KHITBAH
كلمة
كومنتر
بِسْــــــــمِ
اللَّــــــــهِ الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
من أعطانا رحمته وتوجيهه حتى نتمكن من استكمال
هذه الورقة دون أية عوائق. لا ننسى الصلوات والتحيات أن نتدفق دائما على سيد النبي
محمد المنشار العظيم. ما سنراه لاحقاً في يوم القيامة. خالص امتناننا للسيد درز.
بدوان ، م. مما أعطانا الفرصة لتجميع هذه الورقة.
نقوم بتجميع هذه الورقة بموضوع
"خطبة" ، وهو أحد الأشياء التي نعرفها في الزواج. ستناقش هذه الورقة
الخطبة بالتفصيل من بعض المراجع التي نحصل عليها. كما نرتب هذه الورقة بلغة بسيطة
بحيث يسهل على القراء فهمها.
المؤلف /
الكتابة
عبدالله
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................... i
DAFTAR ISI............................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................... 1
A.
1.LatarBelakangMasalah............... 1
1. RumusanMasalah............................. 2
2.Tujuan................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .......................... 2
B.1
Khitbah (Peminangan)................... 3
1.1.DefinisiKhitbah(Peminangan)
1.2.
HukumKhitbah.............................. 4
1.3. KarakteristikKhitbah...................... 5
1.4..... 6
1.5........... 8
1.6.Haram Khitbah................................... 9
1.7.PemutusanPertunangan..................11
1.8.
HikmahDisyariatkanPeminangan….12
C.2.12
2.1. Defenisi Mahar. 12
2.2.Di dalam KHI masalahm.. 13
2.3. SyaratSahMahar........ 13
2.4.
DalilDisyari’atkanMaha... 26
2.5.UkuranMaharAh.26
2.6.Benda
yang Layak. 27
2.7.Macam-macam
Mahar...................... 27
2.8.HikmahDisyari’atkan Mahar..............28
BAB III KESIMPULAN.............................. 29
DAFTAR PUSTAKA ................................. 30
ii
BAB
I
Pendahuluan
A.1.Pendahuluan
Islam
menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang yang banyak
diyakini para rahib. Allah menegaskan dalam al-qur’an yang artinya : “kawinilah
wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat. Nikah disyariatkan
Allah seumur dengan perjalanan hidup mmanusia, sejak nabi Adam dan Hawa di
surga adalah ajran pernikahan pertama dalam islam.
ياَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ
خَلَقَكُمْ منْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالاً كَثِيْرًا وَّ نِسَاءً، وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِه وَ
اْلاَرْحَامَ، اِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. النساء
‘Hai sekalian manusia,bertakwalah kepadaTuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripada nya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biak kan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertawakalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu samalain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
ayat [1]An-nisa
Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi
sesuai dengan kriteria yang di tentukan,Langkah selanjutnya adalah penyampaian
kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan.Penyampaian kehendak
untuk di nikahi seseorang itu di namai KHITBAH atau dalam bahasa indonesianya
di namakan “Peminangan
1. Rumusan
Masalah
1.1. Apakah
definisi khitbah dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan khitbah ?
1.2. Apakah
defenisi Mahar dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan mahar ?
2.Tujuan
Makalah ini disusun selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah hukum islam di
Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe, juga untuk memberikan informasi
mengenai Khitbah (meminang) dan Mahar dalam perkawinan secara lebih merinci.tugas mata kuliah Fiqh
Munakahat, tetapi juga untuk memberikan informasi mengenai Khitbah secara lebih
merinci tentu sesuai dengan kempuan penulis :
2.1. Untuk mengetahui definisi tentang apa itu
khithbah. Menyebutkan hukum-hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Dapat
menyebutkan macam-macam dari pada khithbah.
2,1. Memberikan
penjelasan tentang anggota tubuh terpinang yang boleh dilihat pada saat
meminang, waktu melihat wanita terpinang, empat mata dengan wanita pinangan
serta menjelaskan hukum pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang.
BAB
II
Pembahasan
B.1.Khitbah
(Peminangan)
1.1.Definisi
Khitbah(Peminangan
Khitbah atau “peminangan “ berasal dari
kata “pinang”, meminang” (kata kerja) . meminang sinonimnya adalah melamar yang
dalam bahasa arab disebut “khitbah”. menurut
etimologi meminang atau melamar artinya “meminta wanita untuk dijadikan
isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Jadi Khitbah atu peminangan adalah
suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita.
Atau pula dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk
menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya
beragam; adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang
bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang
dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
Peminangan di Indonesia, diatur dalam
KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a,
dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan
dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13
yaitu :
Ø.Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat
dilakukan oleh orang yang mencari pasangan,
atau lewat orang perantara yang dipercaya.
Ø.Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa
peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang
habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak
dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain.
Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
Ø.Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan
belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi
harus sesuai dengan agama dan adat setempat.
1.2.
Hukum Khitbah
hukum khitbah/lamaran adalah
sunat, maksudnya disunatkan bagi pihak laki-laki untuk meminang si perempuan
sebelum terjadinya akad nikah adapun dalil nya ayat ayat Al
qur’an adalah:
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ
فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ۚ وَلَا
تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ
أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada salahnya bagi kamu tentang
apa yang kamu bayangkan (secara sindiran), untuk meminang perempuan (yang
kematian suami dan masih dalam idah), atau tentang kamu menyimpan dalam hati
(keinginan berkahwin dengan mereka). Allah mengetahui bahawa kamu akan
menyebut-nyebut atau mengingati) mereka, (yang demikian itu tidaklah salah),
akan tetapi janganlah kamu membuat janji dengan mereka di dalam sulit, selain
dari menyebutkan kata-kata (secara sindiran) yang sopan. Dan janganlah kamu
menetapkan dengan bersungguh-sungguh (hendak melakukan) akad nikah sebelum
habis idah yang ditetapkan itu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui
apa yang ada dalam hati kamu, maka beringat-ingatlah kamu akan kemurkaanNya,
dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyabar . Dalil
yang lain disebutkan dalam Alqur’an:
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ
فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ
قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ
Tidaklah kamu bersalah dan tidaklah kamu
menanggung bayaran maskahwin) jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu sentuh (bercampur) dengan mereka atau (sebelum) kamu menetapkan maskahwin
untuk mereka. Walaupun demikian, hendaklah kamu memberi "Mut'ah"
(pemberian saguhati) kepada mereka (yang diceraikan itu). Iaitu: suami yang
senang (hendaklah memberi saguhati itu) menurut ukuran kemampuannya; dan suami
yang susah pula menurut ukuran kemampuannya, sebagai pemberian saguhati menurut
yang patut, lagi menjadi satu kewajipan atas orang-orang (yang mahu) berbuat
kebaikan. Dalil yang lain adalah
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ
ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ
إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum
kamu sentuh (bercampur) dengan mereka, padahal kamu sudah menetapkan kadar
maskahwin untuk mereka, maka mereka berhak mendapat separuh dari maskahwin yang
telah kamu tetapkan itu, kecuali jika mereka memaafkannya tidak menuntutnya);
atau (pihak) yang memegang ikatan nikah itu memaafkannya (memberikan maskahwin
itu dengan sepenuhnya). Dan perbuatan kamu bermaaf-maafan (halal menghalalkan)
itu lebih hampir kepada taqwa. Dan janganlah pula kamu lupa berbuat baik dan
berbudi sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua yang
kamu kerjakan”.
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ
شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya
dalam Alqur’an telah Allah ceritakan.
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala
sesuatu Kami Ciptakan Berpasang – pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.”
6.
QS. Ar. Ruum surat30 ayat 21
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ
أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍۢ
لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara
tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
وَمِن كُلِّ شَىْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala
sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.”
سُبْحَٰنَ
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْأَزْوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلْأَرْضُ وَمِنْ
أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
¨Maha Suci Allah
yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا
وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةًۭ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ
ۚ أَفَبِٱلْبَٰطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ ٱللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
‘Bagi kalian
Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri,
kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu
keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik.”
وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ
مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟
فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌۭ
“Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendiri ( bujangan ) di antara kalian dan orang-orang shaleh
diantara para hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam
keadaan miskin, Allah-lah yang akan menjadikan kaya dengan karunia-Nya
وَٱلْمُؤْمِنُونَ
وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍۢ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ
وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ
إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ
“Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
12.
QS. An Nuur
ٱلْخَبِيثَٰتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ
لَهُم مَّغْفِرَةٌۭ وَرِزْقٌۭ كَرِيمٌۭ
“Wanita yang
baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik
pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah
(yaitu:Surga)”
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۭا مُّبِينًۭا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya
dia telah berbuat kesesatan yang nyata.”
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن
ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۭ
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”
وَٱللَّهُ
خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍۢ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍۢ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَٰجًۭا ۚ
وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنثَىٰ وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلْمِهِۦ ۚ وَمَا يُعَمَّرُ
مِن مُّعَمَّرٍۢ وَلَا يُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِۦٓ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ
عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ
“Dan Allah
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan
kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan
sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.”
فَاطِرُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا وَمِنَ ٱلْأَنْعَٰمِ أَزْوَٰجًۭا ۖ يَذْرَؤُكُمْ
فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya
(a). Penjelasan Makna umum ayat 4 di atas tadi :
Khithab
ayat ini ditujukan untuk suami dan wali perempuan. Allah memerintahkan kepada
mereka untuk memberikan mahar kepada wanita/istri sebagai pemberian suka rela.
Perintah ini merupakan kewajiban. Dan kalau si istri berbaik hati, memberikan
secara ikhlas dari mahar tersebut, baik sebagian atau malah seluruhnya, maka
suami/wali boleh memakannya dengan penuh kelahapan dan berharap makanan
tersebut akan membawa akibat baik.
(b). Penjelasan dan hikmah Serta mamfaat:
1. Dalam ayat sebelumnya, diterangkan keharaman
kedhaliman terhadap anak yatim yang dinikahi, dengan berbagai bentuk kedhaliman
termasuk diantaranya adalah dengan tidak memberikan mahar yang lanyak
untuknya.Maka, pada ayat ini Allah menegaskan perintah pemberian mahar untuk
istri.
2. Perintah memberikan mahar tidak hanya
tertuju bagi suami yang menikahi perempuan, tetapi juga untuk orang tua. Hal
ini karena dalam tradisi Arab jahiliah, anak perempuan itu seperti
diperdagangkan. Kalau mau menikahkan, orang tua minta mahar yang mahal agar
bisa menguasai harta tersebut. Bahkan tradisi buruk semacam itu masih
berlangsung samapai sekarang dibeberapa kalangan masyarakat. Karenanya Islam
dengan tegas menghapus tradisi itu, dan mahar dijadikan hak mutlak istri
(wanita). Menurut Imam Al-Qurthubi, kewajiban memeberikan mahar kepada isteri,
merupakan sesuatu yang telah disepakati para ulama[[17]].
3. Kata نِحْلَةً :walaupun
artinya adalah pemberian suka rela. Tapi disini dijadikan sesuatu kewajiban.
Penggunaan kata tersebut, dimaksudkan bahwa ketika suami memberikan mahar
kepada istri itu harus penuh keikhalasan. Didasari kecintaan dan kesenangan
hati untuk memberikan dengan tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun dari pihak
manapun.
4. Secara umum, kita diperintahkan untuk
memberikan yang terbaik kepada orang lain. Sebagaimana dalam kalam Allah (Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.). Termasuk dalam hal ini adalah
apa yang diberikan kepada istri berupa mahar. Meskipun ada hadits ”Sebaik-baik
wanita adalah yang paling mudah maharnya dalam riwayat Ibnu Hibban[[18]].
Hal Itu bukan berarti pihak laki-laki semena-mena dalam memberikan mahar.
Karena hadis ini lebih tertuju kepada pihak perempuan atau walinya untuk tidak
mempersulit dan meninggikan mahar yang diinginkan. Sehingga mempersulit
terjadinya pernikahan yang mengakitbatkan berbagai kerusakan dimasyarakat.
Seperti banyaknya perawan tua, berbagai pelecehan seksual dan kerusakan akhlak
pemuda. Maka kewajiban bagi pemerintah atau individu yang mampu untuk
memberikan solusi terhadap kendala sulitnya pernikahan.
5. Mahar
adalah hak mutlak istri, suami tidak boleh memintanya. Kalaupun meminjamnya
haruslah dengan izin sang Istri. Karena pernikahan itu bukan berarti
menghilangkan hak-hak Istri. Walaupun bagi suami istri berhak untuk membuat
kelonggaran diantara mereka. Yang penting tidak terjadi kedholiman dalam
kelarga. Karenanya, mahar yang diberikan secara hutang (tidak kontan)
tetapsudah menjadi hak istri walaupun belum diterima, sehingga kapanpun istri
memintanya, suami wajib memberikannya. Menurut Imam Zamakhsyari[[19]]
”ayat ini Tafsir
Al-Kasysyaf untuk memperketat agar suami tidak semena-mena
kepada istri, lalu meminta atau memaksa istri untuk memberikan maharnya.”
6. Seorang
istri apabila memberikan maharnya –seluruh atau sebagian- dengan ikhlas tidak
ada paksaan dari pihak manapun, maka suami boleh menerimanya, untuk apa saja,
meskipun dalam ayat ini memakai redaksi “makanlah”. Hal karena umumnya orang
bekerja apa saja itu untuk mengisi
perut.
7 . هَنِيئًا
مَرِيئًا,
artinya yang kamu makan itu 100% halal. Allah menyatakan ini karena mungkin
orang merasa tidak enak, kurang sreg untuk menggunakan mahar istrinya meskipun
si istri memberikannya secara suka rela. Sebagian ahli tafsir menggunakan
potongan ayat ini untuk menegaskan bahwa apa yang kita hasilkan dari kerja yang
halal akan membawa minimal dua hal, yaitu kalau kita makan merasa tenang, dan
membawa kesehatan dan kesejahteraan. Berbeda dengan harta yang haram, walaupun
makanannya enak, belum tentu membawa mari`a (manfaat baik untuk tubuh kita),
secara fisik maupun non fisik. Non fisik seperti dimudahkan badan untuk
beribadah dan berkarya mulia.
8. Tersirat
dalam ayat ini bahwa hukum aslinya mahar itu harus berupa materi, karena bisa
diberikan dan dirasakan kemanfaatannya oleh istri. Walaupun para ulama
berdasarkan riwayat beberapa hadits membolehkan mahar dengan berupa bacaan atau
hafalan Al-Qur`an selama istri rela. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan
kondisi seseorang yang kesulitan untuk menikah.
9. Bolehkah
istri meminta kembali mahar yang telah diberikanya kepada suami? Ada perbedaan
pendapat, namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa hak dia untuk menarik kembali
mahar yang telah diberikannya. Karena kalau dia betul-betul memberkan ikhlas
karena Allah, pasti tidak akan meminta lagi. Artinya, kalau meminta kembali itu
berarti dia tidak ikhlas. Khalifah Umar bin Khathab menulis untuk seluruh
hakim, bahwa ketika wanita memberikan hartanya, baik dengan suka rela atau
terpaksa, kemudian menarik kembali maka
dia berhak untuk mengambilnya lagi.
1.3 Khitbah Yang Berdasarkan Hadis
Hukum khitbah/lamaran adalah
sunat, maksudnya disunatkan bagi pihak laki-laki untuk meminang si perempuan
sebelum terjadinya akad nikah adapun dalil nya hadist Rasulullah.
Demikian juga khithbah ini juga disebutkan di dalam Sunnah Qauliyah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah Hadis Riwayat Bukhari adalah.[[20]]:
عَنِ ابْنَ عُمَرَ رَضِي اللَّهم
عَنْهممَا أنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ
يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ
أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِب
Dari Ibnu Umar
radliallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah seorang laki-laki itu
meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggalkan
pinangannya atau dia diberikan ijin untuk meminangnya”. Hadis Riwayat Bukhari
Hadits ini menunjukkan bahwa pinangan
itu disyari’atkan untuk peminang pertama dan pinangannya itu harus
dihargai oleh kaum muslimin yang lainnya dengan cara tidak meminang wanita yang
telah dipinangnya tersebut. Sedangkan di dalam sunnah fi’liyah, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan pinangan kepada calon-calon
istrinya, seperti yang dilakukannya ketika akan menikahi Ummu Salamah seperti
yang akan kami jelaskan kemudian. Dan di dalam sunnah taqririyah, para sahabat
pada masa beliau telah melakukan pinangan dan beliau tidak melarangnya. Tetapi
malah menyetujuinya, bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada Mughirah bin Syu’bah untuk meliohat calon istrinya sebelum
menikahinya. Beliau bersabda : “Lihatlah calon istrimu itu. Sesungguhnya yang
demikian itu akanlebih mengekalkan kasih sayang diantara kalian berdua” Adapun
hukumnya adalah sunah pada dasarnya. Tetapi khithbah itu dapat menjadi haram
pada beberapa keadaan, seperti yang akan kami jelaskan kemudian.
1.4.
Tujuan Khitbah
Seseorang yang
melakukan pinangan itu adalah untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang sangat
banyak, diantaranya adalah :
(a). Untuk memudahkan jalan ta’aruf diantara kedua
calon pengantin serta keluarga kedua belah pihak.
(b)
Untuk menumbuhkan mawaddah diantara kedua belah pihak yang akan melangsungkan
akad penikahan yang di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah mitsaqan
ghalidza,janji yang kuat, An Nisa’.[[21]]
(C).
Untuk Memberikan Ketenteraman Jiwa Kepada Kedua Calon Pengantin.
1.5.Calon Istri/Suami Yang Dipinang
Pernikahan
adalah perserikatan hidup diantara sepasang suami dan istri. Oleh sebab itu
keduanya harus benar-benar selektif dalam memilih pasangan hidupnya. Memilih
pasangan tidaklah sama dengan memilih baju yang dapat dia coba-coba
sekehendaknya atau dia beli kemudian ditinggalkannya begitu saja ketika sudah
tidak menyukainya. Oleh karena itu haruslah masing-masing memiki kriteria yang
jelas untuk calon pendamping hidupnya. Di bawah ini kami akan menjelaskan
kriteria-kriteria itu dengan menjelaskan wanita-wanita yang haram untuk
dikhithbah dan yang dianjurkan untuk dikhithbah.
1.6. Wanita-Wanita Yang Haram
Dipinang
Secara global
wanita-wanita yang haram dipinang adalah wanita-wanita yang haram dinikahi,
yang disebutkan perinciannya di dalam Al Qur’an [[22]]
di
dalam Surat An Nisa’
Surat Al baqarah dan Surat An Nisa wanita yang mempunyai suami, wanita yang
masih dalam masa iddah, wanita yang sedang melakukan ihram haji dan wanita yang
sedang dipinang oleh orang lain. Secara rinci dapat kami sebutkan sebagai
berikut[[23]] :
1.7. Haram dinikahi karena nasab,
yaitu :
(a). Ibu, sampai ke atas
(b). Anak perempuan, sampai ke bawah
(c). Semua saudara perempuan, yang sekandung,
seayah atau seibu
(d). Semua bibi dari pihak ayah
(e). Semua bibi dari pihak ibu
(f). Semua perempuan dari saudara laki-laki yang
sekandung, seayah atau seibu
(g) Semua perempuan
dari saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
1.8. Haram dinikahi karena susuan
(a) Ibu yang menyusui
(b) Ibu dari ibu yang menyusui
(c) Saudara perempuan dari ibu yang menyusui
(d) Saudara perempuan dari suami ibu yang
menyusui
(e) Anak perempuan dari semua anak ibu yang
menyusui
(f) Semua saudara perempuan sepersusuan.
1.9 Haram dinikahi karena pernikahan
(a) Ibu istri sampai ke atas
(b) Anak perempuan istri jika telah bercampur
dengannya sampai ke bawah
(c) Istri anak atau cucu sampai ke bawah
(d) Istri ayah
1.10. Semua pengharaman pada ketiga
sebab diatas adalah bersifat abadi.
Sebab
mahram yaitu:
(a)
melakukan pinangan kepada saudara
perempuan atau bibi dari istri yang masih sah atau istri yang dicerai tetapi
masih dalam masa iddah, karena haram hukumnya menikahi dua orang saudara
semahram.
(c)
Haram menikah dari sisi jumlah, karena
istrinya telah empat orang misalnya, sehingga diharamkan baginya untuk
melakukan pinangan kepada wanita lainnya. Kecuali jika dia telah menceraikan
salah satu istrinya dan telah habis masa iddah istrinya.
(d).
Wanita-wanita yang masih menjadi istri orang lain surat An Nisa’ dan sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [[25]]:
َمَنْ
خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa
yang merusak istri seseorang orang atau budaknya maka dia bukan termasuk
golongan kami”.
Demikian juga
diharamkan bagi seorang wanita untuk meminta agar seseorang laki-laki
menceraikan istrinya agar dia dipinang dan dijadikan istrinya. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَلَا
تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا
(e) Meminang wanita yang sedang menjalankan
iddah, baik karena ditinggal mati oleh suaminya atau karena dicerai oleh
suaminya atau pernikahannya dibatalkan oleh Hakim (fasakh), kecuali dilakukan
dengan cara sindiran. Seperti yang disebutkan pada Surat Al Baqarah : 235.
contoh pinangan sindiran adalah pinangan yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk Usamah bin Zaid kepada Fathimah bin Qais :
“Jika engkau masa iddahmu telah selesai,
maka beritahukanlah kepadaku”. Atau dengan perkataan : “Aku berharap Allah
mengaruniakan kepadaku seorang istri yang shaleh”. Jika pinangan itu mengarah
kepada pinangan secara terang-terangan, maka haruslah dialihkan. Seperti yang
terjadi pada Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
ketika meminang Sakinah binti Handzalah yang ditinggal mati oleh suaminya,
dengan sindirian. Dia berkata: “Engkau
telah mengtahui hubunganku dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
hubunganku dengan Ali bin Abi Thalib serta kedudukanku di hadapan Bangsa
Arab”.Maka wanita itu berkata: “Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu ja’far.
Engkau adalah panutan umat. Apakah engkau meminangku di masa iddah ?”. Maka
jika pada saat itu Abu Ja’far menjawab dengan : “Ya”, maka jadilah lamaran yang
terang-terangan. Karena dia itulah dia mengalihkannya dengan berkata : “Aku
hanya memberitahukan kepadamu tentang hubunganku dengan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan dengan Ali bin Abu Thalib”.
(f).
Wanita yang masih dalam pinangan orang lain, seperti yang disebutkan di dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di atas. Ini jika pinangan itu sudah
jelas diterima atau ada tanda-tanda diterima, baik pinangan itu dilakukan oleh
orang yang shaleh atau orang yang fasek, selama dia adalah seorang muslim.
Adapun jika pinangan itu tidak dijawab dan orang lain itu diijinkan atau orang
yang datang kemudian tidak mengetahui piangan terdahulu, maka tidak apa-apa.
Seperti yang terjadi pada Fathimah binti Qais ketika dithalak tiga oleh
suaminya.[[27]]
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ
قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ
فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا
لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ
فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ
امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ
رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ
فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا
جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ
قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
وَاغْتَبَطْتُ
Diriwayatkan
dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin hafsh mentahlaknya tiga kali poada
waktu dia bepergian. Dia mengirimkan utusannya dengan membawa buah sya’ir. Maka
fathimah membuatnya marah dan dia berkata : “Kamu bukan apa-apa bagiku”.
Kemudian Fathimah datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan hal itu. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah. Laksanakanlah iddah di rumah Ummu
Syuraik”. Kemudian dia berkata : “Sahabat-sahabatku sering masuk ke rumahnya. Laksanakan
iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum. Dia adalah seseorang yang buta. Kamu dapat
melepaskan bajumu. Dan jika masa iddahmu telah selesai, maka beritahukanlah
aku”. Fathimah berkata : “Ketika iddahku telah selesai, aku memberitahukan
kepada Rasulullah bahwa Mu’awiyah dan Abu Sufyan meminangku. Maka Rasulullah
berkata : “Abu Jaham adalah seorang yang tidak menurunkan tongkatnya dari
pundaknya dan Abu Sufyan adalah orang yang tidak memiliki harta. Nikahlah kamu
dengan Usamah”. Fathimah berkata : “Aku tidak menyukainya”. Kemudian Rasulullah
berkata : “Nikahlah dengan Usamah”. Maka aku menikah dengannya dan Allah
memberikan karunia kebaikan kepadaku dan para wanita menjadi iri kepadaku”.
(g) Melakukan pinangan kepada wanita yang sedang
melakukan ibadah ihram/ haji. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam[[28]]
: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Nafi'dari Nubaih bin Wahb
bahwa Umar bin Ubaidillah hendak menikahkan Thalhah bin Umar dengan putri
Syaibah bin Jubair, lantas dia mengutus seseorang kepada Aban bin Utsman agar
dia bisa hadir (dalam pernikahan), padahal dia sedang memimpin Haji, lantas Abanberkata;
Saya pernah mendengar Utsman bin Affan berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk
menikahkan, dinikahkan dan meminang
و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدَّمِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ حَدَّثَنِي نُبَيْهُ بْنُ وَهْبٍ قَالَ
بَعَثَنِي عُمَرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْمَرٍ وَكَانَ يَخْطُبُ بِنْتَ
شَيْبَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَلَى ابْنِهِ فَأَرْسَلَنِي إِلَى أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ
وَهُوَ عَلَى الْمَوْسِمِ فَقَالَ أَلَا أُرَاهُ أَعْرَابِيًّا إِنَّ الْمُحْرِمَ
لَا يَنْكِحُ وَلَا يُنْكَحُ أَخْبَرَنَا بِذَلِكَ عُثْمَانُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Utsman bin
Affan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seseorang
yang melakukan ihram itu tidak boleh menikah, atau dinikahkan atau melamar”. Itulah
penjelasan tentang wanita-wanita yang haram untuk dipinang atau dikhithbah.
1.11. Wanita-Wanita Yang Dianjurkan
Untuk Dipinang
1. Dalam hal ini ada beberapa hadits Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dapat kami sebutkan sebagai berikut :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Dari Abu
Hurairah ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wanita
itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan karena agamanya. Carilah wanita yang beragama, maka kamu akan beruntung” [[29]].
عَنِ ابْنِ عَمْرُو
رََضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
مَنْ نَكَحَ الْمَرْأَةَ لِمَالِهَا وَجَمَالَهَا حُرِمَ مَالُهَا و جَمَالُهَا
وَمَنْ نَكَحَ لِدِيْنِهَا رَزَقَه اللهُ مَالَهَا وَجَمَالَهَا
Dari Abdullah
bin Amru ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang menikahi seorang perempuan karena hartanya dan kecantikannya,
maka dia tidak akan mendapatkan hartanya dan kecantikannya. Dan barangsiapa
yang menikahinya karena agamanya, maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya
kecantikannya dan hartanya”.
3.
Dari Anas bin Malik ra bahwa:
عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِك رََضِيَ اللهُ
عَنْهَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَزَوَّجَ
امْرَأةً لِعِزِّهَا لَمْ يَزِدهُ اللهُ إلاَّ ذُلاًّ , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا
لَمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ فَقْرًا , وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا
لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ دَنَاءَةً , وَمَنْ تَزَوَّجَ امْرَأةً لَمْ يُرِدْ
بِهَا إلاَّ أنْ يَغُضَّ بَصَرَهُ وَيُحْصِنَ فَرْجَهُ أوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَرَكَ
اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ اللهُ لَهَا فِيْهِ
Dari Anas bin
Malik ra bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
yang menikahi seorang wanita karena kemulyaannya, maka Allah hanya akan
menambahkan kehinaan untuknya. Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena
hartanya, maka Allah hanya akan menambahkan kefakiran untuknya. Barangsiapa yang menikahi seorang wanita
karena keturunannya, maka Allah hanya akan menambahkan kerendahan untuknya. Dan
barangsiapa yang menikahi seorang wanita dan dia berkeinginan untuk menundukkan
pandangannya dan menjaga kemaluannya atau untuk menjalin silarurahmi, maka
Allah akan memberikan berkah kepada keduanya”.
4.
Dari Aisyah ra bahwa:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَعْظَمُ النِّسَاءِ
بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً
Dari Aisyah ra
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wanita yang paling
besar berkahnya adalah yang paling mudah mahar dan biaya hidupnya”[[31]]
5. Dari Aisyah ra bahwa
عَنْ عاَئشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنْ يُمْنِ الْمَرْأةِ أنْ
تَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأنْ يَتَيَسَّرَ
رَحِمُهَا
Dari Aisyah ra
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diantara tanda
keberkahan seorang wanita adalah jika mudah pinangannya, mudah mudah maharnya
dan mudah rahimnya (subur rahimnya)
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي
أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَمَنْصِبٍ إِلَّا أَنَّهَا لَا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا
فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ
فَنَهَاهُ فَقَالَ تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
Dari Mi’qal bin
Yasar bahwa dia berkata : “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata : “Aku menemukan seorang wanita
yang memiliki keturunan yang baik dan kedudukan, tetapi dia itu mandul.
Bolehkan aku menikahinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melarangnya. Lalu dia datang untuk kedua kalianya, dan Rasulullah melarangnya.
Kemudian dia datang yang ketiga kalinya, maka Rasulullah bersabda : “Menikahlah
kalian dengan seorang wanita yang memiliki anak banyak dan penuh kasih sayang.
Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya umatku dengan kalian”
7. Diriwayatkan dari Jabir bahwa:
عَنْ
جَابِرٍ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ أَتَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ بِكْرًا أَمْ
ثَيِّبًا قَالَ قُلْتُ بَلْ ثَيِّبًا قَالَ فَهَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُكَ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنَّ لِي أَخَوَاتٌ فَخَشِيتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِي
وَبَيْنَهُنَّ قَالَ فَذَاكَ إِذًا إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا
وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ . وَفِيْ رِوَايَةِ الِّترْمِذِيْ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَبْدَ
اللَّهِ مَاتَ وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعًا فَجِئْتُ بِمَنْ يَقُومُ
عَلَيْهِنَّ قَالَ فَدَعَا لِي
Diriwayatkan
dari Jabir [[33]]
bahwa dia menikahi seorang wanita pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menemuinya dan berkata :
“Apakah kamu sudah menikah, wahai Jabir ?. Dia berkata : “Ya”. Dia berkata :
“Perawan atau janda ?”. Aku berkata : “Tetapi dengan janda”. Dia berkata :
“Mengapa tidak dengan perawan agar kamu dapat saling bercengkerama”. Dia
berkata : “Wahai Rasulullah, aku memiliki banyak saudara perempuan, maka aku
takut jika perawan itu akan merusak hubunganku dengan saudara-saudaraku”.
Rasulllah berkata : “Jika demikian, wanita itu dinikahi karena agamanya,
hartanya dan kecantikannya. Maka pilihlah wanita yang beragama. Semoga kamu
sukses” Dan di dalam Riwayat Tirmidzi disebutkan : “Sesungguhnya Abdullah (Ayah
Jabir) telah meninggal dunia dan meninggalkan tujuh atau sembilan anak. Maka
aku mendatangkan seorang wanita yang dapat merawat mereka semua”. Maka
Rasulullah kemudian berdo’a untukku.
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ
التَّيْمِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَالِمِ بْنِ عُتْبَةَ
بْنِ عُوَيْمِ بْنِ سَاعِدَةَ الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَيْكُمْ
بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا، وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا،
وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ»
Haddatsanaa Ibrahim ibnul Mundzir
al-hizaamiy ia berkata haddatsanaa Muhammad bin Thalhah at-Taimiy ia berkata,
haddatsanaa Abdur Rakhman bin Saalim bin ‘Utbah bin ‘Uwaim bin Saa’idah
al-Anshaariy dari Bapaknya dari kakeknya ia berkata, Rasulullah sholallahu
alaihi wa salam bersabda : “hendaknya kalian menikahi gadis perawan, karena
mereka lebih bagus pergaulannya, lebih subur rahimnya dan lebih bisa menerima
kekurangan”.
Penjelasan kedudukan hadits : Ibrahim ibnul
Mundzir, perawi shaduq, Imam Ahmad mengkritiknya karena masalah Al Qur’an. Muhammad
bin Thalhah, perawi shaduq yukhthiu (kadang keliru). Abdur Rakhman, perawi
majhul. Imam al-Bushiiri menukil perkataan Imam Bukhari bahwa ia tidak shahih
haditsnya (az-Zawaid). Bapaknya, Saalim bin Utbah juga majhul. Sedangkan
kakeknya Utbah bin Uwaim radhiyallahu anhu adalah sahabat, begitu juga Uwaim
bin Saa’adah hadits diatas masuk dalam musnadnya Uwaim bin Saa’adah radhiyallahu
anhu, sehingga perkataan kakeknya dalam riwayat diatas, dhomir ‘nya’ kembali
kepada Saalim bin Utbah, bukan kepada Abdur Rakhman bin Saalim bin Utbah. ridhaiyallahu
anhu juga seorang sahabat yang berbaiat d aqabah dan veteran perang Badar. Imam
Thabrani memastikan bahwa Hadits ini Hasan liharihi, Imam Al Albani dalam
ta’liqnya menilai hadits ini Hasan, kemudian dalam ash-Shahihah[[35]]
Imam Al Albani menemukan beberapa penguat untuk hadits ini, sebagai berikut :
Syahid dari Jaabir radhiyallahu anhu
diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam al-Ausath[[36]]
dari jalan : haddatsanaa Muhammad bin Musa al-Istikhariy, anbaanaa ‘Ishomah ibnul
Mutawakil dari Bahr as-Saqaa dari Abiz Zubair dari Jaabir rodhiyallahu anhu
secara marfu’ dari Nabi sholallahu alaihi wa salam, namun ada tambahan lafadz : و أقل خبأ (lebih sedikit tipuannya).
Kemudian Imam Al Albani mengomentari
hadits ini, bahwa didalamnya terdapat 3 kelemahan yaitu : ‘an’anah Abuz Zubair
seorang perawi Mudallis, kedhaifan Bahr as-Saqaa dan kemajhulan ‘Ishomah ibnul
Mutawakil. Syahid yang kedua dari Ibnu Umar radhaiyallahu anhu secara marfu,
haditsnya diriwayatkan oleh Imam ibnul Mudhafir dalam Hadits Haabib bin Urkain[[37]]
dari
jalan Abdur Rkhman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar radhiyallahu
anhu secara marfu. Lalu Imam Al Albani menilai hadits ini dhaifun Jiddan (sangat
dhaif sekali), karena Abdur Rakhman bin Zaid, perawi yang tertuduh berdusta.
Lalu Imam Al Albani menyebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf[[38]]
meriwayatkan dengan sanad yang shahih
dari ‘Aashim dari Ibnu Umar rodhiyallahu anhu secara mauquf. Lalu Imam Al
Albani mengatakan bahwa kemungkinan yang mauquf inilah yang benar. Syahid dari Sufyan bin Abdillah rodhiyallahu
anhu, diriwayatkan oleh asy-Syairaziy dalam al-Alqa’ab sebagaimana dikatakan
oleh Imam Suyuthi dalam Jaamiul Kabiir[[39]] dari Bisyir bin
‘Aashim dari Bapaknya dari Kakeknya secara marfu’ bahwa Nabi shalallahu alaihi
wa salam bersabda :
عليكم بِشَوَابِّ النساء
فإنهن أطيب أفواهًا وأنتق بطونًا وأسخن أقبالاً
Hendaknya kalian menikahi gadis perawan,
karena mereka lebih suci mulutnya, lebih subur rahimnya dan lebih hangat
kemaluannya.
Bisyir bin ‘Aashim perAwi tsiqah. bapaknya,
‘Aashim bin Sufyan perawi shadaq dan kakeknya lagi yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu
anhu adalah seorang sahabat Nabi shalallahu alaihi wa salam. Sehingga sanad
hadits ini jayyid, namun Imam Al Albani mengatakan tidak ada informasi kejelasan
sanadnya dari asy-Syairazi sampai kepada Bisyir bin ‘Aashim, karena Imam
Suyuthi sendiri tidak menyebutkan sanadnya, begitu juga penulis syarahnya Imam
al-Munawi. Kemudian setelah menyebutkan syawahid ini, Imam Al Albani membuat
kesimpulan[[40]]
:
لكن من الممكن أن يقال :
بأن الحديث حسن بمجموع هذه الطرق ، فإن بعضها ليس شديد الضعف . و الله أعلم . ثم
جزمت بذلك حين رأيت الحديث في ” كتاب السنن ” لسعيد بن منصور عن عمرو بن عثمان و
مكحول مرسلا .
Namun mungkin untuk dikatakan bahwa
hadits ini Hasan dengan menggabungkan jalan-jalannya, karena sebagian jalannya
tidak begitu parah kedhoifannya. Wallahu A’lam. Lalu aku memastikan hal
tersebut ketika aku melihat hadits dalam kitab as-Sunan karya Sa’id bin
Manshuur dari ‘Amr bin Utsman dan
Makhuul secara mursal. Adapun Syaikh Syu’aib Arnauth belum mau mengangkat
hadits dalam bab ini ke derajat hasan. Beliau menyebutkan syawahid untuk hadist
ini dalam Ta’liq Sunan Ibnu Majah, kata beliau :
وفي الباب عن عبد الله بن مسعود عند
الطبراني في “الكبير”[[41]]
وفي إسناده أبو بلال الأشعري، ضعفه الدارقطني، وذكره
ابن حبان في “الثقات” وقال: روى عنه أهل العراق، وترجمه ابن أبي حاتم وقال: روى
عنه أبي رحمه الله.
وعن عبد الله بن عمر عند ابن السُّنِّي
وأبي نعيم كلاهما في “الطب” قال الحافظ في “التلخيص”[[42]]:
وفيه عبد الرحمن بن زيد بن أسلم وهو ضعيف.
وعن جابر بن عبد الله عند ابن الجوزي في
“العلل المتناهية” (1016) وفي
إسناده إبراهم بن البراء متهم.
Dalam bab ini (ada syawahid) dari
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Thabrani di al-Kabiir[[43]]
dalam sanadnya ada Abu Bilaal al-Asy’ariy, didhaifkan oleh Daruquthni. Ibnu hibban
menyebutkan dalam ats-Tsiqa’at : ‘penduduk Irak meriwayatkan darinya’. Ibnu Abi
Hatim dalam biografinya menyebutkan bahwa Bapakku (Imam Abu Hatim) meriwayatkan
darinya. (yang kedua) dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan
oleh Ibnus Suniy dan Abi Nu’aim keduanya dalam ath-Thibb, lalu al-Hafidz dalam
at-Talkhiish[[44]]
berkomentar : ‘didalamya ada Abdur Rakhman bin Zaid bin Aslam, beliau perawi
dhaif’ (yang ketiga) dari Jaabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat
ibnul Jauzi dalam al-Illal al-Mutanaahiyyah[[45]]
dalam sanadnya ada Ibrahim ibnul Baraa’ dituduh pendusta. Kemudian saya melihat
Al Hafidz dalam al-Fath[[46]]
berhujjah dengan hadits ini, kata beliau :
وفي الحديث الحث على
نكاح البكر وقد ورد بأصرح من ذلك عند بن ماجة
Dalam hadits ada anjuran untuk menikahi
gadis perawan, dan telah datang hadits yang lebih jelas tentang anjuran
tersebut dalam riwayat Ibnu Majah Lalu diantara ulama kontemporer yang
berhujjah dengan hadits ini adalah Syaikh Abdullah al-Faqiih dalam
fatwa-fatwanya. Penjelasan Hadits: Anjuran ketika menikah untuk memilih gadis
perawan, karena diharapkan akan banyak melahirkan keturunan. Syaikh Abdullah
al-Faqiih dalam fatwanya berkata :
لكن جاء عن النبي صلى
الله عليه وسلم الترغيب في الزواج بالأبكار ومن هن في سن يمكن أن يلدن فيها ليكون
أرجى لكثرة الولد، وذلك مطلوب شرعاً، بل هو من أساسيات مقاصد الزواج.
Namun telah datang dari Nabi Shalallahu
‘alaihi wa salaam anjuran untuk menikahi perawan dan wanita yang seusianya,
karena bisa bersenang-senang dengannya yang diharapkan dengannya akan memiliki
anak yang banyak. Yang demikian itu dituntut oleh syariat, bahkan hal itu
adalah tujuan utama dilangsungkannya pernikahan yaitu memiliki banyak keturunan.
Wanita yang perawan biasanya tutur katanya lebih sopan, karena masih malu-malu
ketika baru pertama kali mengenal laki-laki yang nantinya akan menjadi
pendamping hidupnya. Hendaknya wanita menjaga diri agar jangan sampai disentuh
oleh laki-laki sampai halal bagi dirinya. Dan –qadarullah- kita hidup di negeri
dan zaman dimana sekarang pencampur bauran antara laki-laki dan wanita sudah
seperti tanpa batas. Padahal Al Qur’an sudah memerintahkan kepada para wanita
untuk tetap tinggal di rumahnya, kecuali jika ada keperluan yang mendesak.
9. Diriwayatkan dari Abu hurairah bahwa
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ
فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
Diriwayatkan
dari Abu hurairah bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Jika telah datang kepada kalian seseorang pelamar yang
kalian ridlai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia dengan anakmu. Jika
kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di atas bumi dan kerusakan
yang besar” Hasan Bashri pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan calon
suami terbaik untuk anak perempuannya, maka dia berkata : “Nikahkanlah dia
dengan seseorang yang bertakwa kepada Allah. Jika dia mencintainya, maka dia
akan menghormatinya dan jika dia tidak mencintainya, maka dia tidak
mendzaliminya”.
1.12.Berdasarkan hadits-hadits
diatas, maka kriteria wanita yang dianjurkan untuk dikhithbah adalah sebagai
berikut :
1. beragama baik dan shalehah. Terlebih lagi
jika berasal dari keturunan yang baik, memiliki harta dan cantik. 2.mudah
pinangannya dan maharnya. 3.subur kandungannya. 4.perawan. Terkecuali jika ada
kemashlahatan yang lebih besar dengan menikah dengan janda, seperti yang
terjadi pada Jabir dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri. 5.di
dalam pesan Bangsa Arab disebutkan bahwa ada lima jenis wanita yang seharusnya
dihindari untuk dijadikan istri, yaitu :
a. Annanah, yaitu wanita yang senantiasa
mengeluh setiap harinya, karena sakit-sakitan atau pura-pura sakit,
b. Mannanah, yaitu wanita yang suka
mengungkit-ungkit jasa yang pernah dia lakukan untuk suaminya atau keluarganya,
c. Hannanah, yaitu wanita yang selalu
menyatakan rindu kepada suaminya yang terdahulu,
d. Barraqah,yaitu wanita menghabiskan waktunya
sepanjang hari dihadapan cermin untuk merias wajahnya dan tubuhnya.
e. Syaddaqah, yaitu wanita yang cerewet dan
bawel.
Di samping itu
idealnya dianjurkan agar wanita yang akan dipinang adalah bukan dari keluarga
dekat, sekalipun sebenarnya hukum menikahinya dalam Islam
diperbolehkan.sedangkan laki-laki yang hendaknya diterima lamarannya adalah
laki-laki yang memiliki agama dan ketakwaan yang baik.
1.13. Melakukan Pinangan Dan Kiat
Suksesnya
setelah seorang
laki-laki itu menentukan pilihan wanita yang akan dipinanganya, diantaranya
yang memenuhi kriteria-kriteria diatas, maka ketika dia datang ke rumah calon
istrinya untuk meminanganya, maka ada beberapa hal yang selayaknya diperhatikan
olehnya dan dilakukannya, diantaranya adalah : 1).Saling mengenali diri, dengan
mengenali watak dan kerpibadian masing-masing dengan melakukan pembicaraan
berdua di hadapan mahramnya. 2).Melihat
calon istri. Dalam hal ini ada beberapa ayat dan hadits yang perlu diperhatikan
untuk mengetahui apa saja yang halal untuk dilihat dan yang haram untuk
dilihat, agar seseorang tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Firman Allah :
وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Janganlah
seorang wanita itu menampakkan perhiasannya”.
Sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ
شُعْبَةَ قَالَ خَطَبْتُ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قُلْتُ لَا قَالَ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ
أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Diriwayatkan
dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia berkata : “Aku meminang seorang perempuan
pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia berkata :” Apakah
kamu telah melihatnya ?”. dia berkata : “Tidak”. Dia berkata : “Lihatlah dia.
Seseungguhnya hal itu lebih layak untuk memperlanggeng pernikahan kalian
berdua”.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً
فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى
نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, maka
jika dapat melihat kepada sesuatu yang dapat mendorongnya untuk menikahinya,
maka hendaklah dia melakukanya”. Jabir berkata : “Maka aku meminang seorang
gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya, sehingga aku melihat kepada sesuatu
yang mendorongku untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya”.
1.14.Masa Setelah Pinangan
Setelah seorang
laki-laki datang kepada seorang wanita untuk dipinang, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
1). Lamaran itu diterima atau ditolak. Jika
wanita itu sudah baligh, maka di dalam Madzhab Hanafi cukuplah dengan
keridlaannya saja. Tetapi menurut jumhur, keridlaannya itu harus didukung
dengan keridlaan walinya.
2). Boleh merayakan pinangan yang telah diterima
dan menandainya.
3) Boleh memberikan hadiah kepada calon
pengantin.
4). Boleh menyerahkan mahar jika telah ditentukan
pada waktu pinangan. Tetapi hal ini tergantung kepada kemashlahatan yang ada.
5). Boleh berkunjung ke rumah calon istri yang
telah menerima lamaran dengan membawa hadiah dan atau yang semisalnya dan
berbicara dengannya dengan syarat tidak berkhalwat dengannya.
6). Tidak ada ketentuan rentang waktu yang pasti
yang ditentukan di dalam Islam antara penerimaan pinangan dengan
dilangsungkannya akad prenikahannya. Semua tergantung kepada kemashlahatan dan
kesepakatan kedua belah pihak. Tetapi semakin cepat adalah semakin baik, karena
setan selalu berusaha meniupkan rasa waswas di hati setiap manusia.
7). Jika terjadi pembatalan pinangan di tengah
jalan, maka pihak pria tidak boleh mengambil hadiah yang telah diberikannya.
Dan pihak wanita harus mengembalikan hadiah tersebut jika pembatalan itu
berasal dari pihaknya. Tetapi jika benda yang telah diberikan oleh pihak pria
itu merupakan syarat-syarat nikah, seperti mahar misalnya, maka pihak wanita
harus mengembalikannya, baik pembatalan itu berasal dari pihak laki-laki atau
pihak wanita. Karena mahar hanya wajib dibayarkan setelah sempurnanya akad
pernikahan.
1.15. Karakteristik Khitbah
Di antara hal yang disepakati mayoritas
ulama fiqh syariat, dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah
berjanji akan menikah, belum ada akad nikah. Karakteristik khitbah hanya semata
berjanji akan menikah. Masing-masing calon pasangan hendaknya mengembalikan
perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan
haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain. Bahkan
andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah
diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari
peminang atau telah menerima hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser
status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat
akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan
yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad yang
menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah
didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada
tekanan dan paksaan dari manapun.
1.16. Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan seorang
laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan
disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari
sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil yang
menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada Al-Mughirah
bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda
telah melihatnya” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda [[47]]:
أُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ أَحْرى
يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah ia,sesungguhnya penglihatan
itu lebih utama untuk mempertemukan antara Anda berdua”. (maksudnya menjaga
kasih sayang dan kesesuaian)”
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ
فَاِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى
رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَ تَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
“Jika meminang
salah seorang di antar kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu melihat apa
yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah. Jabir berkata :” Kemudian seorang
wanita yang semula tersembunyi sehingga aku melihat apa yang menarik bagiku
untuk menikahinya, kemudian aq menikahinya. Syariat Islam
memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang, padahal asalnya haram
memandang wanita yang lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi
darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing
calon-calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang
yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi
bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan,yakni anak-anak dan
keturunanya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan
wanita memendang satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti
pengobatan, menerima persaksian,dan menyampaikan persaksian.Hal tersebut
termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki
terhadap wanita dan sebaliknya.
(a). Adapun Anggota Tubuh Perempuan Yang Boleh
Dilihat:
1.Mayoritas
fuqaha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan
mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua
telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun
dalil mereka adalah firman Allah Swt [[49]]:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali apa yang
biasa terlihat darinya”
2. Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas
kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita umumnya di saat bekerja di rumah
seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan
sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup.
Adapun alasan mereka; Nabi Saw. Tatkala memperbolehkan seorang sahabat
memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan
memandang segala yang tampak pada umumnya.
3. Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya berpendapat, kadar anggota
tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan
kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai
cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
4. Dawud
Az-Zahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang
yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw. “Lihatlah kepadanya.” Di
sini Rasulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam
kebolehan melihat.
1.17.Syarat Sah
Khitbah
Pasal 12 KHI mengatur tentang
syarat-syarat untuk meminang seorang wanita pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan
terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang habis masa
iddahnya.berikut rincian syarat wanita yang boleh dipinang adalah sebagai
berikut [50] :
1. Halal
meminang perempuan yang belum menikah dan tidak sedang dalam iddah baik secara
Tasrih / Ta'ridh.
2. Haram
meminang perempuan yang telah menikah baik secara Tasrih / Ta'ridh.
3. Haram
meminang secara Tasrih perempuan yang sedang iddah ( raj'i,ba in, dan iddah
wafat ).
4. Haram
meminang secara Ta'ridh perempuan yang sedang iddah raj'i.
5. Halal
meminang secara Ta'ridh perempuan yang sedang iddah wafat.
6. Halal
meminang secara Ta'ridh perempuan yang sedang iddah ba in.
7. Haram meminang perempuan yang telah
menerima pinangan orang lain kecuali diberi izin oleh lelaki yang telah
meminangnya.
8. Tidak
haram meminang pinangan orang lain yang belum diterima pinangannya dan tidak
juga ditolak.
9. Boleh
meminang perempuan yang tidak kita ketahui apakah telah dipinang atau belum.
10. Boleh
meminang perempuan yang tidak kita ketahui apakah telah dia terima pinangan orang lain sebelumnya / dia
tolak.
1.18.
Haram Khitbah
(a) Para fuqaha’ sepakat Haram mengkhitbah wanita yang sedang dalam
masa iddah, baik iddah talak raj’i (satu atau dua) atau iddah talak bain
(tiga), baik iddahnya dengan sebab talak, fasah (membatalkan akad nikah), atau
karena meninggal suaminya. Dan boleh menyindir (kata-kata yang tidak menunjuki
secara jelas kepada keinginan untuk menikah) wanita yang menjalani masa iddah
bukan karena talak raj’i, contohnya seperti mengatakan “kamu cantik”, dan
lainnya. Seseorang yang menalak istrinya
dengan talak tiga maka tidak diperbolehkan untuk meminang istri tersebut
melainkan sudah menikah dengan dengan orang lain (muhallil), dan sudah lalu
iddah dengan muhallil tersebut. Dan diharamkan melamar perempuan yang telah
dilamar oleh orang lain karena ada Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, Bahwasanya
Rasulullah Saw Bersabda [51]:
(b)
. لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
"Janganlah meminang wanita yang
telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya”
. نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى
بَيْعِ بَعْضٍ وَلَايَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ
الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi
Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli
saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga
peminang sebelumnya meninggalkannya,
atau ia telah di ijinkan peminang sebelumnya.
d). Dalam kitab Iana I’anatut thalibin telah di bicarakan secara rinci tentang masalah khitbah/ peminangan[53] :
ويسن خطبة بضم الخاء من الولي له أي للنكاح الذي هو
العقد بأن تكون قبل إيجابه فلا تندب أخرى من المخاطب قبل قبوله كما صححه في
المنهاج بل يستحب تركها خروجا من خلاف من أبطل بها كما صرح به شيخنا وشيخه زكريا
رحمهما الله لكن الذي في الروضة وأصلها ندبها.
وتسن خطبة أيضا قبل الخطبة وكذا قبل الإجابة فيبدأ كل
بالحمد والثناء على الله تعالى ثم بالصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه
وسلم ثم يوصي بالتقوى ثم يقول في خطبة الخطبة: جئتكم راغبا في كريمتكم أو فتاتكم
وإن كان وكيلا: قال: جاءكم موكلي أو جئتكم عنه خاطبا كريمتكم فيخطب الولي أو نائبه
كذلك ثم يقول لست بمرغوب عنك.
ويستحب أن يقول قبل العقد أزوجك على ما أمر الله به
عز وجل من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان.
فروع يحرم التصريح بخطبة المعتدة من غيره رجعية كانت
أو بائنا بطلاق أو فسخ أو موت.
ويجوز التعريض بها في عدة غير رجعية وهو: كأنت جميلة
ورب راغب فيك.
ولا يحل خطبة المطلقة منه ثلاثا حتى تتحلل وتنقضي عدة
المحلل إن طلق رجعيا وإلا جاز التعريض في عدة المحلل.
ويحرم على
عالم بخطبة الغير والإجابة له خطبة على خطبة من جازت خطبته وإن كرهت وقد صرح لفظا
بإجابته إلا بإذنه له من غير خوف ولا حياء أو بإعراضه: كأن طال الزمن بعد إجابته
ومنه سفره البعيد[54]
1.19. Pemutusan Pertunangan
Berbeda halnya pemutusan pertunangan
tanpa alasan yang sah menurut ajaran
Islam, misalnya karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan.
Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama
sekali tidak dapat dibenarkan. Masalah yang sering muncul adalah apabila dalam
masa peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas kawin) telah dibayarkan
kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan.
Ø Fuqaha madzhab Hanafi berpendapat
bahwa masing-masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah
pertunangan yang berasal dari masing-masing , bila hadiah itu masih ada
wujudnya pada saat pertunangan diputuskan. Hadiah-hadiah yang telah tidak ada
wujudnya lagi tidak perlu diganti dengan harganya. Ketentuan itu berlaku, baik
yang memutuskan pertunangan adalah pihak laki-laki ataupun pihak perempuan.
Alasan pendapat ini ialah karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan
adanya janji akan kawin. Maka, apabila janji dimaksud dibatalkan, hadiah-hadiah
harus kembali pada asalnya.
Ø Fuqaha
madzhab Syafii berpendapat bahwa pihak peminang berhak menerima kembali hadiah
yang diberikan, berupa barang apabila masih ada wujudnya, atau ganti harganya
apabila sudah tidak ada wujudnya lagi.
Ø Fuqaha madzhab Maliki memperhatikan
pihak mana yang memutuskan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan,
hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak laki-laki harus dikembalikan,
dalam bentuk barang apabila masih ada wujudnya, atau pengganti harganya apabila
sudah rusak, hilang atau musnah. Apabila yang memutuskan adalah pihak
laki-laki, ia tidak berhak atas pengembalian hadiah yang pernah diberikan
kepada pihak perempuan, meskipun wujud barangnya masih ada pada waktu
memutuskan pertunangan terjadi. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya
dibenarkan apabila ada syarat lain antara dua pihak, atau apabila ‘urf (adat
kebiasaan) tempat pihak-pihak bersangkutan menentukan lain.
1.20. Hikmah
Disyariatkan Peminangan
Akad nikah merupakan
prosesi yang amat agung dan sakral dalam islam karena dengan akad nikah ini
menjadikan halalnya hubungan keduanya , dimana sebelumnya diharamkan oleh
syara’. Dengan di lakukan peminangan, maka calon suami dan istri akan saling
kenal mengenal untuk mendorong ke jenjang pernikahan. Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang
perempuan[[55]]:
عن
المغيرة ابن شعبة انه خطب امرأة فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم : أنطرت
اليها؟قال, قل: انطر اليهافانه ا ن يؤ د م بينكما.رواه النسائي وابن ما جه والتر
مذي
“Melihatlah kepadanya karena yang demikian
akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum
lamaran (khitbah) dalam islam adalah disunnatkan
C.2.PERNIKAHAN
2.1. Pernikahan secara etimologi (bahasa) adalah perkumpulan, sedangkan
secara terminologi (istilah) adalah satu akad untuk membolehkan persetubuhan,
dengan lafadh إنكاح أو تزويج.
(menikahkan atay- mengawinkan) atau terjemahan dari lafadh tersebut. Pernikahan adalah satu pekerjaan yang dianjurkan oleh Syara’.
Syariat pernikahan sudah dimulai sejak masa nabi Adam as hingga hari akhirat
kelak (surga). Salah satu perbedaanya, jika di dunia kita tidak bisa
menikahi Mahram, tapi dalam Surga hal itu dibolehkan kecuali Asal dan Furu'
(Ayah hingga seterusnya tidak bisa menikah dengan anak perempuan, Ibu hingga ke
atas tidak bisa menikah dengan anak laki-laki). Mamfaat dan Hikmah Pernikahan[[56]]:
1.
Memelihara keturunan
2.
Mengeluarkan air yang
memudharatkan badan jika tidak dikeluarkan
3.
Menemukan kelezatan
dalam bersetubuh.
Hukum asal dari menikah
adalah boleh (Mubah), hukum tersebut tidak baku dan bisa berubah kapan saja
tergantung individu dan kondisi. Berikut Rinciannya:
1.
Sunat: Nikah disunatkan bagi orang yang berhajat untuk bersetubuh, dengan
catatan sanggup untuk memenuhi kebutuhan berupa Mahar, pakaian, tempat tinggal,
dan nafakah sehari-hari. Ini berlaku kepada setiap orang, sekalipun orang
tersebut sedang menyibukkan diri dengan ibadah.
2.
Khilaf aula: (lebih baik tidak menikah). Ini berlaku bagi orang yang telah berhajat untuk bersetubuh, tetapi mereka
tidak sanggup memenuhi kebutuhan berupa Mahar, pakaian, tempat tinggal, dan
nafakah sehari-hari. Kepada orang ini dianjurkan untuk tidak menikah dulu,
karena keterbatasan biaya. Sedangkan metode menghilangkan keinginan untuk
bersetubuh adalah dengan berpuasa karena dengan berpuasa seseorang bisa
menghilangkan atau menurangi syahwat/keinginan bersetubuh.
3.
Makruh: Pernikahan yang di makruhkan berlaku bagi orang yang tidak
berhajat untuk bersetubuh dan juga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan berupa
Mahar, pakaian, tempat tinggal, dan nafakah sehari-hari.
4. Wajib: Pernikahan yang wajib berlaku
jika seseorang bernazar kepada Allah berupa pernikahan. Kasus
lainnya berlaku bagi seseorang yang sudah berhajat kepada persetubuhan,
memiliki kesanggupan dari seri materi dan ditakutkan terjadi zina jika tidak
segera menikah. Pada dua kasus tersebut hukum nikah yang semula Boleh, telah
berubah status
menjadi wajib.
D.3.MAHAR
3.1. Defenisi Mahar
(a). Mahar dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim
masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar).
Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok
dalam kewajiban mahar atau maskawin. Pengertian mahar menurut syara’ adalah
sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan
secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi.
Ø. Pasal 30 menjelaskan bahwan calon mempelai
pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati kedua belah pihak.
Ø. Pasal 31, penentuan mahar berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam.
Ø. Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon
mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya. Dst
(c). Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa
hak suami terhadap istrinya [[58]]:
1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.
2. Hak rohaniah, seperti melakukannya
dengan adil jika suami berpoligami dan tidak
boleh membahayakan istri.
(d). Para
fuqaha berbeda dalam status mahar:
apakah sebagai pengganti pemanfaatan
suami terhadap organ vital wanita atau ia sebagai penghormatan dan pemberian
dari Allah? Al-Bajuri telah mengkompromikan dua pendapat ini yang pada intinya;
1. Orang yang melihat lahirnya mahar sebagai
imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan mahar sebagai kompensasi
pemanfaatan alat seks wanita tersebut.
2. Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa
sang istri bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga
bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan
pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih
sayang antara pasangan suami istri.
3.2. Syarat Sah Mahar
Ø Mahar merupakan barang berharga.
Ø Barang merupakan barang yang suci dan dapat
diambil manfaat.
Ø
Tidak ada kesamaran, sperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun
yang akan datang.
Ø Bukan barang ghasab.
Ø Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
Ø Mahar mampu diserahkan.
3.3. Dalil
Disyari’atkan Mahar
(a). Ada
dalil berupa ayat ayat Alqur’an juga ada dalil sunnah sebagaimana Telah
terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib .Suami,istri,
dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa
mahar.Dalil kewajiban mahar
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى
خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍۢ وَٰحِدَةٍۢ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًۭا كَثِيرًۭا وَنِسَآءًۭ ۚ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًۭا
“Wahai manusia,
bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri,
lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi
laki-laki dan perempuan yang banyak sekali.”
(b). Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw.
Kepada orang orang yang hendak menikah Telah Diriwayatkan (HR. Muslim):
اِلْتَمِسْ
وَلَوْ خَاتَمَ مِنْ حَدِيْدِ
“Carilah
walaupun cincin besi”.
3.4. Ukuran Mahar
Ahli Fuqaha sepakat
bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang
harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya.Ukuran mahar diserahkan kepada
kemampuan suami sesuai dengan pandangan yang sesuai. Tidak ada dalam syara’
atau dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya.
Sekalipun ahli fuqaha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi
seyognyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang. Ahli Ulama Syafi’iyah,
Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar,
tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun
banyak. Ahli Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas
atau tiga dirham perak. Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran
minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang
berlaku.
3.5.Benda
yang Layak Dijadikan Mahar
Ahli
Fuqaha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh
karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas, dan lain-lain
sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’.
Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak sah untuk dijadikan
mahar seperti babi anjing, bangkai, dan khamr dan sejenisnya.
3.6.
Macam-macam Mahar Mahar ada du macam
yakni:
Mahar Musamma yang
Disebutkan
Maksudnya
adalah mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi
mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian
setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat
penyebutannya benar. Mahar musamma di bagi menjadi dua macam :
a). Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang
segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya.
b). Mahar musamma ghairu mu’ajjal, mahar yang
ditanggauhkan/tempo.
Ulama fukaha’ sepakat bahwa dalam pelaksanaan mahar musamma,
harus diberikan secara penuh apabila :
a. Telah bercampur (bersenggama)
b.
Salah satu dari suami isteri meninggal.
Demikian
menurut ijma’ para ahli fuqaha.
3.7. Mahar
Mitsil (mahar yang sama)
Maksudnya
adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar
dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika
menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung dan saudara
perempuan tunggal bapak.
3.8.Hikmah
Disyari’atkan Mahar
1. Mahar
disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan
bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu,
Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu
berusaha.
2.
Menunjukkan
cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau
hibah yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan nihlah
(pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga
wanita.
3.
Menunjukkan
kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara
yang bisa dipermainkan.
4.
Menunjukkan
tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah,
karenanya lakilaki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya.
Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya
sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang
terhadap isterinya
BAB.
III
PENUTUP
E.4.Kesimpulan
Pinangan adalah satu hal yang dianjurkan
dan hukumnya sunnat dalam islam sebelum dilakukan aqad nikah, adapun pernikahan
hukumnya pada dasar boleh (Mubah) tapi adakala menikah ini pada hal keadaan
seseorang terkadang menjadi wajib,sunnat,makruh, juga ada khilaf tentang hal
pernikahan. Adapun hukum tentang member mahar kepada perempuan yang hendak di
jadikan istri itu wajib dalam hal ini pun bermacam pendapat ulama pada ke adaan
penyerahan mahar tersebut. Seorang perempuan bisa dikatakan sangat bahagia saat
dirinya dipinang oleh seorang laki-laki yang akan menjadi calon suaminya,
begitu juga seorang laki-laki yang sangat ingin meminang seorang perempuan yang
ingin dijadikannya sebagai calon isterinya. Dalam pasal 13 sendiri dibahas
tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang dimaksud dalam pasal 13
ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan
perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum
yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis
dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita
yang masih dalam pinangan orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau
belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang
berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan
bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah,
boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh
menggunakan cara yang shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang
menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh
dipinang namun dengan cara sindiran. Pengertian
mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau
keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi.
Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada BAB V Tentang Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal
38, Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak
suami terhadap istrinya: 1.Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. 2.Hak
rohaniah, deperti melakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan tidak
boleh membahayakan istri.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Abdul, Amru Mun’im Salim.2008. Panduan Lengkap Nikah.
Al-Qur’an Digital: surat
Al-Baqarah ayat 235
2. Prof.Dr. Syarifudin, Amir.2007.Hukum
Perkawinan Islam.
3. Dr.As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga pedoman berkeluarga dalam islam.Jakarta.
.4 Dr. Nashih, Abdullah ‘Ulwan. 2006. Tata Cara Meminang
Dalam Islam.
5. Ahmad, Sayyid Al-Musayyar. 2008. Islam
Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah Tangga,
Kairo Mesir.
6. Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah,
dan Talak. Jakarta.
7. Ibn Anas, Imam Malik. 1999. Al-Muwatta’.
8. Prof.Dr.Amir Syarifudin ,Hukum Perkawinan Islam,
2007),
9. Prof.Dr. Ghazali,
Abdul Rahman, M.A.2003.Fiqh Munakahat.
10.Prof.Dr.
Muhammad Azam, Abdul Aziz dan
10.Prof. Dr. Sayyid
Hawwas, abdul Fiqh Munakahat Khitbah,
Nikah, dan Talak.
11.Sabiq,
Sayyid. 2003. Fiqh Sunnah Juz 2.
Kairo:Darul Fath
12.Sabbiq, Sayyid.
2008. Fiqh Sunnah Jilid 3.
Dar Fath Lil I’lami al-araby.
[13] . Mahmud Yunus,
Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT
Hidakarya Agung, 1986, hlm. 83.
[14] . Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari‑Hari,
Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 674.
15.Nashiruddin,
Muhammad Al-Albani. 2006. Shahih
Sunnah Nasa’i jilid 2.
[4]..lain adalah QS
(Al-Baqarah ayat 237)
[[18]]. koleksi hadits yang
disusun oleh Ibnu Hibban.HR. Ibnu Majah. no.2421, kitab Al
ahkam,Ibnu Hibban dan Baihaqi (nama
lengkap: Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma'bad
at-Tamimi Abu Hatim ad-Darimi) yang hidup antara tahun 270 - 354 hijria
[19] . Tafsir Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari, jilid 1, halaman 498, Bairut. 8.
Imam az-Zamakhsyari Nama lengkap beliau adalah Abu
al-Qasim Mahmud abn Muhammad ibn Umar ibn Muhammad al-Khawarizm.27 Rajab 467 H
atau 18 Maret 1075 M, Dinasti Seljuk sedang mencapai kejayaannya di bawah
pemerintahan Sultan Jalal ad-Din Abi al-fath Malikiyah (1072-1092) dengan
perdana menterinya Nizam al-Muluk (1018-1092)
[20]. Hadis Riwayat Bukhari Hadits ini menunjukkan bahwa
pinangan itu disyari’atkan untuk
peminang (no. 5142)
[21].
Al Qur’an disebut dengan
istilah mitsaqan ghalidza,janji yang kuat, An Nisa: 21
[[25]].(QS.
An Nisa’ : 24) Dan Sabda Nabi Saw. (HR Abu Dawud Dan Ahmad).: ]Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[28]. [HR. Muslim No.2523].
[29]. [HR Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’I,
Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Ad Darimi] HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab
an-Nikaah, Muslim (no. 1466) kitab ar-Radhaa’, Abu Dawud (no. 2046) kitab
an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3230) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1858) kitab
[30]. an-Nikaah, dan Ahmad (no.
9237).
https://almanhaj.or.id/3559-memilih-isteri-dan-berbagai-kriterianya-1.html
[32].Seperti kemaluannya lemah tidak mampu
untuk membuka keperawanan wanita atau jika ia membutuhkan wanita janda untuk
membantu mengurusi keluarganya (Fathul Wahhab 2/53)
[[33]].HR Nasa’I hadis yang ke 8 dalam kitab Beliau bernama Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad ibn Hajar Al-Kinani, Al-Asqa
lani
asalnya, dilahirkan pada tanggal 12 Sya’ban 773 H
[35] . imam al banni
(no. 623),
[36] imam at thabrani
(1/1/163)
[37]Hadits Haabib bin
Urkain (1/2/254)
[38]Imam Ibnu Abi
Syaibah (1/7/27)
[39] asy-Syairaziy
dalam al-Alqa’ab. oleh Imam Suyuthi dalam Jaamiul Kabiir (no. 14340)
[40] . Sunan Sayed Abi Mansur (No.
512, 513 Dan 514)
[41] Abdullah Bin Mas’ud {No;10244)
[42]
Abdullah bin umar (No;145;3)
[47] .” (HR. Abu Dawud). diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada
Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi:
[48]
……………….
[50]. Pasal
12 KHI mengatur tentang syarat-syarat untuk meminang dan di dalam Kitab
Kanzu Al- Raghibin syarh Minhaj Imam Nawawi Jilid 3 Hal 213-214 Cet Dar
Ihya.
[51].
hadist
Abu Hurairah ra,
[54]. Narasumber syech Abu Ibrahim Bardan Pimpinan Pondok
Pesantren Dayah Malikussaleh panton
labu aceh utara cat: I’anatut thalibin
jilid 3 hal 264
[55].
(HR al-Thirmizi dan al-Nasai);5142. .Dalam buku Dr. Ali Yusuf
As-Subki, Fiqh Keluarga 2010. Halaman,95-98.
[56] . Sumber : I’anatut Thalibin
juz 3, hal 253-256,
[[58]].Sayyid
Sabiq. Fiqih Sunnah. Bandung: Ma’arif, 1981, Syeikh Yusuf Qaradhawi
murid syeh sabiq. Lihat di [thariq/bul/www.hidayatullah.com]
Komentar