TAFSIR TEMATIK PERNIKAHAN



TAFSIR TEMATIK PERNIKAHAN
MAKALAH
Diajukan Memenuhi Persyaratan Lulus Mk Tafsir Tematik
Program Studi: Hukum Keluarga Islam

Oleh : Walid blg jruen
(ABDILLAH)
2018540573

DosenPembimbing :Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, MA, Ph.d

PROGRAM PASCA SARJANA
INSITUT  AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN)
LHOKSEUMAWE
 TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Bissmilahirrahmanirrahim
Alhamdulillah segala puji syukur hanya untuk Allah dan telah mencurahkan Rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dalam menyusun makalah ini yang berjudul " Pernikahan dan Wali Nikah".
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad SAW. Dan keluarganya juga para sahabatnya serta para pengikut nya yang serta sampai akhir zaman.
Makalah  ini adalah makalah yang dapat memotifasi anda untuk memperdalam tentang “ Tafsir Tematik ". Kami mencari isi yang tercantum dalam makalah ini dari sumber-sumber yang terkemuka dan dari buku-buku yang membahas tentang hal yang bersangkutan.
Dalam menyusun makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dalam isi, bentuk maupun susunan kalimatnya akan tetapi berkat bimbingan dan dorangan serta do'a dari berbagai pihak maka kesulitan-kesulitan yang kami hadapi, Alhamdulillah dapat teratasi. Namun kami tetap menerima dan mengaharapkan kritik serta saran dari pembaca yang menuju ke arah kebaikan dan kesernpurnaan dalam makalah ini.
Semoga apa yang kami usahakan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca umumnya, Amin.

Lhokseumawe, 21 September 2018
                                                                         Penyusun



A.    PENDAHULUAN
Tafsir adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Tafsir Munakahat adalah bagian dari ilmu tafsir yang mengalami perkembangan. yaitu, membahas tentang ayat-ayat yang menyangkut pernikahan antara seorang lelaki dengan perempuan selain itu juga membahas tentang masalah pasangan suami dan istri kedepannya nanti
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika mereka belum menikah maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya. Hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan.Maka mulai saat itulah hak dan kewajiban mereka menjadi satu.Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami istri dan anak-anak dalam suatu rumah tangga baik keluarga kecil maupun keluarga besar.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighat akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Pernikahan merupakan sebuah fitroh manusia. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan untuk saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial manusia secara praktis tidak dapat hidup sendiri. Secara biologis, manusia berkebutuhan untuk menyalurkan hasrat yang sudah menjadi fitrah basyariyah-nya. Oleh karenanya, Islam memberikan anjuran untuk menikah sebagai suatu sunnah dan sebagai sarana untuk mendapatkan ketentraman lahir dan batin. Selain itu, kebutuhan biologis manusia juga dapat terpenuhi secara halal, sah dan mendatangkan berkah melalui pernikahan.
Pernikahan memang perkara yang sakral. Karenanya menikah bukanlah sekedar mencari tempat untuk bersenang-senang. Melainkan sebuah ikatan suci yang harus dijaga dan merupakan janji yang agung. Meski Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghalidhan”, pernikahan tidaklah seberat yang para rahib_ pendeta_ pikirkan, tetapi bukan pula sekedar penghalalan ‘koitus’ antar laki-laki dan perempuan saja.
Islam memberikan jalan keluar akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemeluknya. Jika hasrat biologis manusia mulai meminta untuk dipenuhi, menikah adalah solusinya. Islam tidak mengharuskan pemeluknya untuk membujang. Bahkan “membujang” adalah perkara yang di-makruh-kan.
Legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan merupakan jalan yang disyari’atkan. Islam melarang perzinaan. Sebab zina adalah jalan yang salah dan sesat. Di samping itu, pelarangan zina merupakan representasi dari maqasidus syari’ah yakni “hifdzun nasl”.
Pernikahan (az-zawaj) adalah suatu hubungan yang terjalin antara suami istri dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan. Kata az-zawaj sering digunakan dalam hubungan suami istri, serta hubungan yang timbul akibat pengaruh individual dan kemasyarakatan.
Di dalam pernikahan ada beberapa problem misalkan adanya pologami, pertikaian ataupun sebagainya. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini akan membahas sebagian ayat beserta tafsiran yang melatarbelakangi adanya problem tersebut.  

                                                                                   
B.     PEMBAHASAN
1.      Al-Qura’n Surat Annisa Ayat 1-3
Dalam Suarah Annisa Ayat 1-2 membahas tentang Tentang Hukum dibolehkan lelaki menikah lebih dari satu orang perempuan.
……………………………
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.( Q.S. Annisa: 4 : 1-3)[1]

Artinya :
1)      Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
2)      Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
3)      Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
4)      Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[2]

a.      Asbab an-Nuzul/sebab-sebab turunnya Srurat An-Nisa ayat 1-3
Menurut Imam Muqatil : ayat ini turun karena seorang bernama Ghatfan yang memelihara keponakannya yang yatim, ketika ia telah dewasa, ia meminta kekayaannya kepada Ghatfan, dan Ghatfan tidak langsung memberikannya, lalu keduanya memaparkan hal tersebut kepada Baginda Nabi S.A.W, dan turunlah ayat ini, ketika Ghatfan mendengarnya dari Nabi, ia berkata : “Aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, aku berlindung dari dosa besar”. Nabi S.A.W pun bersabda:
 “مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ وَرَجَعَ بِهِ هٰكَذَا، فَإِنَّهُ يَحُلُّ دَارَهُ، يَعْنِيْ جَنَّتَهُ 
Artinya: Siapapun yang menjaga kebakhilan dirinya dan menghilangkannya seperti ini, niscaya ia menempati rumahnya yaitu surga”.(H.R. Bukhari)[3]

