Zawil Arham



MAKALAH

HUKUM HARTA DALAM KELUARGA ISLAM
TENTANG PENGERTIAN ZAWIL ARHAM

Di Buat  Oleh :
Nama ;  Abdillah
NIM : 2018540573



Dosen Pembimbing:
Dr. Munadi. M.A

Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2018-2019


DAFTAR ISI

A.Pendahuluan dan Pengertian Dzawil Arham……………………….................………  4
B. Pembahasan…………...…………………..     6
C. Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh kedua Imam…………...   7
D. Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah………………………...……   9
E. Adapun Pada logikanya seperti berikut……………………………………10
F. Tujuan Diberlakukan KHI adalah………………………………………….11
a. Perintah menyebarluaskan KHI………………………………………….. 11
b. Rumusan Hukum dalam KHI……………………………………………. 11
c. Menunjukkan  secara   tegas  wilayah  berlaku   pada  instansi…………11
G. Waris Menurut Hukum Islam dan Intruksi Presiden ……………………..12
1).Tentang Kompilasi Hukum Islam………………………………………….12 
a.  Karena adanya hubungan Nasab atau kekerabatan …………………..12
b.  Karena  ada hubungan  perkawinan  antara  Pewaris  dan  Ahli Waris..12
c.  Karena walak yaitu hubungan antara budak…………………………. 12
d. Jihatul Islam (Baitul Mal)……………………………………………….13
2).Pewaris  Menurut Hukum Islam  dan  Inpres No. 1  Tahun  1991…………..13
a.  Bersifat Perseorangan yaitu……………………………………………13
b.  Telah meninggal dunia atau dinyatakan meninggal dunia…………….13
c.   Beragama Islam, syarat ini untuk mempertegas……………………….13
d.  Meninggalkan ahli waris dan Harta Peninggalan yaitu……………… 13
3).      Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Inpres No. 1 Tahun……………13
4).      Menurut hubungan perkawinan yaitu duda atau janda………………….14
5).      Penyebab seseorang tidak dapat menerima waris………………………14
6).      Penghalang seseorang untuk menerima harta warisan…………………15
7).      Penghalang seseorang untuk menerima waris……………………………15
8).      Dalam Pasal 173 KHI, seseorang terhalang……………………………..15
9).      Harta Warisan Menurut Hukum Islam dan Inpres No. 1 Tahun…………15
10).      Wanita yang Telah memerdekakan budak………………………………16
H. Cara Pembagian Waris Para Kerabat (Dzawil Arham)………………………17
a.    Mengutamakan dekatnya kekerabatan………………………………….. 17
b.  Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama……………18
c. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan…………………………..18
I.Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham………………………18
a.  Pemberian hak waris terhadap para dzawil arham………………………17
b.  Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan)……………..19
c.  Ahli Waris Ada Dua Dari Pihak Laki Laki Dan Dari Pihak Perempuan….20
d.  Adapun Yang Maksud Pembahasan Di Makalah Ini Tentang……………20
J.  Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini…………………………21
K. Perincian Bagian Setiap Ahli Waris Dan Persyaratannya……………………21
L. Bahagian Ayah………………………………………………………………22
M..Bahagian Kakek…………………………………………………………….22
N. Bahagian Suami…………………………………………………………….22
O.Bahagian Anak Perempuan……………………………………………….. 23
1.    Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki………..23
2.    Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih ………………………….23
3.    Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri ……………………..23
P. Bahagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki…………………………….23
Q. Bahagian Isteri……………………………………………………………….23
R. Bahagian Ibu…………………………………………………………………23
S. Bagian Nenek…………………………………………………………………24
T. .Bahagian Saudari Sekandung………………………………………………..24
U..Bahagian Saudari Sebapak…………………………………………………..24
W.Bahagian Saudara Seibu……………………………………………………..25
X.Persoalan Baitul Mal di Indonesia……………………………………………25
Y.Tugas Dan Fungsi Baitul Mal Aceh…………………………………………26.
Z.Penutup………………………………………………………………………..27



  PENENGERTIANDZAWILARHAM

A.  Pendahuluan Dan Pengertian Dzawil Arham
Hukum kewarisan Islam menurut pandangan Islam termasuk salah satu bagian dari fikih atau ketentuan yang harus di patuhi Umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal. Aturan tentang warisan ini di tetapkan Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an serta dalam hadis Nabi.  Dalam hukum kewarisan Islam ini terdapat banyak ahli waris yang ikut serta dalam menyelesaikan haknya. Diantaranya ahli waris Zul Arham yang berarti orang yang mempunyai Kerabat secara mutlak , baik dia shahih furudh atau ashabah atau bukan. Zul Arham ini merupakan suatu hubungan darah (senasab), sehingga dalam Zul Arham ini orang yang menjadi mewarisi harta yaitu orang yang mempunyai hubungan darah dengan simati.

Pengertian Dza-wil  arham,  Lafaz Dza-wil  satu huruf  Dza walau Cuma satu huruf dalam bahasa arab mempunyai makna yang artinya ‘mempunyai’ lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para ‘ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula ‘ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara ‘ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.  Adapun arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti ‘tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu’. Kemudian dikembangkan menjadi ‘kerabat’, baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna ‘kerabat’, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman Surat An-Nisa' Ayat 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (an-Nisa’: 1)[1]
Dalam surat lain juga di sebutkan tentang kerabat (QS. Muhammad : 22)
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan” (QS. Muhammad : 22)[2]

Dalam sebuah Hadist Rasulullah saw bersabda[3]:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ، قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Ya’quub Al-Kirmaaniy : Telah menceritakan kepada kami Hassaan : Telah menceritakan kepada kami Yuunus : Telah berkata Muhammad – ia adalah Az-Zuhriy– , dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim”

B. Pembahasan
Pendapat Beberapa Imam mujtahid tentang Dzawil Arham Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: Pendapat dua imam yaitu; Imam Maliki dan Imam Syafi’i bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau ‘ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu diserahkanhkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a.
Kedua:Pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah, bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun ‘ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas’ud, dan Ali bin Abi Thalib.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh dua Imam Malik dan Syafi’i ialah:
1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar’i dan qath’i dari Al-Qur’an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat  harta pusaka atau warisan. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil.

2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi –baik dari garis ayah maupun dari ibu– beliau saw. menjawab: “Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun.”  Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.

3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar –baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para ‘ashabahnya– bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan ‘ashabahnya ketimbang para kerabat.

C. Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh kedua Imam Abu Hanifah dan
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin hanbal menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur’an yang dimaksud ialah (al-Anfal: 75)[4]
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (al-Anfal: 75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ”ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah.  Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat –siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para ‘ashabah, atau selain dari keduanya– merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang baitulmal.  berdasarkan firman-Nya yang lain (an-Nisa’: 7)[5]:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (an-Nisa’: 7)[6]

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.

Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.

D. Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, “Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?” Qais menjawab, “Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.  Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk ‘ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para ‘ashabah.  Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Saudara laki-laki se ibu berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya.”  Atsar ini –yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw. merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan ‘ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.

E. Adapun Pada logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam –karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim. Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah. Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Syafi’i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para ‘ashabah.  Jadi, yang jelas –jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan– jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada ‘ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan. Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini . Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.

F. Tujuan Diberlakukan KHI adalah[7] :
a. Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain daripada kewajiban masyarakat  Islam  dalam  rangka  memfungsionalisasikan ekspalanasi ajaran Islam sepanjang yang normatif sebagai Hukum yang hidup.
b. Rumusan Hukum dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda dari keberlakuan Hukum Islam yang di tunjuk oleh Pasal 2 ayat (1) serta ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, segi Hukum formal di dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai segi Hukum yang diberlakukan secara sempurna,
c. Menunjukkan  secara   tegas  wilayah  berlaku   pada  instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.


Dalam Pasal 171 huruf (a) KHI menyatakan bahwa Hukum Waris dalam Hukum Islam atau Hukum Kewarisan adalah sebagai berikut:     “Hukum kew -arisan adalah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.  Berdasarkan ketentuan Pasal 171 huruf (a) KHI, Hukum Waris dalam KHI mencakup mengenai ketentuan dalam hal-hal yang terdiri dari[8]:
1.       Ketentuan yang mengatur siapa yang menjadi Pewaris,
2.       Ketentuan yang mengatur siapa yang menjadi Ahli Waris,
3.       Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan,
4.       Ketentuan    yang    mengatur    tentang    akibat    peralihan    harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris.
5.       Ketentuan  yang  mengatur  tentang  bagian  masing-masing  Ahli
Waris.

G. Waris Menurut Hukum Islam dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
1).Tentang Kompilasi Hukum Islam.  Menurut  Hukum  Islam  dan  Inpres  No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.  Sebab-sebab atau latar belakang terjadinya pewarisan atau mewarisi dalam Hukum Islam dikarenakan alasan-alasan sebagai berikut:
a.  Karena adanya hubungan Nasab atau kekerabatan hubungan darah Pewaris, baik hubungan darah secara garis vertikal seperti kakek, nenek, ayah, ibu, anak, cucu, dan lainnya atau karena hubungan  darah  secara  horizontal  (hawasyi)  seperti  saudara, paman, bibi, sepupu, dan lainnya,
b.  Karena  ada hubungan  perkawinan  antara  Pewaris  dan  Ahli Waris,
c.  Karena walak yaitu hubungan antara budak dengan orang  yang memerdekakannya, jika budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia  dan  tidak  meninggalkan  Ahli  Waris  maka  seluruh  harta warisannya jatuh ke tangan orang yang memerdekakannya,
d. Jihatul Islam (Baitul Mal) yaitu jika Pewaris tidak meninggalkan kerabat seorangpun sebagai Ahli Waris, maka harta peninggalan jatuh ke Baitul Mal (kantor perbendaharaan Negara).

2).Pewaris  Menurut Hukum Islam  dan  Inpres No. 1  Tahun  1991Tentang Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan  Pasal  171  huruf  (b)  KHI,  Pewaris  diartikan sebagai orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewaris (Muwarrits) dalam Hukum Waris Islam adalah orang yang pada saat meninggal dunia beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris.[9]  SyaratPewaris dalam Hukum Islam adalah[10]:
a.       Bersifat Perseorangan yaitu pewaris haruslah perorangan atau individual,
b.       Telah meninggal dunia atau dinyatakan meninggal dunia,
c.       Beragama Islam, syarat ini untuk mempertegas asas personalitas keIslaman. Bila pewaris tidak beragama Islam sudah barang tentu tidak berlaku Hukum Waris Islam,
d.      Meninggalkan ahli waris dan Harta Peninggalan yaitu seseorang yang meninggal dunia akan menjadi pewaris jika ia meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Apabila ia hidup sebatangkara dan meninggal tanpa meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta peninggalannya atas putusan pengadilan agama diserahkan penguasanya pada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

3).Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Inpres No. 1 Tahun 1991Tentang Kompilasi Hukum Islam Ahli Waris menurut Pasal 171 huruf (c) KHI adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan  dengan  pewaris,  beragama  Islam  dan  tidak  terhalang karena Hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli Waris menurut Pasal172 KHI harus beragama Islam yang dapat diketahui kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Berdasarkan  Pasal 174 KHI ayat (1) KHI,  Ahli Waris dibedakan berdasarkanMenurut hubungan darah yaitu:
a.       Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman,  kakek,
b.       Golongan  perempuan  terdiri  dari  :  ibu,  anak  perempuan, saudara perempuan dari nenek.

4).Menurut hubungan perkawinan yaitu duda atau janda, atau  Ahli  Waris  dalam  Hukum  Islam dikategorikan sebagai berikut:
a. Golongan Dzawil Furudi golongan Ahli Waris yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu seperti anak perempuan, ibu, ayah, suami (duda), isteri (janda), cucu perempuan dari anak laki-laki,   saudara   perempuan   kandung,   saudara   perempuan seayah,  saudara  laki-laki,  dan  perempuan  seibu,  kakek,  dan nenek,
b. Golongan  Ashabah   yaitu   golongan   Ahli   Waris   yang  tidak ditentukan bagiannya, kadang kala hanya sisa warisan apabila masih         ada.Ahli    Waris    dari    Golongan    Dzawil    Furudi, mendapatkan seluruh warisan apabila Golongan Dzawil Furudi tidak ada atau bahkan tidak mendapatkan warisan sama sekali.
c. Golongan   Dzawil   Arham   yaitu   golongan   ahli   waris   yang dihubungkan nasabnya dengan Pewaris karena Pewaris sebagai leluhur yang menurunkannya dan hanya dalam hubungan darah pada garis wanita saja.

5).   Penyebab seseorang tidak dapat menerima waris atau penghalang warisan walaupun orang tersebut memiliki hubungan darah (nasab) atau perkawinan dengan Pewaris dalam Hukum Islam dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu :
a. Mamnu atau Mahrum yaitu orang yang berhak tetapi kepadanya terdapat penghalang sehingga ia tidak dapat menerima harta peninggalan akibat melakukan perbuatan yang melanggar Hukum Islam,
b. Mahjub yaitu orang yang memenuhi syarat dan memiliki sebab untuk menerima warisan, namun dikarenakan masih ada Ahli Waris  lain  yang hubungan  kekerabatannya lebih  dekat  dengan Pewaris, maka orang tersebut terhalang untuk menerima harta waris (hijab).

6).Penghalang seseorang untuk menerima harta warisan dalam kategori Mamnu atau Mahrum yaitu:
a.  Pembunuh yaitu orang yang membunuh Pewaris, maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya (Pewaris),
b.  Perbedaan Agama antara Pewaris dan Ahli Waris,
c. Murtad yaitu orang yang meninggalkan Agama Islam beralih menjadi agama lain karena kemauannya.

7).   Penghalang seseorang untuk menerima waris dalam kategori Mahjub sehingga orang tersebut terhijab, tidak dapat menerima waris terdiri dari:
a.  Hijab Nuqshon yaitu penghalang yang mengurangi bagian Ahli Waris, karena masih ada Ahli Waris lain yang bersama-sama dengan sehingga bagiannya berkurang,
b.  Hijab  Hirman  yaitu  penghalang  yang  mencegah  Ahli  Waris untuk  memperoleh  warisan  karena  ada  Ahli  Waris  lain  yang lebih dekat hubungan atau hubungan kekeluargaan dengan pewaris.

8).   Dalam Pasal 173 KHI, seseorang terhalang untuk menjadi ahli waris adalah dikarenakan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan Hukum yang tetap, yang dikenal Hukuman karena:
a.  Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris,
b.  Dipersalahkan secara memitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam
dengan  Hukuman  5  tahun  penjara  atau  Hukuman  yang  lebih berat.

9).Harta Warisan Menurut Hukum Islam dan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Harta warisan atau Harta Waris menurut Pasal 171 huruf (e) KHI adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan  untuk  keperluan  pewaris  selama  sakit  sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabatan. Sebelum harta peninggalan tersebut dapat dibagikan kepada ahli waris, harus dikeluarkan terlebih dahulu hak-hak  yang berhubungan  dengan  harta peninggalan  Pewaris  (Al- Muwarits atau si mayit)[11]

H. Cara Pembagian Waris Para Kerabat (Dzawil Arham)
Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat (Dzawil Arham), Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.  Tidak ada penta’shib (‘ashabah). Sebab ‘ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para ‘ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para shahibul fardh.  Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.  Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
b.    Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya. Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul fardh atau ‘ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui dzawil arham.
b.  Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.

c. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan.

I.Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
a.  Pemberian hak waris terhadap para dzawil arham, bagian laki-laki dua kali lebih besar daripada perempuan, sama halnya pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki/ perempuan seibu.
1.         Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
2.    Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para 'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para shahibul fardh. Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.
b.Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
1.  Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
2.  Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui dzawil arham.
3.  Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
4.  Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan.

c.Ahli Waris Ada Dua Dari Pihak Laki Laki Dan Dari Pihak Perempuan Di Sebut Ahli Furuzd Selain Dari Keduanya Di Sebut Zawil Arham.Laki-Laki Yang Berhak Menerima Pusaka Ada 15 Orang;
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Bapak
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki seba[12]pak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Suami
11. Paman sekandung
12. Paman sebapak
13. Anak dari paman laki-laki sekandung
14. Anak dari paman laki-laki sebapak
15. Laki-laki yang memerdekakan budak
Selain yang disebut di atas termasuk “dzawil arham”, seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapat harta waris.

d. Adapun Yang Maksud Pembahasan Di Makalah Ini Tentang Ahli Waris Perempuan/ dzawil arham Secara Terinci Ada 11 Orang
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek / ibunya ibu
5. Nenek / ibunya bapak
6. Nenek / ibunya kakek
7. Saudari sekandung
8. Saudari sebapak
9. Saudari seibu
10. Isteri
11. Wanita yang Telah memerdekakan budak
Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta warisan bila:[13]
1. Bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.
2. Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung
3. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu.
f.       Perincian Bagian Setiap Ahli Waris Dan Persyaratannya.
Bahagian Anak Laki-Laki
1.    Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
2.    Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
3.    Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
4.    Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.

l.   Bahagian Ayah
1. Mendapat 1/6, bila si mayit memiliki anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan anak laki dan bapak, maka harta dibagi menjadi 6, Ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak.
2. Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat ½ dari peninggalan isterinya, bapak ashabah (sisa).
3. Mendapat 1/6 plus ashabah, bila hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapat ½, ayah mendapat 1/6 plus ashabah. Mengenai seorang anak wanita mendapat ½, lihat keterangan berikutnya. Semua saudara sekandung atau sebapak atau seibu gugur, karena ada ayah dan nenek.

M.Bahagian Kakek
1. Mendapat 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada bapak. Misalnya si mati meninggalkan anak laki-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6, sisanya untuk anak laki-laki.
2. Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia
3. Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki, cucu laki dan bapak, dan tidak ada ahli waris wanita. Misalnya si mati meninggalkan datuk dan suami. Maka suami mendapatkan ½, lebihnya untuk datuk. Harta dibagi menjadi 2, suami =1, datuk = 1
4. Kakek mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan kakek dan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan mendapat ½, kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah (sisa).

Dari keterangan di atas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain kakek ada isteri atau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami atau isteri mengambil bagianya.
Adapun masalah pembagian kakek, bila ada saudara dan lainnya, banyak pembahasannya. Silahkan membaca kitab Mualimul Faraidh, hal. 44-49 dan Tashil Fara’idh, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 28 dan kitab lainnya.

N. Bahagian Suami
1.    Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
2.    Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk  2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan

O. Bahagian Anak Perempuan
1.    Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
2.    Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih
3.    Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.

P.Bahagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
1.    Mendapat ½, bila dia sendirian, tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
2.    Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, bila tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempaun.
3.    Mendapat 1/6, bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
4.    Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki. Cucu laki-laki mendapat 2, wanita 1 bagian. Misalnya si mati meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dibagi menjadi 10 bagian. Cucu laki-laki masing-masing mendapat 2 bagian, dan setiap cucu perempuan mendapat 1 bagian.

Q. Bahagian Isteri
1.    Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu
2.    Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu
3.    Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu

R. Bahagian Ibu
1.    Mendapat 1/6, bila ada anak dan cucu
2.    Mendapat 1/6, bila ada saudara atau saudari
3.    Mendapat 1/3, bila hanya dia dan bapak
4.    Mendapat 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa)
5.    Mendapat 1/3 setelah diambil bagian isteri, jika bersama ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan isteri. Maka isteri mendapat ¼, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa).

Sengaja no. 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari harta semua, agar wanita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki. [14]

S. Bagian Nenek
Nenek yang mendapat warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, ibunya kakek.
1.    Tidak mendapat warisan, bila si mati meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah.
2.    Mendapat 1/6, seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu.[15]

T.Bahagian Saudari Sekandung
1.    Mendapat ½, jika sendirian,tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, anak.
2.    Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek.
3.    Mendapat bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki, bapak. Yang laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian.

U.Bahagian Saudari Sebapak
1.    Mendapat ½, jika sendirian, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak,saudara ataupun saudara sekandung
2.    Mendapat 2/3, jika dua ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak, saudara ataupun saudara sekandung.
3.    Mendapat 1/6 baik sendirian atau banyak, bila ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan sebapak.
4.    Mendapat ashabah, bila ada saudara sebapak. Saudara sebapak mendapat dua bagian, dan dia satu bagian.

W.Bahagian Saudara Seibu
Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya
1.    Mendapat 1/6, jika sendirian, bila tidak ada anak cucu, bapak, kakek.
2.    Mendapat 1/3, jika dua ke atas, baik laki-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak, kakek



X. Persoalan Baitul Mal di Indonesia
Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak waris terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian perempuan, seperti halnya dalam pembagian para ‘ashabah, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Maka muncul pertanyaan, Apakah di Indonesia  ada baitul mal, khususnya pada masa kita sekarang ini kecuali  Aceh Peraturan Gubernur Nomor 137 Tahun 2016 tentang Baitul mal[16]. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: “telah lama tiada”. Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporak porandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan dan mereka para kolonialis mensekularisasi Indonesia tentang  pertanahan, hukum, Ekonomi,juga  pidana, memang yang tidak berhasil mereka sekulerisasi perkawinan dan waris tapi itupun berlaku di kalangan masyarakat itu sendiri di karnakan adat istiadat yang sangat kental. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: “Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam.” Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal.Lain hal nya di Aceh walaupun rakyat ndi aceh belum sepenuh nya mengerti tentang keberadaan baitul mal di karnakan pada baru baru ini baitul mal muncul kembali setelah konflik reda antara RI dan GAM Dan para pejuang Gerakan Aceh Merdeka menduduki perleman di tingkat Propinsi Aceh  Hal ini dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, maka para ulama aceh berpendapat bahwa pelimpahan harta pusaka yang tidak ada ahli waris ashabul usubah ashabul furud ke lembaga baitul mal lebih afdal ketimbang di serahkan ke kerabat zawir arham

Y.Tugas Dan Fungsi Baitul Mal Aceh
1. Sekretariat Baitul Mal Aceh dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Gubernur Nomor 33 tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Keistimewaan Aceh.  Selanjutnya Sekretariat Baitul Mal Aceh sebagai Satuan Kerja Pemerintah Aceh diatur dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 137 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Sekretariat Baitul Mal Aceh. Peraturan Gubernur Nomor 137 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Sekretariat Baitul Mal Aceh, pasal 5 menegaskan,tugas Sekretariat Baitul Mal Aceh adalah menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Baitul Mal Aceh dan menyediakan serta mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh Baitul Mal Aceh.
2. Pada pasal 6 Peraturan Gubenur tersebut menetapkan fungsi Sekretariat Baitul Mal Aceh, sebagai berikut:
a.     Penyusunan program Sekretariat Baitul Mal Aceh;
b.    Pelaksanaan fasilitasi penyiapan program pengembangan dan teknologi informasi;
c.     Pelaksanaan fasilitasi dan pemberian pelayanan teknis di lingkungan Sekretariat Baitul Mal Aceh;
d.    Pengelolaan administrasi keuangan, kepegawaian, perlengkapan, rumah tangga, dan ketatausahaan di lingkungan Sekretariat Baitul Mal Aceh;
e.     Pelaksanaan fasilitasi dan pelayanan teknis di bidang hukum dan hubungan umat;
f.     Pelaksanaan pengelolaan perpustakaan, dokumentasi dan publikasi;
g.    Pelaksanaan koordinasi dengan instansi dan/atau lembaga terkait lainnya dalam mendukung tugas pokok dan fungsi Sekretariat Baitul Mal Aceh;
h.    Pelaksanaan tugas-tugas kedinasaan lainnya yang diberikan oleh
Pimpinan Baitul Mal Aceh

Z.Penutup
Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut para ulama Empat Mazhab Imam Maliki, Imam syafi’I, Imam Hanafi, Imam Hambali. Pendapat ini banyak diterapkan di negara Arab dan negara Islam lainnya.  Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara pembagian masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad (keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, Namun saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapat merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut oleh ulama muta’akhirin mazhab Maliki dan Syafi’i —karena dari segi pengamalannya memang lebih mudah.


Daftar pustaka
[1] .   Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta : Kencana, 204) h. 149
[2].    Tengku Muhammad Ashidiegy, Fiqih Mawaris (Semarang : PT Pustaka Rizki Putera 1991)
[3].    Surwati. Fikih Mawaris 1 (Padang : Haifa Press) h. 65
[4] .   Suhrawardi, Hukum Waris Islam ( Lengkap & Praktis), (Jakarta : Sinar Grafika) h. 71
[5].    Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia https://tafsirweb.com/12982-surat-annisa'-ayat-7.html
[6].    Sayyid Sabig, Fiqih Sunah (Jakarta : Pena Ilmu & Amal) Jld 4. h 505
[7].    Syarifudin Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2004.
[8].    Tengku Muhammad Ashidiegy, Fiqih Mawaris Semarang : PT Pustaka Rizki Putera 1991.
[9].    Surwati, Fikih Mawaris 1 Padang : Haifa Press.
[10]   Suhrawardi, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis, Jakarta : Sinar Grafika.
[11]   Sayyid Sabig, Fiqih Sunah Jakarta : Pena Ilmu & Amal Jld 4.
[12]   tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabiahttps://tafsirweb.com/12982-surat-annisa'-ayat-7.html




[1].Tafsir Ringkas Kemenag — Kementerian Agama RI Referensi: https://tafsirweb.com/1533
[2] (Tafsir Al-Jalalain, Muhammad 47:22)
[3]    HR.Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata [Shahiih Al-Bukhaariy no. 2067].
[4] Tafsir Ringkas Kemenag — Kementerian Agama RI https://tafsirweb.com/2941-surat-al-anfal-ayat-75.html
[5].Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
[6] Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
[7]. Abdul  Gani  Abdullah,  Pengantar  Kompilasi  Hukum  Islam  Dalam  Tata  Hukum
Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hlm. 62.

[8]. Hj. Ratu Haika, Hukum Kewarisan Indonesia (Analisa Terhadap Buku II Kompilasi
Hukum Islam), Mazahib 4:2, Jakarta, 2007, hlm. 148.

[9].Subschan Bashori, Al  Faraidh,  Cara Mudah Memahami Hukum Islam, 2009, hlm. 10.
[10].31  Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, 2009, hlm. 53.
[11] Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Harta warisan atau Harta Waris menurut Pasal 171 huruf (e) KHI
[12]. Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 775-776
[13]. Muhtashar Fiqhul Islam, hal. 776
[14] Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 778-779 dan Al-Mualimul Fara’idh, hal. 35
15. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 780
[15] Suhrawardi, Hukum Waris Islam ( Lengkap & Praktis), (Jakarta : Sinar Grafika) h. 71
[16]. Nomor 137 Tahun 2016 tentang Baitul mal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah