HADHANAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang
bahagia baik lahir maupun batin. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan
antara suami, istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Suatu keluaraga dapat
dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan
jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan,
sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan, sedangkan kebutuhan rohaniah
contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
Mempelajari Bab tentang
hadhanah (pemeliharaan anak) merupakan suatu hal yang sangat penting, oleh
sebab itu materi ini sangatlah penting dibahas dan dipahami secara mendalam.
Karena materi tentang hadhanah (pemeliharaan anak) akan menjadi bekal untuk
kehidupan yang akan mendatang.
Hadhanah hampir sama
dengan pendidikan, akan tetapi berbeda maksudnya. Dalam hadhanah, terkandung
pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian
pendidikan, hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali
jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional, maka
dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lainnya. Sedangkan
pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan mungkin
pula bukan dari keluarga si anak dan iya (pengasuh) merupakan pekerjaan
professional. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan
pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidikan.
Manusia dalam kehidupan ini mengalami proses pertumbuhan. Permulaan dari
air yang dibandingkan dengan yang lain tidak ada artinya, kemudian menjadi
emberio, segumpal darah, janin sehingga akhirnya kita terlahir di dunia ini
dalam keadaan selamat. Setelah proses tersebut, perjalanan manusia baru akan
dimulai dan melanjutkan proses tersebut sampai akhirnya kita bisa beradaptasi
dengan sesama manusia yang lain.
Melihat perkembangan sekarang banyak manusia yang melantarkan anak di
tengah jalan, Disebabkan karena faktor ekonomi. Sehingga dia tidak mendapat
kasih sayang kepada kedua orang tuanya serta mereka bingung akan kemana mereka
untuk masa kedepannya bahkan yang lebih parah lagi adalah kepada siapa yang
akan mengasuh mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat
mengayomi mereka agar mendapatkan kehidupan yang layak seperti manusia
biasanya.
Sehingga dalam hal
tersebut penting bagi kita untuk mengetahui seputar hadhanah serta hal-hal yang
berkaitan dengan perkara tersebut
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini yaitu;
1. Apa yang dimaksud dengan hadhanah (pemeliharaan anak) ?
2. Bagaiman dasar hukum hadhanah ?
3. Siapa yang berhak melakukan hadhanah ?
4. Bagaimana syarat hadhanah atau hadhin ?
5. Berapa lama masa hadhanah ?
6. Apakah ada upah untuk hadhin yang telah melakukan hadhanahnya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hadhanah.
2. Untuk mnegetahui hak pengasuan anak.
3. Untuk mengetahui orang yang paling berhak mengasuh anak.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat mengasuh anak.
5. Untuk mengetahui batas akhir mengasuh anak.
6. Untuk mengetahui hukum mengasuh anak dengan sukarela.
D. Manfaat Penulisan
Kita dapat jadikan hal ini sebagai pintu untuk lebih memperhatikan anak
kita sehingga mereka mendapatkan jaminan kehidupan yang layak dan ketentram
dalam kehidupan terutama di masa akan mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal
memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau urusan
anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk). Hadanah menurut bahasa, berarti meletakkan
sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Seperti halnya waktu ibu
menyusui anaknya meletakkan anaknya di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu
melindungi dan memelihara anaknya.[1]
Sedangkan hadhanah
menurut para ulama ialah:
1. Assayid Ahmed bin Umar Asy-Syatiri dalam kitabnya Alya Qutun
Nafis hal. 174 mengatakan:“Hadhanah menurut syara’ ialah memelihara
atau menjaga seseorang (anak) yang belum bias mandiri dengan segala halnya dan
mendidiknya (mengajarkan) sesuatu yang diperbaikinya.”.[2]
2. H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqih Islam hal. 403
mengatakan:Hadhanah ialah menjaga, memimpin dan mengatur segala hal anak-anak
yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.[3]
Dari sini hadhanah
dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari
lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh
kerabat anak itu.”
