POLIGAMI MENURUT DALAM PANDANGAN ISLAM



MAKALAH
POLIGAMI MENURUT DALAM PANDANGAN  ISLAM

Untuk Memeneuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Hadist Tematik

Oleh
Abdillah ;
NIM; 2018540573

Pembimbing ;
Dr.Husni.M.A

Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2017-2018
        
KATA PENGANTAR

Kami Mulai Dengan Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat serta sejahtaera , Taufik dan Hinayahnya sehingga saya  dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini seacra bersama sama dalam bentuk kerja kelompok walauaupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat bermamfaat sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi kita dan pemirsa para pembaca .
Harapan Saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga Kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu kami mengundang /perhatian pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan .
Terima kasih kami ucapakan, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua sedang belajar Pascasarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe
         
DAFTAR ISI

LAMPIRAN…………………………………………...…….x
KATA PENGANTAR……………………………....…..i
DAFTAR ISI……………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………….…..4
BAB II PEMBAHASAN……………………………………….....6
         A.  Pengertian Poligami……………….....7
         B.  Poligami Menurut Syari’at Islam..8
         C.  Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam.11
BAB III Penutup……………………………….…...14
Daftar Pustaka…………………………………...17
BAB I
PENDAHULUAN
Membicarakan poligami di Indonesia ini se akan akan rasa toleransi sesame perempuan sudah tidak ada lagi se akan akan poligami ini satu bentuk yang sangat menakutkan bahkan serasa rasa bagi se orang perempuan yang sudah hilang rasa toleransi sesame perempuan bahwa poligami ini satu musim pembunuh .
Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak di tengah umat. Akibatnya, berbagai syubhat (kerancuan berpikir) anti poligami pun menjadi konsumsi harian para istri. Karena itu, tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosi. Ibarat api dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun pasti.
            Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi. Para suami dihujat dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah melakukan dosa besar yang tak bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika para suami itu berbuat serong, punya wanita simpanan lain (WSL) yang tak halal baginya alias selingkuh. Reaksi sebagian istri justru tak sehebat ketika dipoligami. Ini namanya kalau istilah keren di rumah suami saya di luar milik orang, yang penting jangan kawin lagi cukup satu istri
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diam seribu bahasa. Yang penting tidak dimadu! Itulah sekira letupan hati mereka.

    BAB I
A.  Pendahuluan
Membicarakan poligami di Indonesia ini se akan akan rasa toleransi sesame perempuan sudah tidak ada lagi se akan akan poligami ini satu bentuk yang sangat menakutkan bahkan serasa rasa bagi se orang perempuan yang sudah hilang rasa toleransi sesame perempuan bahwa poligami ini satu musim pembunuh .
Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak di tengah umat. Akibatnya, berbagai syubhat (kerancuan berpikir) anti poligami pun menjadi konsumsi harian para istri. Karena itu, tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosi. Ibarat api dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun pasti.
Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi. Para suami dihujat dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah melakukan dosa besar yang tak bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika para suami itu berbuat serong, punya wanita simpanan lain (WSL) yang tak halal baginya alias selingkuh. Reaksi sebagian istri justru tak sehebat ketika dipoligami. Ini namanya kalau istilah keren di rumah suami saya di luar milik orang, yang penting jangan kawin lagi cukup satu istri
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diam seribu bahasa. Yang penting tidak dimadu! Itulah sekira letupan hati mereka. Tak heran, bila di antara para suami “bermasalah” itu lebih memilih berbuat selingkuh daripada poligami. Bisa jadi karena pengalaman mereka bahwa selingkuh itu “lebih aman” daripada poligami. Sampai-sampai ada sebuah pelesetan, selingkuh itu “selingan indah keluarga utuh”. Padahal selingkuh itu menjijikkan.

Selingkuh adalah zina. Selingkuh diharamkan dalam agama dan tak selaras dengan fitrah suci manusia. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau.bersabda[[1]]:

كُـتِبَ عَلَـى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُـهُ مِنَ الـِزّنَا مُدْرِكٌ ذٰلِكَ لَا مَـحَالَـةَ : فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُـمَـا النَّظَرُ ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُـمَـا الْاِسْتِمَـاعُ ، وَالـِلّسَانُ زِنَاهُ الْـكَلَامُ ، وَالْيَـدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْـخُطَى ، وَالْقَلْبُ يَـهْوَى وَيَتَمَنَّى ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَ يُـكَـذِّبُـهُ
Artinya:
“Telah ditentukan atas anak Adam (manusia) bagian zinanya yang tidak dapat dihindarinya : Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah dengan meraba atau memegang (wanita yang bukan mahram, Pen.), zina kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah menginginkan dan berangan-angan, lalu semua itu dibenarkan (direalisasikan) atau didustakan (tidak direalisasikan) oleh kemaluannya”.

Demikianlah di antara ragam fakta unik yang terjadi dalam ranah sosial kemasyarakatan kita. Memang aneh, tapi nyata. Dalam makalah ini kami mencoba mengupas apa itu poligami dan apa manfaat poligami bagi umat manusia, karna kita sebagai umat islam harus yakin semua yang di ciptakan Allah itu tidak ada yang sia-sia, dari benda-benda yang diciptakan dan aturan-aturan yang dibuatnya tidak lain itu semua demi kepentingan manusia baik dalam keseimbangan sosial kemasyarakatan dan keseimbangan alam.

BAB II
B.   Pembahasan
A. Pengertian Poligami
Kata poligami, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.
Sedangkan pengertian poligami menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.
Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan gune yang berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti lak-laki.
Jadi, kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Sedangkan dalam bahasa arab poligami disebut ta’addud az-zaujat. Bagi kaum pria, pembahasan tentang poligami acap kali menjadi bunga hati.

B.  Poligami Menurut Syari’at Islam
Poligami adalah syariat Islam yang merupakan sunnah Rasulallah SAW. Dalilnya surah An-Nisa: 3, artinya[2]:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
     Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
a. Syarat-syarat Poligami Menurut poligami
1. Kemampuan Melakukan Poligami.
    Seorang lelaki yang berpoligami disyaratkan mesti memiliki    kemampuan agar tidak menyusahkan orang lain.
Poligami bukan perkara yang mudah kerana ia akan dipertanggung jawab di hari kiamat kelak. Dalil hadist [3]:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.

Artinya:
Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia melebihkan seorang daripadanya, maka pada hari Kiamat dia akan  bangkit dalam keadaan salah satu bahunya miring sebelah.”

[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1128) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 4617),   

Dalam riwayat lain:
“Lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya, maka dia   datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi  tubuhnya condong.”

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berucap, “Ya Allah, adapun hatiku, maka aku tidak bisa menguasainya. Adapun selain hal itu, aku berharap dapat berbuat adil.”

Inilah bentuk keadilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara isteri-isterinya. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami. Terkadang beliau mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isterinya tanpa persetubuhan, hingga beliau sampai kepada isterinya yang mendapat giliran pada hari itu lalu tinggal di sisinya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara isteri-isterinya; mana di antara mereka yang keluar bagiannya, maka dia keluar bersama beliau. Dan beliau menjatah untuk tiap-tiap mereka malam dan siang harinya

2. Berlaku Adil Terhadap Para Isteri Dalam Pembahagian   Giliran    dan Nafkah. Seorang suami wajib berlaku adil di dalam pembahagian. Jika dia bermalam dengan satu isterinya semalam atau dua malam atau tiga malam, maka dia mesti bermalam dengan isteri yang lain selama itu juga. Tidak boleh melebihkan salah satu dari isterinya di dalam pembahagian.
Tetapi tidak berdosa jika dia lebih mencintai salah satu isterinya, dan lebih banyak berjimak dengannya sebagaimana firman Allah bermaksud  (An-Nisaa:  129)
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin) di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Kerana itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain tergantung-gantung.”

3.  Seorang lelaki yang menikah menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya termasuk nafkah. Seorang laki-laki yang melakukan poligami memikul tambahan kewajiban nafkah dengan sebab bertambah isterinya.
Nafkah adalah, apa yang diwajibkan untuk isteri dan anak-anak yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan sebainya dan nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al-Quran, al-Sunnah dan Ijma’.
2.Tafsiir Ibni Katsir (I/598).

b. Fungsi Poligami Menurut Syari’at Islam
1. Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi mendapat isteri yang mandul. Lebih mulia suami menikah lagi untuk memperoleh keturunan dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya.

2. Ada juga kaum lelaki yang kuat syahwatnya tetapi mendapat isteri yang kuarang sex kerana sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lain. Lebih baik jika lelaki itu menikah dengan wanita lain yang halal daripada menceraikan isteri pertama.

3. Kaum wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang belum betul-betul sihat selepas melahirkan. boleh berpoligami untuk menyelamatkan suami dari pada terjerumus ke jurang perzinaan.

4.  Selain itu jumlah wanita terbukti lebih banyak daripada jumlah lelaki, terutama setelah terjadi peperangan yang memakan banyak korban dari kaum lelaki. Disini terdapat kemaslahatan sosial dan Toleransi bagi kaum wanita itu sendiri, yaitu untuk bernaung dalam sebuah rumah tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan merasakan cinta kasih dan pemeliharaan, serta nikmatnya menjadi seorang ibu. Hal ini dijelaskan dalam majalah Al mujtama no. 84 tanggal 24/4/1408 H :

8
Bahwa jumlah wanita terus naik sampai pada perbandingan angka 1:4 di Swedia, 1:5 di Uni soviet ada 1:6 dijepang pertambahan ini bukan hanya terjadi di Negara-negara Arab, misalnya di sebagian propensi Cina mencapai 1:10 dan juga di sebagian di negara – negara arab mencapai angka yang tidak jauh dari itu dan angka ini akan terus naik menjadi 4 kali lipat sebelumnya. Di Afrika negeri muslim sendiri perbandingannya mencapai 1:5 faktor berkurangnya angka leleki karena yang maju di garis depan dalam menghadapi tantangan maut (perang) yang mengakibatkan lebih banyak wanita di banding lelaki dan menambah problem negara hingga diketahuilah tidak ada solusi paling halal dan aman selain ta’addud.
 5.Poligami diharapkan agar dapat menghindarkan perceraian kerana isteri mandul, sakit atau sudah terlalu tua.

 6.Terdapat ramainya kaum telaki yang berhijrah pergi merantau untuk mencari rezeki. Di perantauan, mereka mungkin kesepian ketika sihat atau pun sakit. Lebih baik berpoligami daripada si suami mengadakan hubungan secara tidak sah dengan wanita lain.

 7.Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang tidak sah agar keturunan masyarakat terpelihara dan tidak disia-siakan kehidupannya. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat kemuliaan umat Islam. Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeda dari anak yang dari pernikahan yang sah. Jika gejala ini dibiarkan dan tidak ditangani dengan hati-hati

8.Untuk memberi perlindungan dan penghormatan kepada kaum wanita daripada keganasan serta kebuasan nafsu kaum lelaki yang tidak dapat menahan syahwatnya.

C.  Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam
ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX KHI, ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga syarat-syarat formal. Pertama, pasal 55 yang memuat syarat substansial dari pendapat poligami yang melekat pada seorang suami yaitu terpenuhinya keadilan yang telah ditetapkan, bunyi dalam pasal 55:
 (1).Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.

(2).Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.

(3).Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak  mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
       Syarat ini adalah inti dari poligami, sebab dari sinilah munculnya ketidak sepakatan dalam hukum akan adanya poligami.

Dan dipertegas pula didalamnya bahwa apabila keadilan tidak dapat dipenuhi maka seorang suami dilarang berpoligami. Kedua, pasal 56 yang berbunyi:

10
 (1).   Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus   mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2).    Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1)  dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3).    Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
     Pasal 56 diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia adalah negara hukum sehingga segala urusan hubungan manusia maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama (PA).

     Ketiga, pasal 57, yang berbunyi pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a.       isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat   disembuhkan;
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

11
   Pasal 57 diatas merupakan syarat-syarat substansial  yang melekat pada seorang isteri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami. Keempat, pasal 58 yang berbunyi:
(1).Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55    ayat

(2).maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 UUD No.1 Tahun 1974 yaitu :
     a. adanya pesetujuan isteri;
      b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin  keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.

(3).Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

(4) Persetujuan dimaksud pada ayat
 (1).huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin

12
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 58 diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang isteri sebagai respon terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami. Kelima, pasal 59 hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat

(2).    Dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Bunyi pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam
                               
13
 menghadapi perkara poligami dari isteri yang saling mempertahankan pendapatnya.      Dengan demikian ketentuan poligami dalam KHI tidak bertentangan dengan ruh nash. Namun menurut hasil penelitian Ratna Batara Minti dan Hindun Anisah, ditemukan permasalahan dalam praktek pembataan poligami melalui izin poligami. Ternyata hakim pengadilan di pengadilan tetap mengizinkan suami untuk berpoligami meskipun isterinya tidak mengizinkan. Dikatakan bahwa pada dasarnya persetujuan isteri bukanlah sesuatu yang mutlak harus diperoleh. Jika isteri tidak mau memberikan persetujuannya, namun hakim menemukan isteri tersebut ternyata tidak mau atau tidak dapat melakukan kewajibannya, maka hakim berhak mengizinkan suami untuk berpoligami, demi kemashlahatan. Bahkan menurut Mukti Arto, hakim bisa saja mengabulkan permintaan suami untuk berpoligami, meski tidak ada alasan apapun, karena isteri telah memberi persetujuannya.
_______________________
Jakarta pada tanggal 1 April 1975 Presiden Republik  Indonesia
Di tandatangan oleh bapak Soeharto
14

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Poligamai adalah perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang, dan poligami itu sendiri adalah adalah syariat Islam yang merupakan sunnah Rasulallah SAW.
Syarat-syarat Poligami: 1. Kemampuan Melakukan Poligami 2. Berlaku Adil Terhadap Para Isteri Dalam Pembahagian Giliran dan Nafkah 3. Seorang lelaki yang menikah menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya termasuk nafkah. Seorang laki-laki yang melakukan poligami memikul tambahan kewajiban nafkah dengan sebab bertambah isterinya.
Ternyata salah satu fungsi poligami itu sendiri justru menguntungkan bagi keseimbangan kehidupan sosial yang ada di dunia ini dikarnakan tidak berbanding seimbang dengan kaum peria, yang mana kaum wanita lebih banyak dari kaum peria.
ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX KHI, ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga syarat-syarat formal
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS An-Nisa, ayat ke-3).
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُو

[1]. HR. Asy-Syafi’i dalam Musnadnya.
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[3]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 18).
15
Daftar Pustaka

 [1].   HR. Al-Bukhari (no. 2494) kitab asy-Syariikah, Muslim (no. 3018) kitab at-Tafsiir, an-Nasa-i (no. 3346) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2068), kitab an-Nikaah

[2].    Tafsiir Ibni Katsir (I/598).

[3].    HR. At-Tirmidzi (no. 1128) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 4617), Malik (no. 1071) kitab ath-Thalaaq, dan hadits ini dalam riwayat Malik adalah mursal.

[4].    HR. Abu Dawud (no. 1914) kitab ath-Thalaaq, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiir al-Qur-aan (I/599): “Sanadnya bagus.”

[5].    HR. Asy-Syafi’i dalam Musnadnya.

[6].    Tafsiir Ibni Katsir (I/598).

[7].    Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 18).

[8].    HR. At-Tirmidzi (no. 1141) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi mengatakan: “Aku tidak mengetahui hadits ini marfu’ kecuali dari hadits Hammam, dan Hammam adalah perawi tsiqat dan hafizh.” Semua perawinya tsiqat (terpercaya), an-Nasa-i (no. 3942) kitab ‘Isyratun Nisaa’, Abu Dawud (no. 2133) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1969) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 9740) ad-Darimi (no. 2206) kitab an-Nikaah.

[9].    HR. Abu Dawud (no. 2135) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdur-rahman bin Abiz Zinad, dan ia shaduq tapi ditsiqatkan oleh sejumlah ahli hadits, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Ahmad (no. 24244).

[10].  HR. Muslim (no. 2445) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Abu Dawud (no. 2138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1980) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 24313), ad-Darimi (no. 2208) kitab an-Nikaah. 

[1] Takhrij Hadits Hadits Ini Shahîh, Diriwayatkan Oleh : 1. Al-Bukhâri, No. 6243. 2.Muslim, No. 2657 (21),Lafazh Ini Miliknya.
[2]Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[3] [2]. .HR. Al-Bukhari (no. 2494) kitab asy-Syariikah, Muslim (no. 3018) kitab at-Tafsiir, an-Nasa-i (no. 3346) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2068), kitab an-Nikaah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah