TAFSIR TEMATIK PERNIKAHAN
TAFSIR
TEMATIK PERNIKAHAN
MAKALAH
Diajukan
Memenuhi Persyaratan Lulus Mk Tafsir Tematik
Program Studi:
Hukum Keluarga Islam
Oleh
: Walid blg jruen
(ABDILLAH)
2018540573
DosenPembimbing :Muhammad
Syahrial Razali Ibrahim, MA, Ph.d
PROGRAM PASCA SARJANA
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN)
LHOKSEUMAWE
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Bissmilahirrahmanirrahim
Alhamdulillah segala puji syukur hanya untuk Allah dan telah mencurahkan
Rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dalam menyusun makalah
ini yang berjudul "
Pernikahan dan Wali Nikah".
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad
SAW. Dan keluarganya juga
para sahabatnya serta para pengikut nya yang serta sampai akhir zaman.
Makalah ini adalah makalah yang dapat memotifasi anda
untuk memperdalam tentang “ Tafsir Tematik ". Kami mencari isi yang tercantum dalam makalah ini dari sumber-sumber yang terkemuka dan dari
buku-buku yang membahas tentang hal yang bersangkutan.
Dalam menyusun makalah ini kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam isi, bentuk maupun
susunan kalimatnya akan tetapi berkat bimbingan dan dorangan serta do'a dari berbagai pihak maka kesulitan-kesulitan
yang kami hadapi, Alhamdulillah
dapat teratasi. Namun kami tetap menerima dan mengaharapkan kritik serta saran dari pembaca yang menuju ke arah kebaikan dan
kesernpurnaan dalam makalah ini.
Semoga apa yang kami usahakan ini kiranya dapat bermanfaat
bagi kami khususnya dan para pembaca umumnya,
Amin.
Lhokseumawe,
21 September 2018
Penyusun
A. PENDAHULUAN
Tafsir
adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan
Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan),
menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut
ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja
tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan
isinya. Tafsir Munakahat adalah bagian dari ilmu tafsir yang mengalami
perkembangan. yaitu, membahas tentang ayat-ayat yang menyangkut pernikahan
antara seorang lelaki dengan perempuan selain itu juga membahas tentang masalah
pasangan suami dan istri kedepannya nanti
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka
keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap
lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah
mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga
merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada
ketentuan-ketentuan tersendiri.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika mereka belum menikah maka mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang utuh, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
kehidupannya. Hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian
setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan.Maka mulai saat itulah
hak dan kewajiban mereka menjadi satu.Harta perkawinan merupakan modal kekayaan
yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari-hari suami istri dan anak-anak dalam suatu rumah tangga baik keluarga
kecil maupun keluarga besar.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya
adalah masalah sighat akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini
mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya
keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan
apapun.
Pernikahan merupakan sebuah fitroh manusia. Tuhan menciptakan manusia
berpasang-pasangan untuk saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama
lain. Sebagai makhluk sosial manusia secara praktis tidak dapat hidup sendiri.
Secara biologis, manusia berkebutuhan untuk menyalurkan hasrat yang sudah
menjadi fitrah basyariyah-nya. Oleh karenanya, Islam memberikan anjuran untuk
menikah sebagai suatu sunnah dan sebagai sarana untuk mendapatkan ketentraman
lahir dan batin. Selain itu, kebutuhan biologis manusia juga dapat terpenuhi
secara halal, sah dan mendatangkan berkah melalui pernikahan.
Pernikahan memang perkara yang sakral. Karenanya menikah bukanlah sekedar mencari tempat untuk bersenang-senang. Melainkan sebuah ikatan suci yang harus dijaga dan merupakan janji yang agung. Meski Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghalidhan”, pernikahan tidaklah seberat yang para rahib_ pendeta_ pikirkan, tetapi bukan pula sekedar penghalalan ‘koitus’ antar laki-laki dan perempuan saja.
Pernikahan memang perkara yang sakral. Karenanya menikah bukanlah sekedar mencari tempat untuk bersenang-senang. Melainkan sebuah ikatan suci yang harus dijaga dan merupakan janji yang agung. Meski Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghalidhan”, pernikahan tidaklah seberat yang para rahib_ pendeta_ pikirkan, tetapi bukan pula sekedar penghalalan ‘koitus’ antar laki-laki dan perempuan saja.
Islam memberikan jalan keluar akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
pemeluknya. Jika hasrat biologis manusia mulai meminta untuk dipenuhi, menikah
adalah solusinya. Islam tidak mengharuskan pemeluknya untuk membujang. Bahkan
“membujang” adalah perkara yang di-makruh-kan.
Legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan merupakan jalan yang disyari’atkan. Islam melarang perzinaan. Sebab zina adalah jalan yang salah dan sesat. Di samping itu, pelarangan zina merupakan representasi dari maqasidus syari’ah yakni “hifdzun nasl”.
Legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan merupakan jalan yang disyari’atkan. Islam melarang perzinaan. Sebab zina adalah jalan yang salah dan sesat. Di samping itu, pelarangan zina merupakan representasi dari maqasidus syari’ah yakni “hifdzun nasl”.
Pernikahan (az-zawaj) adalah suatu hubungan yang
terjalin antara suami istri dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan. Kata az-zawaj sering digunakan dalam
hubungan suami istri, serta hubungan yang timbul akibat pengaruh individual dan
kemasyarakatan.
Di dalam pernikahan ada beberapa problem misalkan adanya pologami, pertikaian ataupun sebagainya. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini akan membahas sebagian ayat beserta tafsiran yang melatarbelakangi adanya problem tersebut.
Di dalam pernikahan ada beberapa problem misalkan adanya pologami, pertikaian ataupun sebagainya. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini akan membahas sebagian ayat beserta tafsiran yang melatarbelakangi adanya problem tersebut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Al-Qura’n
Surat Annisa Ayat 1-3
Dalam Suarah Annisa Ayat 1-2 membahas tentang Tentang Hukum
dibolehkan lelaki menikah lebih dari satu orang perempuan.
……………………………
Artinya : Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.( Q.S. Annisa: 4 : 1-3)[1]
Artinya :
1) Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
2) Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)
itu, adalah dosa yang besar.
3) Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), Maka nikahilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
4) Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[2]
a. Asbab an-Nuzul/sebab-sebab turunnya Srurat An-Nisa ayat 1-3
Menurut Imam Muqatil : ayat ini turun karena seorang bernama Ghatfan yang
memelihara keponakannya yang yatim, ketika ia telah dewasa, ia meminta
kekayaannya kepada Ghatfan, dan Ghatfan tidak langsung memberikannya, lalu
keduanya memaparkan hal tersebut kepada Baginda Nabi S.A.W, dan turunlah ayat
ini, ketika Ghatfan mendengarnya dari Nabi, ia berkata : “Aku taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, aku berlindung dari dosa besar”. Nabi S.A.W pun bersabda:
“مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ وَرَجَعَ
بِهِ هٰكَذَا، فَإِنَّهُ يَحُلُّ دَارَهُ، يَعْنِيْ جَنَّتَهُ
Artinya: Siapapun
yang menjaga kebakhilan dirinya dan menghilangkannya seperti ini, niscaya ia
menempati rumahnya yaitu surga”.(H.R. Bukhari)[3]
Ulama’ berbeda pendapat dalam asbab an nuzul An-Nisa Ayat 3:
1) diriwayatkan dari Siti Aisyah, bahwa dia berkata : ayat ini turun karena
kasus anak yatim yang ada dalam asuhan walinya lalu walinya tertarik pada
kekayaan dan kecantikannya dan menginginkan untuk menikahinya dengan mahar yang
kurang dari wantia sepadannya, maka hal itu dilarang kecuali ia memberi
mahar sesuai umumnya wanita yang sepadan dia. Dan diperintahkan untuk
menikahi wanita lain boleh sampai bilangan 4 wanita namun apabila hawatir tidak
akan bisa berbuat adil maka menikahilah satu wanita saja selain yatim tadi.
2) Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata : sesungguhnya para lelaki pada saat itu
menikahi empat, lima, enam sampai sepuluh wanita, lelaki tadi berkata : “apa
yang melarangku untuk menikah sebagaimana fulan menikah?. dan apabila kekayaan
laki-laki tadi habis untuk menafkahi para istrinya maka dia berpindah kepada
kekayaan anak yatim untuk menafkahi para istrinya.
3) Imam Sa’id bin Jabir, as Sudiy, Qatadah, Rubayi’, Dhohak dari salah satu
riwayat berkata : para lelaki saat itu sangat serius dalam mengurus anak yatim
namun tidak demikian halnya dengan para wanita, salah satu dari mereka
menikahi banyak wanita dan tidak bisa berbuat adil, maka Allah berfirman
: “ sebagaimana kamu semua hawatir terhadap anak yatim, maka hawatirlah pada
para wanita, maka nikahilah (wanita) satu sampai empat saja. Dan apabila takut
tidak bisa berbuat adil maka nikahilah satu wanita saja.[4]
Dari ayat tersebut
terdapat hukum saling meminta dengan menggunakan hubungan silaturrahim,
menunjukkan kebolehan saling meminta menggunakan hubungan silaturrahim,
berdasarkan pendapat ini sebagian ulama berkata : karena hal itu bukanlah
sumpah akan tetapi hal itu hanya mengharap simpati, semisal seorang berkata : “
Demi hubungan silaturrahim kita, aku memintamu untuk berbuat begini, hal ini
tidak bisa diartikan sebagai sumpah yang terlarang, akan tetapi sebagai
permintaan demi kehormatan silaturrahim yang mana Allah memerintahkah untuk
menyambungnya.[5]
Dalam surat An-Nisa
ayat 2 disyaratkan baligh dan pandainya anak yatim. Hikmahnya bahwa anak kecil
belum baik dalam mengelola kekayaannya yang terkadang menggunakannya dalam hal
yang tidak bermanfaat. Dalam ayat inipun
ulama’ ada yang berbeda pendapat :
a. yang dimaksud yatim di sini adalah yatim yang sudah baligh yang pandai.
Penggunaan kata yatim dalam ayat ini adalah majaz dengan segi mengakomodir
keadaan sebelumnya.
b. yang dimaksud yatim di sini adalah anak kecil, yang belum baligh, dan yang
dimaksud memberikan adalah mengalokasikan kekayaan untuk dia dalam segi makanan
dan pakaian, atau yang dimaksud memberikan adalah tidak mengelola kekayaanya
dan menjaganya sambil tidak berniat jelek. Pendapat ini adalah pendapat yang
kuat. Yang mana sebagian orang yang mengelola kekayaan yatim bersegera dalam
mengalokasikan kekayaannya dan menghambur-hamburkannya, sehingga diperintahlah
untuk menjaga terlebih dahulu dan mengembangkannya yang kemanfaatnya kembali
untuk anak yatim, bila ia mencapai umur pandai maka diserahkanlah secara
sempurna.
Komentar Ali as Shabuni
terkait dua pendapat di atas adalah pendapat yang pertama lebih unggul.[6]
Dalam Surat An-Nisa
ayat 3 Islam memperbolehkan bagi laki-laki berpoligami karana terpaksa, atau
kebutuhan. Dan hal ini mempunyai batasan yaitu mampu menafkahi, bisa berbuat
adil, kemarmonisan hubungan keluarga.
2.
Asy
Syuura Ayat 11
Dalam surat Asy Syuura Ayat 11 Ayat ini berbicara tentang
tanda-tanda kekusasan Allah. Penciptaan, Allah sebagai pelaku, Allah mencptakan
langit dan bumi dan menciptkan yang tidak ada menjadi ada.
AYAT…………………………………………………………..
Artinya : (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi
kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar
dan melihat.( Q.S. Asy Syuura : 42: 11)[7]
Tafsir :
Surat Asy Syuura ayat 11 Dalam Tafsir jalalain adalah (Pencipta langit dan
bumi) Dialah Yang mengadakan langit dan bumi (Dia menjadikan bagi kalian dari
jenis kalian sendiri pasangan-pasangan) sewaktu Dia menciptakan Hawa dari
tulang rusuk Adam (dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan) ada jenis
jantan dan ada jenis betina (dijadikan-Nya kalian berkembang biak) maksudnya,
mengembangbiakkan kalian (dengan jalan itu) yaitu melalui proses perjodohan.
Dengan kata lain, Dia memperbanyak kalian melalui anak beranak. Dhamir yang ada
kembali kepada manusia dan binatang ternak dengan ungkapan yang lebih
memprioritaskan manusia. (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) huruf
Kaf adalah Zaidah, karena sesungguhnya Allah swt. tiada sesuatu pun yang
semisal dengan-Nya (dan Dialah Yang Maha Mendengar) semua apa yang dikatakan
(lagi Maha Melihat) semua apa yang dikerjakan.[8]
Surat Asy Syuura terdiri atas S 3 ayat, termasuk golongan
surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Fushshilat. Dinamai “Asy
Syuura” (musyawarat) diambil dari perkataan “Syuura” yang terdapat pada ayat 38
surat ini. Dalam ayat tersebut diletakkan salah satu dari dasar-dasar
pemerintahan Islam ialah musyawarat. Dinamai juga “Haa Miim ‘Ain Siin Qaaf”
karena surat ini dimulai dengan huruf-huruf hijaiyyah itu. Keimanan:
Dalil-dalil tentang Allah Yang Maha Esa dengan menerangkan kejadian langit dan
bumi, turunnya hujan, berlayarnya kapal di lautan dengan aman dan sebagainya
Allah memberi rezki kepada hamba-Nya dengan ukuran tertentu sesuai dengan
kemaslahatan mereka dan sesuai pula dengan hikmah dan ilmu-Nya Allah memberikan
anak-anak laki-laki atau anak-anak perempuan atau anak laki-laki dan perempuan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, atau tidak memberi anak seorangpun
cara-cara Allah menyampaikan perkataan-Nya kepada manusia pokok pokok agama
yang dibawa para rasul adalah sama. Hukum: Tidak ada dasar untuk menuntut orang
yang mempertahankan diri. Lain-lain: Keterangan bagaimana keadaan orang-orang
kafir dan keadaan orang-orang mu’ min nanti di akhirat memberi ampun lebih baik
daripada membalas dan membalas jangan sampai melampaui batas orang-orang kafir
mendesak Nabi Muham mad ﷺ
supaya hari kiamat disegerakan datangnya kewajiban rasul hanya me nyampaikan
risalahnya.[9]
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Dia-lah yang
menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, begitu juga yang ajaib dan
mengherankan yang kita saksikan seperti luasnya cakrawala yang membentang luas
di atas kita tanpa ada tiang yang menunjangnya; karenanya, Dia-lah yang pantas
dan layak dijadikan sandaran dalam segala hal dan dimintai bantuan dan
pertolongan-Nya; bukan tuhan-tuhan mereka yang tidak berdaya dan yang tidak
dapat berbuat apa-apa. Dia-lah yang menjadikan bagi manusia dari jenisnya
sendiri jodohnya masing-masing; yang satu dijodohkan kepada yang lain sehingga
lahirlah keturunan turun-temurun memakmurkan dunia ini. Demikian itu berlaku
pula pada binatang ternak yang akhirnya berkembang biak memenuhi daratan
bumi.
Dengan demikian, teratur dan terjaminlah hidup dan kehidupan makhluk yang berada di atas bumi ini. Makanan bergizi cukup, minuman yang menyegarkan lengkap dan lain-lain nikmat yang wajib disyukuri untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Semuanya itu menunjukkan kebenaran dan kekuasaan Allah. Tidak ada satu pun yang menyamai-Nya dalam segala hal. Dia Maha Mendengar. Dia mendengar segala apa yang diucapkan setiap makhluk. Maha Melihat. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia melihat segala amal perbuatan makhluk-Nya, yang baik maupun yang jahat.[10]
Dengan demikian, teratur dan terjaminlah hidup dan kehidupan makhluk yang berada di atas bumi ini. Makanan bergizi cukup, minuman yang menyegarkan lengkap dan lain-lain nikmat yang wajib disyukuri untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Semuanya itu menunjukkan kebenaran dan kekuasaan Allah. Tidak ada satu pun yang menyamai-Nya dalam segala hal. Dia Maha Mendengar. Dia mendengar segala apa yang diucapkan setiap makhluk. Maha Melihat. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia melihat segala amal perbuatan makhluk-Nya, yang baik maupun yang jahat.[10]
3.
Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 32
Dalam Surat An-Nuur ayat 32
menjelaskan Tentang Mengawinkan Orang yang Tidak Beristeri atau Tidak Bersuami.
AYAT………………………………………..
Artinya
: Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendiriandiantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.( An-nur: 24: 32)[11]
Tafsir :
Ayat-ayat ini mengandung anjuran kawin dan membantu
laki-laki yang belum beristeri dan perempuan yang belum bersuami agar mereka
kawin, termasuk juga budak-budak yang layak dan cukup usia, hendaklah dibantu
mereka dikawinkan dan janganlah sekali-sekaki kemiskinan dijadikan
penghalang untuk kawin, Allah berfirman bahwa jika sewaktu kawin berada dalam
keadaan tidak mampu, orang itu akan diberikan rizki dan kemampuan dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya.[12] Sebagaimana
sabda Rasul :Dan kawinlah kamu dalam keadaan miskin, pasti Allah akan
memampukan dan memperkaya kamu.
Kata ayyim, yang pada mulanya artinya perempuan yang
tidak memiliki pasangan yakni kata ini hanya digunakan untuk para janda,
kemudian meluas maknanya termasuk juga gadis-gadis, bahkan mencakupi pria yang
bujang,baik jejaka maupun duda, kata tersebut bersifat umum, sehingga termasuk
juga, bahkan lebih-lebih wanita tuna susila, apalagi ayat ini bertujuan
menciptakan lingkungan yang sehat, religius, sehingga dengan
mengawinkan para tuna susila, maka masyarakat secara umum dapat terhindar dari
prostitusi serta dapat hidup dalam suasana bersih. Dan dipahami
oleh banyak ulama dalam arti yang layak kawin yakni yang mampu secara mental
dan spiritual untuk membina rumah tangga bukan dalam arti kesalehan beragama
lagi bertakwa.
Kata
wasi’ terambil dari akar kata yang memgunakan huruf waw, Sindan ain yang
maknanya berkisar pada antonim “kesempitan dan kesulitan”. Dari sini lahir
makna-makna seperti ; kaya, mampu, luas, meliputi,langkah panjang dan
sebagainya. Dalam Al-qur’an kata ini ditemukan sebanyak 9 kali,
kesemuanya menjadi sifat Allah.Kata Baghi, yang terambil kata yang
artinya melampaui batas, artinya wanita pelacur atau laki-laki
penzina.[13]
Kawinlah lelaki merdeka yang tidak beristeri dan
wanita merdeka yang tidak bersuami, maksudnya ialah ulurkanlah bantuan kepada
mereka dengan berbagai jalan agar mereka mudah menikah, seperti membantu dengan
harta dan mempermudahkan jalan yang dengan itu perkawinan serta kekeluargaaan
dapat tercapai.
Dan para lelaki serta yang mampu untuk menikah dan
menjalankan hak-hak suami –isteri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan
lain sebagainya.
Ringkasan : Di dalam ayat ini terdapat
perintah kepada para wali untuk mengawinkan budak laki-laki serta budak
perempuannya. Akan tetapi, Jumhur memasukkan perintah ini ke dalam hukum
istihsan (sebaiknya) bukan wajib, karena pada masa Nabi Saw, dan masa
sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan wanita yang tidak kawin, dan tidak
seorangpun mengingkari kenyataan itu. Yang jelas perintah ini adalah wajib jika
dikhawatirkan terjadi fitnah dan dimungkinkan akan terjadi perzinaan oleh
laki-laki atau wanita yang tidak kawin itu.Kemudian , Allah menganjurkan agar
kawin dengan laki-laki dan wanita yang fakir,dan hendaklah tidak adanya harta
jangan menjadi penghalang bagi dilangsungkannya perkawinan itu
4.
Al-Qura’an
Surat Annisa Ayat 25
Dalam Surat Annisa Ayat 25 menjelaskan tentang menikahi budak dan
hukuman bagi budak jika melakukan perbuatan keji.
AYAT………………………………………..
Artinya:Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena
itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan
zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Q.S. An-Nisa 4; 25 )
وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang
tidak cukup perbelanjaannya.
(An-Nisa: 25)
Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.
Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.
أَنْ
يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)
Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara
kehormatannya lagi mukminah.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.
فَمِنْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ
maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari
budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa:
25)
Dengan kata lain, kawinilah olehmu
budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin,
mengingat firman Allah menyebutkan: dari budak-budak wanita kalian yang
beriman. (An-Nisa: 25)
Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya,
hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama
dikatakan oleh As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.Kemudian disebutkan jumlah
mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya:
وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian
adalah dari sebagian yang lain.
(An-Nisa: 25)
Dia mengetahui semua hakikat segala
perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia,
hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.Selanjutnya
disebutkan oleh firman-Nya:
فَانْكِحُوهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (An-Nisa: 25)
Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang
memiliki budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh
nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya si tuan merupakan
wali dari budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa
seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:
"أَيُّمَا
عَبْدٍ تَزَوّج بِغَيْرِ إِذَنْ مَوَاليه فَهُوَ عَاهِر"
siapa pun budaknya kawin tanpa seizin tuan-tuannya,
maka dia adalah seorang pezina.
Apabila tuan seorang budak perempuan
adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang
mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang
mengatakan:
«لَا
تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ
الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»
Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan
wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan
pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.
Apabila ada seseorang ingin menikah dengan wanita yang
merdeka tetapi dia tidak mampu untuk itu, maka Allah memberikan solusi berupa
menikah dengan budak. Dengan syarat budak tersebut harus beriman, harus izin
tuannya, harus memberikan mahar dan budak tersebut bukan budak pezina.
Allah
juga menerangkan di sini bahwa seorang budak apabila dia berzina, maka
hukumannya adalah setengah dari hukuman orang merdeka. Jika orang merdeka belum
menikah secara syar`I dan melakukan zina hukumannya dicambuk 100x,
maka bagi budak walupun ia telah menikah (muhshon) maka hukumannya adalah cukup
50x. Dan tidak ada rajam bagi budak. Hal Ini dikarenakan status
sosial mereka yang berada di bawah orang merdeka.
Akan
tetapi di samping Allah memberikan solusi dengan menikahi budak, Allah ta’ala
masih tetap mengatakan bahwa kalau seseorang yang mau menikah itu bersabar
dengan tidak terburu menikahi budak, itu adalah lebih baik. Hendaknya bersabar
dengan melakukan ikhtiyar agar dapat menikahi wanita merdeka. Karena
dengan menikahi wanita budak, anak yang lahir otomatis akan menjadi budak. Dan
ini sungguh tidak diharapkan dalam Islam. Karena manusia pada hakekatnya
dilahirkan dalam kondisi merdeka. Dalam hal ini umar berkata, “Apabila seorang
hamba sahaya laki-laki menikahi wanita merdeka, maka ia telah memerdekakan
separuh dirinya, tetapi apabila seseorang laki-laki merdeka menikahi budak
wanita, ia telah menjadikan separuh dirinya hamba sahaya.
Hikmah
dan pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini adalah:
a. Di
dalam ayat ini, Allah memberitahu kepada kita, bagaimana kalau ada orang yang
menikahi budak. Meskipun perbudakan sudah dihapuskan, tetapi hukum islam adalah
hukum yang memberikan solusi dalam suatu permasalahan jika terdapat kondisi
semacam ini bagaimana hukumnya.
b. Di
dalam ayat ini, seorang budak diistilahkan dengan ‘fatayat’?
Mengapa bukan amaat yang artinya budak-budak perempuan? Karena Allah
ingin memberi pelajaran untuk memanggil dengan panggilan yang baik. Ini bisa
diterapkan ke pembantu kita. Karena ini adalah ajaran Rasulullah saw. jangan
pernah memanggil pembantu dengan sebutan babu atau panggilan kasar lainnya.
c. Allah
tidak pernah melihat kepada status seseorang. Yang Dia lihat adalah iman dan
takwa seorang hamba. Semakin dia beriman dan bertakwa pada Allah, semakin
tinggi pula derajatnya di hadapan Allah. Masuk surga itu tidak seperti harta
yang diwaris. Artinay kalau bapak masuk surga, belum tentu anak juga masuk
surga. Semuanya tergantung pada amalan masing-masing. Kalau di dunia baik
menurut Allah, maka di akhirat pun akan mendapatkan kebaikan. Kalau buruk maka
akan mendapatkan keburukan.
d. Jangan
suka meneliti dan mengamati kesalahan orang. Teliti dan amati diri kita sendiri
dulu. Pasti kita tidak akan sempat meneliti orang lain saking banyaknya
kesalahan kita.
e. Jangan
pernah pula meremehkan orang lain. Sebab, mungkin ada orang yang kita anggap
remeh tetapi dia mulia di hadapan Allah.
f. Berorganisasi
itu boleh saja. Yang dilarang adalah kalau kita terlalu fanatik pada organisasi
yang kita ikuti lalu kita menganggap yang tidak sejalan dengankita adalah
salah. Ini yang tidak boleh.
g. Menikah
dengan budak bukanlah suatu aib. Semua orang dalam pandangan Allah adalah sama.
Baik itu yang budak ataupun yang berstatus bangsawan. Semuanya sama dari segi
zhahirnya. Di hadapan Allah hanya iman dan takwa saja yang terpakai. Yang
dianggap oleh Allah adalah keimanan kita dan manusia itu pada dasarnya sama.
Maka kita terhadap non muslim selagi mereka tidak mengganggu kita, kita tidak
boleh menganggu mereka.[14]
5.
Al-Qura’an
Surat Annisa Ayat 34
Menerangkan tentang hukum-hukum
keluarga atau aturan dalam berumah tangga, dan menerangkan tentang kepemimpinan
laki-laki terhadap wanita, namun kepemimpinan dalam mengurus dan mengarahkan,
bukan menekan dan merendahkannya.
AYAT……………………………………………………….
Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (
Q.S. An-Nisa; 4: 34 )
6.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 221
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 221
menjelaskan Tentang Larangan Menikah dengan Wanita Musyrik.
AYAT………………………………………..
Artinya : Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran( Q.S Al-baqarah 221 ).
Tafsirnya:
تَنكِحُواْ وَلاَ (Janganlah kamu nikahi), Jumhur membacanya dengan fathah pada Huruf
“Ta, sedangkanb bacaan yang janggal dengan harakat dhammah, ada yang mengatakan
bahwa artinya seolah-olah yang menikahi itu menikahi si wanita dengan
dinikahkan oleh dirinya sendiri. Ayat ini melarang menikahi wanita-wanita
musyrik.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, Jumhur (mayoritas
ulama) berpendapat bahwa di dalam ayat ini Allah
mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik dan wanita-wanita ahli kitab
termasuk di dalamnya, sedangkan sebagian kecil lainnya mengatakan tidak
termasuk ahli kitab.Namun kesimpulannya berdasarkan Jumhur (mayoritas ulama)
مُّؤْمِنَةٌ وَلأَمَةٌ ( sesungguhnya wanita budak yang mukmin )yakni
budak perempuan yang beriman,ada juga yang mengatakan yang dimaksud dengan “ammatun” (wanita
budak) disini adalah wanita merdeka, karena semua manusia hamba Allah.
Pendapat pertama lebih mengena, karena berdasarkan riwayat yang akan
dikemukakan nanti, bahwa konotasi lafadznya menunjukkan demikian, disamping
pemaknaan lebih mendalam, karena diutamakannya hamba sahaya perempuan yang
beriman daripada wanita merdeka yang musyrik.
أَعْجَبَتْ كُمْ وَلَوْ ( Walaupun dia menarik hatimu), yakni
walaupun wanita musyrik itu lebih menarik hatimu karena factor kecantikan,
harta atau status sosialnya. Kalimat ini adalah jumlah haliyah (menerangkan
keadaan).
الْمُشِرِكِينَ تُنكِحُواْ وَلاَ ( Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ), yakni janganlah kalian
menikahkan mereka dengan wanita-wanita yang beriman, يُؤْمِنُواْ
حَتَّى ( sebelum mereka beriman).Al-qrthubi
berkata “ Ummat islam telah sependapat, bahwa laki-laki musyrik tidak boleh
menggauli wanita beriman dengan cara apapun, karena hal ini berarti menodai
islam.”
Para ahli qira’at sependapat men-dhammah-kan huruf ta
pada kalimat تُنكِحُواْ (kamu
nikahkan).
مُّؤْمِنٌ وَلَعَبْدٌ ( Sesungguhnya
budak yang mukmin) pembahasannya sama dengan pembahasan tentang firman-Nya
: وَلأَمَةٌ (sesungguhnya budak wanita).
أُوْلَـئِكَ ( mereka) adalah isyarat yang menunjukkan kepada laki-laki
musyrik dan para wanita musyrik. النَّارِ إِلَى يَدْعُونَ ( mengajak ke neraka), yakni mengajak ke perbuatan-perbuatan yang
mengharuskan masuk neraka.الْجَنَّةِ إِلَى يَدْعُوَ وَاللّهُ ( Sedangkan Allah mengajak ke surga ) ada yang mengatakan,
bahwa para wali Allah itu adalah orang yang beriman yang mengajak ke
surga.
بِإِذْنِهِ ( dengan izin-Nya) yakni : dengan perintah-Nya. Demikian dikatakan oleh
Az-Zujaj, ada juga yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah dengan
dimudahkan-Nya dan atas petunjuk-Nya. Demikian menurut penulis Al-Kasysyaf.[15]
لاَتَنْكِحُوْا la tankihu adalah kata kerja yang
dibubuhi la nahiyah yang menunjukkan larangan.
Kata tankihu diambil dari kata nikah yang berarti ‘aqad (ikatan/perjanjian)dan wat’ (jima’,
bersebadan)
مشرك musryrik atau مشكين musyrikin dan تمشركا musrikat, digunakan
dalam alquran untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah.[16]
Mengenai
sebab turunnya ayat ini, oleh al-wahidi diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a.
sebagai berikut: “Rasulullah saw telah mengutus Marsad al-Ganawi pergi ke Mekah
guna menjemput sejumlah kaum Muslimin yang masih tertinggal di sana untuk
hijrah ke Medinah. Kedatangan Marsad ke Mekah itu terdengar oleh seoarang
wanita musyrik bernama ‘Anaq, yaitu teman lama Marsad sejak jaman jahiliah. Dia
adalah seorang perempuan yang cantik. Semenjak Marsad hijrah ke Medinah, mereka
belum pernah berjumpa. Oleh sebab itu, setelah ia mendengar kedatangan Marsad
ke Mekah, ia segera menemuinya. Setelah bertemu, maka Anaq mengajak Marsad
untuk kembali berkasih-kasihan dan bercumbuan seperti dahulu. Tetapi Marsad
menolak dan menjawab, “Islam telah memisahkan antara kita berdua; dan hukum
Islam telah melarang kita untuk berbuat sesuatu yang tidak baik. “Mendengar
jawaban itu ‘Anaq berkata, “Masih ada jalan keluar bagi kita, baiklah kita
menikah saja. “Marsad menjawab, “Aku setuju, tetapi aku lebih dahulu akan
meminta persetujuan Rasulullahsaw.” Setelah kembali ke Medinah, Marsad
melaporkan kepada Rasulullah hasil pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, di
samping itu diceritakannya pula tentang pertemuannya kepada dengan ‘Anaq dan
maksudnya untuk menikahinya. Ia bertanaya kepada Rasulullah saw, “Halalkah
bagiku untuk mengawininya, padahal ia masih musyrik?” Maka turunlah ayat ini
sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Peristiwa ini sekadar contoh, sedangkan
hukumnya berlaku umum.[17]
Pemilihan pasangan adalah batu
pertama fondasi bangunan rumah tangga. Fondasi yang kukuh adalah yang bersandar
pada iman kepada Yang Maha Esa, Mahakaya, Mahakuasa lagi Maha bijaksana. Pesan
pertama kepada mereka yang bermaksud membina rumah tangga: dan dan
janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahinya,yakni
menjalin ikatan perkawinan dengan wanita-wanita musyrik para
penyembah berhala sebelum mereka beriman dengan benar kepada
Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa, dan beriman pula kepada Nabi Muhammad
saw. Sesungguhnya wanita budak, yakni yang berstatus sosial
rendah menurut pandangan masyarakat, tetapi yang mukmin, lebih baik
daripada wanita musyrik, walaupun dia,yakni wanita-wanita musyrik
itu, menarik hati kamu karena ia cantik, bangsawan, kaya,
dll. Dan janganlah kamu, wahai para wali(orang yang menikahkan
calon wanita) menikahkan orang-orang musyrik para penyembah
berhala dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka berimandengan
iman yang benar. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada
orang musyrik walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah,
bangsawan, atau kaya dll. Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu.
Dalam pandangan agama, sesorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada
Tuhan selain Allah.[18]
Perbedaan perempuan musyrik dan
perempuan Ahli Kitab menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik
tidak memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah,
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan
pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni khurafat dan
spekulasi (teologis) atau lamuanan dan bayangan yang dibisikan syetan.
Sementara perempuan ahli kitab mengimani allah dan menyembahnya, beriman kepada
para nabi, hari akhirat (eskatologis) serta pembalasannya, dan menganut agama
yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.[19]
Cara memilih jodoh bagi calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan
yaitu:
a.
Beberapa hal dalam memilih calon istri yaitu:
1)
Mengutamakan pilihan agama. Asas yang pertama ini
merupakan faktor terpenting dalam memilih istri. Sebab islam adalah agama
fitrah dan moral, yang sudah pasti mengedepankan kesucian, kemuliaan, akhlak,
dan nilai-nilai luhur dalam memilih segala sesuatu.
2) Mengutamakan
wanita mukminah. Asas yang kedua adalah memilih istri dari kalangan mukminah.
Haram menikahi perempuan musyrik, kafir dan yang tidak beragama samawi.
3) Mengutamakan
yang bukan kerabat. Bagi seorang lelaki haram menikahi mahramnya sendiri, baik
mahram asal sampai tingkat keatas, mahram cabang hingga ke bawah maupun mahram
cabang kakek dari satu rumpun keturunan. Perempuan yang haram dinikahi dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu haram dinikahi untuk selamanya dan haram
dinikahi sementara.
4) Perempuan
yang haram dinikahi selamanya terdiri dari tiga sistem: karena sistem
kekerabatan, karena sistem pernikahan, dan karena sistem persusuan.
5) Perempuan
yang haram dinikahi sementara terdiri dari tiga macam: Haram dinikahi karena
perhimpunan, haram dinikahi karena sudah ditalak batin, dan haram dinikahi
karena masih berada masa ‘idah.
6) Mengutamakan
perempuan yang subur. Asas keempat dalam memilih istri adalah mencari perempuan
yang subur dan penuh cinta kasih, tidak punya penyakit yang menghalangi untuk
disetubuhi dan tidak menghalangi kehamilan, sehat jasmani dan rohani, siap
untuk fitrah sebagai ibu rumahtangga yang baik.
7) Mengutamakan
perempuan yang masih perawan. Asas kelima dalam memilih istri adalah
mengutamakan yang masih perawan. Lebih- lebih bagi perjaka atau mereka yang
belum mempunyai anak yang membutuhkan pendidikan.
b.
Beberapa hal dalam memilih calon suami yaitu:
1) Mengutamakan
pilihan agama. Asas pertama ini merupakan faktor terpenting dalam memilih
suami.
2) Mengutamakan
lelaki beriman. Asas kedua dalam memilih suami adalah memilih lelaki beriman.
Jangan sampai memilih calon suami yang fasik. Pada dasarnya memilih lelaki
fasik, musyrik, kafir, dan yang tidak beragama samawi adalah kafir.
3) Menghindari
fenomena palsu. Asas ketiga dalam memilih suami adalah menghindari motivasi
materi, kedudukan, dan kegantengan dalam memilih suami. Sebab semua itu bisa
sirna.
4) Memilih
lelaki muslim. Asas keempat dalam memilih suami adalah memilih seorang muslim.
Bagi seorang muslim haram hukumnya menikahkan putrinya dengan seorang lelaki
non muslim.
5) Memilih
calon suami yang sehat. Asas kelima dalam memilih suami adalah memilih suami
yang sehat jasmani. Jangan memilih lelaki yang berpenyakit syaraf, gila, atau
impoten.[20]
7.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 232
Dalam Surat Al-baqarah
Ayat 232 di jelaskan tentang memerintahkan untuk bermua’malah dengan baik
kepada isteri.
AYAT………………………………………………………….
Artinya :Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya , apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui. ( Q.S Al- Baqarah: 232)
Tafsir :
Khithab pada ayat ini dengan redaksi ;
( طَلَّقْتُمُ وَإِذَا ) “ apabila kamu menceraikan” dan dengan
redaksi :
……………………………………………….
” Maka janganlah kamu( para wali) menghalangi mereka”bisa
ditujukan kepada para suami, sehingga makna al-adhl (menghalangi) yang mereka
lakukan adalah menghalangi mantan isteri untuk menikah de ngan laki-laki yang
mereka kehendaki setelah habisnya masa iddah, hal ini disebabkan oleh fanatisme
jahiliyah sebagaimana banyak dilakukan oleh sejumlah pemimpin dan penguasa
karena cemburu bila para wanita yang pernah menjadi isteri mereka diperisteri
oleh orang lain. Demikian itu karena setelah mereka meraih tabuk kepemimpinan
duniawi, mereka dilanda dengan keangkuhan dan keseombongan, mereka mengkhayal
sekan-akan mereka telah keluar dari batas jenis manusia, kecuali orang-orang
yang dilindungi Allah dengan keshahihan dan kerendahan hati. Bila juga khitabini
ditujukan kepada para wali, sehingga makna penyandaran talak kepada mereka
adalah, kerena mereka yang menjadi penyebabnya. Yakni karena merekalah yang telah
menikahkan para wanita yang dicerai itu.
أَجَلَهُنَّ فَبَلَغْنَ
Yang dimaksud dengan “Al-Ajal”disini adalah
makna yang sebenarnya, yaitu telah sampai pada batas akhirnya (telah habis
iddahnya), tidak seperti ayat yang lalu. Makna Al-Adhl adalah al-habs(menahan).
Al-Khalil menyebutkan : Dajjajah (ayam betina) disebut
mu’dhalah, karena ia mengerami telurnya” ada juga yang mengatakan bahwa Al-adhl adalah
menyempitkan dan mencegah. Ini juga kembali kepada makna al-habs (menahan).
Dikatakan Aradu amranfa’adhaltani ‘anhu (aku menginginkan
suatu hal tetapi engkau menghalangiku darinya), yakni mencegahku dengan
mempersempitkanku. A’dhala al amr ( perkara rumit) bila
menyulitkanmu untuk memecahkannya, Al Azhari mengatakan Asal Al adhl dari
ungkapan : “ Adhalat An-naaqah, apabila unta itu menduduki
anaknya sehingga tidak bersuara saat dilahirkan. ‘Adhalat Ad-dhajjaj,
apabila ayam betina itu mengerami telurnya. Orag Arab menyebut setiap hal yang
rumit dengan sebutan mu’dhal.
…………….
“kawin lagi”,yakni
; Min an yankihna ( untuk menikah lagi), sehingga menurut
al-khalil, kalimat ini pada posisi majrur (karena ada partikel jaar yang tidak
ditampakkan), Sedangkan menurut Sibawaih dan Al-farra’ pada posisi nashab. Ada
juga yang mengatakan, bahwa kalimat ini sebagai badl isytimal dari zhamir manshub
pada kalimat
………………………..
” maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka).[21]
8.
An-Nisa
Ayat 141
Dalam
Surat An-nisa Ayat 141 menjelaskan tentang Ragu-ragunya orang-orang munafik, penipuan yang hendak mereka lakukan
dan malasnya mereka.
AYAT……………………………………
Artinya: (yaitu)
orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai
orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka
berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:
"Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman. ( Q.S. An-Nisa: 4 :141)[22]
Tafsir:
Tafsir
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa : Orang-orang munafik itu menanti-nantikan
peperangan-peperangan dan fitnah-fitnah yang akan menimpa kalian wahai
orang-orang Mukmin. Bila Allah melimpahkan karunia-Nya dan memenangkan kalian
atas musuh kalian dan kalian meraih harta rampasan perang, maka mereka berkata
kepada kalian : Bukankah kami yang mendukung kalian? Bila orang-orang yang
ingkar kepada agama ini yang meraih kemenangan dan harta rampasan perang, maka
mereka berkata : Bukanlah kami yang membantu kalian dengan apa yang telah kami
lakukan untuk kalian dan menjaga kalian dari orang-orang Mukmin? Allah akan
menetapkan keputusan-Nya di antara kalian dengan mereka di Hari Kiamat. Allah
tidak akan membuka jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
Mukmin yang shalih. Akibat yang baik di dunia dan di akhirat adalah milik
orang-orang beriman.[23]
Allah Swt. menceritakan
perihal orang-orang munafik, bahwa mereka selalu mengintai kehancuran bagi
orang-orang mukmin di setiap saatnya. Dengan kata lain, mereka selalu
menunggu-nunggu kehancuran kekuasaan orang-orang mukmin dan kemenangan
orang-orang kafir atas mereka, hingga agama orang-orang mukmin lenyap.{فَإِنْ كَانَ لَكُمْ
فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ}Maka jika terjadi bagi kalian kemenangan dari Allah. (An-Nisa: 141)Yaitu
pertolongan, dukungan, keberuntungan, dan ganimah dari Allah.{قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ
مَعَكُمْ}mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) beserta kalian?” (An-Nisa:
141)Yaitu menjilat kepada orang-orang mukmin dengan kata-kata tersebut.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari
Al-A’masy, dari Zar, dari Subai’ Al-Kindi yang menceritakan bahwa ada seorang
lelaki datang kepada Ali ibnu Abu Talib, lalu ia bertanya kepada Ali r.a.
mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya: dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman. (An-Nisa: 141) Maka Ali r.a. berkata, “Mendekatlah kepadaku! Allah
kelak akan memberi keputusan di antara kalian di hari kiamat, dan Allah
sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Ata Al-Khurrasani, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman. (An-Nisa: 141) Dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud
dengan ayat ini, kejadiannya ialah di hari kiamat nanti.[24]
Dapat pula
diinterpretasikan makna yang terkandung di dalam ayat ini, yaitu firman-Nya:
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 141) Yakni di dunia, misalnya
orang-orang kafir itu dapat menguasai mereka dan memusnahkan mereka secara
keseluruhan. Hal ini tidak akan terjadi, sekalipun pada sebagian waktu orang-orang
kafir adakalanya beroleh kemenangan atas orang lain. Akan tetapi, pada akhirnya
akibat yang terpuji di dunia dan akhirat hanyalah diperoleh oleh orang-orang
yang bertakwa.
Dengan demikian,
berarti hal ini merupakan sanggahan terhadap orang-orang munafik yang
mencita-citakan hal tersebut dan mengharap-harapkannya serta mereka
tunggu-tunggu agar kekuasaan kaum mukmin lenyap. Juga membantah sikap mereka
yang menjilat kepada orang-orang kafir karena takut diri mereka terancam oleh
orang-orang kafir; jika mereka membantu orang-orang mukmin, nanti orang-orang
kafir akan memusnahkan mereka.[25]
Pada umumnya ulama
menarik kesimpulan dalil dari ayat ini menurut pendapat yang paling sahih di
antara dua pendapat yang ada, bahwa dilarang menjual budak yang muslim kepada
orang-orang kafir. Karena menjual budak itu kepada mereka berarti menyetujui
penguasaan mereka terhadap diri budak yang muslim, juga berarti
menghinakan-nya. Orang yang mengatakan jual beli itu sah, diperintahkan
kepadanya agar melucuti hak miliknya dari budak yang dimilikinya dengan
seketika
9.
Surat
Al-Anfal Ayat 72
Dalam suart Al-anfal ayat 72 menjelaskan Tentang Berpegang
teguh pada perjanjian yang dijalin, termasuk dengan kaum kafir sekalipun adalah
sebuah keharusan. Selama pihak lain juga komitmen terhadap janji mereka.
AYAT………………………………………….
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang
memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin),
mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang
yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun
atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara
kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.( Q.S.
Al-Anfal:8 : 72)[26]
Tafsir:
Dalam Tafsir Jalalain
di tafsirkan bahwa : (Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah) yang dimaksud adalah kaum
Muhajirin (dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman) kepada Nabi saw.
(dan pertolongan) yang dimaksud adalah kaum Ansar (mereka itu satu sama lain
lindung-melindungi) dalam hal saling tolong-menolong dan waris-mewarisi. (Dan
terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tiada kewajiban
atas kalian untuk melindungi mereka) dapat dibaca walaayatihim dan wilaayatihim
(sedikit pun) oleh karenanya tidak ada saling waris-mewaris antara kalian dan
mereka, dan mereka tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari ganimah yang
kalian peroleh (sebelum mereka berhijrah) akan tetapi ayat ini telah dinasakh
oleh ayat yang terdapat dalam akhir surah Al-Anfaal ini. (Akan tetapi jika
mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan pembelaan agama, maka
kalian wajib memberikan pertolongan) kepada mereka dari gangguan orang-orang
kafir (kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan
mereka) yakni ada perjanjian pertahanan bersama, maka kala itu janganlah kalian
menolong mereka, karena akan merusak perjanjian yang telah kalian buat bersama
dengan kaum itu. (Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan).[27]
Dalam surat Al Anfal ayat 72 kaum muhajirin dan kaum ansor
telah memberikan teladan dalam muhajirin an-nafs. Mujahadah an nafs secara
bahasa berasal dari kata mujahadah yang artinya bersungguh - sungguh, sedangkan
an nafs artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi secara sederhana mujahadah an nafs
adalah perjuangan bersungguh - sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh -
sungguh untuk menghindari perbuatan yang melanggar hukum - hukum Allah swt.
Dalam bahasa Indonesia Mujahadah an nafs ini disebut juga dengan kontrol diri.
Kontrol diri merupakan salah satu sikap yang perlu bahkan wajib untuk dimiliki
oleh setiap muslim untuk dapat melawan nafsunya.
Asbabul Nuzul ayat ini
ialah: Berbagai bentuk
serangan, konspirasi, dan kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang musyrik
Mekah telah menyebabkan Nabi dan sejumlah besar kaum Muslimin hijrah
meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka di Mekah menuju ke Madinah.
Kelompok tersebut dalam sejarah Islam disebut dengan kaum Muhajirin. Sebagian
warga Madinah yang telah beriman kepada Nabi Saw dan menerima kedatangan kaum
Muhajirin disebut kaum Anshar. Guna menguatkan hubungan persaudaraan di antara
kedua kelompok ini, Nabi Muhammad Saw menciptakan suatu perjanjian ikatan persaudaraan
di antara meraka.
Ayat
ini menyinggung ikatan perjanjian tersebut, yang telah menciptakan ikatan
persahabatan yang kuat antara kaum Anshar dan Muhajirin. Ayat ini mengatakan,
"Mereka yang tidak melakukan hijrah, dan lebih memilih tetap bertahan di
Mekah untuk menjaga rumah dan keluarga mereka, tidak termasuk dalam perjanjian
ikatan persaudaraan ini. Namun, sebagian dari mereka tidak bisa ikut berhijrah
karena ditekan dan dihalangi oleh kaumnya.[28]
Apabila orang-orang ini meminta pertolongan kepadamu, engkau harus memberi
pertolongan kepada mereka. Namun, jika orang-orang itu hidup di tengah-tengah
kaum kafir yang telah menjalin perjanjian denganmu untuk tidak bermusuhan,
engkau harus komitmen terhadap perjanjian itu.
Hukum
yang terkandung dalam surat Al-Anfal ayat 72
terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
a. Berhijrah
dari lingkungan kufur, syirik, dan dosa untuk menjaga agama dan melaksanakan
tugas-tugas agama merupakan suatu perkara yang diharuskan.
b. Perjanjian
dan perbatasan antara negara tidaklah menghalangi seorang muslim untuk
melakukan tugas-tugas agamanya. Jika ada seorang muslim yang berada di negara
lain dalam kondisi teraniaya dan meminta pertolongan kepada kita, kita sebagai
saudara sesama muslim harus memberikan pertolongan kepadanya.
c. Berpegang
teguh pada perjanjian yang telah dijalin, termasuk dengan kaum Kafir sekalipun,
adalah sebuah keharusan, selama pihak lain juga komitmen terhadap janji mereka.
d.
Prasangka
yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab
yang pasti maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zahirnyabaik, tidak
ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan,
maupun tabiatnya yang memang rela, serta memang orang tersebut adalah orang
yang baik, maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut,
berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukanya.[29]
C.
KESIMPULAN
Dalam islam dianjurkan untuk Menikah. sebelum melaksanakan pernikahan
harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah adalah
permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya,baik
dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak yang dipercayainya
sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Di dalam Al Qur’an anjuran menikah ini disebutkan beberapa kali, adapun
ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “
terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 )
dan ( 30;21 ). Pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul
antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan,
dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban.
Dari sini terlihat jelas bahwa dengan menikah ketentraman akan terwujud dan
kelangsungan hidup manusia akan terus ada tanpa harus mengalami kekurangan
spesies atau kepunahan. Pada ayat ( An Nisa:3 ), dijelaskan di dalamnya
prosedur pernikahan sebagai sebuah solusi. Dimana solusi tersebut menyelesaikan
problem para wali ( orang tua asuh ) yang mengasuh anak-anak yatim perempuan
dan takut berlaku tidak adil terhadap mereka. Dengan menimbang asbabun
nuzulnya, ayat ini merupakan jalan keluar atas permasalahan pada saat itu.
Dimana banyak laki-laki dewasa yang mengasuh anak yatim yang berharta, lalu
mereka menikah dengannya dengan tujuan istrinya yang menafkahinya dan dia pun tidak
memperhatikan maharnya. Sehingga penjelasan tentang adab dan tata cara berumah
tangga yang baik pun dijelaskan pada ayat berikutnya yakni An Nisa : 4 tentang
mahar. Artinya, tidak sekedar menikahi dan menikmati hartanya saja.
Adapun keadaan sekufu sangatlah dianjurkan, bahkan diharuskan. Sebab
keadaan tidak sekufu akan mempersulit hubungan. Di samping itu sekufulah yang
membuat rumah tangga itu menjadi tenteram dan damai. Sebagaimana yang
diterangkan dalam An Nur ayat 3. Seorang pezina adalah untuk pezina atau orang
musyrik, orang musyrik adalah untuk orang musyrik atau para pezina. Dan seorang
pezina tidak dibolehkan_menurut sebagian ulama_menikah dengan muslim yang baik,
lantaran tidak sekufu. Konsep sekufu dalam pernikahan dan prioritas yang
didahulukan adalah inti dari ayat ini. Seraya di dalamnya mengandung makna
ketidakpantasan antara muslim yang taat dan bermaksiat membangun rumah tangga
bersama.
Disamping itu pada ayat ke-32 dalam surat yang sama menjelaskan perkara
perwalian. Dimana seorang wali haruslah menjaga kehormatan anak atau anak
asuhnya. Dengan menikahkannya pada orang-orang yang shaleh untuk tujuan yang
shaleh pula akan mendapatkan keberkahan hidup. Dalam ayat itu pun dijelaskan
bagi siapa yang miskin lalu menikah maka Allah akan menjadikannya kaya. Di sini
kaya tidak hanya dimaknai sebatas kekayaan material, tetapi juga immaterial.
Seperti, perasaan selalu tentram, semangat bekerja meningkat dan lain-lain.
Adalah kewajiban bagi wali/orang tua terhadap anak untuk menikahkan mereka,
jika telah dinggap mampu dan sikap wali/orang tua dalam menyeleksi pasangan
bagi anaknya. Salah satu hikmah pernikahan adalah janji kekayaan dari Allah,
baik kekayaan harta maupun lainnya, seperti semangat hidup.
Menikah itu dianjurkan, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Meskipun tidak diwajibkan secara langsung, tetapi pernikahan adalah hal yang lebih disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga para ulama mengklasifikasikan hukum nikah menjadi lima, tergantung pada kondisi personalnya. Adalakalanya hukumnya sunnah, mubah, bisa jadi wajib, makruh bahkan haram sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman dan kelangsungan keturunan. Sementara hikmah pernikahan ialah meningkatnya semangat hidup untuk terus maju, meningkatnya etos kerja serta rizkinya menjadi lancar.
Menikah itu dianjurkan, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Meskipun tidak diwajibkan secara langsung, tetapi pernikahan adalah hal yang lebih disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga para ulama mengklasifikasikan hukum nikah menjadi lima, tergantung pada kondisi personalnya. Adalakalanya hukumnya sunnah, mubah, bisa jadi wajib, makruh bahkan haram sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman dan kelangsungan keturunan. Sementara hikmah pernikahan ialah meningkatnya semangat hidup untuk terus maju, meningkatnya etos kerja serta rizkinya menjadi lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad bin Ali bin Muhammad
as Syaukani, Fathul Qodir baina fannai ar Riwayah wa ad Dirayah min
ilmi at tafsir, Darul Al Fikri, Jilid I
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-II( Semarang:Toha Putra, 1993),
Al Barudy, Syeikh Imad Zaky,
2006, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar
Al Waadi’iy, Muqbil bin Hadiy
(1425 H/2004 M). Ash Shahihul Musnad min Asbaabin Nuzuul (Cet. Ke
2). Shan’a: Maktabah Shan’aa Al Atsariyyah.
Ar Razy, Fakhruddin, 2000,
Mafatihul Ghaib Juz 9, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah
as Shobuni, Ali Tafsri Ayat Ahkam
Jilid I.
As Sya’rawi, Mutawalli, Tafsir Sya’rawi, (Beirut: Dar El Kutub: 2003)
Depag RI, Al
Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Pres.
Depag RI, Al
Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: PT. Syamil Cipta Media.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Tafsirnya, jil.6, cet. Ke-3(Jakarta: Departemen Agama RI, 2009)
Departemen Agama, 2006, Al Qur’an
dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro
Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir
(1421 H/2000 M). Al Mishbaahul Muniir Fii Tahdziib Tafsiir Ibni Katsir (cet.
Ke-2). Riyadh: Daarus Salaam lin nasyr wat tauzi’.
M. Quraish Shihab, Tafsir
al Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an cet.
Ke-V, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), vol. 1,
Muhammad bin al Hasan at
Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an, Maktabah al A’lam al
Islamy jilid III
Muhammad, Abu Abdillah bin Ahamad
al Anshori al Qurthubi, (Al Jami’ Ahkami al Qur’an), Jilid 5
Ramulyo M. Idris, Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-2 1999
Saleh dan H.A.A.Dahlan, 2004,
Asbabun Nuzul, Yogjakarta: Diponegoro
Suhadi, Kawin Lintas
Agama: Persepektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS,
2006)
Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tajudin As, Ahmad dan Al
Andalasi, Rukmito Sya’roni (1992 M). Pusaka Islam Kewajiban Yang
Diabaikan. Sukabumi: Badan Wakaf Ulil Absor.
Zuhaily, Wahbah, Tafsir Al Munir
Jilid VI, (Beirut: Dar El Fikr:2003)
[2]Muhammad bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an,
(Maktabah al A’lam al Islamy jilid III) h. 67-68
[4]Abu Muhammad bin Ali bin Muhammad as Syaukani, Fathul Qodir baina
fannai ar Riwayah wa ad Dirayah min ilmi at tafsir, )Darul Al Fikri,
Jilid I) h. 633
[5]Muhammad, Abu Abdillah bin Ahamad
al Anshori al Qurthubi, (Al Jami’ Ahkami al Qur’an), Jilid 5. h. 107
[6]as Shobuni, Ali Tafsri Ayat Ahkam
Jilid I.
[8]Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir
. Al Mishbaahul Muniir Fii Tahdziib Tafsiir Ibni Katsir (cet.
Ke-2). (Riyadh: Daarus Salaam lin nasyr wat tauzi’:2000) h. 74
[10]Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.2009) h. 97
[14]Ibid,.h 560
[15]Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul
Qadir,(Jakarta ; Pustaka Azzam,2008) terj h. 862 - 865
[16]M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah : Pesan, Kesan,
dan Keserasian Al-Qur’an cet. Ke-V, (Jakarta: Lentera Hati, 2012),
vol. 1, h. 577.
[18]M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. Ke-5, Vol.1, h. 577
[19]Suhadi, Kawin Lintas
Agama: Persepektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS,
2006), h. 38
[20]A. Mudjab Mahalli, Menikahkah,
Engkau Menjadi Kaya, Cet. Ke-X,(Yogyakarta: Mitra Pustaka,2007), h. 83/117
[22]Depag RI, Al
Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Pres.
[23]Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir. Al
Mishbaahul Muniir Fii Tahdziib Tafsiir Ibni Katsir (cet.
Ke-2). (Riyadh: Daarus Salaam lin nasyr wat tauzi’.2000) h. 121
[25]Al Barudy, Syeikh Imad Zaky, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006) h. 132
[26]Depag RI, Al
Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: PT. Syamil Cipta Media.
[29]Ramulyo M. Idris, Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-2 1999) h. 203
Komentar