Para ulama fiqih
mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum
mumayyis, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya,
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[4]
B. Dasar Hukum Hadhanah
Firman Allah Swt. QS
Al-Tahrim : 6.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
“hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu (QS Al-Tahrim [66]: 6).
Mengasuh anak-anak yang
masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak
yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi
anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan,
pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama
ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah. Rosulullah Saw bersabda, yang
artinya: “Engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya”.
Pendidikan yang lebih
penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan orang tuanya, karena dengan
adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya,
membersihkan jiwanya, serta mempersiakan diri anak dalam menghadapi
kehidupannya di masa yang akan datang.[5]
C. Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Orang yang melakukan
hadhanah haruslah mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai
keinginan agar anak itu menjadi baik (shaleh) dikemudian hari. Disamping itu,
ia juga harus mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu. Dan orang
yang memiliki syarat-syarat itu adalah seorang wanita. Sebagaimana disebutkan
dalam hadist:
عن
عبد الله ابن عمر أن امرأة قالت :يا رسول الله هذا كن بطنى له وعاءوحجري له حواء
وثد ي له سقاء ،فز عم أبوه انه احق منى فقال : أنت أحق مالم تنكحى (رواه احمد وابو
داود والبيهقى والحا كم وصححه)
Artinya : “Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata:”Ya
Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, yang
mengasuhnya, yang mengawasinya, dan air susukulah yang diminumnya. Bapaknya
hendak mengambilnya dariku.” Maka, berkatalah Rosulullah:”Eangkaulah
lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah (dengan laki-laki
yang lain).
.هَا لِدِ بِوَ أَحَقُّ هِىَ وَ فُ أَرْاوَ خْيَرُ وَا حْنَىاوَ حَمُ وَارْ الْطَفُ وَ أَعْطَفُ مَّ أَلاُ
Artinya :“Ibu lebih lembut (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah,
lebih baik, dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya (selama ia belum
kawin dengan laki-laki lain).”
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ فَرَ قَ بَيْنَ وَلِدَ ةٌ وَ وَلِدُ هَافَرَ قَ
اللّهُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ أَحْبَتَهُ يَوْ مَ الْقِيَا مَةِ.
Artinya : “Rasulullah Saw. Bersabda:“barang siapa yang memisahkan antara
seorang ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu
dengan kekasihnya di hari Kiamat.”
Menurut hadis-hadis di
atas dapatlah ditetapkan bahwa si ibu dari seorang anak adalah orang yang
paling berhak melakukan hak asuh selama ia dalam masa iddahtalaq raj’i,
talaq ba’in atau telah habis masa ‘iddahnya, tetapi ia belum kawin
atau menikah lagi dengan laki-laki lain.[6]
Jika ibunya itu menikah
dengan orang lain, sedangkan anak itu belum mumayyiz, maka bapaknya yang lebih
berhak mendidik jika ia (bapaknya) meminta atau bersedia mendidiknya. Jika
bapaknya tidak ada maka yang berhak mendidiknya adalah bibiknya (saudara
perempuan dari ibunya).
Rasulullah SAW.
bersabda:
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ
زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي, وَقَدْ نَفَعَنِي, وَسَقَانِي مِنْ
بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
يَا غُلَامُ! هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ, فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ
فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ, فَانْطَلَقَتْ بِهِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ,
وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Artinya :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai
Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan
mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah
tangan siapa dari yang engkau kehendaki." Lalu ia memegang tangan ibunya
dan ia membawanya pergi. (Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan
bahwa anak kecil yang sudah mumayyiz dan mengerti dengan dirinya sendiri, ia
boleh memilih siapakah yang akan mengasuhnya. Apakah Ibunya ataupun Ayahnya.
عَنِ الْبَرَّاءِ ابْنِ عَازِبٍ ر.ع. أَنَّ النَّبِيَّ
ص.م. قَضَى فِى اِبْنَةِ حَمْزَ ةَ لِخَا لَتِهَا وَقَالَ: الْخَالَةُ
بِمَنْزِلَةِ الْاُ مِّ. (رواه البخارى)
Artinya : “Dari
Al-Barra’ bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw. telah memutuskan dalam perkara
anak perempuan oleh Hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya (adik
perempuan Ibunya), dan beliau bersabda,”Bibi itu yang mengambil tempat Ibunya”.(H.R.
Bukhari)
Hadis tersebut
menunjukkan bahwa bibi itu lebih utama dari pada Bapak, dan Ibu, dalam perkara
mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil apabila keduanya (Bapak dan Ibu)
tidak mampu.[7]
Dengan dijelaskannya
bahwa yang lebih berhak mengasuh anak itu adalah ibu, maka dalam masalah ini adalah
kaum wanita yang diutamakan. Karenanya kerabat Ibulah yang lebih berhak untuk
mengasuh anak dari pada kerabat dari ayah.[8]
Dasar urutan
orang-orang yang berkah melakukan hadhanah adalah:
a. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak, jika tingkatannya
dalam kerabat adalah sama
b. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak merupakan
bagian dari kakek, oleh sebab itu nenek lebih berhak dibanding dengan saudara
perempuan.
c. Kerabat sekandung didahulukan dari saudara bukan sekandung, dan kerabat
seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah
d. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan
ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu lebih didahulukan atas pihak
ayah.
e. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka hak hadhanah
pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.[9]
Adapun urutan-urutannya sebagaimana
dibawah ini:
1. Ibu
2. Nenek (ibu dari ibu)
3. Khalah (bibi) yang sekandung
4. Khalah (bibi) yang seibu
5. Khalah (bibi) yang seayah
6. Nenek (ibu dari ayah)
7. Saudara perempuan yang sekandung
8. Saudara perempuan yang seibu
9. Saudara perempuan seayah
10. Amah (kakak dari ibu) yang sekandung
11. Amah (kakak dari ibu) yang seibu
12. Amah (kakak dari ibu) yang seayah
13. Anak perempuan dari perempuan yang sekandung
14. Anak perempuan dari perempuan yang seibu
15. Anak perempuan dari perempuan yang seayah
16. Anak perempuan dari laki-laki yang sekandung
17. Anak perempuan dari laki-laki yang seibu
18. Anak perempuan dari laki-laki yang seayah
19. Dan seterusnya dengan mendahulukan kerabat yang sekandung.[10]
Jika tidak ada yang
akan melakukan hadhanah pada tingkat perempuan, maka yang melakukan hadhanah
ialah pihak laki-laki yang urutannya sama seperti urutan perempuan, jika dari
pihak laki-laki tidak ada, maka hal tersebut menjadi kewajiban pemerintah.
D. Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai kepada umur
tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti
makan, pakaian, membersihkan dirinya, bahkan sampai kepada pengaturan bangun
dan tidurnya. Karena itu perlu orang yang menjaganya mempunyai rasa kasih
sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik dikemudian hari.
Di samping itu ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas
itu.
Untuk
kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan syarat-syarat bagi hadhinah dan
hadhin. Syarat-syarat hadhinah, ialah:
1.
Berakal sehat
2.
Dewasa atau baligh. Hal
ini karena anak kecil meskipun sudah mumayyiz, tetap membutuhkan orang lain
yang mengurusnya dan mengasuhnya
3.
Mampu mendidik. Bukan
orang yang sakit ataupun mempunyai kekurangn pada jasmaninya, seperti orang
buta, ataupun oreng yang memiliki penyakit menular
4.
Amanah dan berbudi,
sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya
dengan baik.
5.
Orang yang tetap dalam
Negri anak didikannya
6.
Tidak terikat dengan
satu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik
7.
Hendaklah ia seorang
mukalaf, yaitu orang yang balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya
8.
Hendaklah mempunyai
kemampuan untuk melakukan hadhanah
9.
Hendaklah dapat
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan
budi pekerti
10.
Hendaklah orang yang
melakukan hadhanah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram
dengan si anak
11.
Hadhanah hendaklah orang
yang tidak membenci si anak
12.
Diharapkan hadhanah
memiliki persamaan agama dengan si anak, kerena jika seorang hadhanah orang non
muslim, dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama islam.[11]Sebab
hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang
mukmin dibawah perwalian orang kafir.
Allah SWT. berfirman:
الَّذِينَ
يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ
نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ
عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلا
Artinya :(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada
dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah
mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan
jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:
"Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa: 141).
Golongan Hanafi, Ibnu
Qasim, Maliki serta Abu Saur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapat dilakukan
oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil itu muslim, sebab hadhanah
tidak lebih dari menyusui dan melayani anak kecil.
Golongan Hanafi
meskipun menganggap bahwa orang kafir boleh menangani hadhanah, tetapi mereka
juga menetapkan syarat-syaratnya, yaitu bukan orang kafir murtad.hal ini karena
orang kafir murtad menurut golongan Hanafi berhak dipenjarakan sampai ia mau
bertobat dan kembali kepada islam, atau mati didalam penjara. Karena itu ia
tidak boleh diberi kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Tetapi jika ia sudah
bertobat dan kembali masuk islam, maka kembali juga ia diperbolehkan untuk
melakukan hadhanah.[12]
E. Masa Hadhanah
Masa berlakunya
hadhanah akan berakhir apabila si anak kecil sudah tidak lagi memerlukan
pelayanan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk
mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti: makan, berpakaian, mandi, dll.
Dalam hal ini tidak ada betasan tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja
ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk mengurus
dirinya sendiri. Jika si anak kecil itu dapat membedakan sesuatu yang baik dan
tidak baik, tidak membutuhkan pelayanan lagi, dan dapat memenuhi kebutuhan
pokoknya sendiri maka hadhanahnya telah habis.[13]
Tidak dijumpai
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan dengan tegas tentang masa
hadhanah. Namun, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut.
Karena itu, para ulama berijtihad masing-masing dalam menetapkan dengan
berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut madzab Hanafi, misalnya,
hadhanah anak laki-laki berakhir saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan
dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari. Sedangkan masa hadhanah wanita
berahkir apabila ia telah balig, atau telah datang masa haid pertamanya.
Pengikut madzab Hanafi
generasi akhir yang menetapkan bahwa masa hadhanah berakhir ketika umur 19
tahun bagi laki-lak, dan umur 11 tahun bagi wanita.
Madzab Syafi’i
berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak sudah mumayyiz, yakni
berumur antara 5 dan 6 tahun, dengan dasar hadist:
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم :خَيَّرَ غُلاَمًا بَيْنَ أَبِيْهِ وَأُمَّهِ كَمَا
خَيَّرَ بِنْتًا بيْنَ أَبِيْهَا وَأُمِّهَا.
Artinya : ”Rasulullah
Saw. bersabda: “Anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana
anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara bapak dan ibunya.”.[14]
Adapun lamanya masa
mengasuh, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa Imam madzab:
1. Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7
atau 8 tahun
2. Ulama’-ulama’ Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak
mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri,
sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak
dengan keduanya (anak perempuan ataupun laki-laki)
3. Imam Malik mengatakan bahwa ibu berkah mengasuh anak perempuan sampai ia
menikah. Sedangkan bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia baligh.[15]
F. Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas
upah hadhanah dan menyusui selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil
itu, atau selama masih dalam masa iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih
mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.
Allah berfirman dalam
QS Al-Baqarah ayat 233:
ßNºt$Î!ºuqø9$#urz`÷èÅÊöã£`èdy»s9÷rr&Èû÷,s!öqymÈû÷ün=ÏB%x.(ô`yJÏ9y#ur&br&¨LÉêãsptã$|ʧ9$#4n?tãurÏqä9öqpRùQ$#¼ã&s!£`ßgè%øÍ£`åkèEuqó¡Ï.urÅ$rã÷èpRùQ$$Î/4wß#¯=s3è?ë§øÿtRwÎ)$ygyèóãr4w§!$Òè?8ot$Î!ºur$ydÏ$s!uqÎ/wur×qä9öqtB¼çm©9¾ÍnÏ$s!uqÎ/4n?tãurÏ^Í#uqø9$#ã@÷VÏBy7Ï9ºs3÷bÎ*sù#y#ur&»w$|ÁÏù`tã<Ú#ts?$uKåk÷]ÏiB9ãr$t±s?urxsùyy$oYã_$yJÍkön=tã3÷bÎ)uröN?ur&br&(#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ö/ä.y»s9÷rr&xsùyy$uZã_ö/ä3øn=tæ#sÎ)NçFôJ¯=y!$¨BLäêøs?#uäÅ$rá÷èpRùQ$$Î/3(#qà)¨?$#ur©!$#(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#$oÿÏ3tbqè=uK÷ès?×ÅÁt/ÇËÌÌÈ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.(Q.S Al-baqarah :2: 233)
Adapun sesudah masa
iddahnya, maka ia berhak atas upahnya itu seperti haknya kepada upah menyusui,
Allah Swt, berfirman dalam QS Al-Thalaq ayat 6:
£`èdqãZÅ3ór&ô`ÏBß]øymOçGYs3y`ÏiBöNä.Ï÷`ãrwur£`èdr!$Òè?(#qà)ÍhÒçGÏ9£`Íkön=tã4bÎ)ur£`ä.ÏM»s9'ré&9@÷Hxq(#qà)ÏÿRr'sù£`Íkön=tã4Ó®Lymz`÷èÒt£`ßgn=÷Hxq4÷bÎ*sùz`÷è|Êör&ö/ä3s9£`èdqè?$t«sù£`èduqã_é&((#rãÏJs?ù&ur/ä3uZ÷t/7$rã÷èoÿÏ3(bÎ)ur÷Län÷| $yès?ßìÅÊ÷äI|¡sùÿ¼ã&s!3t÷zé&ÇÏÈ
Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.(QS Al-Thalaq [65]: 6)
Perempuan selain ibunya
si anak boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya. Seperti
halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan upah.
Seorang ayah
wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah. Ia juga wajib membayar ongkos rumah
atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai
tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah
tangga atau menyediakan pembantu jika si ibu membutuhkannya, dan jika si ayah
mempunyai kemampuan itu. Hal tersebut bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus
bagi si anak (makan, minum, tempat tidur, obat-obatan, dan keperluan pokok lain
yang sangat dibutuhkannya). Tetapi upah ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu
pengasuh mengasuh usahanya. Dan upah ini menjadi utang yang ditanggung oleh
ayah serta baru bisa lepas dari tanggungan ini jika dilunasi atau dibebaskan.[16]
Tentang pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz, sedangkan kedua orang tua bercerai, Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 105
Dalam hal ini
terjadinya perceraian:
a.
Pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c.
Biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya
Pasal 106
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum
dewasa atau dibawah perempuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau
menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan
kemaslahatan anak itu menghendakinya atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat
dihindari lagi.
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
dan kewajiban tersebut pada ayat (1).[17]
G. Hukum Mengasuh Anak Dengan Sukarela
Golongan Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa wanita yang
memiliki hak pengasuhan berhak meminta upahnya selama mengasuh, baik yang mengasuh
itu ibu dari anak yang diasuh maupun wanita lain selain ibu yang mendapatkan
hak pengasuhan, karena pengasuhan tidaklah wajib bagi ibu, dan jika ibu dari
anak tersebut enggan untuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya maka
diperbolehkan, dan tidak boleh seorang pun memaksa ibu tersebut untuk mengasuh
anaknya. Adapun biaya untuk pengasuhan, dikeluarkan dari harta anak yang
diasuhnya. Namun jika anak tersebut tidak memiliki harta maka kewajiban
tersebut dibebankan terhadap orang yang menanggung nafkah anak tersebut, karena
dari sebab-sebab keseimbangan dan kecukupan adalah nafkah. Dan upah pengasuhan
yang diberikan kepada ibu adalah upah yang nilainya sebanding, golongan
Al-Hanabilah berpendapat: walaupun terdapat wanita yang rela untuk mengasuh, tetapi
golongan Asy-Syafi’iyah menegaskan nilai tersebut berlaku jika tidak ada wanita
yang rela untuk mengasuh anaknya, atau tidak adanya yang bersedia diberi upah
dengan nilai yang lebih kecil dari upah sesuai standar yang ada, dan jika
terdapat wanita yang sukarela untuk mengasuh atau yang bersedia dibayar lebih
kecil dari upah yang standar maka gugurlah hak asuh ibu, dan ada yang
mengatakan: bahwa ibu berhak mendapatkan upah yang standar sesuai yang telah
ditentukan, dan hak asuh yang dimilikinya tidak gugur walaupun terdapat wanita
asing yang sukarela dalam mengasuh atau terdapat wanita yang bersedia diberikan
upah lebih kecil dari nilai yang telah ditentukan.[18]
Golongan Al-Hanafiyah menegaskan jika seseorang yang mendapatkan hak asuh,
baik itu ketika ia masih dalam perlindungan suamninya maupun ketika berada pada
masa ‘iddah talak raj’i maka ia tidak berhak mendapatkan upah dari
pengasuhannya karena pengasuhan baginya atas anaknya merupakan kewajibannya,
dan akan dihitung sebagai hutang jika ibu tersebut tidak melaksanakan
kewajibannya, hal ini berlaku juga bagi wanita yang berada pada masa ‘iddah
talak bain.
Jika pengasuh bukanlah ibunya, atau ibunya yang telah berakhir masa
‘iddahnya, atau disebutkan dalam suatu riwayat ia berada pada masa ‘iddah talak
bain, maka ia berhak meminta upah atas pengasuhannya dari harta yang dimiliki
anaknya jika anaknya tersebut memiliki harta, namun jika anaknya tidak
memiliki harta maka kewajiban membayar upah untuk yang mengasuh jatuh kepada
ayahnya atau kepada orang yang diberikan tanggung jawab untuk memberikan nafkah
untuk anak yang yang berada dalam asuhan, hal ini terjadi jika tidak ada wanita
yang secara sukarela menawarkan dirinya untuk mengasuh anak tersebut, dan
apabila ada wanita yang sukarela untuk mengasuh dan ia bukan pula mahram bagi
anak yang diasuh maka ibu yang didahulukan untuk mengasuh anak walaupun ia
meminta upah atas pengasuhannya, dan baginya upah yang sepadan, dan jika wanita
yang sukarela itu mahram bagi anak yang diasuhnya, maka ibu diberi pilihan untuk
memilih menahan upah yang akan diberikan kepadanya atau memberikannya kepada
wanita yang telah sukarela untuk mengasuh, namun hal ini terikat dengan 2
keadaan:
1. Keadaan ayah yang sulit secara ekonomi, terlepas dari keadaan anakanya
apakah anaknya tersebut memiliki harta atau tidak.
2. Keadaan ayah yang lapang dalam hartanya, dengan keadaan anak yang lapang
pula dalam rezekinya dan ayah bermaksud untuk memelihara harta anaknya, karena
dalam keadaan ini upah dibebankan kepada harta anaknya.[19]
Maka jika ayah memiliki harta yang berlebih dan anaknya tidak memiliki
harta maka ibu didahulukan dalam pemberian hak asuh terhadap anaknya
walaupun ibu tersebut meminta upah, hal ini untuk kebaikan anaknya.
Golongan Al-Malikiyah berpendapat bahwa tidak adanya upah dalam pengasuhan,
Malik pernah berkata: orang yang memiliki hak asuh maka ia diberi nafkah dari
harta anak yang diasuhnya, dan terdapat perbedaan hukum ketika pengasuh
tersebut termasuk dari kalangan yang mampu, namun jika pengasuh tersebut
seseorang yang tidak mempunyai harta maka ia diberikan nafkah karena
kefakirannya bukan karena pengasuhan yang telah dilakukannya.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengasuh anak-anak yang
masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak
yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi
anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan,
pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya.
Orang yang melakukan
hadhanah haruslah mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai
keinginan agar anak itu menjadi baik (shaleh) dikemudian hari. Disamping itu,
ia juga harus mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu.
Masa berlakunya
hadhanah akan berakhir apabila si anak kecil sudah tidak lagi memerlukan
pelayanan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk
mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti: makan, berpakaian, mandi, dll.
Dalam hal ini tidak ada betasan tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja
ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk mengurus
dirinya sendiri.
Ibu tidak berhak atas
upah hadhanah dan menyusui selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil
itu, atau selama masih dalam masa iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih
mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.
B. Saran
Demikianlah makalah Pengembangan Kurikulum Tentang
Strategi Guru dalam memotivasi siswa belajar PAI di MTsS Raudhatul Fata Kota
Lhokseumawe yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
kita. Kritik dan saran yang membangun dari pihak pembacasangat kami harapkan
demi perbaikan makalah ini
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Monir Yacoob & Siti Shamsiah. Hukum Keluarga Islam
(Institut pemahaman Islam.2006)
Abdul Monir Yacoob & Siti Shamsiah. Hukum Keluarga Islam
(Institut pemahaman Islam.2006)
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Mazhab Syafi’i (Bandung;
Penerbit Pustaka Setia. 2000)
M. Mahdil
Mawahib, Fiqih Munakahah, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009)
Mat Saad Abd. Rahman. Hukum Keluarga Islam: Aturan Perkawinan: Suatu
Pendekatan Berdasarkan Praktik Sekarang: (Jakarta; Percetakan Zafar. 2007)
Mohd Radzuan Ibrahim. Munakahat: Hukum & Prosedur: ( Bandung;
Publishing House. 2006)
Mustofa al-Khin, Mustofa Al-Bugho & Ali Asy Syarbaji. Kitab fiqih Mazhab
Syafi’i (Bandung; Prospecta Printers.2002)
Mustofa al-Siba’i. Syarh Qanun al-Ahwal Syakhsiah (Maktab
Islami.1997)
Rahman Ghozali Abdul, Fiqih Munhakhat
( Jakarta, Kencana, 2008)
Slamet Abidin dan H.
Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)
Syaikh Hasan
Ayyub, Fiqh Keluarga, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008 )
Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
[2]M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah, (Kediri: STAIN Kediri
Press, 2009), h. 53
[4]Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih... h. 215
[5]Abdul Monir Yacoob & Siti Shamsiah. Hukum Keluarga Islam
(Institut pemahaman Islam.2006) h. 45
[6]Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Mazhab Syafi’i (Bandung;
Penerbit Pustaka Setia. 2000) h.73
[9]Mohd Radzuan Ibrahim. Munakahat: Hukum & Prosedur: ( Bandung;
Publishing House. 2006) h. 32
[11]Mat Saad Abd. Rahman. Hukum Keluarga Islam: Aturan Perkawinan: Suatu
Pendekatan Berdasarkan Praktik Sekarang: (Jakarta; Percetakan Zafar. 2007)
h. 29
[14]Mustofa al-Khin, Mustofa Al-Bugho & Ali Asy Syarbaji. Kitab fiqih
Mazhab Syafi’i (Bandung; Prospecta Printers.2002) h. 72
[15]Mustofa al-Siba’i. Syarh Qanun al-Ahwal Syakhsiah (Maktab
Islami.1997) h. 66
[16]Abdul Monir Yacoob & Siti Shamsiah. Hukum Keluarga Islam
(Institut pemahaman Islam.2006) h. 34
[17]Mat Saad Abd. Rahman. Hukum Keluarga Islam: Aturan Perkawinan: Suatu
Pendekatan Berdasarkan Praktik Sekarang: (Jakarta; Percetakan Zafar. 2007)
h. 38
[20] Ibid,. h. 46
Komentar