Ulama’ berbeda pendapat dalam asbab an nuzul An-Nisa Ayat 3:
1)      diriwayatkan dari Siti Aisyah, bahwa dia berkata : ayat ini turun karena kasus anak yatim yang ada dalam asuhan walinya lalu walinya tertarik pada kekayaan dan kecantikannya dan menginginkan untuk menikahinya dengan mahar yang kurang dari wantia sepadannya, maka hal itu dilarang kecuali ia memberi  mahar sesuai umumnya wanita yang sepadan dia. Dan diperintahkan untuk menikahi wanita lain boleh sampai bilangan 4 wanita namun apabila hawatir tidak akan bisa berbuat adil maka menikahilah satu wanita saja selain yatim tadi.
2)      Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata : sesungguhnya para lelaki pada saat itu menikahi empat, lima, enam sampai sepuluh wanita, lelaki tadi berkata : “apa yang melarangku untuk menikah sebagaimana fulan menikah?. dan apabila kekayaan laki-laki tadi habis untuk menafkahi para istrinya maka dia berpindah kepada kekayaan anak yatim untuk menafkahi para istrinya.
3)      Imam Sa’id bin Jabir, as Sudiy, Qatadah, Rubayi’, Dhohak dari salah satu riwayat berkata : para lelaki saat itu sangat serius dalam mengurus anak yatim namun tidak demikian halnya dengan para wanita, salah satu dari mereka menikahi  banyak wanita dan tidak bisa berbuat adil, maka Allah berfirman : “ sebagaimana kamu semua hawatir terhadap anak yatim, maka hawatirlah pada para wanita, maka nikahilah (wanita) satu sampai empat saja. Dan apabila takut tidak bisa berbuat adil maka nikahilah satu wanita saja.[4]
Dari ayat tersebut terdapat hukum saling meminta dengan menggunakan hubungan silaturrahim, menunjukkan kebolehan saling meminta menggunakan hubungan silaturrahim, berdasarkan pendapat ini sebagian ulama berkata : karena hal itu bukanlah sumpah akan tetapi hal itu hanya mengharap simpati, semisal seorang berkata : “ Demi hubungan silaturrahim kita, aku memintamu untuk berbuat begini, hal ini tidak bisa diartikan sebagai sumpah yang terlarang, akan tetapi sebagai permintaan demi kehormatan silaturrahim yang mana Allah memerintahkah untuk menyambungnya.[5]
Dalam surat An-Nisa ayat 2 disyaratkan baligh dan pandainya anak yatim. Hikmahnya bahwa anak kecil belum baik dalam mengelola kekayaannya yang terkadang menggunakannya dalam hal yang tidak bermanfaat. Dalam ayat  inipun ulama’ ada yang berbeda pendapat :
a.       yang dimaksud yatim di sini adalah yatim yang sudah baligh yang pandai. Penggunaan kata yatim dalam ayat ini adalah majaz dengan segi mengakomodir keadaan sebelumnya.
b.      yang dimaksud yatim di sini adalah anak kecil, yang belum baligh, dan yang dimaksud memberikan adalah mengalokasikan kekayaan untuk dia dalam segi makanan dan pakaian, atau yang dimaksud memberikan adalah tidak mengelola kekayaanya dan menjaganya sambil tidak berniat jelek. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Yang mana sebagian orang yang mengelola kekayaan yatim bersegera dalam mengalokasikan kekayaannya dan menghambur-hamburkannya, sehingga diperintahlah untuk menjaga terlebih dahulu dan mengembangkannya yang kemanfaatnya kembali untuk anak yatim, bila ia mencapai umur pandai maka diserahkanlah secara sempurna.
Komentar Ali as Shabuni terkait dua pendapat di atas adalah pendapat yang pertama lebih unggul.[6]
Dalam Surat An-Nisa ayat 3 Islam memperbolehkan bagi laki-laki berpoligami karana terpaksa, atau kebutuhan. Dan hal ini mempunyai batasan yaitu mampu menafkahi, bisa berbuat adil, kemarmonisan hubungan keluarga.

2.      Asy Syuura Ayat 11
Dalam surat Asy Syuura Ayat 11 Ayat ini berbicara tentang tanda-tanda kekusasan Allah. Penciptaan, Allah sebagai pelaku, Allah mencptakan langit dan bumi dan menciptkan yang tidak ada menjadi ada.
AYAT…………………………………………………………..
Artinya : (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.( Q.S. Asy Syuura : 42: 11)[7]


Tafsir :
Surat Asy Syuura ayat 11 Dalam Tafsir jalalain adalah (Pencipta langit dan bumi) Dialah Yang mengadakan langit dan bumi (Dia menjadikan bagi kalian dari jenis kalian sendiri pasangan-pasangan) sewaktu Dia menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam (dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan) ada jenis jantan dan ada jenis betina (dijadikan-Nya kalian berkembang biak) maksudnya, mengembangbiakkan kalian (dengan jalan itu) yaitu melalui proses perjodohan. Dengan kata lain, Dia memperbanyak kalian melalui anak beranak. Dhamir yang ada kembali kepada manusia dan binatang ternak dengan ungkapan yang lebih memprioritaskan manusia. (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) huruf Kaf adalah Zaidah, karena sesungguhnya Allah swt. tiada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya (dan Dialah Yang Maha Mendengar) semua apa yang dikatakan (lagi Maha Melihat) semua apa yang dikerjakan.[8]
Surat Asy Syuura terdiri atas S 3 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Fushshilat. Dinamai “Asy Syuura” (musyawarat) diambil dari perkataan “Syuura” yang terdapat pada ayat 38 surat ini. Dalam ayat tersebut diletakkan salah satu dari dasar-dasar pemerintahan Islam ialah musyawarat. Dinamai juga “Haa Miim ‘Ain Siin Qaaf” karena surat ini dimulai dengan huruf-huruf hijaiy­yah itu. Keimanan: Dalil-dalil tentang Allah Yang Maha Esa dengan menerangkan kejadian langit dan bumi, turunnya hujan, berlayarnya kapal di lautan dengan aman dan sebagai­nya Allah memberi rezki kepada hamba-Nya dengan ukuran tertentu sesuai dengan kemaslahatan mereka dan sesuai pula dengan hikmah dan ilmu-Nya Allah mem­berikan anak-anak laki-laki atau anak-anak perempuan atau anak laki-laki dan perempuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, atau tidak memberi anak se­orangpun cara-cara Allah menyampaikan perkataan-Nya kepada manusia pokok­ pokok agama yang dibawa para rasul adalah sama. Hukum: Tidak ada dasar untuk menuntut orang yang mempertahankan diri. Lain-lain: Keterangan bagaimana keadaan orang-orang kafir dan keadaan orang-orang mu’ min nanti di akhirat memberi ampun lebih baik daripada membalas dan mem­balas jangan sampai melampaui batas orang-orang kafir mendesak Nabi Muham­ mad supaya hari kiamat disegerakan datangnya kewajiban rasul hanya me­ nyampaikan risalahnya.[9]
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, begitu juga yang ajaib dan mengherankan yang kita saksikan seperti luasnya cakrawala yang membentang luas di atas kita tanpa ada tiang yang menunjangnya; karenanya, Dia-lah yang pantas dan layak dijadikan sandaran dalam segala hal dan dimintai bantuan dan pertolongan-Nya; bukan tuhan-tuhan mereka yang tidak berdaya dan yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia-lah yang menjadikan bagi manusia dari jenisnya sendiri jodohnya masing-masing; yang satu dijodohkan kepada yang lain sehingga lahirlah keturunan turun-temurun memakmurkan dunia ini. Demikian itu berlaku pula pada binatang ternak yang akhirnya berkembang biak memenuhi daratan bumi. 
Dengan demikian, teratur dan terjaminlah hidup dan kehidupan makhluk yang berada di atas bumi ini. Makanan bergizi cukup, minuman yang menyegarkan lengkap dan lain-lain nikmat yang wajib disyukuri untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Semuanya itu menunjukkan kebenaran dan kekuasaan Allah. Tidak ada satu pun yang menyamai-Nya dalam segala hal. Dia Maha Mendengar. Dia mendengar segala apa yang diucapkan setiap makhluk. Maha Melihat. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia melihat segala amal perbuatan makhluk-Nya, yang baik maupun yang jahat.[10]

3.      Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 32
Dalam Surat An-Nuur ayat 32 menjelaskan Tentang Mengawinkan Orang yang Tidak Beristeri atau Tidak Bersuami.

AYAT………………………………………..


Artinya :  Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiriandiantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.( An-nur: 24: 32)[11]
Tafsir :
Ayat-ayat ini mengandung anjuran kawin dan membantu laki-laki yang belum beristeri dan perempuan yang belum bersuami agar mereka kawin, termasuk juga budak-budak yang layak dan cukup usia, hendaklah dibantu mereka  dikawinkan dan janganlah sekali-sekaki kemiskinan dijadikan penghalang untuk kawin, Allah berfirman bahwa jika sewaktu kawin berada dalam keadaan tidak mampu, orang itu akan diberikan rizki dan kemampuan dengan karunia Allah dan rahmat-Nya.[12] Sebagaimana sabda Rasul :Dan kawinlah kamu dalam keadaan miskin, pasti Allah akan memampukan dan memperkaya kamu.
Kata ayyim, yang pada mulanya artinya perempuan yang tidak memiliki pasangan yakni kata ini hanya digunakan untuk para janda, kemudian meluas maknanya termasuk juga gadis-gadis, bahkan mencakupi pria yang bujang,baik jejaka maupun duda, kata tersebut bersifat umum, sehingga termasuk juga, bahkan lebih-lebih wanita tuna susila, apalagi ayat ini bertujuan menciptakan  lingkungan yang sehat, religius, sehingga dengan mengawinkan para tuna susila, maka masyarakat secara umum dapat terhindar dari prostitusi serta dapat hidup dalam suasana bersih. Dan dipahami oleh banyak ulama dalam arti yang layak kawin yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga bukan dalam arti kesalehan beragama lagi bertakwa.
            Kata wasi’ terambil dari akar kata yang memgunakan huruf waw, Sindan ain yang maknanya berkisar pada antonim “kesempitan dan kesulitan”. Dari sini lahir makna-makna seperti ; kaya, mampu, luas, meliputi,langkah panjang dan sebagainya.  Dalam Al-qur’an kata ini ditemukan sebanyak 9 kali, kesemuanya menjadi sifat Allah.Kata Baghi, yang terambil kata yang artinya melampaui batas, artinya wanita pelacur  atau laki-laki penzina.[13]
Kawinlah lelaki merdeka yang tidak beristeri dan wanita merdeka yang tidak bersuami, maksudnya ialah ulurkanlah bantuan kepada mereka dengan berbagai jalan agar mereka mudah menikah, seperti membantu dengan harta dan mempermudahkan jalan yang dengan itu perkawinan serta kekeluargaaan dapat tercapai.
Dan para lelaki serta yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami –isteri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain sebagainya.
Ringkasan : Di dalam ayat ini terdapat perintah kepada para wali untuk mengawinkan budak laki-laki serta budak perempuannya. Akan tetapi, Jumhur memasukkan perintah ini ke dalam hukum istihsan (sebaiknya) bukan wajib, karena pada masa Nabi Saw, dan masa sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan wanita yang tidak kawin, dan tidak seorangpun mengingkari kenyataan itu. Yang jelas perintah ini adalah wajib jika dikhawatirkan terjadi fitnah dan dimungkinkan akan terjadi perzinaan oleh laki-laki atau wanita yang tidak kawin itu.Kemudian , Allah menganjurkan agar kawin dengan laki-laki dan wanita yang fakir,dan hendaklah tidak adanya harta jangan menjadi penghalang bagi dilangsungkannya perkawinan itu

4.      Al-Qura’an Surat Annisa Ayat 25
Dalam Surat Annisa Ayat 25 menjelaskan tentang menikahi budak dan hukuman bagi budak jika melakukan perbuatan keji.

AYAT………………………………………..

Artinya:Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Q.S. An-Nisa 4; 25 )

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya. (An-Nisa: 25)
Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.
أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)
Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya lagi mukminah.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.
فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ
maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)
Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman Allah menyebutkan: dari budak-budak wanita kalian yang beriman. (An-Nisa: 25)
Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya:
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 25)
Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia, hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (An-Nisa: 25)
Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya si tuan merupakan wali dari budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:
"أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوّج بِغَيْرِ إِذَنْ مَوَاليه فَهُوَ عَاهِر"
siapa pun budaknya kawin tanpa seizin tuan-tuannya, maka dia adalah seorang pezina.
Apabila tuan seorang budak perempuan adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang mengatakan:
«لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»
Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.
Apabila ada seseorang ingin menikah dengan wanita yang merdeka tetapi dia tidak mampu untuk itu, maka Allah memberikan solusi berupa menikah dengan budak. Dengan syarat budak tersebut harus beriman, harus izin tuannya, harus memberikan mahar dan budak tersebut bukan budak pezina.
Allah juga menerangkan di sini bahwa seorang budak apabila dia berzina, maka hukumannya adalah setengah dari hukuman orang merdeka. Jika orang merdeka belum menikah secara syar`I dan melakukan zina hukumannya dicambuk  100x, maka bagi budak walupun ia telah menikah (muhshon) maka hukumannya adalah cukup 50x. Dan tidak ada rajam bagi budak. Hal Ini dikarenakan status sosial mereka yang berada di bawah orang merdeka.  
Akan tetapi di samping Allah memberikan solusi dengan menikahi budak, Allah ta’ala masih tetap mengatakan bahwa kalau seseorang yang mau menikah itu bersabar dengan tidak terburu menikahi budak, itu adalah lebih baik. Hendaknya bersabar dengan melakukan ikhtiyar agar dapat menikahi wanita merdeka. Karena dengan menikahi wanita budak, anak yang lahir otomatis akan menjadi budak. Dan ini sungguh tidak diharapkan dalam Islam. Karena manusia pada hakekatnya dilahirkan dalam kondisi merdeka. Dalam hal ini umar berkata, “Apabila seorang hamba sahaya laki-laki menikahi wanita merdeka, maka ia telah memerdekakan separuh dirinya, tetapi apabila seseorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita, ia telah menjadikan separuh dirinya hamba sahaya.
Hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini adalah:
a.       Di dalam ayat ini, Allah memberitahu kepada kita, bagaimana kalau ada orang yang menikahi budak. Meskipun perbudakan sudah dihapuskan, tetapi hukum islam adalah hukum yang memberikan solusi dalam suatu permasalahan jika terdapat kondisi semacam ini bagaimana hukumnya.
b.      Di dalam ayat ini, seorang budak diistilahkan dengan ‘fatayat’? Mengapa  bukan amaat yang artinya budak-budak perempuan? Karena Allah ingin memberi pelajaran untuk memanggil dengan panggilan yang baik. Ini bisa diterapkan ke pembantu kita. Karena ini adalah ajaran Rasulullah saw. jangan pernah memanggil pembantu dengan sebutan babu atau panggilan kasar lainnya.
c.       Allah tidak pernah melihat kepada status seseorang. Yang Dia lihat adalah iman dan takwa seorang hamba. Semakin dia beriman dan bertakwa pada Allah, semakin tinggi pula derajatnya di hadapan Allah. Masuk surga itu tidak seperti harta yang diwaris. Artinay kalau bapak masuk surga, belum tentu anak juga masuk surga. Semuanya tergantung pada amalan masing-masing. Kalau di dunia baik menurut Allah, maka di akhirat pun akan mendapatkan kebaikan. Kalau buruk maka akan mendapatkan keburukan.
d.      Jangan suka meneliti dan mengamati kesalahan orang. Teliti dan amati diri kita sendiri dulu. Pasti kita tidak akan sempat meneliti orang lain saking banyaknya kesalahan kita.
e.       Jangan pernah pula meremehkan orang lain. Sebab, mungkin ada orang yang kita anggap remeh tetapi dia mulia di hadapan Allah.
f.       Berorganisasi itu boleh saja. Yang dilarang adalah kalau kita terlalu fanatik pada organisasi yang kita ikuti lalu kita menganggap yang tidak sejalan dengankita adalah salah. Ini yang tidak boleh.
g.      Menikah dengan budak bukanlah suatu aib. Semua orang dalam pandangan Allah adalah sama. Baik itu yang budak ataupun yang berstatus bangsawan. Semuanya sama dari segi zhahirnya. Di hadapan Allah hanya iman dan takwa saja yang terpakai. Yang dianggap oleh Allah adalah keimanan kita dan manusia itu pada dasarnya sama. Maka kita terhadap non muslim selagi mereka tidak mengganggu kita, kita tidak boleh menganggu mereka.[14]


5.      Al-Qura’an Surat Annisa Ayat  34
Menerangkan tentang hukum-hukum keluarga atau aturan dalam berumah tangga, dan menerangkan tentang kepemimpinan laki-laki terhadap wanita, namun kepemimpinan dalam mengurus dan mengarahkan, bukan menekan dan merendahkannya.
AYAT……………………………………………………….

Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. ( Q.S. An-Nisa; 4: 34 )


6.      Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 221
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan Tentang Larangan Menikah dengan Wanita Musyrik.
AYAT………………………………………..

Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran( Q.S Al-baqarah 221 ).



Tafsirnya:
تَنكِحُواْ وَلاَ (Janganlah kamu nikahi), Jumhur membacanya dengan fathah pada Huruf “Ta, sedangkanb bacaan yang janggal dengan harakat dhammah, ada yang mengatakan bahwa artinya seolah-olah yang menikahi itu menikahi si wanita dengan dinikahkan oleh dirinya sendiri. Ayat ini melarang menikahi wanita-wanita musyrik.
            Para ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, Jumhur (mayoritas ulama)  berpendapat  bahwa di dalam ayat ini Allah mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik dan wanita-wanita ahli kitab termasuk di dalamnya, sedangkan sebagian kecil lainnya mengatakan tidak termasuk ahli kitab.Namun kesimpulannya berdasarkan Jumhur (mayoritas ulama)
مُّؤْمِنَةٌ وَلأَمَةٌ  sesungguhnya wanita budak yang mukmin )yakni budak perempuan yang beriman,ada juga yang mengatakan yang dimaksud dengan “ammatun” (wanita budak) disini adalah wanita merdeka, karena semua manusia hamba Allah. Pendapat pertama lebih mengena, karena berdasarkan riwayat yang akan dikemukakan nanti, bahwa konotasi lafadznya menunjukkan demikian, disamping pemaknaan lebih mendalam, karena diutamakannya hamba sahaya perempuan yang beriman daripada wanita merdeka yang musyrik.
أَعْجَبَتْ كُمْ وَلَوْ ( Walaupun dia menarik hatimu), yakni walaupun wanita musyrik itu lebih menarik hatimu karena factor kecantikan, harta atau status sosialnya. Kalimat ini adalah jumlah haliyah (menerangkan keadaan).
 الْمُشِرِكِينَ تُنكِحُواْ وَلاَ  ( Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ), yakni janganlah kalian menikahkan mereka dengan wanita-wanita yang beriman, يُؤْمِنُواْ حَتَّى ( sebelum mereka beriman).Al-qrthubi berkata “ Ummat islam telah sependapat, bahwa laki-laki musyrik tidak boleh menggauli wanita beriman dengan cara apapun, karena hal ini berarti menodai islam.”
Para ahli qira’at sependapat men-dhammah-kan huruf ta pada kalimat تُنكِحُواْ (kamu nikahkan).
 مُّؤْمِنٌ وَلَعَبْدٌ Sesungguhnya budak yang mukmin) pembahasannya sama dengan pembahasan tentang firman-Nya : وَلأَمَةٌ (sesungguhnya budak wanita).
أُوْلَـئِكَ mereka) adalah isyarat yang menunjukkan kepada laki-laki musyrik dan para wanita musyrik. النَّارِ إِلَى يَدْعُونَ ( mengajak ke neraka), yakni mengajak ke perbuatan-perbuatan yang mengharuskan masuk neraka.الْجَنَّةِ إِلَى يَدْعُوَ وَاللّهُ Sedangkan Allah mengajak ke surga ) ada yang mengatakan, bahwa para wali Allah itu adalah orang yang  beriman yang mengajak ke surga.
 بِإِذْنِهِ ( dengan izin-Nya) yakni : dengan perintah-Nya. Demikian dikatakan oleh Az-Zujaj, ada juga yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah dengan dimudahkan-Nya dan atas petunjuk-Nya. Demikian menurut penulis Al-Kasysyaf.[15]
لاَتَنْكِحُوْا la tankihu adalah kata kerja yang dibubuhi la nahiyah yang menunjukkan larangan. Kata tankihu diambil dari kata nikah yang berarti ‘aqad (ikatan/perjanjian)dan wat’ (jima’, bersebadan)
 مشرك musryrik atau مشكين musyrikin dan تمشركا musrikat, digunakan dalam alquran untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah.[16]
Mengenai sebab turunnya ayat ini, oleh al-wahidi diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a. sebagai berikut: “Rasulullah saw telah mengutus Marsad al-Ganawi pergi ke Mekah guna menjemput sejumlah kaum Muslimin yang masih tertinggal di sana untuk hijrah ke Medinah. Kedatangan Marsad ke Mekah itu terdengar oleh seoarang wanita musyrik bernama ‘Anaq, yaitu teman lama Marsad sejak jaman jahiliah. Dia adalah seorang perempuan yang cantik. Semenjak Marsad hijrah ke Medinah, mereka belum pernah berjumpa. Oleh sebab itu, setelah ia mendengar kedatangan Marsad ke Mekah, ia segera menemuinya. Setelah bertemu, maka Anaq mengajak Marsad untuk kembali berkasih-kasihan dan bercumbuan seperti dahulu. Tetapi Marsad menolak dan menjawab, “Islam telah memisahkan antara kita berdua; dan hukum Islam telah melarang kita untuk berbuat sesuatu yang tidak baik. “Mendengar jawaban itu ‘Anaq berkata, “Masih ada jalan keluar bagi kita, baiklah kita menikah saja. “Marsad menjawab, “Aku setuju, tetapi aku lebih dahulu akan meminta persetujuan Rasulullahsaw.” Setelah kembali ke Medinah, Marsad melaporkan kepada Rasulullah hasil pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, di samping itu diceritakannya pula tentang pertemuannya kepada dengan ‘Anaq dan maksudnya untuk menikahinya. Ia bertanaya kepada Rasulullah saw, “Halalkah bagiku untuk mengawininya, padahal ia masih musyrik?” Maka turunlah ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Peristiwa ini sekadar contoh, sedangkan hukumnya berlaku umum.[17]
Pemilihan pasangan adalah batu pertama fondasi bangunan rumah tangga. Fondasi yang kukuh adalah yang bersandar pada iman kepada Yang Maha Esa, Mahakaya, Mahakuasa lagi Maha bijaksana. Pesan pertama kepada mereka yang bermaksud membina rumah tangga: dan dan janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahinya,yakni menjalin ikatan perkawinan dengan wanita-wanita musyrik para penyembah berhala sebelum mereka beriman dengan benar kepada Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa, dan beriman pula kepada Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya wanita budak, yakni yang berstatus sosial rendah menurut pandangan masyarakat, tetapi yang mukmin, lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia,yakni wanita-wanita musyrik itu, menarik hati kamu karena ia cantik, bangsawan, kaya, dll. Dan janganlah kamu, wahai para wali(orang yang menikahkan calon wanita) menikahkan orang-orang musyrik para penyembah berhala dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka berimandengan iman yang benar. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan, atau kaya dll. Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, sesorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan selain Allah.[18]
Perbedaan perempuan musyrik dan perempuan Ahli Kitab menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamuanan dan bayangan yang dibisikan syetan. Sementara perempuan ahli kitab mengimani allah dan menyembahnya, beriman kepada para nabi, hari akhirat (eskatologis) serta pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.[19]
Cara memilih jodoh bagi calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan yaitu:
a.       Beberapa hal dalam memilih calon istri yaitu:

1)      Mengutamakan pilihan agama. Asas yang pertama ini merupakan faktor terpenting dalam memilih istri. Sebab islam adalah agama fitrah dan moral, yang sudah pasti mengedepankan kesucian, kemuliaan, akhlak, dan nilai-nilai luhur dalam memilih segala sesuatu.
2)      Mengutamakan wanita mukminah. Asas yang kedua adalah memilih istri dari kalangan mukminah. Haram menikahi perempuan musyrik, kafir dan yang tidak beragama samawi.
3)      Mengutamakan yang bukan kerabat. Bagi seorang lelaki haram menikahi mahramnya sendiri, baik mahram asal sampai tingkat keatas, mahram cabang hingga ke bawah maupun mahram cabang kakek dari satu rumpun keturunan. Perempuan yang haram dinikahi dapat dikategorikan menjadi dua yaitu haram dinikahi untuk selamanya dan haram dinikahi sementara.
4)      Perempuan yang haram dinikahi selamanya terdiri dari tiga sistem: karena sistem kekerabatan, karena sistem pernikahan, dan karena sistem persusuan.
5)      Perempuan yang haram dinikahi sementara terdiri dari tiga macam: Haram dinikahi karena perhimpunan, haram dinikahi karena sudah ditalak batin, dan haram dinikahi karena masih berada masa ‘idah.
6)      Mengutamakan perempuan yang subur. Asas keempat dalam memilih istri adalah mencari perempuan yang subur dan penuh cinta kasih, tidak punya penyakit yang menghalangi untuk disetubuhi dan tidak menghalangi kehamilan, sehat jasmani dan rohani, siap untuk fitrah sebagai ibu rumahtangga yang baik.
7)      Mengutamakan perempuan yang masih perawan. Asas kelima dalam memilih istri adalah mengutamakan yang masih perawan. Lebih- lebih bagi perjaka atau mereka yang belum mempunyai anak yang membutuhkan pendidikan.
b.      Beberapa hal dalam memilih calon suami yaitu:
1)      Mengutamakan pilihan agama. Asas pertama ini merupakan faktor terpenting dalam memilih suami.
2)      Mengutamakan lelaki beriman. Asas kedua dalam memilih suami adalah memilih lelaki beriman. Jangan sampai memilih calon suami yang fasik. Pada dasarnya memilih lelaki fasik, musyrik, kafir, dan yang tidak beragama samawi adalah kafir.
3)      Menghindari fenomena palsu. Asas ketiga dalam memilih suami adalah menghindari motivasi materi, kedudukan, dan kegantengan dalam memilih suami. Sebab semua itu bisa sirna.
4)      Memilih lelaki muslim. Asas keempat dalam memilih suami adalah memilih seorang muslim. Bagi seorang muslim haram hukumnya menikahkan putrinya dengan seorang lelaki non muslim.
5)      Memilih calon suami yang sehat. Asas kelima dalam memilih suami adalah memilih suami yang sehat jasmani. Jangan memilih lelaki yang berpenyakit syaraf, gila, atau impoten.[20]

7.     Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat  232
Dalam Surat Al-baqarah Ayat 232 di jelaskan tentang memerintahkan untuk bermua’malah dengan baik kepada isteri.

AYAT………………………………………………………….


Artinya :Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya , apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ( Q.S Al- Baqarah: 232)
Tafsir :
Khithab pada ayat ini dengan redaksi ; ( طَلَّقْتُمُ وَإِذَا ) “ apabila kamu menceraikan” dan dengan redaksi :
Ÿ……………………………………………….
” Maka janganlah kamu( para wali) menghalangi mereka”bisa ditujukan kepada para suami, sehingga makna al-adhl (menghalangi) yang mereka lakukan adalah menghalangi mantan isteri untuk menikah de ngan laki-laki yang mereka kehendaki setelah habisnya masa iddah, hal ini disebabkan oleh fanatisme jahiliyah sebagaimana banyak dilakukan oleh sejumlah pemimpin dan penguasa karena cemburu bila para wanita yang pernah menjadi isteri mereka diperisteri oleh orang lain. Demikian itu karena setelah mereka meraih tabuk kepemimpinan duniawi, mereka dilanda dengan keangkuhan dan keseombongan, mereka mengkhayal sekan-akan mereka telah keluar dari batas jenis manusia, kecuali orang-orang yang dilindungi Allah dengan keshahihan dan kerendahan hati. Bila juga khitabini ditujukan kepada para wali, sehingga makna penyandaran talak kepada mereka adalah, kerena mereka yang menjadi penyebabnya. Yakni karena merekalah yang telah menikahkan para wanita yang dicerai itu.
أَجَلَهُنَّ فَبَلَغْنَ  
Yang dimaksud dengan “Al-Ajal”disini adalah makna yang sebenarnya, yaitu telah sampai pada batas akhirnya (telah habis iddahnya), tidak seperti ayat yang lalu. Makna Al-Adhl adalah al-habs(menahan). Al-Khalil menyebutkan : Dajjajah (ayam betina) disebut mu’dhalah, karena ia mengerami telurnya” ada juga yang mengatakan bahwa Al-adhl adalah menyempitkan dan mencegah. Ini juga kembali kepada makna al-habs (menahan). Dikatakan Aradu amranfa’adhaltani ‘anhu (aku menginginkan suatu hal tetapi engkau menghalangiku darinya), yakni mencegahku dengan mempersempitkanku. A’dhala al amr ( perkara rumit) bila menyulitkanmu untuk memecahkannya, Al Azhari mengatakan Asal Al adhl dari ungkapan : “ Adhalat An-naaqah, apabila unta itu menduduki anaknya sehingga tidak bersuara saat dilahirkan. ‘Adhalat Ad-dhajjaj, apabila ayam betina itu mengerami telurnya. Orag Arab menyebut setiap hal yang rumit dengan sebutan mu’dhal.
…………….
 kawin lagi”,yakni ; Min an yankihna ( untuk menikah lagi), sehingga menurut al-khalil, kalimat ini pada posisi majrur (karena ada partikel jaar yang tidak ditampakkan), Sedangkan menurut Sibawaih dan Al-farra’ pada posisi nashab. Ada juga yang mengatakan, bahwa kalimat ini sebagai badl isytimal dari zhamir manshub pada kalimatŸ
………………………..
” maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka).[21]

8.      An-Nisa Ayat 141
Dalam Surat An-nisa Ayat 141 menjelaskan tentang Ragu-ragunya orang-orang munafik, penipuan yang hendak mereka lakukan dan malasnya mereka.

AYAT……………………………………
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. ( Q.S. An-Nisa: 4 :141)[22]
Tafsir:
Tafsir Ibnu Katsir menafsirkan bahwa : Orang-orang munafik itu menanti-nantikan peperangan-peperangan dan fitnah-fitnah yang akan menimpa kalian wahai orang-orang Mukmin. Bila Allah melimpahkan karunia-Nya dan memenangkan kalian atas musuh kalian dan kalian meraih harta rampasan perang, maka mereka berkata kepada kalian : Bukankah kami yang mendukung kalian? Bila orang-orang yang ingkar kepada agama ini yang meraih kemenangan dan harta rampasan perang, maka mereka berkata : Bukanlah kami yang membantu kalian dengan apa yang telah kami lakukan untuk kalian dan menjaga kalian dari orang-orang Mukmin? Allah akan menetapkan keputusan-Nya di antara kalian dengan mereka di Hari Kiamat. Allah tidak akan membuka jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin yang shalih. Akibat yang baik di dunia dan di akhirat adalah milik orang-orang beriman.[23]
Allah Swt. menceritakan perihal orang-orang munafik, bahwa mereka selalu mengintai kehancuran bagi orang-orang mukmin di setiap saatnya. Dengan kata lain, mereka selalu menunggu-nunggu kehancuran kekuasaan orang-orang mukmin dan kemenangan orang-orang kafir atas mereka, hingga agama orang-orang mukmin lenyap.{فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ}Maka jika terjadi bagi kalian kemenangan dari Allah. (An-Nisa: 141)Yaitu pertolongan, dukungan, keberuntungan, dan ganimah dari Allah.{قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ}mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) beserta kalian?” (An-Nisa: 141)Yaitu menjilat kepada orang-orang mukmin dengan kata-kata tersebut.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Al-A’masy, dari Zar, dari Subai’ Al-Kindi yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ali ibnu Abu Talib, lalu ia bertanya kepada Ali r.a. mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 141) Maka Ali r.a. berkata, “Mendekatlah kepadaku! Allah kelak akan memberi keputusan di antara kalian di hari kiamat, dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Ata Al-Khurrasani, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 141) Dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud dengan ayat ini, kejadiannya ialah di hari kiamat nanti.[24]
Dapat pula diinterpretasikan makna yang terkandung di dalam ayat ini, yaitu firman-Nya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 141) Yakni di dunia, misalnya orang-orang kafir itu dapat menguasai mereka dan memusnahkan mereka secara keseluruhan. Hal ini tidak akan terjadi, sekalipun pada sebagian waktu orang-orang kafir adakalanya beroleh kemenangan atas orang lain. Akan tetapi, pada akhirnya akibat yang terpuji di dunia dan akhirat hanyalah diperoleh oleh orang-orang yang bertakwa.
Dengan demikian, berarti hal ini merupakan sanggahan terhadap orang-orang munafik yang mencita-citakan hal tersebut dan mengharap-harapkannya serta mereka tunggu-tunggu agar kekuasaan kaum mukmin lenyap. Juga membantah sikap mereka yang menjilat kepada orang-orang kafir karena takut diri mereka terancam oleh orang-orang kafir; jika mereka membantu orang-orang mukmin, nanti orang-orang kafir akan memusnahkan mereka.[25]
Pada umumnya ulama menarik kesimpulan dalil dari ayat ini menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat yang ada, bahwa dilarang menjual budak yang muslim kepada orang-orang kafir. Karena menjual budak itu kepada mereka berarti menyetujui penguasaan mereka terhadap diri budak yang muslim, juga berarti menghinakan-nya. Orang yang mengatakan jual beli itu sah, diperintahkan kepadanya agar melucuti hak miliknya dari budak yang dimilikinya dengan seketika

9.      Surat Al-Anfal Ayat 72
Dalam suart Al-anfal ayat 72 menjelaskan Tentang Berpegang teguh pada perjanjian yang dijalin, termasuk dengan kaum kafir sekalipun adalah sebuah keharusan. Selama pihak lain juga komitmen terhadap janji mereka.
AYAT………………………………………….
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.( Q.S. Al-Anfal:8 : 72)[26]

Tafsir:
Dalam Tafsir Jalalain di tafsirkan bahwa : (Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah) yang dimaksud adalah kaum Muhajirin (dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman) kepada Nabi saw. (dan pertolongan) yang dimaksud adalah kaum Ansar (mereka itu satu sama lain lindung-melindungi) dalam hal saling tolong-menolong dan waris-mewarisi. (Dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tiada kewajiban atas kalian untuk melindungi mereka) dapat dibaca walaayatihim dan wilaayatihim (sedikit pun) oleh karenanya tidak ada saling waris-mewaris antara kalian dan mereka, dan mereka tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari ganimah yang kalian peroleh (sebelum mereka berhijrah) akan tetapi ayat ini telah dinasakh oleh ayat yang terdapat dalam akhir surah Al-Anfaal ini. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan pembelaan agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan) kepada mereka dari gangguan orang-orang kafir (kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka) yakni ada perjanjian pertahanan bersama, maka kala itu janganlah kalian menolong mereka, karena akan merusak perjanjian yang telah kalian buat bersama dengan kaum itu. (Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan).[27]
Dalam surat Al Anfal ayat 72 kaum muhajirin dan kaum ansor telah memberikan teladan dalam muhajirin an-nafs. Mujahadah an nafs secara bahasa berasal dari kata mujahadah yang artinya bersungguh - sungguh, sedangkan an nafs artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi secara sederhana mujahadah an nafs adalah perjuangan bersungguh - sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh - sungguh untuk menghindari perbuatan yang melanggar hukum - hukum Allah swt. Dalam bahasa Indonesia Mujahadah an nafs ini disebut juga dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan salah satu sikap yang perlu bahkan wajib untuk dimiliki oleh setiap muslim untuk dapat melawan nafsunya.
Asbabul Nuzul ayat ini ialah: Berbagai bentuk serangan, konspirasi, dan kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekah telah menyebabkan Nabi dan sejumlah besar kaum Muslimin hijrah meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka di Mekah menuju ke Madinah. Kelompok tersebut dalam sejarah Islam disebut dengan kaum Muhajirin. Sebagian warga Madinah yang telah beriman kepada Nabi Saw dan menerima kedatangan kaum Muhajirin disebut kaum Anshar. Guna menguatkan hubungan persaudaraan di antara kedua kelompok ini, Nabi Muhammad Saw menciptakan suatu perjanjian ikatan persaudaraan di antara meraka.
Ayat ini menyinggung ikatan perjanjian tersebut, yang telah menciptakan ikatan persahabatan yang kuat antara kaum Anshar dan Muhajirin. Ayat ini mengatakan, "Mereka yang tidak melakukan hijrah, dan lebih memilih tetap bertahan di Mekah untuk menjaga rumah dan keluarga mereka, tidak termasuk dalam perjanjian ikatan persaudaraan ini. Namun, sebagian dari mereka tidak bisa ikut berhijrah karena ditekan dan dihalangi oleh kaumnya.[28] Apabila orang-orang ini meminta pertolongan kepadamu, engkau harus memberi pertolongan kepada mereka. Namun, jika orang-orang itu hidup di tengah-tengah kaum kafir yang telah menjalin perjanjian denganmu untuk tidak bermusuhan, engkau harus komitmen terhadap perjanjian itu.
Hukum yang terkandung dalam surat Al-Anfal ayat 72  terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
a.       Berhijrah dari lingkungan kufur, syirik, dan dosa untuk menjaga agama dan melaksanakan tugas-tugas agama merupakan suatu perkara yang diharuskan.
b.      Perjanjian dan perbatasan antara negara tidaklah menghalangi seorang muslim untuk melakukan tugas-tugas agamanya. Jika ada seorang muslim yang berada di negara lain dalam kondisi teraniaya dan meminta pertolongan kepada kita, kita sebagai saudara sesama muslim harus memberikan pertolongan kepadanya.
c.       Berpegang teguh pada perjanjian yang telah dijalin, termasuk dengan kaum Kafir sekalipun, adalah sebuah keharusan, selama pihak lain juga komitmen terhadap janji mereka.
d.      Prasangka yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zahirnyabaik, tidak ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan, maupun tabiatnya yang memang rela, serta memang orang tersebut adalah orang yang baik, maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut, berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukanya.[29]

C.    KESIMPULAN
Dalam islam dianjurkan untuk Menikah. sebelum melaksanakan pernikahan harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya,baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak yang dipercayainya sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Di dalam Al Qur’an anjuran menikah ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ). Pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban.
Dari sini terlihat jelas bahwa dengan menikah ketentraman akan terwujud dan kelangsungan hidup manusia akan terus ada tanpa harus mengalami kekurangan spesies atau kepunahan. Pada ayat ( An Nisa:3 ), dijelaskan di dalamnya prosedur pernikahan sebagai sebuah solusi. Dimana solusi tersebut menyelesaikan problem para wali ( orang tua asuh ) yang mengasuh anak-anak yatim perempuan dan takut berlaku tidak adil terhadap mereka. Dengan menimbang asbabun nuzulnya, ayat ini merupakan jalan keluar atas permasalahan pada saat itu. Dimana banyak laki-laki dewasa yang mengasuh anak yatim yang berharta, lalu mereka menikah dengannya dengan tujuan istrinya yang menafkahinya dan dia pun tidak memperhatikan maharnya. Sehingga penjelasan tentang adab dan tata cara berumah tangga yang baik pun dijelaskan pada ayat berikutnya yakni An Nisa : 4 tentang mahar. Artinya, tidak sekedar menikahi dan menikmati hartanya saja.
Adapun keadaan sekufu sangatlah dianjurkan, bahkan diharuskan. Sebab keadaan tidak sekufu akan mempersulit hubungan. Di samping itu sekufulah yang membuat rumah tangga itu menjadi tenteram dan damai. Sebagaimana yang diterangkan dalam An Nur ayat 3. Seorang pezina adalah untuk pezina atau orang musyrik, orang musyrik adalah untuk orang musyrik atau para pezina. Dan seorang pezina tidak dibolehkan_menurut sebagian ulama_menikah dengan muslim yang baik, lantaran tidak sekufu. Konsep sekufu dalam pernikahan dan prioritas yang didahulukan adalah inti dari ayat ini. Seraya di dalamnya mengandung makna ketidakpantasan antara muslim yang taat dan bermaksiat membangun rumah tangga bersama.
Disamping itu pada ayat ke-32 dalam surat yang sama menjelaskan perkara perwalian. Dimana seorang wali haruslah menjaga kehormatan anak atau anak asuhnya. Dengan menikahkannya pada orang-orang yang shaleh untuk tujuan yang shaleh pula akan mendapatkan keberkahan hidup. Dalam ayat itu pun dijelaskan bagi siapa yang miskin lalu menikah maka Allah akan menjadikannya kaya. Di sini kaya tidak hanya dimaknai sebatas kekayaan material, tetapi juga immaterial. Seperti, perasaan selalu tentram, semangat bekerja meningkat dan lain-lain. Adalah kewajiban bagi wali/orang tua terhadap anak untuk menikahkan mereka, jika telah dinggap mampu dan sikap wali/orang tua dalam menyeleksi pasangan bagi anaknya. Salah satu hikmah pernikahan adalah janji kekayaan dari Allah, baik kekayaan harta maupun lainnya, seperti semangat hidup.
Menikah itu dianjurkan, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Meskipun tidak diwajibkan secara langsung, tetapi pernikahan adalah hal yang lebih disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga para ulama mengklasifikasikan hukum nikah menjadi lima, tergantung pada kondisi personalnya. Adalakalanya hukumnya sunnah, mubah, bisa jadi wajib, makruh bahkan haram sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman dan kelangsungan keturunan. Sementara hikmah pernikahan ialah meningkatnya semangat hidup untuk terus maju, meningkatnya etos kerja serta rizkinya menjadi lancar.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad bin Ali bin Muhammad as Syaukani, Fathul Qodir baina fannai ar Riwayah wa ad Dirayah min ilmi at tafsir, Darul Al Fikri, Jilid I
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-II( Semarang:Toha Putra, 1993),
Al Barudy, Syeikh Imad Zaky, 2006, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Al Mahalli, J. dan As Suyuthi, J.  Tafsir Al Jalaalainwww.islamspirit.com.
Al Waadi’iy, Muqbil bin Hadiy (1425 H/2004 M). Ash Shahihul Musnad min Asbaabin Nuzuul (Cet. Ke 2). Shan’a: Maktabah Shan’aa Al Atsariyyah.
Ar Razy, Fakhruddin, 2000, Mafatihul Ghaib Juz 9, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah
as Shobuni, Ali Tafsri Ayat Ahkam Jilid I.
As Sya’rawi, Mutawalli,  Tafsir Sya’rawi, (Beirut: Dar El Kutub: 2003)
Depag RI, Al Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Pres.
Depag RI, Al Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: PT. Syamil Cipta Media.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jil.6, cet. Ke-3(Jakarta: Departemen Agama RI, 2009)
Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro
Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir (1421 H/2000 M). Al Mishbaahul Muniir Fii Tahdziib Tafsiir Ibni Katsir (cet. Ke-2). Riyadh: Daarus Salaam lin nasyr wat tauzi’.
M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an cet. Ke-V, (Jakarta: Lentera Hati, 2012),  vol. 1,
Muhammad bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an, Maktabah al A’lam al Islamy jilid III
Muhammad, Abu Abdillah bin Ahamad al Anshori al Qurthubi, (Al Jami’ Ahkami al Qur’an), Jilid 5
Ramulyo M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-2 1999
Saleh dan H.A.A.Dahlan, 2004, Asbabun Nuzul, Yogjakarta: Diponegoro
Suhadi, Kawin Lintas Agama: Persepektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2006)
Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tajudin As, Ahmad dan Al Andalasi, Rukmito Sya’roni (1992 M). Pusaka Islam Kewajiban Yang Diabaikan. Sukabumi: Badan Wakaf Ulil Absor.
Zuhaily, Wahbah, Tafsir Al Munir Jilid VI, (Beirut: Dar El Fikr:2003)




[1]Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro
[2]Muhammad bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an, (Maktabah al A’lam al Islamy jilid III) h. 67-68
[3]As Sya’rawi, Mutawalli,  Tafsir Sya’rawi, (Beirut: Dar El Kutub: 2003) h.32
[4]Abu Muhammad bin Ali bin Muhammad as Syaukani, Fathul Qodir baina fannai ar Riwayah wa ad Dirayah min ilmi at tafsir, )Darul Al Fikri, Jilid I)  h. 633
[5]Muhammad, Abu Abdillah bin Ahamad al Anshori al Qurthubi, (Al Jami’ Ahkami al Qur’an), Jilid 5. h. 107
[6]as Shobuni, Ali Tafsri Ayat Ahkam Jilid I.
[7]Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro
[8]Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir . Al Mishbaahul Muniir Fii Tahdziib Tafsiir Ibni Katsir (cet. Ke-2). (Riyadh: Daarus Salaam lin nasyr wat tauzi’:2000) h. 74
[9]Ar Razy, Fakhruddin, Mafatihul Ghaib Juz 9, (Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah.2000) h. 301
[10]Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2009) h. 97
[11]Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro
[12]Ibnu Katsir,Tafsir Ibnu Katsir,(Kuala Lumpur; Victory Agencie ,1994) terj.h. 468 – 470
[13]M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah,(Jakarta;Lentera Hati,2002). h. 335 - 339
[14]Ibid,.h 560
[15]Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir,(Jakarta ; Pustaka Azzam,2008) terj  h. 862 - 865
[16]M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an cet. Ke-V, (Jakarta: Lentera Hati, 2012),  vol. 1, h. 577.
[17]Ibid., h.327
[18]M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. Ke-5, Vol.1, h. 577
[19]Suhadi, Kawin Lintas Agama: Persepektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h. 38
[20]A. Mudjab Mahalli, Menikahkah, Engkau Menjadi Kaya, Cet. Ke-X,(Yogyakarta: Mitra Pustaka,2007), h. 83/117
[21]Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, op,cit h. 934 -935
[22]Depag RI, Al Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Pres.
[23]Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir. Al Mishbaahul Muniir Fii Tahdziib Tafsiir Ibni Katsir (cet. Ke-2). (Riyadh: Daarus Salaam lin nasyr wat tauzi’.2000) h. 121
[24]Saleh dan H.A.A.Dahlan,  Asbabun Nuzul,( Yogjakarta: Diponegoro.2004) h. 88
[25]Al Barudy, Syeikh Imad Zaky, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006) h. 132
[26]Depag RI, Al Qur'anul Kariim dan terjemahnya. Bandung: PT. Syamil Cipta Media.
[27]Al Mahalli, J. dan As Suyuthi, J.  Tafsir Al Jalaalainwww.islamspirit.com.
[28]Zuhaily, Wahbah. Tafsir Al Munir Jilid VI, (Beirut: Dar El Fikr. 2003) h. 201
[29]Ramulyo M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-2 1999) h. 203

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah