mashlahah dengan mashlahah yang lainnya, Dalam hal ini bisa dilakukan
pentarjihan yakni memilih yang lebih kuat terhadap salah satunya. Dalam hal ini
Imam al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut:
.ﺮﺧآ ﺎﻬﺿرﺎﻌﺗ ﺔﺤﻠﺼﳌا
ﻩﺬﻫ نﻷ ...
Artinya:“…karena mashlahah
tersebut bertentangan dengan mashlahah lainnya”.
Mashlahah al-mursalah
adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang imam dalam kekuasaannya,
seperti kekuasaan imam untuk memerdekakan hamba sahayanya, membebaninya dengan
pekerjaan atau dengan menebus dirinya untuk merdeka. Tetapi
mashlahah tersebut sudah
dicantumkan dalam al-Qur’an
dan sunnah, yaitu dengan tujuan memelihara maksud syara`.[57]
Persetujuan isteri
terhadap suami yang
ingin berpoligami secara
metode istislahīyyah dapat diterima
karena melihat banyak
‘illat yang terdapat
dalam. Yang dimaksud dengan. Qath`īyah ialah: ayat-ayat yang dilalah
maknanya bersifat pasti, dalam arti, hanya mengandung satu makna saja. Misalnya
ayat-ayat yang menjelaskan tentang pokok- pokok keimanan, keesaan Allah,
keberadaan Rasul, tentang kitab-kitab suci yang diturunkan, tentang malaikat,
hari kiamat dan tentang tujuan-tujuan utama pensyari’atan hukum Islam (maqhasid
al- syari’ah), yaitu meraih manfaat dan kemaslahatan, serta menolak bahaya dan
kemudharatan. Sedangkan yang dimaksud dengan Zhannī ialah: Ayat-ayat yang
dilalah maknanya mengandung lebih dari satu makna. Meskipun keberadaan
teks/redaksi/nash/ semua ayat-ayat al-Qur’an bersifat pasti namun dari segi
makna yang terkandung di dalam ayat-ayatnya, terdapat banyak makna ayat yang
bersifat zhanni al-dalalah poligami
terutama pada sang isteri.
Dengan alasan bahwa poligami dapat menimbulkan kemudharatan kemaslahatan
bagi suami dan isteri juga keluarga. Suami yang berpoligami tanpa memberitahu
isteri sebelumnya, pernikahan semacam ini jelas akan menuai masalah besar dalam
rumah tangga, dengan alasan isteri tersakiti hatinya. Efek atau kemudharatannya
menimbulkan ketidaknyamanan, ketidaktentraman dalam rumah tangga, akhirnya
isteri mencari cara-cara yang negatif agar hubungan antara isteri baru dengan
suaminya terputus. Dengan demikian tampak bahwa syarat adanya persetujuan
isteri terhadap suami yang ingin melakukan poligami merupakan sesuatu yang
sangat diperlukan demi untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Menjaga
keharmonisan rumah tangga adalah bagian dari maqhasid al-syari’ah, karena
tujuan syara` dalam menetapkan suatu hukum untuk makhluk itu ada lima, yaitu:
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara
keturunan, dan memelihara harta.
Nabi Muhammad Saw. sangat
senang jika umatnya dapat menjalankan perintah Allah Swt. dan mensyiarkan
sunnah Rasulullah Saw. dengan baik dan tekun, karena salah satu tujuan dari
perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat.
C.Penutup
Syarat poligami dalam
fikih Syafi’īyyah yakni berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri dan
keluarganya, karena suami berkewajiban menanggung nafkah isteri-isterinya baik lahir maupun
bathin. Nafkah lahir yang dimaksudkan di sini ialah berupa
makanan dan minuman, pakaian, kediaman dan perobatan. Nafkah
bathin adalah pelayanan
atau pemenuhan nafsu
biologis sang isteri. Termasuk
syarat poligami dalam fikih Syafi’īyyah adalah memiliki kemampuan berlaku adil
terhadap para isteri dan keluarga, adil di sini meliputi adil dalam menyediakan
tempat tinggal, pakaian, makanan dan adil dalam giliran bermalam. Dalam fikih
Syafi’īyyah tidak didapati syarat adanya persetujuan isteri untuk berpoligami,
akan tetapi dibolehkan menambah syarat wadh’i dalam hal memelihara maksud
syarak selama syarat
tersebut tidak merubah
ketentuan- ketentuan syarak. Syarat adanya persetujuan isteri untuk
berpoligami hanya terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan instruksi Presiden Nomor1 Tahun
1999 tentang Kompilasi hukum Islam.
Syarat
adanya persetujuan isteri
untuk berpoligami sebagaimana
yang terdapat dalam hukum
positif menurut metodologi
ushul fikih Syafi’īyyah
sama sekali tidak memberi pengaruh apapun terhadap hukum bolehnya
berpoligami, maka poligami boleh dilakukan tanpa harus meminta persetujuan
terlebih dahulu kepada isteri sebelumnya.
Secara Metode Istislahiyyah (Mashlahah al-Mursalah),
syarat adanya persetujuan isteri untuk berpoligami dapat diterima, dengan
alasan bahwa poligami jika tidak mendapat persetujuan dari isteri sebelumnya
akan mengundang kemudharatan bahkan berakhir kepada rusaknya rumah tangga.
Sedangkan di dalam Islam diwajibkan memelihara agama, akal, harta, keturunan
dan kehormatan, upaya memelihara ke lima
hal ini metodenya
terdapat dalam mashlahah
al-mursalah dengan melihat berbagai pertimbangan baik tentang ’illat,
sebab, hikmah dan mudharat poligami, demi untuk terciptanya keluarga yang
sakīnah mawāddah, wa rahmah dan mendapat keridhaan dari Allah Swt. di dunia dan
di akhirat.
Tamat
DAFTAR
PUSTAKA
1. Al-Damanhury, Ahmad.
Idah al-Mubham min
Ma‘ani al-Sulam, Jeddah:
al- Haramain: t.th.
2.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bari
. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
3.
Anwar, Desi. Kamus Bahasa Indonesia
Modern, cet. 1. Surabaya: Amelia, 2002. 4. Basri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum
Islam Dalam Sistem Hukum Nasianal, cet.
I. Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 1999.
5.
Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa
Majlis Ulama Indonesia, cet. I. Jakarta:
Departemen Agama, 2003. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, edisi
revisi ke-4. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007.
6.
Fikih Wakaf, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, 2007. Panduan
Pemberdayaan Tanah Wakaf
Produktif Strategis diIndonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, 2007.
8.
Djazuli, Achmad & Thobieb
Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, cet.
IV. Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007.
9.
Firdaus, Ushul
Fiqh Metode Mengkaji
Dan Memahami Hukum
Islam Secara Konferehensif, cet.
I, Jakarta: Zikra Hakim, 2004.
10.
Halim, Abdul. Hukum Perwaqafan di
Indonesia, cet. I. Jakarta: Ciputat Pres, 2005.
11 Al-Haytami, Ibn Hajar. Tuhfah al-Muhtaj,
Juz. VI. Libanon: Darul Fukad, 1997.
11.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Imam Ahmad
Ibn Hanbal, juz I. T.tp: Dār Shādir, 1998.
12.
Ibn Katsir, Al-Hafiz, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim, juz I. Beirut: t.p, 1997.
13.
Ibrahim Al-Bajuri. Hasyiyah Al-Bajuri, jilid II. Semarang:
Maktabah wa Mathba’ah Putera, t.th.
14.
Karim, Helmi. Fiqh Mu'amalah,
cet. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
15.
Al-Kasani, Abu Bakr Ibn Mas’ud. Badai’
al-Sana’i Fi Tartib al-Syar’i, jilid VI. Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1971.
16.
Koto, H. Alaidin, Ilmu Fiqh dan Ilmu
Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
19.
Al-Mawardi, Abu Husayn Ibn Muhammad.
Al-Hawi al-Kabir, jilid VII. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
20.
Mujib, Ahmad & Ahmad Rodli
Hasbullah. Hadis -Hadis Muttafaq’alaih,
cet. I. Jakarta: Kencana, 2004.
21. Mujib, Ahmad, H. Ahmad Rodli Hasbullah.
Hadis -Hadis Muttafaq’alaih, Jakarta:
Kencana, 2004.
22.
Nazari, H.Rafi’i. “Illah dan Dinamika
Hukum Islam”, tesis. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990.
23.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
24.
Al-Rāfi‘iy, ‘Abd al-Karim bin Muhammad
bin ‘Abd al-Karim. Al-‘Aziz, Tahqiq Ali
25.
Muhammad Ma‘awwaz, juz VI. Beirut
libanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1997.
26.
Al-Syarakhsi, Al-Mabsut, jilid 11-12.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1993. 2. 27. Suhendi, Hendi. Fiqh Mu'amalah, cet. II. Jakarta: P.T, Raja Grafindo Persada, 2002.
28.
Wadjdy, Farid. Wakaf dan Kesejahteraan
Umat, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
[3] Tafsir
Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin
Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
[6].
Abdul Halim
Abu Syuqqah, Al-Mar’ah fī al-’Ashr al-Risālah, terj. As’ad Yasin, Kebebasan
Wanita, Cet, III, jilid V (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 17.
[7] Ahmad Tsar
Blezinki, Politik dan Poligami” dalam
www. Kompasiana.com, diakses tanggal 20 Januari 2011.
[8] Chandra Sabtia
Irawan, Perkawinan dalam
Islam Monogami Atau
Poligam,2007)
[9] 6Tim Nuansa
Aulia, Kompilasi Hukum
Islam (Hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan,hal; 103
[10].
Siti Musdah
Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 135.
[11].Nuraini Ishak,
Poligami (Mengapa Rasulullah Berbilang Isteri) (Kuala Lumpur: Pustaka al-
supaya amal yang umat Islam lakukan tidak terkesan mengada-ada, di bawah ini akan dijelaskan dasar hukum tentang
poligami.
[12]. Maisarah, dkk,
Wanita dan Islam (Kumpulan Tulisan Santriwati Dayah), cet. I (BandaAceh:
Lapena, 2006), hal,115.
[13]. Haji Abdul Malik
Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar 1982, hal,234.
[14]. Ibn Katsīr, Tafsīr
Ibn Kastīr, terj, hal,2003,
[15].Muhammad Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, cet. I
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal,322.
[16]. Ibid., 323.
[18]. Ibid., hal, 13.
[19]. Abdul Mustaqim,
Fazlur Rahman, Studi al-Qur’ān Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, cet. I. 2002, hal, 87- 184.
[21].
Rohardi Abdul
Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fikih Islam, Edisi II, Cet, I tth
[22] .Sunan Abi Daud,
Jilid VII (Software Maktabah al-Syāmilah, Versi 3,8, 2009), hal; 34.
[23]. Abd
al-Raḥmān Al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Alā
al-Madzahīb al-Arba‘ah (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikri 2003),hal, 212.
[24]. Maisarah, ddk,
Wanita dan Islam, hal118.
[29] Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 86.
[30] Kharuddin Nasution,
Riba dan Poligami.., 89.
[31] Muhammad Amin
Suma, Himpunan Undang-Undang, hal;386-387.
[32].
Abd Latif
al-Khatib al-Madrīs Aḥmad, Nufaḥāt ‘Ala Syarḥ
al-Waraqāt (Singapura: al Haramayn, t.th), hal,54.
[34] 33Ibn Ḥajr
al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, juz VIII (Beirut: Maktabah al-Miṣriyyah,
2001), hal.124.
[35]. Muḥammad al-Tahir
bin ‘Asyur, Usul
al-Qawa’id al-Khamsah (Kairo:
Dār al-Salām, 2005), hal.222.
[36]. Ibn Kastīr, Tafsir
al-Qur’ān al Aẓim, cet. VIII, Juz. I (Beirut: Dār
al-Ma’rifat, 1997), hal.460.
[38]. Abdul Latif
al-Khathib al-Madris, Ahmad, Nufahāt ‘Alā Syarh al-Warqāt..., hal,89.
(Semarang: Toha
Putra, t.th),hal, 40.
(Lebanon:
Dār al-Kutub, t.th),hal, 269.
[41].
Ibid, 270.
[42].
Ibn Katsir,
Jilid IV, Maktabah al-Syamilah, t.th, 41
[43]. Abdul Qadir
al-Dumi Tsumma al-Dimasyqi, Nuzhat al-Khathir Syarh Rawdhah al-Nazhīrwa Junat
al-Munazhīr, Juz II ( Beirut: Dār al-Ibn Hazm, 1995),hal, 123.
[48]. Abdi Arrahman bin
Abi Bakar al-Sayuthy, Al-Asybah Wa al-Nazha`ir.., 87.
[49]. Sayuthy, Nuzhat
al-Muta`ammil wa Mursyid
al-Muta`ahil Fi al-Khathib
Wa al Mutazawijah ( Beirut: Dār
al-amwaj, 1989), 17.
[50]. Khoiruddin
Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh
(Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), 103-105.
[51].Abd. Rahman
Do’i, Penjelasan Lengkap
Hukum-Hukum Allah (Syari’ah)
(Jakarta: Rajawali Press, 2002), 192.
[52]. Artinya: “Tujuan
(maksud) syara` menciptakan suatu hukum untuk makhluk ada
[53]. Abu Ḥamid
Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazāly,
Syifa’ Al-Ghalīl Bayan al-Syabh al- mukhīl wa Masālik al-Ta‘līl (Baghdad:
Mathba`ah al-Irsyad, 1971), 159.
[54] Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazāly, al-Mushtashfa Min ‘Ilm al-Ushul, Cet,
II (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub, 1971), 217.
[56]
Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh..., hal,122 dan 162.
Komentar