journal
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Volume 1 No. 2. Juli-Desember 2017
ISSN: 2549
– 3132; E-ISSN: 2549 – 3167
Pelaksanaan Itsbat Nikah Keliling
dan Dampaknya
terhadap Ketertiban
Pencatatan Nikah
(Studi Kasus di Kabupaten
Bireuen)
Khairuddin
Julianda
Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Ar- Raniry
Kata Kunci: Itsbat, Nikah, Dampak dan
Ketertiban
Review oleh: Abdillah NIM;2018540573 Prodi HKI
ITSBAT NIKAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETERTIBAN
PENCATATAN NIKAH
Pembimbing
;Dr.Danial.M.Ag
Institut
Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana,
Lhokseumawe
Periode
2017-2018
Kata Kunci: Itsbat, Nikah, Dampak dan
Ketertiban.
www.tgkbeudibias@gmail.com
Pendahuluan
Islam mengajarkan
manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga merupakan gambaran terkecil dalam kehidupan
berbangsa
dan bernegara.
Keluarga yang
baik menurut Islam sangat menunjang untuk
menuju kepada kesejahteraan. Keluarga terbentuk melalui
perkawinan,
karena
itu perkawinan sangat dianjurkan
oleh Islam bagi yang
telah mempunyai kemampuan.
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah
unuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia.
Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin, sehingga timbul kebahagiaan yakni kasih sayang antara anggota keluarga. Kesejahteraan dan kebahagiaan
tidak akan
terciptaapabila hak
dan kewajiban dalam
sebuah keluarga (antara pasangan
suami-istri) tidak
terlaksana dengan
baik Itsbat nikah
mengandung arti suatu penetapan nikah kepada
Pengadilan Agama
melalui permohonan karena pasangan suami-istri
sebelumnya tidak
dapat membuktikan perkawinannya melalui aktanikah. [1] Itsbat nikah juga diartikan sebagai suatu permohonan pengesahan nikah
yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan yang dilangsungkan menurut syari’at
agama Islam dan mendapatkan kekuatan hukum.9 Proses itsbat nikah ini kemudian
menghasilkan satu
buku nikah (Sebagai salah satu upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang belum mempunyai akta nikah,
itsbat nikah
tentunya memiliki
aspek positif
dalam
memudahkan masyarakat mencatatkan kembali perkawianan yang
telah
dilangsungkan. Kedudukan itsbat nikah ini sendiri telah mendapat pengakuan dengan
dibuktikan adanya regulasi hukum, seperti dalam
bunyi Pasal 7
ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam,
yang menyatakan bahwa itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama.
Itsbat nikah tersebut dapat diajukan atas beberapa alasan, diantaranya yaitu karena hilangnya akta nikah, dan
karena ada keraguan
menganai sah tidaknya salah satuu syarat perkawinan. Bertalian dengan
masalah di atas, di wilayah Kabupaten
Bireuen telah dilakukan suatu langkah oleh pihak pengadilan
terhadap pasangan yang
belum atau tidak ada akta nikah untuk ditetapkan kembali pernikahan
melalui itsbat nikah
keliling.
Pembahasanlandasan
HukumPernikahan
Sebelum dijelaskan makna dari itsbat nikah, terlebih dahulu dijelaskan tentang nikah.
Ulama telah membuat
rumusan nikah
sebagai sebuah akad
antara seorang pria dengan pihak wali wanita,
dengan tujuan
untuk penghalalan hubungan suami-istri (senggama).
Dalam fikih Islam, perkawinan disebut dengan istilah nikah atau
zawwaj, yang memiliki arti al-jam’u dan al-dhamu,
yaitu kumpul atau
menyetubuhi. 13 Menurut Mustofa Hasan, menikahi wanita
pada hakikatnya ialah menggauli
istri. Sedangkan menurut istilah (terminologi),
sebagaimana dijelaskan oleh Zakiyah
Darajad, bahwa
perkawinan atau
pernikahan
yaitu:
امهانعموأ جيوزتلاوأ حاكنلا ظفلب ٸطو ةحابإ نمضتي دقع
Artinya: “Akad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan
hubungan kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij
atau yang semakna
keduanya”.[2]
SYARAT
PELAKSANAAN ITSBAT
NIKAH
Ketentuan mengenai itsbat nikah hanya dijumpai dalam regulasi perundang-undangan, namun
tidak dijumpai dalam
kitab-
kitab fikih klasik
maupun
kontemporer. Oleh sebab
itu, tentang
syarat
itsbat nikah ini hanya
dapat dilihat dalam aturan undang-undang. Itsbat
nikah (penetapan
nikah)
pada
dasarnya
adalah
penetapan suatu
perkawinan yang telah
dilakukan sesuai denganketentuan yang
terdapat dalam syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah dilakukan
dengan sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan
rukun nikah tetapi pernikahan ini belum
dicatatkan
ke
pejabat
yang
berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Maka untuk mendapatkan penetapan
Landasan Hukum Pencatatan Pernikahan
Dari segi bahasa, seperti termuat dalam Kamus Besar
Bahasa
Indonesia, terma pencatatan diambil dari kata “catat”, yaitu menuliskan sesuatu untuk peringatan. Sedangkan
pencatatan yaitu
proses, cara, perbuatan mencatat atau pendaftaran.
Adapun maknapencatatan
pernikahan,Amiur
Nuruddin menyebutkan bahwapencatatan nikah
adalah
suatu proses dimana perkawinan yang telah dilangsungkan
akan
dicatat dan telah
ditandatangani oleh
masing- masing pihak
antara laki-laki dan perempuan yang melangsungkan perkawinan
Redaksi yang
berbeda seperti dikemukakan Neng Djubaidah bahwa pencatatan perkawinan merupakan pencatatan
atas suatu perkawinan yang sah menurut hukum Islam, yaitu perkawinan
yang
memenuhi rukun dan
syarat perkawinan
sesuai syari’at Islam yang
dilakukan di Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat. Adapun yang
dimaksud dengan
perkawinan tidak dicatat adalah perkawinan yang
sah sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang belum
didaftarkan, sehingga belum tercatat di Kantor
Urusan
Agama tempat
dilangsungkannya perkawinan. Hal yang
terakhir
disebut disebabkan
beberapa faktor, di antaranya yaitu kurangnya pengetahuan
anggota
masyarakat setempat, atau karena pembiayaan pendaftaran pencatatan dan lokasi yang tidak terjangkau oleh
masyarakat,
atau
karena alasan lain
yang tidak
bertentangan dengan
hukum Islam.[3]Jika dilihat dalam regulasi perundang-undangan,
tidak ditemukan rumusan pencatatan
perkawinan. Hanya saja,
dalam
aturan yang
ada
disebutkan tentang kegunaan
dan fungsi dari pencatatan tersebut. Sebagaimana terdapat pada Pasal 5
ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam disebutkan
bahwa
pencatatan
perkawinan
bertujuan
untuk menjamin ketertiban perkawinan
bagi
masyarakat Islam yang berada
di
wilayah hukum Indonesia. Selain
itu, undang-undangperkawinan menyebutkan
setiap perkawinan dilangsungkan harus
Kesimpulan
Menurut Pendapat Saya Bahwa Jurnal Yang
Berjudul Pelaksanaan Itsbat Nikah Keliling dan
Dampaknya
terhadap Ketertiban Pencatatan Nikah (Studi Kasus di Kabupaten
Bireuen) Baik Dan Menarik Cuma Kalau Menurut
Saya Kekurangan Di Segi Penjelasan Terlau Panjang Dan Lebar Sebaiknya Lebih
Ringkas Dan Padat Agar Semua Pemirsa Mudah Memahaminya. Hal yang melatarbelakangi dilaksanakannya itsbat nikah keliling di Kebupaten Bireuen adalah masih banyak pasangan suami- istri yang tidak memiliki buku nikah
atau
akta nikah. Di samping itu,
karena akses
ke Mahkamah Syar’iyah Bireuen terlalu jauh dengan
beberapa kecamatan yang
ada
di Bireuen. Kemudian karena ingin
menegakkan keadilan, kemaslahatan
dan kepastian hukum bagi pasangan yang
tidak memiliki buku nikah. Sehingga dengan adanya
program itsbat nikah
tersebut, pemerintah
dapat menjamin
perlindungan hukum atas hak-hak yang dimiliki oleh pasangan yang
bersangkutan. Teknis pelaksanaan itsbat nikah keliling di Kabupaten
Bireuen sama dengan teknis
pelaksanaan itsbat nikah pada umumnya, yaitu dilakukannya pendaftaran sebelum
dilakukannya sidang
itsbat. Namun, itsbat nikah
keliling
ini didaftarkan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan, setelah itu dilakukan proses pelaksanaan sidang
itsbat nikah keliling. Teknik dan tahapan dalam proses pelaksanaan sidang
itsbat nikah keliling
melalui tiga tahapan,
yaitu pemeriksaaan, pembuktian, serta
kesimpulan dan penetapan.
Pada tahap
pemeriksaan,
hakim memberikan
pertanyaan terkait dengan
identitas
para
pihak berikut dengan pertanyaan mengenai proses perkawinan
masing-masing pasangan. Kemudian, dilakukan tahap pembuktian
dengan menghadirkan dua orang saksi nikah
berikut dengan penjelasan-penjelasannya. Terakhir yaitu tahap kesimpulan dan
penetapan, dalam hal ini peristiwa perkawinan masing-masing pasangan
telah dapat
dibuktikan, kemudian dikeluarkan
penetapan untuk
kemudian dapat dimintakan buku nikah di masing-masing KUA
Kecamatan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan
itsbat nikah keliling di Kabupaten Bireuen memiliki dampak positif
yang cukup besar. Dimana pasangan yang tidak memiliki akta nikah, maka perkawinan mereka dapat diakui oleh hukum
dengan ditetapkan
dan
dicatatkannya kembali perkawinan melalui
proses sidang
itsbat. Kemudian timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-istri yang
secara hukum dapat dilindungi. Serta, anak-anak
yang lahir
dari
perkawinan setelah
ada penetapan itsbat ini
menjadi anak yang sah di
mata hukum dan negara. Namun pencatatan nikah melalui program
itsbat nikah belum
terealisasi secara menyeluruh bagi masyarakat Kabupaten
Bireuen. Karena Mahkamah Syar’iyah Bireuen membatasi kouta
istbat nikah, yang berakibat pada masih
banyak ditemukan
pasangan yang
tidak bisa mengikuti program
itsbat nikah dan
mencatatkan pernikahannya.
Daftar Kepustakaan
Abdul Madjid Mahmud
Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-
Islamiyah; Penduan Hukum Keluarga Sakinah, (terj: Harits
Fadhly & Ahmad Khotib), Surakarta: Era Intermedia, 2005.
Keterangan yang
sama juga terdapat dalam
buku Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia; Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, cet.
3, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009.
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia;
Studi Kritis Perkembangan
Hukum
Islam dari
Fikih, Undang-Undang
Nomor 1/1974, sampai KHI,
cet. 3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 6, Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada.
Abdul Manan,
Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Abdul Madjid Mahmud Mathlub, al-Wajiz
fi
Ahkam al-Usrah al-
Islamiyah.
Mardani, Akad Nikah Melalui Telepon, Televisi, dan Internet dalam
Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung, Pustaka Setia,
2011.
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, cet. 2, Jakarta:
Sinar
Grafika, 2012.
Permberdayaan Perempuan
Kepala
Keluarga (PEKKA),
Panduan
Pengajuan Itsbat Nikah, Jakarta: Australia
Indonesia
Partnership, 2012.
Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum
Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra Pembentukannya
Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih
Nikah
Lengkap, cet. 4, Jakarta: Rajawali Pers,
2014.
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu:
Pernikahan, Talak,
Khulu’, Ila’, Li’an, Zihar dan Masa
Iddah, (terj: Abdul
Haiyyie Al-Kattani,
dkk), jilid 9, Jakarta:
Gema Insani,
2011.
Zainuddin
Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 4, Jakarta:
[1]
Abdul Madjid
Mahmud Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiyah;
Penduan Hukum Keluarga Sakinah, (terj: Harits Fadhly & Ahmad Khotib), (
[2] Zakiyah Darajat,
dkk,
Ilmu
Fikih…, dalam buku H.M.A. Tihami
& SohariSahrani, Fikih Munakahat…, hlm. 8
[3] Amiur Nuruddin1/1974, sampai KHI, cet. 3, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 129-
Komentar