PEMAHAMAN HADIS TENTANG POLIGAMI (SEBUAH KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP HADIS-HADIS SOSIAL TENTANG POLIGAMI) PENELITI PUSAT STUDI AL-QUR’AN DAN HADIST


PEMAHAMAN HADIS TENTANG POLIGAMI (SEBUAH KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP HADIS-HADIS SOSIAL TENTANG POLIGAMI) PENELITI PUSAT STUDI AL-QUR’AN DAN HADIST

Universitas Islam Dunia,26 rajab 2021

Ditulis 0leh Walid Blang Jruen seputar fiqh munakahat

Cara memahami hadist dan ayat ayat Alqul’an

نبذة مختصرة

في هذا المقال ، يحاول المؤلف أن يرى حول تعدد الزوجات يطيع الإسلام. تعدد الزوجات هو شيء يحدث دائمًا في حياة الإنسان. كثيرا ما تناقش قضايا تعدد الزوجات. الجدل حول الصواب والخطأ بشكل مناسب لا ينتهي أبدًا. كما هو مكتوب في القرآن تم وصفه على نطاق واسع. ومع ذلك ، فإن حديث النبي محمد باعتباره أعلى مرجع بعد القرآن. هنا يتم تضمين بعض النص القرآني والحديث من خلال وجهة نظر التقاليد الموجودة في كتاب التفسير. لذلك يمكن أخذها في الاعتبار وقد توفر النتائج نظرة ثاقبة إضافية للحل وللجميع.

كلمات مفتاحية: تعدد الزوجات في الإسلام تعدد الزوجات في الإسلام

Abstrak

Pada Pembahasan kali ini Walid mencoba untuk melihat tentang poligami dalam Islam. Poligami adalah sesuatu yang selalu terjadi di sekitar kehidupan manusia. Masalah poligami memang sangat sering dibicarakan. Kontroversi tentang apa yang benar dan salah tidak pernah berakhir. seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an telah banyak dijelaskan. Namun hadits adalah sebagai wibawa tertinggi setelah Al-Qur'an. Disini Walid akan memasukkan beberapa teks Alquran dan hadits yang berhubungan dengan pandangan hadis yang ada dalam kitab tafsir. Sehingga dapat diambil suatu konsultasi dan hasil dapat memberikan wawasan tambahan tentang solusi dan untuk semua

Kata kunci: poligami dalam islam

Abstrack

In this article, the author tries to see about polygamy obey Islam. Poligamy is something  always happens around human life. Issues of polygamy is very often discussed. Controversy about what is right and wrong fittingly never end. as written in the Qur’an has been widely described. However, the hadith of the Propet Muhammad as the highest authority after the Qur’an. In here the outhor will be include some text Qur’an and hadith was related trough the viewpoint of existing traditions in the book of tafsir. So it can be taken a cloncusion and results may provide additional insight into the solution and for all.

Keywords: poligami, islam

A. Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kajian mengenai poligami ini selalu menjadi suatu pem bahasan yang menarik dan menimbulkan berbagai kesimpulan dalam pemahamannya.    Sehingga, penulis akan  mencoba  membahas  bagaimana  poligami  dalam  al-Qur’an untuk kemudian dikaji melalui sudut pandang hadis yang ada dalam kitab tafsir. Islam adalah agama yang mengatur semua kehidupan umatnya, tak terkecuali mengenai kehidupan berumah tangga bagi pemeluknya[1]

Dalam Islam, perkawinan tidak hanya merupakan legitimasi hubungan antara laki-laki dan perempuan semata-mata, melainkan juga sebagai wahana mewujudkan kasih sayang yang diberikan oleh Allah pda proses penciptaan-Nya yang pertama kali tersebut.[2]Islam bukanlah agama yang pertama kali menetapkan aturan poligami, dengan kata lain sebagai pelopor dalam melakukan poligami. Hal  ini diperkuat dengan fakta sejarah yang menyebutkan bahwa poligami telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat jauh sebelum Islam itu datang. Bahkan dikatakan bahwa sejarah poligami sama tuanya dengan sejarah manusia.Akan tetapi Islam tidak memungkiri adanya praktek poligami sebagaimana yang telah dijalani oleh Rasulullah SAW. namun poligami disini mempunyai aturan-aturan yang harus dijalani. 

Di dalam al- Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan tentang poligami (an-Nisa’/4:3,58,129).[3]Hadis-hadis yang berbicara tentang hal ini pun cukup banyak. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka fokus dalam penelitian ini adalah mengetahui hadis-hadis tentang poligami dan padangan poligami dalam kajian Islam.

B.Pembahasan

            Poligami merupakan permasalahan umat yang tidak pernah selesai, selalu saja terjadi pro dan kontra hingga sekarang, sebagian ada yang menolaknya dengan dalih kesetiaan cinta, ada juga yang mendukungnya karena ingin punya istri tiga, ada pula yang netral tidak mempedulikan nya, namun bagaimanakah aturan poligami menurut hukum islam Ada sebagian kalangan mengatakan bahwa suami hanya boleh berpoligami setelah adanya restu dan izin dari istri pertama. Benarkan demikian Saat Berpoligami, Harus Minta Izin Pada Istrinya Ini merupakan satu polemik tersendiri bagi pasangan suami istri. Seorang istri biasanya tidak akan rela berbagi suami dengan perempuan lain. Ini wajar mengingat rasa cemburu dari seorang perempuan.

            Dalam mazhab Syafii, terdapat dua ketentuan penting untuk seorang suami boleh melakukan poligami dan ia berlaku adil diantara istri-istrinya. Pengertian adil disini adalah adil yang sanggup dilakukan oleh seorang suami dalam kapasitasnya sebagai manusia, yaitu adil dalam masalah belanja, nafakah dan giliran bermalam, jika seseorang memberikan belanja lima puluh ribu perhari kepada istri pertama, maka ia juga harus memberikan nilai yang sama kepada istri yang kedua, demikian juga jika ia bermalam selama seminggu dirumah istri pertama, hal yang sama juga ia lakukan pada istri yang kedua, Inilah yang dimaksud adil dalam hal poligami, bukanlah adil yang dimaksud adalah adil dalam hal cinta, kasih sayang dan kekecenderungan hatinya, Tidak masalah jika seorang suami lebih mencintai istri pertamanya dari istri kedua. Yang demikian tidak akan membuat suami tidak adil.

            Mampu dalam hal nafakah. Nafakah atau biaya ketika atau sesudah nikah merupakan hal yang harus dipenuhi oleh suami ketika ingin melanjutkan pernikahan, karena semua biaya hidup istri adalah tanggung jawab suami setelah terjadinya ijab kabul antara suami dan wali. Namun demikian, nafakah yang dimaksud disini adalah kebutuhan pokok istri menurut status sosialnya,

            Dari dua poin di atas bisa disimpulkan jika seorang suami tidak wajib meminta izin istri pertamanya untuk berpoligami dengan catatan ia memenuhi dua syarat di atas, dapat berlaku adil dan adanya nafakah pernikahan. Bahkan ia boleh saja berpoligami tanpa sepengetahuan istrinya, karena seorang laki laki boleh menikahi sampai dengan empat istri selama ia bisa berlaku adil antara mereka.[4]

            Namun perlu diketahui, dua hal diatas bukanlah syarat untuk sah poligami. Maka pernikahannya dengan istri keduanya tetap sah walaupun ia tidak mampu bersikap adil dan tidak memiliki nafakah, hanya saja ia berdosa dengan sebab tidak adil. Karena dua hal diatas adalah kewajiban suami, artinya bila ia tidak adil maka ia akan berdosa dan bila ia tidak mampu memberi nafakah lahir maka istrinya boleh saja menfasakhnya.

            Sama halnya dengan suami yang hanya memiliki satu istri. Ia wajib bergaul dengannya dengan baik dan memberikan nafakah. Namun bukan berarti bila ia tidak punya nafakah, serta tidak mampu bergaul dengan baik dengan istrinya maka nikahnya tidak sah.

قيود إباحة التعدد[5]

اشترطت الشريعة لإباحة التعدد شرطين جوهريين هما:

1 - توفير العدل بين الزوجات: أي العدل الذي يستطيعه الإنسان، ويقدر عليه، وهو التسوية بين الزوجات في النواحي المادية من نفقة وحسن معاشرة ومبيت، لقوله تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة، أو ما ملكت أيمانكم، ذلك أدنى ألا تعولوا} [النساء:3/ 4] فإنه تعالى أمر بالاقتصار على واحدة إذا خاف الإنسان الجور ومجافاة العدل بين الزوجات.

وليس المراد بالعدل ـ كما بان في أحكام الزواج الصحيح ـ هو التسوية في العاطفة والمحبة والميل القلبي، فهوغير مراد؛ لأنه غير مستطاع ولا مقدور لأحد، والشرع إنما يكلف بما هو مقدور للإنسان، فلا تكليف بالأمور الجبلِّية الفطرية التي لا تخضع للإرادة مثل الحب والبغض.

ولكن خشية سيطرة الحب على القلب أمر متوقع، لذا حذر منه الشرع في الآية الكريمة: {ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء، ولو حرصتم، فلا تميلوا كل الميل، فتذروها كالمعلقة} [النساء:129/ 4] وهو كله لتأكيد شرط العدل، وعدم الوقوع في جور النساء، بترك الواحدة كالمعلقة، فلا هي زوجة تتمتع بحقوق الزوجية، ولا هي مطلقة. والعاقل: من قدَّر الأمور قبل وقوعها، وحسب للاحتمالات والظروف حسابها، والآية تنبيه على خطر البواعث والعواطف الداخلية، وليست كما زعم بعضهم لتقرير أن العدل غير مستطاع، فلا يجوز التعدد، لاستحالة تحقق شرط إباحته.

2 - القدرة على الإنفاق: لا يحل شرعاً الإقدام على الزواج، سواء من واحدة أو من أكثر إلا بتوافر القدرة على مؤن الزواج وتكاليفه، والاستمرار في أداء النفقة الواجبة للزوجة على الزوج، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج ... » والباءة: مؤنة النكاح.

حكمة تعدد الزوجات:

إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة.

C.Hadis  Dan Ayat Ayat Yang Mengenai Poligami 

Dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa ayat yang berbicara tentang poligami beserta asbab nuzulnya, dilengkapi dengan hadis- hadis Rasulullah SAW mengenai topik tersebut. Karena kata poligami merupakan kata asli bahasa Indonesia, sehingga tidak ada kata poligami yang tercantum begitu saja dalam al-Qur’an, tetapi dengan pengertian dari poligami tersebut terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang hal tersebut. Salah satunya terdapat dalam surat an-Nisa’ yaitu:

1. surat an-nisa’ ayat 3 Dalam  Alqur’an Allah berfirman:

وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا

Artinya :Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim..(QS.An-Nisa Ayat 3).

Permasalahan  dalam  perkawinan  yang  semakin  berkembang, menuntut para Ulama salaf maupun kontemporer untuk menuangkan buah pikirannya guna menjawab masalah yang semakin kompleks, dan pada gilirannya menimbulkan beberapa perbedaan pendapat.  Hal ini sangat wajar, mengingat  masalah  perkawinan  merupakan permasalahan munakahah dan  salah  satu  cabang  mu‟amalah yang terus bergerak dinamis dan menuntut jawaban dengan segera. Salah satu permasalahan dalam perkawinan yang hingga saat ini belum selesai diperdebatkan dan menimbulkan banyak kontroversi di kalangan para Ulama maupun Akademisi ialah masalah poligami.

2. hadis-hadis tentang Poligami

Hadits yang menjelaskan batasan empat istri dalam waktu bersamaan, diantaranya:

عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. رواه أبو داود و ابن ماجة

Artinya:Dari Qais bin al-Harits, ia berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi SAW tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda, ‘Pilihlah empat saja dari kedelapan istrimu tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ. رواه الترمذي

Artinya:Dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah. Istri-istrinya pun masuk Islam bersamanya, lantas Nabi SAW memerintahkan agar ia memilih empat orang dari istri-istrinya. (HR. Tirmidzi Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih).

         Imam Nawawi dalam al–Majmu’16: 137, menyatakan,”Diperbolehkan bagi seorang laki-laki mengumpulkan empat orang istri. Lebih dari itu tidak diperbolehkan, karena dalam ayat hanya menyebutkan: dua, tiga, atau empat.” Jadi, bila ada orang yang mempunyai istri lebih dari empat sekaligus, berarti telah melanggar hadits-hadits Nabi di atas. Na’udzubillah min dzalik. Apa pun alasannya, haram menikahi lima orang istri atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristeri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala, dan Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki berpoligami. Praktek poligami sudah menjadi fakta yang terjadi di masyarakat lama sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti sudah diketahui Nabi Ibrahim a.s beristerikan Siti Hajar disamping Siti Sarah dengan alasan karena isteri pertama belum memberikan keturunan kepada Nabi Ibrahim a.s. Dalil yang dijadikan landasan kebolehan poligami sesuai Firman Allah pada surat An- Nisaayat 3 di atas Ayat ini merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, yang kemudian disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena eratnya hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih dari satu sampai empat yang terdapat dalam ayat ini, maka akan dipaparkan secara singkat asal mula turunnya ayat ini. Menurut tarsir Aisyah r.a, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah isteri Nabi Saw, tentang ayat ini. Lalu beliau menjawabnya, Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini maksudnya adalah anak perempuan yatim yang berada dibawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya, lalu ia ingin menjadikannya sebagai isteri, tetapi tidak mau memberikan maskawin dengan adil, karena itu pengasuh anak yatim yang seperti ini dilarang menikahi mereka, kecuali jika mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan maskawin kepada mereka lebih tinggi dari biasanya

3.Memiliki kemampuan

Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan agar istri-istrinya itu terhindar dari kenistaan dan kerusakan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW. Bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya:"Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya." (HR Muttafaq 'alaih).

4.Telaah Kualitas Sanad Hadist

Setelah ditemukan dalam berbagai jalur periwayatan, kemudian dilanjutkan  dengan  pembahasan  mengenai  profil  dan  riwayat  hidup masing-masing para perawi hadis. Sumber penulisan riwayat hidup perawi diambil dari kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Imam Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqolaniy (2010: 92-661). Berikut profil dan riwayat hidup para perawi:

1. Al-Miswar bin Mukhramah

Nama lengkap beliau adalah al-Miswar bin Mukhramah bin Naufal bin Uhaib binAbdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, Az-Zuhri. Ibunya bernama as-Syifa binti Auf, saudara perempuan dari Abd ar-Rahman bin Auf. Karena  beliau  adalah  generasi  sahabat,  maka  tidak  dipungkiri bahwa beliau pernah meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, beliau juga mempunyai guru dan meriwayatkan hadis dari mereka, diantaranya adalah dari ayahnya, ‘Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Amr bin Auf, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, al-Mughirah, Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, al-Mughirah bin Suban dan lain sebagainya.

Dan murid Beliau atau yang pernah meriwayatkan dari Beliau adalah putrinya yaitu Ummu bakr, Marwan bin al-Hakim,Auf bin ath- Thufail,  Abu  Umamah  bin  Sahl  bin  Hunaif,  Said  bin  al-Musaib,‘Abdullah bin Hunain, Abdullah bin Abi Mulaikah, Ali bin al-Husain, Urwah bin al-Zubair,Amr bin Dinar, Muawiyah bin Abi Sofyan,  dan lainnya.

Pandangan para Ulama tentang beliau adalah beliau mempunyai umur  yang panjang. Menurut Amr bin Ali, al-Miswar dilahirkan  di Makkah setelah Nabi Hijrah pada tahun yang kedua, pada bulan Dzulhijjah tahun ke-8 Beliau ke Madinah dan wafat di bulan Rabiul akhir pada tahun ke-64. Maka tidak diragukan lagi bahwa al-Miswar adalah generasi sahabat dan bertemu dengan Nabi. Dari beberapa riwayat, tidak ada yang mengatakan ada jarh pada al-Miswar [6].                     2 .Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah

Nama lengkap beliau adalah Zuhair bin Abdullah bin Jud’an bin ‘Amr bin Kaab bin Said bin Taim bin Murrah al-Qurasyiy at-Taimiy. Dikatakan oleh Abu Ahmad bahwa Abi Mulaikah adalah seorang qadhi bagi Abdullah bin az-Zubair dan seorang muaadzin baginya. Beliau pernah meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat antara lain 

Abdullah bin Jafar bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin al-Saib al-Mahzumiy, al-Miswar bin Mukhramah, Abi Mahdzurah, Asma’, Aisyah, Ummu Salamah, Uqbah bin al-Haris, Thalhah bin Ubaidillah (dikatakan pula bahwa beliau tidak meriwayatkan darinya), Usman bin ‘Affan, Hummaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, al-Qasim bin Muhammad, Ibbad bin Abdullah bin az-Zubair, Urwah bin az-Zubair, ‘Alqamah bin Waqash, kumpulan dari mereka Ubaidillah bin Abi Yazid, dan yang meninggal sebelumnya yaitu Ubaid bin Abi Maryam al-Makiy, Abdurrahman bin Alqamah bin Waqash, Muhammad bin Qais bin Mukhramah, al-Miswar bin Mukhramah Yahya bin Hakim bin Shofwan bin Umayyah, Ya’la bin Mamlak, Abi Makhdhurah, dari kakeknya Abi Mulaikah, Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shidiq, Asma’ binti ‘Abdurrahman bin Abi Bakar ash-Shidiq. Selain itu beliau juga meriwayatkan hadis dari Aisyah dan Ummu Salamah.

Beberapa  yang  meriwayatkan  dari  beliau  adalah  putranya  yaituYahya, putra saudara perempuannya yaitu Abdurrahman bin Abi Bakr, ‘Atha’ bin Abi Rabah yaitu orang yang selalu bersamanya, Hummaid at-Thawil. Selain itu, beliau juga mempunyai murid yang pernah meriwayatkan hadis dari beliau, yaitu diantaranya adalah Abdul Aziz bin Rufai’, Amr bin Dinar, Abu at-Tayyah, Ayub, Jarir bin Hazim, ‘Usman bin Abi al-Aswad, Abu Yunus hatim bin Abi Shaghirah, Habib bin al-Syahid, Abdullah bin Usman al-Khutsaim, Ibnu Juraih, Abdul Wahid bin Aiman, ‘Ubaidillah bin al-Akhnas, Abu al-Umais al- Masudiy, Umar bin Sa’id bin   Abi Husain, Yazid bin ibrahim at- Tustariy, Nafi’ bin Umar al-Jumaiy, Abu Hilal al-Rasabiy, al-Laits, Imran bin Anas al-Makiy, dan lainnya.

Pandangan para Ulama tentang beliau adalah menurut Abu Zur’ah dan Abu Hatim, Abi Mulaikah adalah seorang perawi yang tsiqqah. Menurut Bukhari,Abi Mulaikah meninggal   pada tahun ke-117. Didalam Bukhari dikatakan bahwa Abi Mulaikah pernah bertemu dengan 30 Sahabat. Menurut Ibn Sa’id ada beberapa perawi yang tergolong perawi tsiqqah, salah satunya yaitu Abdullah bin Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Abi Mulaikah.

Oleh al-Ajali mengatakan bahwa Abi Mulaikah adalah ahli Makah, termasuk golongan Tabi’in dan tsiqqah. Ibnu Hibban berkata dalam pandangan ketsiqqahannya Abi Mulaikah bahwa benar karena Abi Mulaikah bertemu 80 dari sahabat nabi, meninggal tahun 17 M (menurut Ibn Qani’ 18 M). jika dilihat dari beberapa pandangan  dan  pendapat  para ulama  tentang beliau,  maka tidak diragukan lagi akan hadisnya[7]

3. Al-Laits

Nama lengkap beliau adalah al-Laits bin Sa’d bin Abdurrahman al-Fahmi  yang mendapat  julukan  Abu al-Harits.  Beliau  adalah  guru besar di negeri Mesir. Ia dilahirkan di Qarqansyad pada tahun 94 H beliau adalah orang kaya dan dermawan. Beliau wafat pada tahun 175H. Beliau pernah belajar dan meriwayatkan hadis dari beberapa tabiin dan para perawi diantaranya adalah Nafi, Ibnu Abi Mulaikah, Yazid bin Abi Habib, Yahya bin Sa’id al-Anshariy dan saudara laki-lakinya, Ibnu  Ajlan,  az-Zuhry,  Hisyam  bin  Urwah,  Atha bin  Abi  Rabah, Bukair bin al-Asyj, al-Harits bin Ya’qub, Abi Aqil Zahrah bin Ma’bad, Sa’id al-Maqburi, Abdurrahman bin al-Qasim, Qatadah, Ubaidillah bin Umar, Musa bin Ali bin Rabah, Yazid bin al-Had, Abi az-Zubair al-Makki, Ibrahim bin Abi ‘Ablah, Ayub Bin Musa, Ibrahim  bin Nasyith, Jafar bin Rabi’ah, ‘Ubaidillah bin Abi Jafar, Abi Qabil, Hakim bin ‘Abdullah bin Qais, Hunain bin Abi Hakim, al-Hasan bin Tsauban, Khalid bin Yazid al-Misriy, dan beberapa perawi yang lain.

 Tidak hanya berhenti pada beliau, namun hadis-hadis dari beliau banyak orang yang meriwayatkan. Beberapa diantaranya adalah murid-murid beliau seperti Syuaib, Muhammad  bin ‘Ajlan, Hisyam bin Saad, Ibnu Luhai’ah, Husyaim bin Basyir, Qais bin ar-Rabi’, Atthaf bin Khalid, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Wahbi, Marwan bin Muhammad, Abu an-Nadhr, al-Walid bin Muslim, Ya’qub bin Ibrahim bin Saad, Yunus bin Muhammad bin al-Muaddib,  Yahya  bin Ishaq, ‘Ali  bin Nashr, Abu Salamah al-Khuzaiy, al-Hasan bin Sawar, Hujain bin al- Mutsanna, ‘Abdullah  nim  Nafi’  al-Shaigh, Abdullah  bin  Abdul Hakim, Muhammad bin al-Haris bin Rasyid al-Misriy, dan beberapa yang lainnya.

Selain  itu,  ada pula Hajjaj  bin  Muhammad,  Zaid  bin Yahya bin Ubaid, Asyhab bin Abdul Aziz, Daud bin Manshur, Sa’id bin Sulaiman, Adam bin Abi Ibas, Sa’id bin Abi Maryam, Sa’id bin Syurahbil, Abdullah bin Yusuf at-Tinisiy, Abdullah bin Yazid al- Maqraiy, Yahya bin Abdullah bin Bukair, al-Qasim bin Katsir al- Iskandaraniy,  Ahmad  bin  Abdillah bin  Yunus,  Qutaibah bin  Sa’id, Muhammad bin al-Harits bin Rasyid al-Mishriy,Isa bin Khammad bin Zughbah dan yang lainnya.

Imam Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadis darinya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Asy-SyafiI, Sufyan ats-Tsauri, al-Ajli dan kebanyakan para ulama menganggapnya tsiqqah. Imam SyafiI pernah mengatakan bahwa al-Laits lebih ahli daripada Malik dalam hal fiqh.  Imam  Malik  sendiri  setiap  kali  menyebutkan  dalam  kitabnya bahwa telah diceritakan kepadaku oleh orang ahli ilmu”, dan yang dimaksudkan adalah al-Laits bin Saad.

Banyak para ulama yang berpandangan dan mengatakan bahwa al- Laits bin Saad adalah shuduq dan tsiqqah. Ulama yang berpadangan demikian antara lain yaitu Ibnu Khirasy, Abu Zur’ah, Ya’qub bin Syaibah, Yahya bin Bukair dan Amr bin Ali. Sedangkan  menurut Harun  bin  Sa’id  bahwa  al-Laits  bin  Saad  mempunyai  pengetahuan ilmu yang luas. Menurut Ibn al-Madiniy bahwa al-Laits adalah tsiqqah subutun. menurut pandangan al-‘Ajali bahwa al-Laits adalah seorang ahli Mesir yang tsiqqah. Pandangan an-Nasa’I pun demikian, bahwa al- Laits adalah tsiqqah. Dan beberapa pandangan ulama tidak ditemukan ada jarh pada al-Laits.

Al-Laits sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa beliau selalu menjauhi tadlis dalam periwayatannya. Para ulama telah menetapkan bahwa sanad paling shahih di Mesir adalah yang diriwayatkan oleh al-Laits bin Saad dari Yazid bin Abi Habib. Al-Laits lahir pada tahun 92 H dan wafat pada tahun 176 H/ 177 H, dan qaul yang pertama yang dibenarkan.[8]

4. Isa Bin Khammad

Nama lengkap beliau adalah Isa bin Khammad bin Muslim bin‘Abdullah at-Tajibiy. Beliau mendapat julukan Abu Musa dari Mesir. Beliau adalah saudara laki-laki dari Ahmad bin Khammad dan beliau adalah penguasa dari Bani Saad.Isa Bin Khammad adalah seorang tabi’it tabi’in. Beliau banyak meriwayatkan hadis dari beberapa tabi’in dan beberapa gurunya, antara lain yaitu al-Laits bin  Saad, Abdurrahman  bin  Zaid  bin  Aslam, Risydin bin Saad, Sa’id bin Zakariya bin al-Adam, Ibnu Wahab, Ibnu Qasim dan perawi tsiqqah lainnya.

Selain guru dariIsa Bin Khammad, beliau juga mempunyai murid yang sering meriwayatkan hadis dari beliau yaitu diantaranya yang mempunyai kitab hadis yakni Muslim, Abu Daud, an-Nasai, dan Ibnu Mjjah. Selain itu, beliau juga mempunyai murid diantaranya adalah‘Abdurrahman bin‘Abdullah bin Abdul Hakim, al-Bujairi, Abu Hatim,‘Abdan al-Ahwazi, Abu Zurah, anak saudara laki-lakinya yaitu Muhammad binAhmad bin Khammad bin Zughbah, Baqi bin Makhlad, al-Mamuri, Abu al-Laits Asim bin Razah, Ahmad bin Abdul Warits bin jarir al-Asal, Abu Bakr bin Abi Daud, Muhammad bin al-Hasan bin Qutaibah, Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al- Baghandi,Musa bin Sahl Abu Imran  al-Jauni, Ahmad  bin  Isa  al- Wasa’, Muhammad bin al-Hasan bin Qutaibah al-Asqalaniy, dan yang lainnya.

Banyak pendapat dan pandangan ulama mengenai beliau adalah bahwa ‘isa bin Khammad adalah seorang tsiqqah. Beberapa yang mengatakan demikian adalah Abu Hatim, An-NasaI, dan begitu pula menurut Ibnu Hibban karena beliau menyebutkanIsa bin Khammad dalam kitabnya ats-Tsiqqah. Menurtu Abu Daud dan ad-Daruquthni,Isa bin Khammad Laa ba’tsa bih. Menurut Ibnu Yunus,Isa bin Khammad meninggal pada bulan dzulhijjah tahun 248 H. Sedangkan menurut  Ibnu Hibban terdapat sedikit perbedaan,  yaitu beliau  wafat pada tahun 249 H[9] 

5. Hasyim Bin Al-Qasim

Nama lengkap beliau adalah Hasyim bin al-Qasim bin Muslim bin Miqsam al-Laitsi al-Baghdadi. Beliau berasal dari  Khurasan, keturunan bani Laits bin Kinanah. Menurut at-Tamimi, Hasyin bin al- Qasim mempunyai laqab (julukan) Kaisar. Beliau adalah putra dari Abi Bakr bin Abi an-Nadhr. Beliau sering meriwayatkan hadis dari beberapa guru beliau, diantaranya adalahIkrimah bin Ammar, Hariz bin Ustman, Waraqa’binUmar, ‘Abdurrahman  bin Tsauban, Abdurrahmanbin‘Abdillah bin Dinar, Zuhair bin Mu’awiyah, Sulaiman, ‘Abdullah al- AsyjaI, ‘Abdul‘Aziz bin Abi Salamah al-Majisun, al-Laits,  Abi Jafar ar-Razi, Muhammad bin Abdurrahman bin Dzi’b, Abi Sa’id Muhammad bin Muslim bin Abi Al-Wadhah al-Muaddib, Murja bin Raja,  Najih  bin  Abi Masyar al-madaniy,  Waraqa bin  Umar al-Yasykariy, al-Walid bin Jamil, Abi Ishaq al-Asyjaiy, Abi Jafar ar- Raziy, Abi Aqil ats-Tsaqafiy, Abi Aqil, Abi Malik an-Nakhaiy dan yang lainnya.

Selain guru dari beliau, beliau juga mempunyai murid yang sering meriwayatkan hadis dari beliau, yakni Abu Bakr bin Abi an-Nadhr, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawiyah, ‘Ali bin al-Madiniy, Yahya bin Main, Abdullah bin Muhammad al-Musnadi, Abu Bakar bin Abi Syaibah,Abu Khaitsamah, Harun al-Hamal, Mahmud bin Ghailan, ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Sallam ath-Tharsusiy, Amr an- Naqd, Muhammad bin Rafi’ an-Naisaburiy, Muhammad bin‘Ubaidillah al-Munadi, Makhlad bin Malik al-Jamal, Ya’qub bin Syaibah  as-Sadusiy, Ibrahim  bin  ya’qub  al-Juzjaniy,  Ahmad  bin Khalil al-Burjulaniy, dan lain sebagainnya.

Pandangan para ulama mengenai beliau adalah perawi yang tsiqqah, menurut Usman bin Saad ad-Daramiy. Begitu pula menurut ‘Ali bin al-Madiniy, Muhammad bin Saad dan Hatim bahwa beliau adalah perawi yang tsiqqah.Beliau lahir pada tahun134H menurut ‘Abdullah bin Ahmad bin  Hanbal dan wafat pada tahun 207 H menurut riwayat al-Harits bin Abi Usamah [10]

6. Qutaibah

Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdillah al-Tsaqafiy, beliau mendapat julukan Abu Raja’al-Baghlaniy. Baghlan adalah salah satu desa  dari Qura Balkh. Menurut Abu Ahmad bin Adi, nama Qutaibah adalah sebuah laqab dan nama aslinya adalah yahya. Sedangkan menurut Abu Abdullah bin Mandah, nama asli Qutaibah adala Ali. Adapula yang berkata bahwa Qutaibah adalah saudara laki-laki dari Qudaid bin Sa’id.

Beliau banyak berguru dalam bidang hadis. Beberapa guru yang pernah beliau riwayatkan hadisnya adalah dengan Ibrahim bin Sa’id al-Madaniy, Ishaq bin Isa a-Qusairi bin Bintu Daud bin Abi Hindun, Malik, al-Laits, Ibnu  Lahiah, Risydin bin Sa’id, Daud bin ‘Abdurrahman al-Aththar, Khalaf bin Khalifah, Abdurrahman bin Abi al-Mawal, Bakr bin Mudhar, Mufadhdhal bin Fadhalah, Abdul Waris bin Sa’id, Khammad bin Zaid, Abdulah bin Zaid bin Aslam, ‘Abdul Aziz al-Daruwardhi, Ismail bin Abi Uwais, Ismail bin Jafar,Ismail bin ‘Ulayyah, Abi Dhamrah Anas bin Iyadh, Khalid bin Ziyad at-Tirmidziy,  Khalid  bin  Abdullah  al-Wasithiy,  Rifaah  bin Yahya az-Zuraqiy, Salim bin Nuh, Sa’id bin Sulaiman al-Wasithiy, Shafyan bin Isa az-Zuhriy, Abi  Zubaid Abtsar bin al-Qasim, ‘Abdullah bin Idris,‘Abdullah bin al-Mubarak,‘Umar bin Harun al- Balkhiy, Amr bin Muhammad al-Anqaziy, dan lainnya.

Selain berguru, beliau juga pernah mempunyai murid yang meriwayatkan hadis dari beliau. Diantara murid-murid beliau adalah perkumpulan para imam kecuali imam Ibnu Majah, Ibrahim bin Ishaq al-Harbiy, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Said ad-Daramiy dalam rijal dari hadis riwayat Tirmidzi. Dalam rijal hadis riwayat an-Nasai

Beliau mempunyai murid Ahmad bin Sayyad al-Marwaziy, Ahmad bin‘ Abdurrahman   bin Bassyar an-Nasai, Abu Hamd Ahmad bin Qudamah bin Muhammad bin Abdullah bin Furaqad al-Balkhiy, Abu Muhammad Ishaq bin Ibrahim bin Isma’il al-Busti al-Qadhi, Abu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Nasr al-Busti an-Naisaburiy, Ishaq bin Abi Imran al-Asfaradiniy as-Syafiiy, Jafar bin Muhammad bin al-Hasan al-Firyabiy, dan lainnya.

Dalam rijal hadis riwayat Ibnu Majah, beliau mempunyai beberapa murid diantaranya adalah Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, Abbas bin Abdul Adzim al-Anbariy,‘Abdullah bin Ahmad bin Syibbawaih al-Marwaziy, ‘Abdullah bin az- Zubair al-Humaidiy, dan yang meninggal sebelum  beliau  seperti ‘Abdan bin Muhammad bin Isa al-Marwaziy al-Hafidz, Abu Zurah ‘Ubaidillah  bin  Abdul  Karim  ar-Raziy,  dan  lainnya. 

Serta  yang lainnya yang pernah meriwayatkan hadis dari beliau adalah Musa bin Harun bin Abdullah al-Hammal, ayahnya yaitu Harun bin Abdullah al-Hammal, Yahya bin Abdul Humaid al-Himmaniy dan yang mati sebelumnya, Yahya bin Main dan yang maati sebelumnya, Ya’qub bin Syaibah as-Sadusiy, dan Yusuf bin Musa al-Qaththan.

Pandangan para ulama tentang Qutaibah adalah salah satunya menurut riwayat Ahmad bin Abi Khaitsamah mengatakan bahwa Qutaibah adalah tsiqqah. Ditambahkan oleh riwayat an-NasaI bahwa beliau shuduq, begitu pula menurut Ibn Khirasy.

Menurut Abu Daud, Qutaibah datang ke Baghdad ketika berumur 16 tahun yang kemudian disusul oleh Ahmad dan Yahya. Dan setelah diteliti tentang sejarah hidupnya, tidak ada ulama ynag meriwayatkan ada jarh dalam diri dan kehidupan Qutaibah.

Dengan demikian Qutaibah dapat dikatakan sebagai perawi yang tsiqqah dan shuduq. Tidak diragukan lagi hadis yang dibawa oleh Qutaibah [11]

7. Ahmad bun Yunus

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus bin‘Abdullah bin Qais at-Tamimiy al-Yarbuiy. Julukan beliau adalah Abu Abdillah al-Kufi. Nasab beliau kepada kakeknya, dan beliau adalah anak dari Abdillah bin Ahmad bin Yunus Ahmad bin Yunus adalah seorang yang haus akan ilmu. Beliau memiliki banyak guru terutama dalam bidang hadis.

Beliau banyak meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya, antara lain Ibrahim bin Sa’id, dan Israil bin Yunus, Ismail bin Ayasy, Al-Hasan bin Shalih al-haiy, Hafs bin Ghiyats, Zaidah bin Qudamah ats-Tsaqafi, Zuhair bin Muawiyah al-Jufi, ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, ‘Asim bin Muhammad, Ibnu Abi Zannad, al-Laits, Malik,Ashim bin Umar bin Zaid  bin  Abdullah  bin  Umar  bin  al-Khattab,‘Abdurrahman  bin Zanad, ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Abi Salamah al-Majisyun, Fudhai  bin  Iyadh,  Qais  bin  ar-Rabi’  al-Asadi,  Laits  bin  Sa’d  al- Misriy, Malik bin Anas, Muhammad bin Rasyid al-Mahuliy, dan lainnya.

Selain beberapa guru, Ahmad bin Yunus juga mempunyai banyak murid yang meriwayatkan hadis beliau. Diantara para murid beliau yang meriwayatkan hadis darinya   adalah diantaranya Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Hajjaj bin asy-Sya’ir,Abd bin Humaid, Abu Zurah, Abu Hatim, Sha’iqah, Yusuf bin Musa, al-Harits bin Abi Usamah, Ismail Sammuwaih, Ishaq al-Harbiy, Sa’id bin Marwan al-Baghdadi Nazil Naisaburi, al-Abas bin al-Fadhl al-Ashfathiy, AbuBakar bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin an-Numan bin Abd as-Salam al-Ashfahaniy, al- Baqun, Abd bin Humaid al-Kasyiy, Yusuf bin Musa bin Rasyid al- Qaththan, dan yang lainnya.

Pandangan ulama tentang beliau diantara yaitu dalam riwayat al- Fadhl bin Ziyad al Qaththan disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus adalah seorang  Syeikh  al-Islam,  Guru agama  Islam.  Menurut  Abu Hatim dalam riwayat Sufyan ats-Tsauri dikatakan bahwa Ahmad bin Yunus tsiqqah muttaqin. Oleh an-NasaI menerangkan bahwa Ahmad bin Yunus perawi yang tsiqqah. Menurut keterangan Bukhari bahwa Ahmad bin Yunus meninggal di Kuffah pada buan Rabiul akhir tahun 217M malam Jum’at   dan   beliau tengah berumur 94 tahun, sebagaimana ynag diriwayatkan oleh al-Baqun[12]

Berdasarkan penelusuran sanad yang dilakukan, dari keenam jalur isnad diatas dapat dipastikan sanadnya bersambung. Hal tersebut terbukti dengan adanya tahun wafat dari masing-masing perawi. Kalaupun ada beberapa riwayat hadis yang perawinya terpaut jauh umurnya, tahdzib at- tahdzib menginformasikan tentang pertemuan mereka. Terlebih ada jumhurul ulama yang berependapat bahwa seseorang yang menerima hadis sewaktu kecil atau anak-anak baik dia itu belum atau sudah baligh, muslim atau non muslim diterima periwayatannya jika hadis tersebut disampaikan ketika ia telah baligh  atau dewasa dan beragama Islam dan bertaubat. Namun dalam periwayatan ini tidak ada yang demikian

D. matan hadis

“Dari miswar bin mukhramah beliau pernah mendengar saat nabi berada diatas mimbar beliau bersabda : sesungguh bani hisyam bin mughirah meminta izin mereka untuk menikahi  ali dengan putri meraka, lalu rasulullah bersabda: aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali sesungguh aku lebih mencintai ali bin abi thalib menceraikan putriku, daripada menikahi dengan putri mereka. Karena putriku adalah darah dagingku aku senang dengan apa yang telah darah  dagingku senang dan aku merasa tersakiti dengan apa yang telah  darah dagingku  merasa tersakiti  dengan hal itu”

E. Takhrij sanad

Pembahasan dan kajian terhadap sanad suatu hadis merupakan langkah awal untuk mengetahui kualitas hadis, apakah hadis tersebut digolongkan kedalam hadis shahih, hasan, atau dha’if. Masing-masing mempunyai kategori dan kriteria persyaratan tersendiri. Untuk menjadi shahih, suatu hadis harus memenuhi beberapa syarat:

a.   Sanad yang bersambung.

b.   Periwayat bersifat ‘adil.

c.   Periwayatan bersifat dlabit.

d.   Terhindar dari Syaz dan illat.

Keempat komponen di atas hanya dapat diketahui dengan cara mempelajari dan meneliti sejarah dan perihidup mereka yang terlibat dalam periwayatan suatu hadis. Setelah diketahui kepribadian masing- masing perawi hadis dalam suatu rangkaian sanad hadis dengan ta’dil maupun jarh-nya, maka masing-masing perawi diperbandingkan.

Berikut ini biografi dari para periwayat hadis ini:

a. Ahmad bin ‘abdillah

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdillah bin Yunus

bin Qais. Sedangkan nama masyhur beliau adalah Ahmad yunus At- tamimi. Beliau dari kalangan Tabi’ul Atba’ kalangan tua. Nama kunyah beliau Abu Abdullah. Wafat di Kufah tahun 227 H. Adapun komentar ulama mengenai beliau yakni Abu Nasa’I yang mengatakan tsiqah dan hafidz.  Beliau meriwayatkan hadis salah satunya dari Qutaibah bin Sa’id.  Sedangkan muridnya adalah Ahmad bin Ibrahim, Ahmad bin Abi Syu’aib.

b. Qutaibah bin sa’id

Nama lengkap beliau Qutaibah bin Sa’id bin Jami’ bin Tharif bin

Abdullah. Beliau dari kalangan Tabi’ul Atba’. Kunyah beliau adalah Abu Raja’. Wafat di Himsh pada tahun 240 H. diantara guru-gurunya adalah Laits bin Sa’ad. Muruid-murid beliau Ahmad bin Ibrahim, Ahmad bin Sa’id, Ahmad bin Abdillah. Komentar ulama yaitu Ibnu Hajar al Atsqolani yang mengatakan Tsiqah Tsabat.

c. Laits bin sa’ad

Nama lengkap beliau adalah Laits bin Sa’ad bin Abdur Rahman.

Beliau dari kalangan Tabi’ut Tabi’in. nama kunyah beliau adalah Abu al Harits. Wafat di Manu tahun 175 H. guru-guru beliau diantaranya ibnu Yunus, dan salah satu muridnya adalah Qutaibah bin Sa’id. Komentar Ahmad bin Hanbal tentang beliau Tsiqah.

d. Ibnu Yunus

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus

bin Abdullah bin Qais. Beliau dari kalangan tabi’ul Atba’. Kunyah beliau Abu Abdullah. Wafat di Kufah pada tahun 227 H. Salah satu guru beliau adalah Miswar bin Makramah. Dan salah satu muridnya adalah Laits bin Sa’ad. Komentar an Nasa’I “Tsiqah”.

e. Al miswar bin makharamah

Nama lengkap beliau adalah Miswar bin Makhramah bin Naufal.

Beliau dari kalangan Sahabat. Nama kunyah beliau adalah Abu Abdur

Rahman. Beliau hidup di Madinah dan meninggal pada tahun 64 H. salah satu guru beliau adalah Rasulullah  saw. dan muridnya termasuk Ibnu Yunus. Komentar Adz Dzahabi adalah “Sahabat”

 Dari penelitian sederhana ini, dapat dilihat bahwa perawi-perawi hadis ini memenuhi syarat-syarat ke shahihan sanad. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sanad hadis ini shahih.

F.Kritik Matan Hadist

Suatu hadis baru dapat dikatakan shahih jika dari segi sanad telah memenuhi syarat seperti yang telah ditetapkan di atas, dan telah memenuhi syarat shahih dari segi matan. Berbeda dengan penelitian sanad, yang bertujuan untuk meneliti kridibilitas dan kualitas seorang periwayat, penelitian matan dilakukan untuk mengetahui kebenaran informasi sebuah teks hadis. Mengingat sering keberadaan suatu matan hadis tidak sejalan dengan sanad hadis[13].Yaitu sanad hadis berstatus shahih sedangkan matannya dla’if. Sehingga dalam hal ini penelitiannya akan lebih fokus terhadap keontentikan sebuah matan ditinjau dari berbagai sudut pandang, dengan asumsi bahwa matan tersebut sabda Nabi, sahabat, tabi’in, atau bahkan perkataan orang lain yang sengaja menyandarkan pada Nabi dengan tujuan tertentu.

Langkah-langkah metodologis yang harus dilakukan adalah:

1.  Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.

2.  Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna.

3.  Meneliti kandungan matan.[14]

Ketiga metodologi yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail inilah

yang akan dipakai peneliti untuk menentukan keshahihan hadis.

Dalam kenyataannya, sebuah penelitian yang dilakukan terkadang dari kedua objek itu tidak selamanya saling mendukung dalam menentukan sebuah kualitas hadis, sehingga terdapat kemungkinan:

1.  Shahih sanad dan matan

2.  Shahih sanad tetapi matan tidak shahih.

3.  Tidak shahih sanad tetapi shahih matan.

4.  Terkadang ada matan yang tidak memiliki sanad.[15]

Banyak ulama yang memberikan komentar tentang kriteria ke-maqbul-an suatu matan hadis. Di antara ulama tersebut yaitu Khatib al- Baghdadi yang memberikan tolak ukur suatu matan hadis barulah dapat diterima apabila:

1.  Tidak bertentangan dengan akal sehat

2.  Tidak bertentangan dengan ayat-ayat (hukum al-Qur’an) yang muhkam.

3.  Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.

4.  Tidak  bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf ).

5.  Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti

6.  Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas shahihnya lebih kuat.

Salah al-Din al-Adlabi mengemukakan  bahwa pokok-pokok tolak

ukur penelitian keshahihan matan ada empat, yaitu:[16]

1.  Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.

2.  Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat.

3.  Tidak bertentangan dengan akal sehat.

4.  Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[17]

Gambaran di atas merupakan sebuah tawaran dari sebagian

ulama kritikus hadis tentang kriteria keshahihan matan dan tanda-tanda kepalsuan matan hadis. Aspek-aspek lain yang juga perlu diperhatikan yaitu sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya hadis tersebut, karena hadis Nabi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Yang dikenal dengan istilah asbab wurud al-hadis, meskipun dalam kenyataannya ada yang tanpa sebab. Di samping itu hadis Nabi mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.[18]

Dalam penelitian tentang beretika terhadap hewan, tolak ukur yang dipakai dalam menganalsa keshahihan matan hadis adalah:

1.  Kandungan hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

Jelas hadis ini tidak bertentangan sedikitpun dengan al-Qur’an. Jika dilihat dari penjelasan sebelumnya, hadis ini malah menjadi penguat dari penjelasan ayat al-Qur’an.

2.  Tidak bertentangan dengan akal sehat.

Nabi Muhammad selain sebagai seorang nabi dan rasul, beliau juga seorang ayah. Tidak ada seorang ayah pun di dunia ini yang tidak sedih melihat anaknya sedih. Terlebih lagi nabi Muhammad merupakan pribadi yang penuh dengan kasih sayang. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Beliau juga manusia biasa yang menginginkan kebahagian bagi putrinya.

3.   Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang lebih kuat.

Kembali kepada penelitian sanad hadis di atas menunjukkan status sanad shahih. Selain itu, hadis yang dijadikan objek kajian ini cukup banyak perawi ternama yang meriwayatkan. Miswar bin Makharamah adalah salah seorang sahabat yang mendengar langsung dari rasul. Sehingga tidak ada hadis yg lebih kuat yang bertentangan dengan hadis ini.

4.  Susunan bahasanya tidak rancu. Dalam hadis yang sedang diteliti jelas hadis tersebut berisi suatu periwayatan dengan maksud dan tujuan yang jelas.

5.  Tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan menunjukan ciri- ciri sabda Nabi. Dalam hadis ini, nabi mengatakannya di atas mimbar. Yang mana didengar oleh semua jama’ahnya. Sehingga menunjukkan bahwa sabda ini bukan untuk Ali semata, akan tetapi untuk semua orang juga. Sebab beliau adalah seorang rasul yang harus menyampaikan pesan-pesan Allah untuk manusia.

G. Poligami dalam islam

1.sejarah Poligami

Banyak orang yang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrIm berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, Poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru, yang benar adalah berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyrakat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami.

Bahkan Musthafa al-Shiba’i  mengatakan bahwadikalangan masyarakat bangsa-bangsa yang hidup di zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Asyria, dan Mesir telah terjadi praktek poligami. Pada saat itu, praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan orang istri dalam satu waktu ( tanpa cerai dan tanpa faktor kematian) bagi satu laki-laki (suami). Nabi-nabi yang namanya disebutkan dalam taurat, juga melakukan praktek poligami.

Pada bangsa Arab sendiri sebagai ruang  soasial dimana Nabi Muhammad  dilahirkan dan  kelak menjadi tempat awal Islam disebarluaskan jauh  sebelum  Islam  masyarakakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tidak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan istri.

Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan  masayarakat terhadap  kaum  perempuan.  Ketika masyarakat memandang kedudukan dan  derajat perempuan  hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi perkembangan  poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat.

Dan setelah Islam datang, praktik poligami yang sudah ada sebelum Islam terus berlanjut pada masa Islam. Para sahabat Nabi Saw banyak yang mempunyai Istri lebih dari satu orang . Sayangnya, banyak orang yang di kemudian hari salah paham tentang praktek poligami ini. Mereka mengira bahwa poligami merupakan praktek yang baru dikenal setelah hadirnya Islam. 

Bahkan menganggap bahwa Islamlah yang mengajarkan dan melegalisasikan praktek poligami, dengan satu dasar Nabi Muhammad  Saw menikahi banyak perempuan dalam satu waktu, dan Nabi Saw adalah sebagai figur yang memberi teladan baik yang musti di contoh oleh semua umat Islam. Maka demikian pendukung poligami berargumentasi,“ Barang siapa menentang poligami berarti menentang syariat Islam, dan menentang syariat Islam berarti menentang Allah swt”.

Menurut kami pendapat semacam ini tentu saja tidak salah akan tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Praktek poligami memang pernah  dilakukan oleh  Rasullulah Saw dan  para  sahabat bahkan Salafus  shaleh juga pernah melakukannya,  tetapi alasan Rasulullah berpoligami sangatlah mendasar,  yang nanti akan dijelaskan dalam praktek poligami Rasulullah Saw,sangat bebanding terbalik dengan alasan berpoligaminya laki-laki pada masa sekarang.

Sebagaimana kata Muhammad Abduhperkembangan  poligami sekarang menjadi praktek pemuasan syahwat yang tidak terkendali,  tanpa rasa keadilan dan kesamaan, sehingga tidak lagi kondusif bagi kesejahteraan masyarakat.

2.Rasulullah SAW Berpligami

Banyak orang yang keliru memahami praktek poligami Rasulullah Saw, termasuk kaum muslim sendiri. Ada anggapan Rasulullah  Saw melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, yakni memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan hasrat  seksualnya.

Pada umumya memang poligami dilakukan untuk tujuan-tujaun biologis semata. Kekeliruan paham ini perlu diluruskan, terutama karena praktek poligami Rasullulah Saw seringkali dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami dalam masyarakat muslim Rasulullah Saw menikah pertama kali dengan Khadijah Binti Khuwailid ketika berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah berumur 40 tahun,walaupun demikian pernikahan Rasullulah Saw dengan khadijah sangat diliputi dengan kebahagiaan dan ketenangan, karena Rasulullah Saw menggauli Khadijah sangat berbeda dengan kebanyakan laki- laki dalam menggauli istrinya, Rasulullah tidak pernah menunjukkan sikap berkuasa mutlak (otoriter) dan paling menentukan (domonan). Rasulullah tidak memperlakukan khadijah sebagi objek atau bawahan, sebagaimana sikap kebanyakan suami kepada istrinya,  akan tetapi Rasulullah memperlakukan Khadijah sebagi teman dialog, dan teman yang sangat dicintai sebagi tempat mencurahkan berbagai masalah,kegalauan, dan keresah hati, terutama ketika beliau mulai mengemban tugas sebagai Nabi dan Rasul.

Selama menikah dengan Khadijah Rasulullah Saw tidak pernah melakukan poligami,  Musdah Mulia menegaskan hendaknya umat Islam meyadari bahwa perkawinan Rasulullah yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun, 17 tahun dijalani pada masa sebelum kerasulan (qabla bi’tsah), dan 11 tahun sesudah itu (ba’da bi’tsah). Selama 28 tahun Rasulullah menjalani hidup monogami, baru lah setelah dua tahun Khadijah wafat dan anak-anak beliau sudah dewasa dan  menikah, barulah Rasulullah menjalankan kehidupan poligami dengan 11 istri pada usia 54 tahun. Pada masa-masa kehidupan Rasullullah penuh  dengan perjuangan dalam rangka menancapkan fondasi masyarakat Islam di Madianah sekaligus mengembagkan  syiar Islan keseluruh Jazirah Arab.

Jika ditelusuri satu per satu motif perkawinan Nabi dengan istri- istrinya yang berjumlah sebelas itu,  yang mengemuka adalah motif dakwah atau kepentingan penyiaran Islam.Bukan karena dorongan untuk memuaskan nafsu belaka, dari sebelas wanita yang dinikahi Rasulullah hanya aisyah lah satu-satunya istri beliu yang masih perawan dan berusia muda, sedangkan yang lain rata-rata telah berumur, punya anak, dan kebanyakan janda dari para sahabat yang terbunuh dalm peperangan membela Islam.

Dan dari kesebelas istri tersebut Rasulullah tidak lagi dikarunia anak. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa alasan Rasullulah berpoligami sangat jauh dari tuntutan memenuhi kebutuhan biologis sebagai mana yag selama ini dituduhkan  banyak orang.

Dan yang sangat perlu untuk direnungkan berkaitan dengan praktek poligami Nabi, bahwa Nabi melakukan poligami sama sekali tidak didasarkan pada  kepentingan biologis atau  untuk  mendapat keturunan. Lagi pula Nabi melakukan poligami bukan dalam situasi dan kondisi kehidupan yang normal, melainkan dalam kondisi dan suasana kehidupan yang penuh aktivitas pengabdian, perjuangan, perang jihad demi menegakkan syiar Islam menuju terbentuknya masyarakat Madani yang didambakan.

Dan yag lebih menarik lagi adalah meskipun Nabi melakukan poligami, tetapi beliu tidak setuju menantunya melakukan hal yang sama. Nabi tidak mengizinkan menantunya  Ali ibn Abi Thalib untuk memadu putrinya, Fatimah az-Zahra dengan perempuan lain sebagaimana dijelaskan oleh hadis di atas.

Hadis tersebut  ditemukan dalam berbagi kitab hadis yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan timidzi, Musnad Ahmad dan Sunan Ibnu Majah denagn redaksi yang persis sama.  Dari perspektif  Ilmu Hadis, itu  menunjukkan bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara lafzhi. Dalam teks terbaca betapa Nabi Saw mengulangi sampai tiga kali pernyataan ketidak setujuannya terhadap rencana Ali untuk berpoligami.

Kalau dipikir-pikir pernyataan Rasulullah yang tidak mengizinkan putrinya di madu sangat logis dan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak perempuanya di madu? Secara naluriah semua orang tua selalu berharap agar putrinya merupakan istri satu-satunya dari suaminya, dan tentu tidak ingin ada perempuan lain dalam kehidupan suami anaknya. Sebab hanya perkawinan monogami yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan yang hakiki. Mungkin juga Nabi tidak mengizinkan menantunya berpoligami karena ketika itu anak-anaknya masih kecil, masih membutuhkan  kasih sayang dan perhatian yang besar dari kedua orang tuanya. Poligami selalu menyebabkan perhatian seorang ayah terhadap anak-anak nya menjadi terbelah. Setelah menikah lagi seorang suami biasanya akan memfokuskan perhatian dan kasih sayangnya pada istri yang baru. Dalam hal inilah biasanya laki-laki yang berpoligami terjebak dalm perilaku zalim dan tidak adil. Hadis  Nabi  tersebut  boleh jadi merupakan refleksi betapa beratnya tanggung jawab yang harus dipikul oleh suami yang berpoligami dan betapa sulitnya istri menerima perlakuan poligami. Mungkin hanya seorang Nabi yang mampu melakukan poligami dengan ketentuan- ketentuan sebagaimana digariskan syariah.

3. Praktek Poligami aktivis muslim indonesia

Dari beberapa praktek poligami yang dilakukaan oleh sebagian aktivis Muslim, diantara mereka memang ada yang tampak malu-malu, tidak mau terbuka alias sembunyi-sembunyi,  dan ada pula yang secara terbuka memproklamirkannya. Puspo Wardoyo dan Fauzan Al-Anshari misalnya,  dia lebih terbuka dan  bangga ketika melakukan praktek poligami, ketimbang misalnya Aa Gym yang terkesan di tutup-tutupi.

Oleh karena itu, bukan lagi bukan lagi dalam konteks wacana hukum (boleh atau tidak boleh). Perihal poligami ini akan menarik didiskusikan bila dilihat dari konteks apa latar belakang dan tujuan dipilihnya jalan poligami.  

H. Berikut Walid menyajikan alasan-alasan yang digunakan oleh sebagian aktivis Islam (dari kalangan yang beragam) dalam rangka mengabsahkan praktek poligami yang mereka lakukan ialah:

1.   Alasan agama. Mereka berpandangn  bahwa Islam tidak melarang praktek poligami. Alasan ini terkait dengan soal interpretasi terhadap teks kitab suci Al-Qur’an (Qs An-Nisa’ [4] : 3) dan sejarah Nabi Muhammad Saw yang melakukan praktek poligami. Agama menjadi penting ditampilkan di sini karena ia merupakan salah satu dasar yang paling kokoh dalam praktek poligami. Alasan semacam ini dengan tegas dikemukakan oleh Fauzan Al- Ansahri.

2    Pembelajaran bagi laki-laki sebagai suami. Alasan ini mempertegas bahwa laki-laki menempati posisi superior dalam relasi sosial dan rumah tangga, dan pada sisi yang lain perempuan diletakkan dalam posisi subordinat. Di sini praktek poligami dipandang sebagai arena pelatihan bagi laki-laki dalam rangka membangun keluarga baru. Alasan yang dikemukakan oleh Fauzan Al-Anshari ini tentu memposisikan perempuan(istri) sebagi obyek latihan bagi laki-laki( suami) yang sebagi subyek untuk mengukur kehebatan keadilan dan kredibilitasnya sebagai laki-laki dan kepala rumah tangga yang bukan hanya mampu mengelola satu keluarga.

3.  Jihad memperbanyak anak

4.  Alasan libido. Poligami sebagai pintu darurat yang menyelamatkan oarng dari lubang zina. Alsan ini dipakia oleh Aa Gym, KH. Noer Iskandar SQ, Fauzan al-Anshari dan juga Puspo Wardoyo. Dalam konteks alasan ini terlihat bahwa laki-laki(pelaku  poligami) secara implisit mengakui bahwa dirinya tidak mampu mengelola dan mengendalikan hasrat libidonya denagn baik.  Akhirnya perempuan sebagi pihak yang menanggung akibatnya, sebagai sarana pelepasan hasrat libido tersebut.

5.   Alasan Natural.  Poligami dipandang sebagai hal natural dan genetik.  Secara kultural maupun  sosial,  ketidaksiapan laki- laki menjadi suami dan  kesiapan perempuan menjadi istri, menyebabkan permintaan  menjadi  istri  jauh  lebih  tinggi ketimbang penawaran laki-laki menjadi suami. Krena masalah supply dan deman yang tidak seimbang inilah maka praktek poligami menjadi solusi. Alasan yang dipakai ini tentu membuat ruang dibangunnya lembaga pernikahan sebatas sebagai kepentingan alamiah, dan manusia seakan-akan tidak mempunyai kebutuhan spritual.

Dari  alasan-alasan diatas bisa kita  ketahui bahwa ternyata dari  seluruh alasan yang dikemukakan selama ini, yang dominan adalah representasi “kepentingan  laki-laki”, dan tidak tampak adanya kepentingan (tepatnya kebutuhan) perempuan, karena memang perempuan tidak membutuhkan praktek poligami.  Dan alsan-alasan yang dikemukakan oleh beberapa aktivis muslim di atas sangat nampak dengan jelas perbedaan alasan Nabi berpoligami dengan alasan mereka, Nabi yang berpoligami dengan “alasan” dakwah dan melindungi para janda, sedangkan mereka kebanyakan karena alsan libido, lantas inikah yang mereka sebut dengan menghidupkan sunnah Rasul

 

I. Implikasi dari praktek poligami

Menurut Musdah Mulia implikasi-implikasi  yang terjadi dari praktek poligami ternyata yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Implikasi yang menjadikan mereka menderita setidaknya dalam tiga ranah, yaitu Implikasi sosio-psikologis, implikasi kekerasn terhadap perempuan,dan implikasi sosial terhadap masyarakat.

a. implikasi sosio-Psikologis

Secara Psikologis semua istri akan merasa terganggu dan sakit

hati melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Terlalu sulit mencari istri yang mengikhlaskan suaminya menikah kembali dengan orang lain. Muthmainnah  Muhsin, istri pertama Aa Gym, ketika dimadu suaminya dengan jujur mengatakan, “ Reaksi saya waktu Aa mau kawin lagi sama seperti reaksi wanita pada umumnya. Kaget, sedih. Tapi lam- kelamaan saya mengerti, Aa tidak bermaksud menyakiti saya. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata istri begitu mengetahui suaminya menikah lagi, spontan dia mengalami depresi, stress berkepanjangan, kecewa dan benci,  karena merasa cinta dan kesetiaanya telah dikhianati. Mereka bukan hanya merasa dikhianati tetapi juga merasa malu dengan saudara, tetangga, teman dekat, teman sekerja dan bahkan juga malu kepada anak-anaknya. “Ma.., mengapa ayah menikah  lagi?” Suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab seorang ibu kepada anak-anaknya. Implikasi selanjutnya, terjadinya konflik internal keluarga, baik antara istri, antara istri dan anak tiri, atau antara anak-anak yang berlainan ibu. Dan hubungan antara keluarga besar dari istri yang pertama dengan keluaga besar suami akan terganggu demikian juga sebaliknya. Ini terjadi karena hakikatnya pernikahan juga merupakan pertemuan keluarga besar si istri dan si suami. Pada saat suami melakukan poligami tentu keluarga si istri tidak akan menerimanya. Perkawinan poligami juga akan berdampak buruk bagi perkembangan  jiwa anak, terutama anak perempauan. Mereka merasa malu melihat ayahnya tukang kawin, kolektor perempuan, minder dan mengasingkan diri dari pergaulan teman-temannya. Kondisi Psikologis ini ditambah kurangnya waktu untuk bertemu, berkumpul dan mendidik bagi seorang ayah kepada anak-anaknya.  Karena waktu teah tersitidengan kelurga baru dan istri barunya. Akibatnya, kemudian, anak-anak itu mencari pelarian seperti narkoba dan pergaulan bebas.

b. implikasi kekerasan terhadap perempuan

Poligami juag berimplikasi pada  maraknya kekerasan pada

perempuan, dan itu terjadi di dalam rumah tangga. Kekerasan yang dialami perempuan  meliputi  kekerasan ekonomi,  kekerasan fisik, kekerasan seksual ,  dan  kekerasan psikis.  Kekerasan secara psikis sudah disinggung dalam penjelasan sebelumnya, Sedangkan kekerasan dalam ranah  ekonomi biasanya dialami perempuan dalam bentuk berkurangnya nafkah yang diberikan atau bahkan pengabaian kewajiban suami menafkahi istri dan anak-anaknya, karena suami sibuk dengan istri mudanya, seringkali mudah mengabaikan kondisi perekonomian kelurga lamanya. Akibatnya, si istri tua menderita dan tertimpa tanggung jawab suaminya untuk menegakkan ekonomi keluarga.

c. implikasi sosial

Problem sosial yang muncul dari praktek poligami yang sering

terjadi adalah terjadinya nikah di bawah tangan, yaitu pernikahan yang tidak di catatkan, baik di kantor pencatat nikah atau Kantor Urusan Agam (KUA) bagi umat Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang bukan Muslim. Biasanya, laki-laki yang berpoligami  tidak mencatatkan perkawianan kedua, ketiga dan seterusnya, karena dia malu dan segan berurusan dengan aparat pemerintah.Dan memang  kebanyakan perkawinan poligami dilakukan dengan tertutup, sembunyi-sembnuyi ,bahkan dari istri tuanya sekalipun. Kenyataannya, banyak peristiwa poligami yang diketahui setelah beberpa bulan akad pernikahan terjadi. Problemnya kemudian, para istri yang dinikahi tanpa pencatatan pada institusi Negara( KUA atau KCS) tidak mempunyai akta nikah, Maka, pernikahannya tidak sah secara hukum, dan dengan sendirinya dia dan anak-anaknya tidak bisa menuntut haknya, seperti hak atas nafkah, warisan dan hak perwalian. Kenyaatan inilah yang kemudian menjadikan perempaun dan anak-anaknya terlantar setelah diceraikan atau ditinggal wafat oleh suaminya.

J. Kesimpulan

A. Melihat bagan sanad riwayat Bukhari di atas, menginformasikan bahwa hadis tersebut shahih lidzatihi, mengingat bahwa sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, dari seorang rawi kepada yang lain, karena Bukhari mendengar dari Qutaibah, Qutaibah mendengar dari al-Laits, al-Laits mendengar dari Abi Mulaikah, Abi Mulaikah mendengar dari al-Miswar bin Mukhramah, al-Miswar bin Mukhramah ini mendengar pula dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, rawi-rawi tersebut semua bersifat adil, dhabit dan tsiqqah. Serta hadis tersebut tidak menyalahi hadis yang derajatnya lebih kuat dan tidak ada hal-hal lain yang menyebabkan hadis tersebut tercela. Maka, hadis tersebut memenuhi kriteria hadis shahih.

Lebih lanjut, hadis tersebut mempunyai satu sanad dan tidak ada sanad yang menyendiri, maka hadis tersebut termasuk dari klasifikasi hadis yang musnad. Bukan termasuk hadis dalam klasifikasi gharib karena perawi terakhir yaitu Qutaibah, ada 2 perawi yang mengikuti riwayat beliau, sehingga tidak menimbulkan kesendirian sanad.

Sedangkan, bila ditinjau dari segi matannya ditemukan adanya penyendirian, yakni matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berbeda dengan matan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Abu Daud. Di mana

dalam hadis riwayat Bukhari bukan kata seperti riwayat Imam

B. Poligami  pada  dasarnya  memang  ada  teks  agama  yang

menyatakannya, tetapi bukan berati teks itu memerintahkannya dan juga tidak melarang, Poligami memang pernah di lakuakn oleh Rasulullah Saw tapi  dengan tujuan syiar Islam bukan karena hasrat seksual, ataupun menunjukkan  kekuasaan laki-laki atas perempuan. Akan tetapi perkembangan pada masa-masa berikutnya malah menjadi sebalik nya.

Poligami  dalam  berbagaikasus secara  umum   melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Bila kenyataannya terjadi sebagaimana diuraikan di atas, maka kesuksesaan praktek poligami bukan bergantung pada keadilan laki-laki, tetapi lebih kepada kemampuan laki-laki( suami) untuk menjadikan perempuan (istri) tunduk dan pasrah atas nama otoritasnya sebagai suami dan kepala rumahtangga.  Hal ini sangatlah berbeda dengan paraktek poligami yang dilakukan Nabi dengan motif  dakwah dan  melindungi serta memulikan wanita.

Daftar Pustaka

al- Shiba’i, Musthafa, Wanita di Antara Hukum Perundang-Undangan, terj.

Chadidjah Nasutiaon, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Majalah sabili, no 12 TH.IV / 28 Desenber 2006.

Haikal,  Abduttawab,  Rahasia Perkawinan  Rasulullah  SAW: Poligami dalam Islam VS Poligami Monogami Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

al-Adlabi, Sala al-Din, Manhaj Naqd al-Matan, Beirut: Da al-Afaq al- Jadilah, 1403 H.

Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Haikal,  Abduttawab,  Rahasia Perkawinan  Rasulullah  SAW: Poligami dalam Islam VS Poligami Monogami Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993. 208.Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis suami gugur apabila istri nusyuz, seperti keluar rumah tanpa izin suami, istri tidak mau melayani suami, dan istri murtad. 


[1]Manna' al-Qaththan, Mabahits fiy 'Ulum  al-Hadits, (T.Tp.: Maktabah Wahbah, 2004) yang  diterjemahkan  ke  dalam  Bahasa  Indonesia Pengantar  Studi tahdis volume 7 , 2006

[2]Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalamIslam VS Poligami Monogami Barat., 1993 hal. 6.

[3]Dini Paramitha, Siti Muffatahah, Anita Zulkaida .2008.”Penerimaan Diri Pada Istri Pertama Dalam Keluarga Poligami ”. Jurnal Fakultas Psikologi, Universitas GunadarmaTahun 2008.

[4] Lbm Mudi Mesra Samalanga

[5][5] Referensi: Fiqh islami wa adillatuhu hal 6670 juz 9 cet dar fikr:

[6] al- Asqalaniy, 2010: 378-379

[7] al-Asqalaniy, 2010: 78

[8] al-Asqalaniy, 2010: 92-96.

[9] al-Asqalaniy, 2010: 527-528.

[10] al-Asqalaniy, 2010: 378-379.

[11] al-Asqalani, 2010: 661-663.

[12] al-Asqalaniy, 2010: 91-92

[13] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,1992hal. 125

[14]Syuhudi  Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 1992 hlm. 121.

[15] Syuhudi  Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 1992 hal. 121.

[16] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian. Hlm. 126

[17]Sala al-Din al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan Beirut: Da al-Afaq al-Jadilah, 1403 H hal. 237.

[18]M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual 1994 Hal. 35

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

filsafat dan tujuan hukum islam