HAJI
3. Jawaban Soal Ujian Semester Pertengahan
Masalah Mengapa Allah Swt Mewajibkan Haji Bagi Hambanya
Mengawali
Pembahasan dengan mengucapkan:
بسم الله الرحمن الرحيم الحمدلله
الذى جعل كلمة التوحيد لعباده حرزا وحصنا وجعل البيت العتيق مثابتة للناس وأمنا
وأكرمه بالنسبة الى نفسه تشريفا وتحصيناومنا وجعل زيارته والطواف به حجابا بين
العبد وبين العذاب ومجنا والصلاة على محمد نبى الرحمة وسيد الأمة وعلى آله وصحبه
قادة الحق وسادة الخلق وسلم تسليما كثيرا أمابعد
A. Haji
Haji
merupakan rukun Islam yang terakhir berdasarkan Hadits Nabi Saw[1]
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ
يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ
رَمَضَانَ وَالْحَجِّ فَقَالَ رَجُلٌ
الْحَجُّ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ لَا
صِيَامُ رَمَضَانَ وَالْحَجُّ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak),: mentauhidkan (mengesakan)
Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan hajji”. Seorang
laki-laki mengatakan: “Haji dan puasa Ramadhan,” maka Ibnu Umar berkata:
“Tidak, puasa Ramadhan dan haji, demikian ini aku telah mendengar dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.
pendapat
Ulama yang mengatakan Puasa lebih utama berdasarkan hadis nabi
sallallahu’alaihi wassalam:[2]
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ
عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ
الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ
وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha
illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar
zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”.
Ia
juga ajaran Nabi-nabi yang terdahulu, menurut sebuah riwayat, Nabi Adam a.s
melakukan haji berangkat dari India menuju ke Ka`bah berjalan kaki sebanyak 40
kali. Jibril mengkhabari Nabi Adam bahwa para malaikat telah melakukan tawaf
7000 tahun sebelumnya[3].
Dalam
Islam (ummat Rasulullah Muhammad saw) haji diwajibkan pada tahun ke enam
hijriyah ada juga yang berpendapat pada tahun ke lima hijriyah. Rasulullah
sangat banyak melakukan haji (ibadah dalam bentuk haji, Ibnu Hajar) sebelum
kenabian dan sebelum hijrah. Sesudah hijrah hanya haji wida` saja yang sempat
beliau kerjakan. Haji menurut pengertian Syara` ialah mengunjungi ka`bah untuk
mengerjakan sebuah ibadah yang telah ditetapkan ketentuan-ketentuannya demi
memenuhi titah Allah swt dan mengharap ridha-Nya.
Haji
ke Baitullah setiap tahun adalah fardhu kifayah bagi ummat Islam seluruhnya.
Wajib bagi setiap muslim yang terpenuhi olehnya syarat-syarat wajibnya haji
sekali seumur hidupnya. Lebih dari sekali adalah sunnat hukumnya. Haji
merupakan salah satu rukun Islam. Ia merupakan jihad bagi wanita muslimah,
berdasarkan sebuah Hadits :
عن عائشة رضى الله عنها قالت : يا رسول الله هل على النساء جهاد ؟
قال : نعم، عليهن جهاد لاقتال فيه الحج والعمرة (رواه الإمام أحمد وابن ماجه
بإسناد صحيح)
“Dari Aisyah r.a bahwasanya ia berkata ; “Wahai
Rasulullah, wajibkah wanita berjihad?” Rasulullah menjawab “Ya, wajib bagi
wanita suatu jihad yang tidak ada peperangan padanya, yaitu Haji dan Umrah”
Haji
mempunyai syarat-syarat umum bagi laki-laki maupun perempuan, yaitu Islam,
baligh, berakal dan kemampuan di sisi bekal dan harta. Syarat khusus bagi
wanita adalah adanya suami walau fasiq, di dibolehkan suami yang fasiq karena
seorang suami dalam kefasiqannya mempunyai rasa cemburu terhadap isterinya atas
perbuatan yang hina atau adanya mahram (laki-laki yang haram mengawininya) baik
mahram nasab seperti bapak, anak dan saudara laki-lakinya, atau mahram ridha`
(sesusuan) maupun mahram mushaharah (perkawinan) seperti bapak suaminya, anak
laki-laki suaminya atau suami ibunya walaupun mahram ini fasiq, karena dasar
yang telah terdapat pada suami.
Jika
tidak ada laki-laki yang telah tersebut di atas maka disyaratkan adanya tiga
orang maka lebih banyak dari golongan wanita balighah terpercaya keadilannya
walaupun seorang hamba sahaya. Wanita balighah yang menjadi temannya tidak
disyaratkan mempunyai mahram. Seorang wanita wajib membayar upah standar jika
mereka (suami, mahram atau wanita yang adil) tidak berpergian kecuali untuk
menemaninya berhaji, ia tidak boleh memaksa mahramnya atau suaminya untuk menemaninya
kecuali jika suami telah membatalkan hajinya dan wajib haji isterinya
terhadapnya, maka suami harus menemani isterinya untuk berhaji tanpa ada upah.
Jika
tidak ada orang yang tersebut di atas maka tidak wajib bagi seorang wanita
berhaji dan tidak wajib diqadhakan hajinya dari harta peninggalannya.
B. RUKUN
HAJI
Rukun
haji adalah amalan yang harus dikerjakan dalam haji, jika salah satu rukun haji
ditinggalkan maka haji tersebut tidak sah dan haji yang batal tersebut hukumnya
wajib diqadha. Meninggalkan salah satu rukun haji tidaklah boleh diganti dengan
Dam (denda karena malakukan larangan haji) berbeda dengan meninggalkan wajib
haji. Rukun-rukun haji adalah[4] :
1.Ihram
Ihram merupakan rukun yang pertama yang wajib dilaksanakan oleh jama`ah haji,
ihram ini ibarat takbiratul ihram dalam sembahyag. Berarti bila ia telah
berihram maka wajib baginya menunaikan seluruh apa yang menjadi rukun dan wajib
haji dan menjauhi seluruh larangan-larangannya. Ihram adalah berniat
mengerjakan haji. Disunatkan melafadhkannya (mengucap dengan lisan) dan
talbiyah. Lafadhnya adalah ;
نويت الحج وأحرمت به لله تعالى لبيك اللهم لبيك لاشريك
لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لاشريك لك
2. Wukuf di
`Arafah
Wukuf
di `Arafah adalah berada sejenak di padang Arafah walau dalam keadaan tertidur,
dalam perjalanan mencari sesuatu, tidak tahu sudah sampai di tempat `Arafah
atau tidak tahu sudah sampai waktu untuk berwukuf.[5]
Syaratnya adalah seorang muslim harus ahliyah ibadah (orang yang dianggap sah
ibadahnya), karena itu tidak sah wukuf orang yang pitam, mabuk secara sengaja
atau bukan dan gila. Waktunya mulai dari tergelincir matahari pada tanggal 9
Dzulhijjah sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah. Jika seseorang
meninggalkan tempat wukuf sebelum terbenam matahari disunatkan baginya
menyembelih seekor kambing. Tempat wukuf yang afdhal untuk perempuan adalah
pinggiran tempat wukuf, jika tidak dikhawatirkan adanya bahaya.
-Wanita
boleh berwukuf dalam keadaan berhaidh, karena suci bukanlah salah satu syarat
wukuf.
3.
Tawaf Ifadah dan segala Syarat tawaf :[6]
a.
Suci dari hadats kecil dan besar
b.
Suci badan, pakaian dan tempat dari
najis
c.
Menutup aurat
d.
Berniat
e.
Tawaf dilakukan di dalam mesjid
f.
Di mulai dari hajar aswad dan
disudahi di hajar aswad pula
g.
Mengirikan ka`bah
h.
Di Hijr Ismail dan dinding di atas
Syazarwan (diding tempelan yang rendah melekat di ka`bah atau bagian bawah kaki
ka`bah). Semua bangunan tersebut tidak boleh disentuh saat bertawaf, karena ia
akan membatalkan putaran yang sedang dilakukan. Jika tersentuh maka untuk
putaran tersebut wajib diulangi lagi.
i.
Putaran dilakukan dengan sengaja,
karena itu bila ia terbawa karena desakan maka ia harus mundur ke tempat semula
ia terdesak.
j. Tidak
ada tujuan lain, maka jika sesorang perempuan mempercepat langkahnya dengan
tujuan agar tidak tersentuh laki-laki atau sebaliknya tidak diperhitungkan
langkah yang telah ia lewati sebagai tawaf.
Ø Disunatkan
melakukan shalat sunat tawaf sesudah tawaf
Ø Disunatkan tawaf dengan berjalan kaki
jika tidak ada kesulitan
Ø Disunatkan
berniat
Ø
Tidak ada batasan khusus untuk waktu
tawaf, namun dimakruhkan
menundanya
hingga hari raya apalagi jika sampai hari tasyrik
Ø
Perempuan
disunatkan melakukan tawaf jauh dari ka`bah
Ø Perempuan disunatkan Istilam (mengusap Hajar
Aswad) ketika tidak ada Ajnabi (lelaki yang halal menikahinya) di tempat tawaf,
jika ada Ajnabi maka tidak disunatkan Istilam tersebut.
Ø
Perempuan tidak disunatkan Ramal
(lari-lari kecil) dan Ishtiba` (mengepit kain selendang dengan ketiak kanan dan
mengyelendangkannya ke atas bahu kiri) ketika tawaf.
Ø Sunat bagi perempuan menyegerakan tawaf
Ifadhah, jika mereka takut didahului oleh datangnya haid dan sempit waktu.
Ø Disunatkan mengerjakan tawaf pada waktu
malam jika ia cantik atauØ mulia (tidak menampakkan diri kepada
laki-laki).
4. Sa`i
Sa`i
adalah berjalan antara Safa (kaki bukit Abi Qubais) dan Marwah sebanyak 7 kali
dimulai dari safa. Perhitungannya adalah mulai dari safa 1 kali dan kembali
dari Marwah 1 kali hingga akhirnya (kali ke-7) dari safa. Tempat sa`i adalah di
dasar lembah dan waktu melakukan sa`i adalah sesudah tawaf ifahdah atau jika
belum berwuquf boleh melaksanakannya sesudah tawaf qudum dan ini terlebih
afdhal serta tidak perlu lagi mengulanginya setelah tawaf ifadhah bahkan
hukumnya makruh. Jika telah terlebih dahulu berwukuf maka sa`i harus
dilaksanakan setelah tawaf ifadhah, jika bukan demikian maka tidaklah sah
sa`inya. Andai seorang jama`ah haji datang dari `arafah menuju ke Mekkah
(Mesjidil Haram) sebelum perpertengahan malam disunatkan baginya tawaf qudum
dan tidak boleh melakukan sa`i sesudahnya, namun sa`i hanya boleh di lakukan
setelah tawaf ifadhah.
Ø Disunatkan
bagi perempuan mendaki safa dan Marwah jika tidak ada Ajnabi atau jika ragu
bila tidak mendaki, namun sekarang batasan keduanya tidak perlu diragukan lagi
karena sudah pasti.
Ø
Disunatkan
terhadap perempuan berjalan seperti biasa dalam seluruhØ
perjalanannya, walau dalam keadaan sunyi (tidak ada Ajnabi) atau malam
hari.
Ø Perempuan tidak disunatkan Ramal (lari-lari kecil) dan Ishtiba`Ø
(mengepit kain selendang dengan ketiak kanan dan mengyelendangkannya ke atas
bahu kiri) ketika sa`i.
Ø Disunatkan mengerjakan sa`i pada waktu
malam jika ia cantik atau muliaØ (tidak menampakkan diri kepada
laki-laki).
Ø
Tidak ada batasan khusus untuk waktu sa`i,
namun dimakruhkanØ menundanya hingga hari raya apalagi
jika sampai hari tasyrik
5.
Menghilangkan rambut
Paling
kurang tiga helai rambut kepala harus dihilangkan untuk sahnya menghilangkan
rambut kepala. Untuk perempuan lebih baik menghilangkan rambut dengan cara
menggunting sepanjang satu ruas jari. Tidak ada batasan khusus untuk waktu
menghilangkan rambut, namun dimakruhkan menundanya hingga hari raya apalagi
jika sampai hari tasyrik[7]
6.
Tertib pada sebagian rukunnya. Susunan
tertib rukun haji adalah :
1.
Ihram
di dahulukan dari seluruh rukun yang lain
2.
Wukuf di dahulukan dari tawaf rukun
(ifadhah) dan menghilangkan rambut
3.
Tawaf di dahulukan dari sa`i, jika
belum melakukan sa`i sesudah tawaf qudum Rukun umrah adalah rukun haji kecuali
wuquf di `Arafah dan wajib tertib menurut susunan, menunda menghilangkan rambut
hingga setelah bersa`i, pada seluruh rukunnya.
C. WAJIB HAJI
Wajib
haji adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan harus membayar dam, wajib haji
adalah ;[8]
1.
Ihram di Miqat Makani Miqat Makani
(tempat ihram) untuk jama`ah haji indonesia gelombang pertama (yang terlebih
dahulu menuju ke Madinah) adalah Dzul Hulaifah atau Bir Ali, sedangkan untuk
gelombang terakhir (yang langsung menuju ke Mekkah) adalah Jeddah (Bandara King
Abdul Aziz). Asal miqat makani bagi jama`ah yang datang dari Tihamah adalah
Yalamlam. Karena jauh antara Yalamlam dan Jeddah sama-sama 2 marhalah dan
letaknya juga sejajar dengan Yalamlam maka boleh bagi jama`ah gelombang kedua
berihram di Jeddah. Apabila seorang jama`ah tidak berihram dengan sengaja atau
tidak pada tempat yang telah ditentukan maka ia harus kembali ke miqat tersebut
atau tempat lain yang sama jaraknya dengan miqat untuk berihram, jika ia tidak
kembali maka ia harus membayar dam satu ekor kambing. Waktu ihram (Miqat
Zamani) untuk haji adalah mulai satu Syawwal sampai terbit fajar pada tanggal
10 Dzulhijjah. Jika seseorang berihram pada selain bulan tersebut maka ihramnya
menjadi ihram umrah (diperhitungkan ihram haji tersebut menjadi ihram
umrah).
ØWanita boleh berihram dalam keadaan
berhaidh, karena suci bukanlahØ salah satu syarat ihram.
2.
Mabit di Muzdalifah[9]
Mabit di Muzdalifah
maksudnya adalah berada di Muzdalifah pada pertengahan kedua dari malam nahar
(lebaran) setelah wuquf di `Arafah. Tidak disyaratkan berhenti di sana atau
mengetahui bahwa tempat tersebut adalah Muzdalifah, namun dianggap sah mabitnya
walau hanya melaluinya saja atau berada di sana dalam keadaan tertidur atau
berada disana untuk kepentingan lainnya. Jika seorang jama`ah tidak berada di
sana pada waktu tersebut atau berada di sana dan berangkat meninggalkannya
sebelum pertengahan kedua malam dan ia tidak kembali lagi sebelum fajar maka ia
harus membayar dam. Namun demikian jika ia meninggalkannya karena rasa takut
atau sampai di `Arafah pada malam nahar atau penuh kesibukannya dengan wukuf
atau berangkat dari `Arafah langsung menuju ke Mekkah untuk melaksanakan tawaf
rukun karena itu ia tidak sempat bermabit di Muzdalifah maka tidak perlu
baginya membayar dam.
ØDi sunatkan
terhadap wanita jika tidak ada fitnah dan orang yang lemahØ
sesudah pertengahan kedua untuk berangkat menuju ke Mina.
ØDi Muzdalifah
para jama`ah memilih kerikil untuk melontar jamarah padaØ
ke esokan harinya.
3. Mabit di Mina Maksud
mabit di Mina adalah berada di Mina pada sebagian besar waktu malam (lebih dari
½ malam) ke sebelas, duabelas dan ke tiga belas. Namun jika ia berangkat
sebelum terbenam matahari hari ke dua dan melempar jamarah pada siang harinya
maka hukumnya adalah boleh dan ia tidak perlu lagi bermabit pada malam ke tiga
serta tidak perlu membayar dam. Melontar Jamarah
a. Jamarah `Aqabah. Jamarah ini dilontar
setelah perpertengahan kedua malam nahar, waktu yang afdhal untuk melontar
jamarah ini adalah setelah tergelincir matahari pada hari nahar dengan 7 biji
batu atau yang dinamakan batu, seperti permata, batu cincin dan lain
sebagainya.
b. Jamarah tiga hari tasyrik, setiap satu
hari dari tiga hari tasyrik dilempar tiga jamarah, setiap jamarah 7 biji batu.
Wajib terlebih dahulu melempar untuk hari pertama, kemudian untuk jamarah
pertama dan selanjutnya ke dua dan ke tiga. Tidak boleh seorang jama`ah
melempar jamarah orang lain sebelum ia melempar jamarah dirinya. Tidak boleh
memalingkan niat dari nusuk dalam pelemparan jamarah. Bila telah berangkat dari
mina setelah melempar jamarah hari kedua maka ia tidak perlu lagi melempar
untuk hari ketiga. Jika tidak sempat melempar pada suatu hari, maka ia
melemparkannya pada hari berikutnya, jika tidak ia harus membayar dam
4. Tawaf Wida`[10]
Apabila
seorang jama`ah ingin keluar dari kota Mekkah setelah selesai mengerjakan
seluruh rukun haji, maka ia melakukan tawaf wida` (perpisahan), ia tidak boleh
menetap di Mekkah setelah melakukan tawaf wida` tersebut, jika ia menetap
setelah melaksanakannya ia wajib mengulanginya kembali. Jika seorang jama`ah
keluar dari kota Mekkah tanpa melakukan tawaf wida` sudah melewati batas
musafah qashar (batasan yang boleh mengqashar sembahyang) atau belum melewati
musafah qashar namun ia tidak kembali ke Mesjidil Haram untuk melakukan tawaf
wida` atau ia telah melakukan tawaf wida` namun masih menetap di Mekkah setelah
melaksanakannya dan tidak mengulanginya kembali atau meninggalkan satu kali
putaran maka ia wajib membayar Dam kamil (satu ekor kambing atau biri-biri),
kecuali wanita yang berhaidh, boleh baginya keluar dari kota Mekkah tanpa
melakukan tawaf wida`. Jika wanita tersebut suci (habis masa haidh) dan ia
masih berada dalam daerah yang terdapat bangunan-bangunan kota Mekkah maka
wajib baginya tawaf wida`, kecuali jika ia telah berada pada tempat yang tidak
terdapat lagi bangunan-bangunan kota Mekkah walaupun masih dalam daerah Tanah
Haram maka tidak wajib baginya tawaf wida`.
D. LARANGAN DALAM IHRAM
1. Menutup muka dan
memakai sarung tangan, kecuali jika berhajat seperti karena sangat dingin atau
sangat panas. Boleh bagi perempuan memakai pakaian yang berjahit.[11]
2. Memakai
wangi-wangian pada pakaian atau badan dan minyak rambut di kepala atau jenggot.
Dimakruhkan mandi memakai sabun mandi dan shampo yang berfungsi untuk
membersihkan.
3. Menghilangkan
bulu/rambut dengan mencukur atau lainnya dan mengerat kuku tangan atau kaki
kecuali karena uzur. Dam untuk sehalai rambut atau satu kuku adalah satu mud
makanan, dua helai atau dua kuku adalah dua mud dan untuk tiga helai maka lebih
adalah dam kamil (satu ekor kambing)
4. Bersenggama dan pendahuluannya sebelum
tahallul kedua. Maksud bersenggama di sini adalah mengeluarkan mani dengan cara
apapun. Jima` atau bersenggama dapat membatalkan haji jika terjadi sebelum
tahallul pertama dan ia harus membayar denda se ekor unta. Dalam keadaan tidak
sah haji atau umrahnya ia wajib menyempurnakan seluruh rukun-rukunnya dan
mengkadhanya sesegara mungkin sekalipun hajinya haji sunat karena dalam masalah
haji jika telah berihram wajib menyempurnakan seluruh kewajibannya, berbeda
dengan ibadah sunat yang lain dimana dengan membatalkannya berarti keluar dari
ibadah tersebut.
5. Memakan binatang buruan darat.
6. Berburu binatang
darat dan mencabut kayu atau memotong ranting kayu dalam tanah Haram Mekkah, Madinah
maupun di lembah Thaif.
7. Jika dilanggar hal
yang telah tersebut di atas maka wajib membayar dam dengan menyembelih kambing
dan dibagikan ke fakir miskin Mekkah, jika tidak mampu maka puasa 7 hari di
Mekkah dan 3 hari dikampung halaman.
E. MEMBEDAKAN ANTARA
LAKI-LAKI DAN WANITA
Dalam kaitannya dengan fiqh ibadat, haji/umrah merupakan salah satu ibadat
yang pada sebagian bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaannya membedakan antara
laki-laki dan wanita. Pembahasan berikut ini akan mengetengahkan tata-cara
pelaksanaan haji/umrah khusus untuk wanita, dengan merujuk kepada beberapa
literatur fiqh Syafiiyyah. Bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaan haji/umrah
khusus untuk wanita dapat dirincikan sebagai berikut:[12]
1.
Harus
didampingi oleh mahram/suami, atau beberapa wanita terpercaya. Ini merupakan
salah satu syarat kesanggupan (istitha'ah) bagi wanita, di mana istitha'ah itu
tak lain adalah salah satu syarat wajib haji/umrah. Artinya, jika syarat ini
tidak terpenuhi maka seseorang wanita tidak wajib menunaikan haji/umrah, karena
dianggap tidak memiliki kesanggupan. Meskipun demikian, jika seseorang wanita
merasa yakin terhadap keamanannya dalam melaksanakan haji atau umrah sendirinya
(tanpa pendampingan), maka dibolehkan melaksanakannya jika haji/umrah itu
fardhu. Tetapi pelaksanaan ini tidak bersifat wajib. hanya saja dibolehkan
(jawaz).[13]
2.
Harus
mendapatkan izin suami bagi yang mempunyai suami, karena melayani (khidmah)
suami sifatnya segera. Sedangkan kewajiban haji/umrah sifatnya bisa diundurkan
pelaksanaannya (tarakhkhi).[14] Jika seorang isteri
melakukan ihram tanpa izin suaminya, maka boleh bagi sang suami memaksanya
ber-tahallul, dan terhadap isteri wajib ber-tahallul, baik haji/umrah itu wajib
atau sunnat. Seandainya isteri bersikeras tidak mau ber-tahallul, padahal
keadaannya memungkinkan ber-tahallul, lantas suami menggaulinya, maka dalam hal
ini isteri tersebutlah yang berdosa, sedangkan suaminya tidak berdosa.[15]
Jika sedang ber-`iddah karena
meninggal suami, haram terhadap wanita berangkat menunaikan haji/umrah, jika
pada saat meninggal suaminya ia belum masuk ke dalam ihram. Adapun jika
terdahulu ihramnya atas meninggal suami, maka boleh baginya berangkat menunaikannya.[16]
3.
Jika
seorang wanita, telah diceraikan dan sedang ber-`iddah, maka boleh bagi mantan
suami melarangnya menunaikan haji/umrah agar menyelesaikan ‘iddah-nya terlebih
dahulu. Seandainya wanita itu bersikeras pergi haji/umrah, maka dalam hal ini
tidak boleh bagi mantan suami memaksanya ber-tahallul jika ‘iddah yang sedang
dijalani merupakan ‘iddah dari talak ba-in. Sebaliknya, jika ‘iddah itu raj'i,
dan mantan suami pun me-ruju' di dalam masa ‘iddah-nya, maka setelah ruju'
dibolehkan bagi suami memaksanya ber-tahallul.[17]
4.
Disunnatkan
terhadap wanita sebelum masuk ke dalam ihram menggunakan inai pada dua telapak
Langan sampai kepada pergelangannya. Demikian juga disunnatkan menggunakan
sedikit inai pada wajah agar menutupi warna kulitnya. Adapun sesudah ihram maka
dimakruhkan menggunakan inai.[18]
5.
Dimakruhkan
terhadap mereka mengucap talbiyyah dengan suara yang keras. Tetapi cukup dengan
ukuran mendengar oleh dirinya sendiri.[19]
7. Diharamkan terhadap mereka menutup muka di
dalam ihram, sama halnya seperti menutup kepala bagi laki-laki. Adapun selain
muka, maka wajib ditutupi.
8. Dibolehkan terhadap mereka mengulurkan kain
dari kepala ke muka dengan cara merenggangkannya dari muka dengan kayu atau
lainnya, meskipun hal dilakukan bukan karena suatu kebutuhan. Hukum ini bisa
saja berubah menjadi wajib jika is meyakini timbulnya fitnah dengan sebab
membiarkan muka dalam keadaan terbuka.[20]
9. Dibolehkan terhadap mereka di dalam ihram
memakai pakaian yang meliputi badan (muhith), kecuali sarong tangan (quffaz).
Meskipun demikian, jika ingin menutupi telapak tangannya, maka dibolehkan
dengan cara membalut kain yang lain di atasnya.[21]
10. Tidak disunnatkan terhadap mereka pada saat
thawaf mengusap Hajar Aswad (istilam). Demikian juga tidak disunnatkan
mengecup, dan meletakkan dahi kepadanya, kecuali dilakukan tiga hal tersebut
pada saat sunyi area thawaf dari kaum laki-laki.
11. Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan
thawaf dengan mendekat kepada ka'bah, kecuali pada saat sunyi area thawaf dari
kaum laki-laki.[22]
12. Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan
iththiba'.[23]
dan lari-lari kecil (raml) dalam thawaf. Kedua perbuatan ini bisa saja berubah
menjadi haram jika dilakukan dengan tujuan menyerupai laki-laki. [24]
13. Tidak disunnatkan terhadap mereka lari-lari
kecil dalam sa'i, tetapi cukup bagi mereka berjalan seperti biasanya saja.[25]
14. Disunnatkan terhadap mereka dalam pelaksanaan
wuquf untuk ber-wuquf pads pinggiran mauqif (tempat wuquf). Artinya, kepada
mereka tidak dianjurkan ber-wuquf pada tempat yang dianjurkan ber-wuquf
terhadap laki-laki, yakni pada batu besar tempat wuquf-nya Rasulullah SAW.
Demikian jugs tidak dianjurkan ber-wuquf pads tempat yang berdesak-desakan
dengan laki-laki.[26]
15. Disunnatkan terhadap mereka jika memungkinkan,
agar berangkat ke Mina sebelum terbit fajar untuk melempar jamrah 'aqabah pada
hari ke-10 zulhijjah, karena menghindari dari berdesak-desakan. [27]
16.
Disunnatkan terhadap mereka jika ingin menyembelih kurban atau hadiah untuk
mewakilkan penyembelihannya kepada laki-laki. [28]
17. Tidak disunnatkan terhadap mereka mencukur
rambut ketika ber-tahallul, tetapi cukup dengan menggunting saja.[29]
18. diwajibkan thawaf wida' terhadap mereka, jika
saat ingin meninggalkan Makkah mereka dalam keadaan haid atau nifas, tetapi
disunnatkan berdiri pada pintu masjid al-haram, dan memanjatkan doa yang telah
ditentukan. [30]
19.Jika datang
haid atau nifas sebelum melakukan thawaf rukun (thawaf ifadhah), dan tidak memungkinkan
menetap di Makkah untuk menunggu datangnya suci, maka kepada wanita seperti ini
diberikan dua jalan keluar, yaitu: pertama, langsung berangkat dari Makkah
tanpa melakukan thawaf, lantas ketika telah sampai pada satu tempat yang sukar
untuk kembali lagi ke Makkah darinya, maka mereka ber-tahallul di sini, sama
seperti orang yang tertawan. Sedangkan thawaf tetap wajib dalam tanggungannya.
Kedua, melakukan thawaf dalam kondisi haid atau nifas dengan cara ber-taqlid
kepada Abu Hanifah atau Ahmad ibn Hanbal, yang berpendapat boleh bagi wanita
seperti ini melakukan thawaf, dengan resiko menanggung dosa serta wajib
menyembelih satu unta. Berdasarkan pendapat ini, maka terlepaslah zimmah wanita
ini dari kewajiban thawaf.[31]
F. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengkhususan tata
cara pelaksanaan haji/umrah terhadap kaum wanita dengan berbagai bentuknya,
bertujuan untuk menjaga dan melindungi mereka dari berbagai bentuk gangguan dan
ketidak-nyamanan mereka di dalam melakukan ibadat ini. Hal ini terlihat jelas
dari alasan-alasan hukum yang terdapat di dalam setiap rincian di atas.
Alasan-alasan hukum yang dapat ditangkap dari uraian tersebut selalu
berorientasi kepada pemberian rasa aman terhadap fisik, harta, dan kehormatan
mereka. Dengan demikian, pembedaan tata cara ini merupakan salah satu bentuk
perhatian khusus dari syara' dalam menjaga dan melindungi harkat dan martabat
wanita.
أعلم
بالصواب والله
Referensi
Al-Mahalli. Jalal al-Din. Karz al-Raghibin 'ala Syarh
Minhaj al-Thalibin, Jld. II Cet. 1, Kairo: Dar Ihya' al-Kutub at-`Arabiyyah,
1923;
Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-Idhah fi Manasik
al-Hajj wa al-'Umrah, Cet. V, Makkah: Maktabah al-Imdadi ah 2003;
Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-'Abbas,
Nihayah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. III, Beirut: Dar al-Fikr, 2004;
Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa
al-Nazha'ir fi al-Furu', Cet. H, Jeddah: al-Haramain, 1960;
Ibrahim al-Bajuri, Hasyryah al-Bajuri 'ala Syarh ibn
Qasim al-Ghazi 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, Jeddah: al-Haramain, t.t;
Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah
al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. IV, Beirut: Dar al-Filer, t.t.
[1] Al-Suyuthi,
Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhairfi al-Furu', Cet. II,
(Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 151-152
[2] Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah
at-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, J1d. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 24-25
[3] Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-`Abbas,
Nihayah al-Muhlaj bi Syarh al-Minhaj, Jid. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004),
hlm. 251
[4] A]-Ramli, Nihayah..., hlm. 368
[5] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn
Qasim al-Ghiri 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, (Jeddah: al-Haramain, U), hlm.
177
[6] Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-ldhah fi Manasik
al-Haj wa al-'Umrah, Cet. V, (Makkah: Maktabah at-lmdadiyyah. 2003), hlm. 51
[7] A]-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 129
[8] AI-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 144
[9] AI-Nawawi. Kitab al-ldhah..., hlm. 152
[10] ibn Hajar at-Haytami, Tuhfah..., hlm. 165
[11] Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 84. Lihat
juga, Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 236
[12] Iththiba' adalah menjadikan bagian tengah kain rida'
atau kain penutup badan berada dibawah bahu kanan, tepatnya dibawah ketiak
kanan, dan membiarkan bagian atas bahu kanan dalam keadaan terbuka. Sedangkan
dues ujung kain tersebut ditempatkan di stns bahu kiri. Lihat, Al-Nawawi, Kitab
al-Idhah.... hlm. 207
[13] Al-Ramli, Nihayah..., hlm. 287
[14] A1-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 260
[15] Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 283
[16] Al-Mahalli, Jalal al-Din, Karz al-Raghibin 'ala
Syarh Minhaj al-Thalibin, Jid. 11, Cet. 1, (Kairo: Dar lhya' al-Kutub
al-`Arabiyyah, 1923), hlm. 116
[17] A I-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 331
[18] Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 348
[19] AI-Nawawi, Kitab al-dhah..., hlm. 405-407
[20] Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 74-75
[1] Www.Qtafsr Hadis Riwayat . Muslim, No. (16)-19
[2]
Www.Qtafsr Hadis Riwayat Bukhari, No. 8
[3]
Mir'at Al Uqul, Xvii, Hlm 17; Al Kafi Iv/194
[4] Al Wafu, Hlm 24; Al Wasa'il, VIII, Hlm 324
[5] Mi'rat Al Uqul, XVII, Hlm 18
[6]
Al-Mahalli. Jalal al-Din. Karz al-Raghibin 'ala Syarh
Minhaj al-Thalibin, Jld. II Cet. 1, Kairo: Dar Ihya' al-Kutub at-`Arabiyyah,
1923;
[7]
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn Qasim al-Ghiri 'ala
Matn Abi Syuja', Jld. II, Jeddah: al-Haramain, t.t;
[8]
Al-Mahalli. Jalal al-Din. Karz al-Raghibin 'ala Syarh
Minhaj al-Thalibin, Jld. II Cet. 1, Kairo: Dar Ihya' al-Kutub at-`Arabiyyah,
1923; Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa
al-'Umrah, Cet. V, Makkah: Maktabah al-Imdadi ah 2003;
[9] Al-Suyuthi, Jalal
al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazha'ir fi al-Furu', Cet. H, Jeddah:
al-Haramain, 1960
[10] Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah
al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. IV, Beirut: Dar al-Filer, t.t.
[11]
Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah
al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. IV, Beirut: Dar al-Filer, t.t.
[12]
Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhairfi
al-Furu', Cet. II, (Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 151-152
[13]
Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah at-Muhtaj bi Syarh
al-Minhaj, J1d. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 24-25
[14]
Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-`Abbas, Nihayah al-Muhlaj bi
Syarh al-Minhaj, Jid. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 251
[15]
A]-Ramli, Nihayah..., hlm. 368
[16]
] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn
Qasim al-Ghiri 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, (Jeddah: al-Haramain, U), hlm.
177
[17]
Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-ldhah fi Manasik al-Haj wa al-'Umrah,
Cet. V, (Makkah: Maktabah at-lmdadiyyah. 2003), hlm. 51
[18]
A]-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 129
[19]
AI-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 144
[20]
AI-Nawawi. Kitab al-ldhah..., hlm. 152
[21]
ibn Hajar at-Haytami, Tuhfah..., hlm. 165
[22]
Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 84. Lihat juga,
Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 236
[23] Iththiba'
adalah menjadikan bagian tengah kain rida' atau kain penutup badan berada
dibawah bahu kanan, tepatnya dibawah ketiak kanan, dan membiarkan bagian atas
bahu kanan dalam keadaan terbuka. Sedangkan dues ujung kain tersebut
ditempatkan di stns bahu kiri. Lihat, Al-Nawawi, Kitab al-Idhah.... hlm. 207
[26]
Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 283
[27]
Al-Mahalli, Jalal al-Din, Karz al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin,
Jid. 11, Cet. 1, (Kairo: Dar lhya' al-Kutub al-`Arabiyyah, 1923), hlm. 116
[28]
A I-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 331
[29]
Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 348
[30]
AI-Nawawi, Kitab al-dhah..., hlm. 405-407
[31]
Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 74-75
Komentar