MENGENAL MAZHAB HANAFI, MALIKI, SYAFI’I, HANBALI KEWAJIBAN TERHADAP UMMAT ISLAM AGAR AMAL IBADAH TERARAH SESUAI TUNTUTAN ILAHI

JURNAL 

MENGENAL MAZHAB HANAFI, MALIKI, SYAFI’I, HANBALI ADALAH KEWAJIBAN

 TERHADAP UMMAT ISLAM AGAR AMAL IBADAH

TERARAH SESUAI TUNTUTAN ILAHI 

NAMA:Waled Blang Jruen

Universitas Islam Dunia,13 December, 2020

www.tgkbeudibias@gmail.com

ABSTRAK

Jurnal ini mengangkat tentang kita perlu bermazhab, mazhab yang popular dan di akui Ulama ada empat dan dan pelopor mazhab tersebut yaitu para Imam besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam paradigma hukum fikih. Dasar hukum yang diambil untuk menetapkan hukum fiqh dari keempat mazhab ini sangatlah penting untuk kita melakukan ibadah walauberbeda-beda pendapat, sehingga hukum fikih yang dikeluarkan atau ditetapkan juga berbeda meskipun terdapat beberapa kesamaan dalam menetapkan hukum fikih.  Perbedaan ini  dikarenakan adanya  perbedaan zaman para  fuqaha,  sehingga hukum yang ditetapkanpun berbeda. Selain itu masalah-masalah yang dihadapi tiap fuqaha berbeda-beda. Ini adalah salah satu penyebab timbulnya perbedaan dari setiap ulama fiqh. Tulisan ini dikaji menggunakan metode filsafat islam. Struktur fundamental dijadikan sebagai landasan filosofis, dan teori postmodern dijadikan sebagai rujukan dari tulisan ini. Oleh karena itu perbedaan pendapat dapat dilihat sebagai fitrah, karena adanya perbedaan zaman, primordialitas, dan geografis manusia. Adanya perbedaan pendapat dari mazhab-mazhab fikih menjadi saling melengkapi, jika dilihat dari perpektif teori system. Dengan begitu kita dapat menemukan bahwa kajian ini mengantarkan pada kesadaran hubungan saling melengkapi antara pendapat imam dan ulama fikih.

 

Kata Kunci: Mengenal Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali Kewajiban Terhadap Ummat Islamagar Amal IbadahTerarah Sesuai Tuntutan Ilahi

نبذة مختصرة

تطرح هذه المجلة حول حاجتنا إلى المذهب ، المدارس الشعبية والمعترف بها من قبل العلماء هناك أربعة ورواد هذه المدارس هم الأئمة الكبار (حنفي ، مالكي ، شافعي ، حنبلي) في النموذج الفقهي الشرعي. . يختلف الأساس القانوني المتخذ لتأسيس قانون الفقه للمذاهب الأربعة ، لذا فإن قانون الفقه الصادر أو المنصوص عليه مختلف أيضًا على الرغم من وجود بعض أوجه التشابه في إنشاء قانون الفقه. لفحص هذه الورقة باستخدام الفلسفة كأسلوب. الأساس الفلسفي كهيكل أساسي ، وتشير هذه الورقة إلى نظرية ما بعد الحداثة. وهكذا يُنظر إلى الاختلافات في الرأي على أنها طبيعة نتيجة للاختلافات في أسبقية العصر والجغرافيا والإنسان. انطلاقا من منظور نظرية النظام ، فإن الاختلافات في الرأي في المذهب الفقهي تصبح متكاملة. وجد من هذه الدراسة أنه يمكن أن يؤدي إلى الوعي بوجود علاقة تكاملية بين مذهب الفكر

كلمات مفتاحية: التعرف على المذهب الحنفي ، المالكي ، السيافي ، الحنبلي ، التزامات الأمة الإسلامية بالتصدق بالعبادة الموجهة حسب المطالب الإلهية

ABSTRACT

This journal raises about our need for mazhab, schools that are popular and are recognized by the Ulama there are four and and the pioneers of these schools are the high Imams (Hanafi, Maliki, Shafi'i, and Hambali) in the fiqh legal paradigm. The legal basis taken to establish the fiqh law of the four mazhab is different, so the fiqh law issued or stipulated is also different even though there are some similarities in establishing fiqh law. To examine this paper using philosophy as a method. Philosophical foundation as a fundamental structure, and this paper refers to postmodern theory. Thus differences of opinion are seen as nature, as a result of differences in era, geographical, and human primordiality. Judging from the perspective of system theory, the differences of opinion of fiqh mazhab become complementary. From this study it was found that can lead to an awareness of the existence of a complementary relationship between mazhab of thought.

Key Words: Get To Know The Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali Schools. Obligations Of The Muslim Ummah For Charity To Worship Directed In Accordance With Divine Demands

A.Pendahuluan

Dalam bermazhab kita di tuntut sebagai tuntutan wajib bermazhab di keranakan kita tidak mampu menijtihatkan hukum sebagaimana yang telah di ijtihatkan oleh para imam mujtahid, kadang dalam hukum terjadi perbedaan adalah suatu hal yang biasa dan ini bisa terjadi disetiap pensyari’atan yang membuat kebiasaan(adat-adat), aktivitas-aktivitas manusia, yang ada pada masyarakat sebagai sumber ditetapkannya suatu hukum, disamping itu pemikiran-pemikiran, pendapat-pendapat, sebagai dasar pijakan dari suatu pertimbangan  manusia. Ini terjadi kerena pekerjaannya bermacam-macam, kebiasaan manusia berbeda-beda, dan beragam-ragam pendapatnya, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah SWT.

Apabila menggunakan dasar pemikiran yang berbeda, pasti hasilnya juga akan berbeda Oleh karena itu semua syari’at yang bersifat positif menjadi sebuah obyek dari perbedaan dan menyebabkan adanya perdebatan,karena hal tersebut termasuk perbuatan dari hasil  pemikiran manusia untuk mencapain maslahat yang diinginkan. Dan masalah-masalah yang dihadapi pasti berbeda- beda, sebab dilihat dari sudut pandangan yang berbeda, tujuan yang berbeda, lingkungan yang berbeda, dan zamanpun berbeda.

Tetapi pada masa Rasulullah SAW. masih hidup tidak terjadi perbedaan dalam syari’at Islam. Hal ini bisa terjadi karena Allah SWT. memberikan perbedaan demi menunjukkan mana wahyu yang merupakan dari-Nya dan mana ijitihad nabi. Semua hal yang bersumber dari Allah tidak aka ada perselisihan didalamnya. Firman Allah dalam al- Qur’an, Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur`an Dan jikalau al-Qur`an berasal dari selain  dari Allah  niscaya  mereka  akan  menemukan banyak sekali  pertentangan di dalamnya.” Sedangkan pada masa sesudah nabi Muhammad SAW. wafat sahabat-sahabat, tabi, dan tabi’in berusaha  menjalankan ajaran-ajaran dari nabi Muhammad SAW.

Disinilah parasahabat, tabi, dan tabi’in dihadapkan pada permasalahan- permasalahan dengan berbagai macam kondisi. Untuk itu para sahabat berpegangan pada pandangan dan perbedaan antar masalah yang terjadi di masa setelahnya dan masa Rasulullah, serta mengidentifikasi persamaan yang terjadi antara kedua masa tersbut.[1] Oleh karena itu munculah pendapat tentang hukum-hukum Islam dari para shabat, tabi’ dantabi’in juga ulama yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu fiqh.

Menjadi sebuah fenomena dengan munculnya mazhab di bidang ilmu fiqih yang membuktikan bahwa keterbukaannya keilmuan Islam di zaman tersebut sehingga setiap fuqaha’ mampu dan berhak untuk mengemukakan pendapatnya yang berbeda dengan para fuqaha’ yang lain, meskipun itu adalah gurunya sendiri. Seperti halnya imam Syafi’i yang menjadi salah satu murid tebaik imam Maliki, beliau mengemukakan argumen yang berbeda dengan imam Maliki, yang akhirnya kedua pendapat tersebut memunculkan dua mazhab yang berbeda.[2]Para imam madzhab yang popular dikalangan umat Islam yaitu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Hambal.

Umat Islam tidak dapat lepas dari bermazhab, karena bermazhab menjadikan hukum islam stabil dan tidak berubah tanpa adanya ketentuan yang pasti. Selanjutnya dalam bermazhab hendaknya memiliki mazhab yang muktabar dan terkenal diantaraNYA  mazhab  empat yaitu  Imam  Hambali, Imam  Syafi’i,  Imam  Maliki,  Imam  Hanafi. Hukum dasar dijadikan untuk bermazhab yaitu al-Qur’an,Hadits, Ijmak dan. Qiyas [3]

Dasar-dasar mazhab imam empat dalam menentukan hukum fikih adalah sebagai berikut: Mazhab Hanafi dengan berdasarkan Kitabullah, dan Hadist, fatwa para sahabat Nabi, qiyas, istihsan, kebiasaan. Mazhab Maliki yang berdasarkan pada Kitabullah, as-sunnah, ijmak, qiyas atau mashalihul-mursalah Mazhab Syafi’i menentukan hukum dengan berdasarkan al-Qur’an, Hadist, ijmak, qiyas, istidlal. Mazhab Hambali yaitu dengan berdasarkan Nash kitabullah dan hadits shahih, , fatwa para sahabat nabi, hadits dha’if dan mursal, qiyas.[4]

Dalam jurnal ini akan membahas gambaran latar belakang keempat imam mujtahid tersebut, sehingga dapat menetapkan suatu hukum Mengapa terjadi perbedaan dari imam-imam mazhab dalam menentukan hukum-hukum fikih Perbedaan apa saja yang terdapat dalam menetapkan hukum fikih,. Pengetahuan yang berkaitan dengan sebab-akibat adanya suatu ikhtilaf yang ada di lingkungan ulama ahli fikih sangatlah penting, karena untuk membatu kita dalam menghadapi dan menyikapi  permasalahn-permasalahan yang terjadi dan terhindar dari ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar atau dalil, sebab dalil-dalil yang digunakan para ulama-ulma fikih ini akan kita ketahui dengan pola fikir mereka dalam menetapkan suatu hukum dan menyikapi suatu masalah. Oleh sebab itu, kemungkinan terbukanya niat untuk mendalami kajian tentang hal yang dipermasalahkan, meneliti sistem dan cara yang baik untuk memperdalam suatu hukum, juga bisa meningkatkan potensi dalam mendalami hukum fiqh

B.PEMBAHASAN

Sebelum kita menghukumi apakah wajib kita bermazhab atau tidak, ada baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab berikut penjelasan sedikit tentang hal tersebut. Mazhab Mazhab adalah isem makan atau ism zaman yang berasal dari kata:

ذهب – يذهب – ذهبا / ذهابا

yang berarti pergi atau berjalan, maka secara bahasa arti mazhab adalah tempat berjalan/jalan atau waktu berpergian. Pengertian mazhab dalam bingkai syari`at adalah sekumpulan pemikiran Imam Mujtahid dibidang hukum-hukum syari`at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita mengenal empat Mazhab dalam dunia islam, yaitu:

1.      MAZHAB HANAFI

Imam Hanafi mempunyai nama lengkap Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al- Taimy,  atau  yang  sering  disebut dengan Abu  Hanifah. Beliau  merupakan keturunan dari Persia, pada tahun 80H/699M beliau dilahirkan di kota Kufah dan meninggal pada tahun 150H/767M di  kota  Baghdad. Saat  imam  Hanafi  dilahirkan Islam  dibawa  kekuasaan Bani Umaiyah yang dipimpin oleh Abd Malik bin Marwan raja ke-5 di masa Bani Umaiyah. Di zaman Umaiyah imam Hanafi hidup selama 52 tahun dan di zaman Abbasiyah hidup selama 18 tahun, beliau telah melakukan ibadah haji sebanyak 55 kali selama hidupnya.[5] Ayahnya berasal dari bangsa Persi, dan sebelum imam Hanafi dilahirkan ayahnya pindah ke Kufah.[6] atas anjuran Al-Sya’bi Abu Hanifah menjadi seorang pedagang pada awalnya, setelah itu beliau berganti  menjadi  seorang  pengembang  ilmu,  beliau  merupakan  generasi  ke-3  setelah Rasulullah SAW. pada waktu itu guru-guru beliau adalah seorang ulma Tabi’in, Tabi’it Tabi’in diantarnya, diantaranya Imam Rabi’ah bin Abdurrahman, Imam Qatadah, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H) 7, Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah orang alim ahli fiqh yang paling masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya, Amir bin Syarahil al-Sya’bi (wafat 104 H), Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H), Ali bin Abi Thalib (Kufah), Abdullah bin Mas’ud (Kufah), dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.[7] Salah satu guru imam Hanafi adalah Muhammad bin Abi Sulaiman yang wafat pada tahun 120H, beliau mengembara ilmu ke Muhammad bin Abi Sulaiman selama 18 tahun, dengan  kewafatan guru  beliau,  imam  Hanafi  menjadi  seorang  guru  karena  mendapatkan wasiat dari Muhammad bin Abi Sulaiman, untuk menggantikan Muhammad bin Abi Sulaiman. Semenjak tahun 120 H Abu Hanifah mulai menjadi seorang guru. Abu Hanifah berangkat ke Mekkah tahun 130 H, dan semenjak itu beliau mulai menetap di sana selama enam tahun. Abu Hanifah mengadakan musyawarah atau diskusi Bersama para ulama terkemuka pada saat itu. Beliau juga bertemu dengan ulama Hadits sehingga mereka dapat bertukar fikiran.[8] Karena Imam Abu Hanifah seorang pedagang maka beliau banyak bergaul dengan masyarakat ramai, sehingga Abu Hanifah sangat pandai mempergunakan istihsan yang dipakai disaat tak dapat digunakannya qias dan urf, beliau langsung menghubungi masyarakat dan mempelajari muamalah mereka.[9]Seorang ahli fikih yang cukup besar dan memiliki pengaruh yang luas dalam pemikiran hukum-hukum Islam. Sebagaimana cerita dari Muhammad Abu Zahrah, bahwa imam Hanafi adalah seorang ahli fikih dan ulama yang lebih sering menggunakan ra’yu, atau lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya. Kecenderungan rasionalis dalam fikihnya Imam Abu Hanifah banyak di pengaruhi sosiokultural dan kebudayaan yang berkembang di Iraq, karena pada waku itu Iraq sebagai kota tempat berkembangnya cabang- cabang ilmu, sehingga banyak diskusi-diskusi keilmuan yang dilakukan oleh para ulama termasuk Imam Abu Hanifah

2.      IMAM MALIKI

13 tahun setelah imam Hanafi, lahirlah imam kedua dari imam empat Islam yaitu imam Maliki.[10]Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi adalah nama lengkap imam Maliki. Yang dilahirkan di kota Madinah tahun 93H, yang merupakan keturunan bangsa Himyar, jajahan negara Yaman. Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Abi Al-Haris Ibn Sa’ad Ibn Auf Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid adalah ayah imam Malik dan ibundanya bernama Siti Aliyah binti Syuraik Ibn Abdul  Rahman Ibn Syuraik Al-Azdiyah. Dan perlu  diterangkan nama Anas  bin  Malik (ayahanda Imam Malik) bukanlah Anas bin Malik yang seorang sahabat mulia dan pembantu Nabi saw itu. Karena nama lengkap Anas bin Malik adalah Anas bin Malik bin an-Nadhar bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghunam bin Adiy bin an-Najjar al- Anshari al-Khazraji seorang sahabat Nabi SAW. Sahabat mulia Anas bin Malik wafat pada tahun yang sama dengan kelahiran Imam Malik bin Anas.[11]Pada hari Ahad tanggal[12] Rabiul Awwal tahun 179 H (798 M), pada usia 87 tahun beliau wafat, beliau wafat meninggalkan seorang putri dan tiga orang putra yang nama-namanya ialah Hammadah, Muhammad, Yahya, dan Ummu Abiha.[13] Imam Malik terdidik di Kota Madinah, sejak kecil beliau terkenal sebagai guru dan ulama untuk   mempelajari Islam. Imam Malik belajar banyak berbagai bidang imu pengetahuan seperti ilmu Hadits, fatwa dari para sahabat-sahabat, al-rad al-ahlil ahwa fatwa, dan  ilmu  fiqh  ahli  ra’yu.[14] Imam Maliki juga semenjak kecil  sudah  hafal  Al-Qur’an. Saat menuntut ilmu beliau memiliki guru banyak. Pernah belajar dengan syeikh, dari golongan tabi’in dan lagi dari tabi’it tabi’in. Guru beliau yang terkenal yaitu Muhammad bin Yahya Al- Anshari, Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh, Nafi’, Abu Radim Nafi bin Abd Al-Rahman. Banyak sekali murid imam Maliki yang menjadi seorang ahli dalam Islam atau ulama. Qodhi Ilyad berkata bahwa murid imam Maliki lebih dari seorang ulama yang terkenal, diantaranya: Muhammad bin Ajlal, Muhammad bin Muslim Al-Zuhri, Yahya bin Said AlAnshori, Rabi’ah bin Abdurrahman, Sulaiman bin Mahram Al-Amasi, Salim bin Abi Umayah, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq, dan Muhammad bin Idris bin al-Abas, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Ziab. Terus berkembang mazhab Malikiyah oleh para pengikut mazhab Malikiyah dan menyebar ke wilayah-wilayah negara Islam sampai kearah Barat seperti wilayah Mesir, Andalusia, Afrika, dan ujung Maroko yang dekat dengan Eropa. Begitu pula wilayah Timur, seperti Baghdad, Basrah, dan lainnya. Meskipun setelah itu pengaruhnya mulai menyusut.[15]

3.      IMAM SYAFI’I

Muhammad bin Idris bin al-Abas bin Utsman bin Syafi bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab  bin  Luay  bin  Ghalib  bin  Abu  Abdillah  al-Qurasyi  asy-Syafi’i  al-Makki  dalah  nama lengkap imam Syafi’i. Beliau lahir tahun 150 H/767 M di kota Ghazzah. Termasuk golongan suku Qurais Pendiri mazhab Syafi’i ini. Beliau kehilangan ayahnya sewaktu masih kecil, dan dibesarkan ibunya dalam kemiskinan. Beliau menghafalkan kitab suci Al-Qur’an di Makkah, beliau belajar Hadits dan Fikih dengan Muslim Abu Khalid az-Zanji dan Sufyan bin Uyainah. Imam Syafi’i hafal Al-Muwaththa’ di usia 13 tahun. Saat umur 20 tahun, beliau menemui imam Maliki bin Anas di Madinah dan mempelajari Al-Muwaththa’ dibawah bimbingan imam Maliki sendiri, dan ini sangat dihargai oleh imam Maliki sebagai seorang guru beliau. Imam Syafi’i tinggal dengan gurunya sampai akhir hayat imam Maliki pada tahun 795 M.[16] Imam Syafi’I tidak penah berfikir untuk membuat sebuah mazhab, hukum, atau pendapat- pendapat pribadi khusus yang terpisah dari pendapatnya imam Maliki. Gagasan untuk membuat mazhab fikih sendiri baru muncul setelah beliau meninggalkan kota Baghdad pada kunjungannya yang pertama yaitu pada tahun 184 H. sebelum itu beliau dianggap sebagai pengikut imam Maliki.[17] Imam  Syafi’i  sibuk berdakwah, mengarang di Mesir, dan menyebarkan ilmu di akhir hidupnya, sampai-sampai beliau tidak memperdulikan bahay yang terjadi pada dirinya, sehingga beliau terkena penyakit wasir. Akan tetapi, kecintaan beliau terhadap ilmu tidak menghiraukan penyakitnya tersebut dan tetap melakukan dan menyebarkan ilmu sampai beliau wafat di akhir bulan Rajab pada tahun 204 H.[18]

4.      IMAM HAMBALI

Beliau adalah yang mulia Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah bin ‘Ukabah bin Sha’ab bin Ali bin Bakr bin Wail bin Qasith bin Hinb bin Afsha bin Du’mi bin Jadilah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan dan terus keatas hingga sampai Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim as. Imam Ahmad bin Hanbal lahir di kota Bahdad, ibukota pemerintahan Bani Abbasiyyah ketika itu, di bulan Rabiul Akhir pada tahun 164 H (780 M) yaitu di zaman pemerintahan Khalifah Muhammad al- Mahdi. Dan di kota Baghdad inilah Imam Ahmad lahir, tumbuh dan berkembang hingga beliau wafat.[19] Mulai dari kecil, imam Ahmad sudah dikenal sebagai seseorang yang sangat mencintai ilmu. Beliau belajar ilmu-ilmu ke-Islaman dengan ulma yang ada di Bagdad, seperti ilmu al-Qur’an, bahasa Arab, al-Hadits, dan sebagainya. Kemauan untuk mencari ilmu dan menghimpun hadits membuat beliau untuk mengembara mencari ilmu ke pusat-pusat ilmu Islam seperti di Hijaz, Basrah, Makkah, Yaman, dan Kufah. Sampai-sampai beliau pergi ke Basrah dan Hijas sebanyak lima kali. Beliau berjumpa dengan beberapa ulama besar saat mengembara, seperti ‘Ali ibn Mujahid, ‘abd ar-Razzaq ibn Humam, Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Ansari Sufyan ibn ‘Uyainah, Imam Syafi’i dan lain-lain. Saat bertemu dengan imam Syafi’i beliau bisa mempelajari ushul fikih, fikih, nasikh dan mansukh dan kesahihan hadist.[20] Imam Ahmad adalah seseorang yang mahir diberbagai bidang keilmuan, seperti ilmu tasawwuf, kalam (teologi), tafsir, fikih, dan hadist. Dari keseluruhan keilmuan yang dipelajari beliau,  ilmu fikih dan hadits yang lebih menonjol dikuasainya, oleh karena itu beliau mendapat julukan muhaddist atau ahli hadist dan sebagai seorang fakih atau ahli fikih. Dalam bidang fikih yang bisa kita jadikan dasar bermazhab imam Ahmad tidak menuliskan sebuah kitabnya. Karena keseluruhan pendapatnya imam Ahmad ditulis oleh Abu Bakar al-Khallal melalui murid-murid imam ahmad yang telah menerima pendapat imam Ahmad secara langsung. Abu Bakar al-Khallal yang dapat di lihat sebagai pengumpul fikih mazhab Hambali ini dari penukilnya[21]

C.Sebab dan Perbedaan Dalam Menentukan Hukum Fiqh

Perkembangan hukum Islam dalam sejarahnya, yang berkaitan dengan penetapan hukum banyak pendapat yang berbeda pada kalangan para sahabat Nabi saat beliau masih hidup. Dengan mengembalikannya ke Nabi Muhammad SAW masalah-masalah yang ada, dan perbedaan pendapat dapat dipertemukan. Akan tetapi, setelah wafatnya beliau sering timbul

[22]perbedaan pendapat dikalangan sahabat dalam penetapan suatu hukum masalah tertentu.[23]

Dalam buku Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al yaitu Atsar al-Khilaf al-Fikhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha yang menjelaskan bahwa terdpat empat penyebab terjadinya perbedaan di kalangan ahli fikih:

a.      Dalam penggunaan kaidah ushuliyah dan penggunaan sumber istinbath yang berbeda

b.      Pada aspek kebahasaan dalam pemahaman nash merupakan suatu perbedaan yang mencolok

c.      Ijtihad yang berbeda mengenai ilmu hadits

d.      Perbedaan dalam metode kompromi hadits (al-jam’u) dan pentarjihan dengan cara zhair yang maknanya bertentangan[24]

Perbedaan pendapat dalam fikih dapat terjadi karena delapan sebab menurut pendapat Muşţafa Sa‘id al-Khinn yaitu:

1.         berbeda pada qira’ah ayat

2.         tidak menemukan hadis

3.         ragu mengenai kekuatan Hadis

4.         dalam pemahaman nas dan tafsir berbeda

5.         homonim (isytirak) pada lafaznya

6.         adanya perbedaan dalil

7.         tidak ditemukannya nas pada suatu masalah

8.         terdapat perbedaan pada kaidah uşuliyyah[25]

D.Sebab-Sebab Khusus Perbedaan Imam Mazhab Mengenai Sunnah Rasul Antara lain:

a.  Penerimaan hadis yang berbeda

b.  Berbeda dalam penilaian periwayatan hadis

c.  Berbeda tentang kedudukan kepribadian Rasulullah[26]

Bertentangnya atau perbedaan itu tidak samanya penilaian hukum pada suatu obyek. Saat perbedaan ini dihubungkan dengan konteks mazhab suatu hukum Islam artinya bertentangannya suatu penilaian terhadap hukum pada suatu obyek oleh  tiap-tiap ulama mazhab. Fikih tidak bisa lepas dari sumbernya dan menjadi hasil ijtihad para ulama, yaitu Al- Quran dan Sunnah Rasul, secara otomatis akan terdapat berbagai macam hasil dari ijtihad tersebut. Terlihatnya jati diri para ulama dalam menghadapi fenomena yang ada dengan sifat toleran, sportif dan dan tetap konsisten dalam memegang firman Allah saat  terjadi perselisihan.

E.Penetapan Hukum Fikih

Hukum fikih atau hukum Islam tidak hanya dilihat untuk mengukur kebenaran ortodoksi, tapi juga harus bisa diartikan sebagai alat untuk membaca kenyataan sosial yang ada, selanjutnya untuk digunakan dalam mengambil keputusan, Tindakan, dan sikap tertentu atas realita sosial yang ada. Hingga menjadikan hukum fikih mempunyai dua standar, pertama dijadikan alat ukur kenyataan sosial dengan pemikiran syari’at yang berakhir dengan hukum haram atau halal, tidak boleh dan boleh.[27] Berikut adalah beberapa hukum fiqh

Namun selain mazhab yang empat semuanya tidak bertahan lama pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya masih hidup, setelah beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya. Karena itu sangat sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi bermazhab dengan selain yang empat.

F.Ijtihad

Ijtihad adalah etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan pengertian Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap satu hukum[28].Pelaku ijtihad disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah semenjak Rasulullah SAW, saat Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin Jabal ke negri Yaman menjadi hakim, Hadist Riwayat. Al-Baihaqi

عَنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ قَالَ: وَقَالَ مَرَّةً عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ: «كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟» قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَقْضِي بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي وَلَا آلُو قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ فِي صَدْرِي وقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Dari orang-orang Himsh murid, dari Mu’adz bahwa Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana caramu memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasar kitabullah.” Rasulullah bertanya, “Jika engkau tak menemukan dasar dalam kitabullah?” Mu’adz berkata, “Aku akan menghukumi berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Rasul berkata, “Jika kau tidak menemukan dalam sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan pendapatku” Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah” (HR. Al-Baihaqi)   

a)      Syarat ijtihad

Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan shahabat Nabi sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri. Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi, Secara ringkas syarat-syarat tersebut antara lain[29]:

1.     Baligh

2.     Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).

3.     Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)

4.     Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).

5.     Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah (loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)

6.     Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.

7.     Mengusai serta ahli dalam memraktekkan qawaid-qawaid syara`

8.     Mengenal nasikh dan mansukh.

9.     Mengetahui masalah-masalah ijmak.

10.   Memahami ushul fiqh.

11.   Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.

12.   Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif dan keadaan perawi.

13.   Mengusai kaifiah nadhar.

Syarat-syarat ini sangat sukar dicapai oleh seseorang, sehingga Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada masa ini telah ozor untuk dicapai[30].

b).Tingkatan para Mujtahid terbagi dua:

1.     Mustaqil adalah: seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat ijtihad mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah mazhab lainnya

Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan keinginan manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid adalah suatu hal yang mustahil.[31]Ulama yang mencapai tingkatan ini antara lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa mereka.   

2.   Ghairu Mustaqil.(muntasib).

c).Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:

1.   Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[32]Ulama yang berada pada tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.

2.   Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak keluar dari qawaid dan dalil Imam. Syarat mujtahid pada tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam. Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[33]

3.   Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.

4.   Mujtahid yang mampu menaqal/mengutip  dan memahami mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[34]

C.Sebagian para ulama membagi tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :

 1.    Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat

 2.    Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.

 3.    Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.[35]

D.Kewajiban bermazhab

Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.

Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al Quran dan Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut.

Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad. Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.

Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.

E.Ayat dan Hadis landasan Taqlid

Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain Surat Al Anbiya ayat 7

فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Artinya:“maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)

Memang ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi orang-orang musyrik yang menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul dari jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman (universal) lafadz ayat.

Dengan demikian ayat diatas sebenarnya mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka. Secara tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid dalam Surat An Nisa ayat 59 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya: ’’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu (An Nisa 59)

’’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan ‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain disebut taqlid dalam Surat As sajadah ayat 24 yang berbunyi:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Artinya: “dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami”(Qs. As-sajadah :24)

Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk mengikuti petunjuk yang mereka berikan.

Hadis riwayat Turmuzi

اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ "  أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ

Artinya:“Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti dua Ulama yang juga shahabat Nabi yaitu Abu bakar dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk Taqlid dalam Hadis riwayat Baihaqi:

أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي

Artinya:“Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat Imam Baihaqi).

Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan TAQLID.

 Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi petunjuk kepada ummat.

           Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya (ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga dinamakan mengikuti Rasulullah.

F.Adakah mujtahid pada masa ini

Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid mutlak.

Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”[36] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[37]

Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M - 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy (925 H - 131 H) dll.

Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.

Imam Haramain(399 H - 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.

PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[38]

Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 - 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawy.

Oleh sebab itu adanya  perbedaan  mazhab  memberikan  pemahaman  yang  lebih  bagi  kita  tentang  hukum-hukum  fiqh  yang  ada,  dan  dapat  dijadikan  dasar  hukum  dalam  kehidupan  sehari-hari.Demikianlah pembahasan seputar perbedaan mazhab dalam paradigma hukum fiqh.

Perbedaan mazhab  yang terjadi  dari  keempat  imam,  yaitu imam Hanafi,  Maliki,  Syafi’I,  Hambali  terjadi  karena  perbedaan  latar  belakang, zaman,  riwayat  hidup  atau  biografi dari masing-masing mazhab. Mereka mimiliki sifat kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, membela terhadap kitab dan sunnah, mempunyai keberanian dalam menegakkan kebenaran. Sebab-sebab terjadinya perbedaan dikalangan fukaha yaitu  adanya perbedaan atau pertentangan dalam menggunakan kaidah atau inti pokok ushuliyah dan dalam menggunakan sumber  istinbath  lainnya,  dalam  memahami  suatu  nash  dari aspek kebahasaan terdapat  perbedaan  yang  mencolok,  dalam  ilmu  hadits  terdapat  perbedan diijtihadnya,  al-jam’u (metode kompromi hadits) dan al-tarjih (mentarjihnya)terdapat perbedaan dan pertentangan maknanya secara zahir. Dalam  menetapkan  hukum fiqh terdapat  banyak peredaan  pendapat  menurut  imam  empat ini, seperti menetapkan hukum bersuci, hukum shalat, baik dalam hal macam-macam air,  cara  berwudlu, rukun wudhu, suatu  perkara  atau  sebab-sebab  yang  dapat  membatalkan  wudlu, rukun shalat, dan perkara atau sebab-sebab yang membatalkan shalat

WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.

 Sumber:

1.Abu Mudi

2.Abu Panton.

3.Abi Umar.

4.Abi Ibnu Hajar

Referensi

Walid Blang Jruen pen gajian tauhid di  dayah Darul Ma'arif Blang Asan thn1997 dalam kitab Kifayatul  Awam  hal 22

Sentot  Haryanto, Psikologi  Shalat  (Kajian  Aspek-aspek  Psikologi  Ibadah  Shalat  oleh- oleh Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad SAW), (Yogyakarta: 2007), cet. ke-5, hal. 59.

Abu  Malik  Kamal  bin  as-Sayyid  Salim, Shahih  Fikih  Sunnah,  Penerjemah,  Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. ke-1, hal. 277

Musthafa Khalili. Berjumpa Allah dalam Salat. Jakarta: Zahra,2006, h. 38

Syaikh  Al-„Allamah  Muhammad, Fiqih  Empat  Mazhab  (Bandung:Hasyimi,  2013), hlm.43

Supiana  Karman, Materi  Pendidikan  Agama  Islam  (Bandung:  Pt  Remaja  Rosdakarya, 2003), hlm. 23-24

HR al-Bukhâri, 631

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 111.

Bidayatul Mujtahid, Jilid I

Muttafaqun „alaih. HR. Bukhari Juz 1: 797 dan Muslim Juz 1: 402

hahih: Shahih Abu Daud no: 766, „Aunul Ma‟bud III: 102 no: 845

Al-Hujjah „ala Ahli Madinah, Bab: al-Julus fish-Shalah.

Al-Hawi al-Kabir, Bab: Sifat Shalat, tentang Fa Idza Qa‟ada fir-Rabi‟ati.

HR Bukhari, 785, Bab: Sunnatul-Julus fit-Tasyahhud.

Al-Ashqar, Umar Sulaiman. t.t, “Tarikh al-Fiqh al-Islami”. Aljazair: Qasr al-Kitab. Al-Khafif, Ali. 1996. “Asbabu Ikhtilafil Fuqaha”. Cairo: Darul Fikr al-Arabi. Ar-Rahbawi,   Abdul   Qadir.   2018.   “Fikih   Shalat   Empat   Mazhab”.   Jakarta:   PT   Elex   Media   Komputindo.Asy-Syinawi, Abdul Aziz. 2017. “Biografi Empat Imam Mazhab”. Cikumpa: Fathan Media Prima. Asy-Syurbasi, Ahmad. 1993. “Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab”. Jakarta: PT. Bumi Aksara.At-Turki,   Abdullah   ibn   ‘Abd   al-Muhsin.   1980.   “Usul   Mazhab   al-Imam   Ahmad”.   Riyad:   Maktabah ar-Riyad al-Hadisah. Chalil,  Moenawir.  1955.  ”Biografi   Empat   Serangkai   Imam   Mazhab   Hanafi,   Maliki,   Syafi’i,   Hambali”. Jakarta: Bulan Bintang.

Maraji`

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh cet. Dar Fikr

 Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra Cet. Dar fikr

Jalal Mahally, Al Mahally `ala jam`ul jawami`, Cet. Haramain

Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti Cet. Dar Fikr

Sayyid `Alawy As Saqqaf, Sab`atul kutub mufidah Cet. Haramain

Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr Cet. Dar Fikr

Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq Cet. Matba`ah Maimaniyah

 Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, Cet. Semarang, Toha putra

Imam Zarkasyi, Bahrul Muhith cet. Dar Fikr

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh jilid 1, hal. 43 cet. Dar Fikr

Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, (semarang, Toha putra) hal 147

Jalal Al Mahalli, Syarah `ala jam`ul jawami`jlid 2 hal 382. Cet. Haramain, Imam Zarkasyi, Bahrul Muhid jilid 4 hal 489 Cet. Dar Kutub Ilmiyah

Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq hal 5 cet. Matba`ah Maimaniyah

Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr..hal 38. Cet. Maktabah Staqafiyah Ad Diniyah

Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti, hal 25, Cet. Dar Fikr

Sayyid Alawy bin Ahmad As Saqaf, Sab`atul kutub mufidah hal 46 Cet. Haramain

Jalal Al Mahally, Syarah `ala jam`ul jawami`, jilid 2 hal 385 Cet. Haramain

Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra, jilid 4 hal 302 cet. Dar fikr

Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfatul Muhtaj, jilid 10 hal 123 cet. Dar Fikr

Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq, hal 3 cet. Matba`ah Maimaniyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah