NASAHK MANSUKH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi pedoman
manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah
juga menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk memperbaiki umat
di bidang aqidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah
memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara
keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu
dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak
cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf
pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah memasuki era
perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’ (pemberlakuan
hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang
lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan
ilmuNya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya
milikNya. Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain untuk menjaga
kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang yang
pertama dan yang terkemudian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh?
2. Bagaimana sejarah Nasikh dan Mansukh?
3. Apa saja klasifikasi Nasikh dan Mansukh?
C. Tujuan Penulisan
1. pengaertian antara Nasikh dan Mansukh
2. memahami sejarah Nasikh Mansukh
3. pendapat tentang Nasikh dan Mansukh klasifikasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh
menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya
dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan
bayang-bayang dan nasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan
jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan
sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya,
saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan (QS,Al-jatsiyah:29).
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا
كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan
apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah)
memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah nakh
ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang
lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa prinsip “segala
sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah) tidak termasuk yang di
naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan
(penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan
ijma’ atau qiyas seperti : (QS. Al-Baqarah ;106)
وَ
ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ
إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah [83]. Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ;106)
Kemudian di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil
haram.”(QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat inilah yang
benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh
sebab ia berkanaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang
dilakukan diatas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan
demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam
Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardlu lima waktu. Dan
yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang
ditetapkan dalam sunnah.
B.
Sedangkan
pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat
mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah
menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab
syar’i yang datang lebih kemudian hari khitab yang hukumnya di mansukh
c. Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama
menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti
firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya” (QS.Al-Baqarah;109),
وَدَّ
كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ
كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ
الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya;
“Sebahagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata
bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
adalah muhkam, tidak mansukh,
sebab ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu
tidak ada naskh di dalamnya.
C.
Sejarah
Nasikh dan Mansukh
Asal mula timbulnya teori nasikh
ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan
dan tidak dapat dikompromikan. Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang
lazim dikenal dengan sebutan al-bada’ diperselisihkan dikalangan antar pemeluk
agama. Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’ dan penerimaan
kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya
perbedaan paham ketiga agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya. Yahudi
dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh
mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka
adalah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan
adakalanya karena suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini
pun mustahil pula bagi-Nya. Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan,
sebab masing-masing hikmah naskh dan mansukh telah diketahui oleh Allah labih
dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah
karena sesuatu maslahah yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala
milikNya. Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar
pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalah
pahaman. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui
masalah ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada
seorang hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yang mansukh?” “Tidak”
jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan
orang lain.”
D. Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat
beberapa cara:
a. Keterangan tegas dari Nabi
b. Ijma’ Ulama bahwa ayat ini nasikh dan yang itu
mansukh
c. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana
yang belakangan berdasarkan sejarah.
E. Klasifikasi Nasikh
dan Mansukh
a. Naskh Al-qur’an
dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’ani bil Qur’ani)
Bagian ini dsiepakati
kebolehannya dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya
naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b. Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul
Qur’ani bissunnati)
c. Naskh sunah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah
bil Qur’aani)
Naskh ini menghapuskan hukum yang
ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan
Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’. Contohnnya seperti
berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga
dinasakh firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan
hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari
Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan
Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang
yang berpuasa dan ada yang tidak.
d. Nasikh sunah
dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)[2]
Adapun menasakh ijma’ dengan
ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shahih
tidak membolehkannya.
F. Naskh ini ada dua macam:
1).Naskh Al-qur’an
dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh
hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan,
sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula
menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun
(diduga).
2). Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh
senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat,
sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman (QS. An-Najm 3-4);
مَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ( 4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (5)
Artinya:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya
itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.(4) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya”(5).(QS. An-Najm 3-4)[3]
Dalam pada itu Asy-syafi’i,
Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini,
berdasarkan firman Allah, (QS. Al-Baqarah:106)
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Artinya:
“Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah:106)
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?
4. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang
menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian
yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari
Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Dan Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
5. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya
sebagai berikut:
a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak
d. Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di
dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung
kemudahan dan keringanan.[4]
Pengetaguan yang benar terhadap
teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu seseorang di dalam
memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana
teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian.Disisi lain,
pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa
sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan
sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak
dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.[5]
6. Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan
ketetapannya. Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:
a. Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya
Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni Nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena sesuatu hikmah
yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya. Cara berdalil mereka ini tidak dapat
dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah
lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah
karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan
hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya. Orang Yahudi
sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan
dalam nas-nas Taurat pun terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang
atas Bani Israil yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah
berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ
إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ
التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Semua makanan adalah halal bagi
Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk
dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran 93)[6]
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa
Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan
pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar
membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun
kemudian perintah in idicabut kembali.
b. Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan
dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’
sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi
mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu
mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada
Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ
أُمُّ الْكِتَاب
Artinya:
“Allah menghapuskan apa yang ia
kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d :39)
dengan pengertian bahwa Allah
siap untuk menghapuskan dan menetapkan. Paham demikian merupakan kesesatan yang
dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah:
Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan
menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu
penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan
keburukan dengan kebaikan.
c. Abu Muslim
al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi Naskh dalam Al-Qur’an.
Pendapat Abu Muslim ini tidak
dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului
oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu
yang membatalkannya.
d. Jumhur Ulama.
Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah
pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung
padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu
dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui
kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan
Naskh dan terjadinya. Antara lain:
a). Firman
Allah (QS.An-Nahl :101)
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا
إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.
(QS.An-Nahl :101)[7]
b). Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas
r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an
diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun
segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya…” (Al-Baqarah :106)[8]
BAB
III
SIMPULAN
A. Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan
dalil hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan
bahwa prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah
hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian,
diantaranya:
1. Naskh
Al-qur’andengan Al-qur’an
2. Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
3. Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
4. Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
B. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya
sebagai berikut:
1. Memelihara kepentingan hamba
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat
tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang kebihringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.
C. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah
suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum
syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung
pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu
dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui
kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan
Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu
ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl 101)
Dalam sebuah hadist shahih, dari
Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai
Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun
segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya…” (Al-Baqarah :106)[9]
DAFTAR
PUSTAKA
[2] MannaKhalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an,
PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:2001.Hlm. 325-334.
[3] Rosihon Anwar,
Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.Hlm.165-166.
[4] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia,
Bandung: 2001.hlm.278.
[6] Manna Khalil Al-Qattan, Op.Cit. hlm.330-334.
[8] http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-
yang- mengharamkan-makanan/
[9] Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa,
Jakarta: 2001.
[10] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.
[11] Rosihon Anwar, Ulum
Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.
[2]. Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an,:2001.Hlm.
325-334.
[4]
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an,
2000.Hlm.165-166.
[5] Nor Ichwan, Memahami
Bahasa Al-Qur’an, 2001.hlm.278.
[7]
TafsirQ.com
adalah sebuah search engine khusus tafsir Al-Quran dan Hadits, untuk
Hadits.2015-2019
[8]
Manna Khalil Al-Qattan, hlm.330-334.
[9] Ibid halaman ;12
Komentar