FIqh Seputar Munaqahat,

Makalah

FIQIH MUNAKAHAT TENTANG PERKAWINAN PEMBATALAN ,PEMUTUSAN PERKAWINAN DAN PERWALIAN DALAM PERSPEKTIFHUKUM KELUARGA ISLA
 Tugas Kelompok 
1.    Nurlaila Saragih, 2.Nurfajri Ltif, 3.Yani umaira, 4.Dewi artika, 5.yuli anita

Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2018-2019


FIQIH MUNAKAHAT TENTANG PERKAWINAN PEMBATALAN ,PEMUTUSAN PERKAWINAN DAN PERWALIAN DALAM PERSPEKTIFHUKUM KELUARGA ISLAM

A.Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang menyatukan antara dua insan dalam ikatan yang suci yang diridhai oleh Illahi Rabbi. Perkawinan juga sering diungkapkan sebagai suatu hal yang sakral karena dengan perkawinan ditujukan untuk membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun pada masa sekarang ini sering kali kita temukan perkara perceraian, pembatalan, pemutusan perkawinan di kerenakan ada beberapa sebab akibat. Dalam hal ini pernikahan itu seakan-akan menjadi sesuatu media atau lahan yang hanya untuk bersenang-senang atau bermain-main saja.

1.2 Rumusan Masalah
1.    Berdasarkan latar belakang di atas, bagaimanakah Pengertian Pembatalan Perkawinan dan Apa akibatnya Menurut Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?
2.    Dasar hukum pembatalan dan pemutusan perkawinan
3.    Faktor penyebab batalnya perkawinan
4.    Yang berhak membatalkan perkawinan.

1.3.Tujuan
Semua pemcabaca dapat mengetahui tentang hal-hal yang membatalkan perkawinan. Makalah kelompok 6 (enam) ini juga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita dalam pembelajaran ilmu fiqih mengenai pernikahan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe

B.   Pembahasan
2.1. Pengertian pembatalan perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan[1] Dal am pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71. Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid[2]
2.2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuan ketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23. Surat An-Nisa: 22.
وَلَا تَنْكِحُوْامَا نَكَحَ اَبَا ؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاءِاِلَّامَا قَدْ سَلَفَ , اِنَّهُ كَانَ فَا حِشَةً وَّمَقْتًا, وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)[3]
Surat An-Nisa: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَتُكُمْ وَبَنَتكُمْ وَاَخَوَتُكُمْ وَعَمَّتُكُمْ وَخَلَتُكُمْ وَبَنَتُ اْلاَجِ وَبَنَتُ الْاُخْتِ وَاُمّهَتثكُمُ الَّتِيْ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوَتُكُمْ مِّنَ الرَّضَا عَةِ وَاُمَّهَتُ نِسَا إِكُمْ وَرَبَا ئِبُكُمُ الَّتِيْ فِيْ حُجُوْ رِ كُمْ مِّنْ نِسَا ئِكُمُ الَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ, فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْادَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ, وَحَلَائِلُ اَبْنَا ئِكُمُالَّذيْنَ مِنْ اَصْلَا بِكُمْ, وَ اَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ, إِنَّ اللهَ كَا نَ غَفُوْرًا رَ حِيْمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”

2.3. Fktor yang mebatalkan perkawinan
Pada dasarnya terdapat dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan, kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun.  Syarat perkawinan adalah sesuatu yang ada dalam perkawinan, hanya saja jika salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah (batal)[4] demi hukum. Syarat sah nikah adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri[5]. Sah atau tidak sah yang dimaksud di sini adalah, terpenuhinya segala rukun dan syarat dalam suatu ibadah. Menurut istilah ushul fiqh, kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi syarat dan rukunnya. Sebagaimana makna asal dari kata sah, yaitu sesuatu dalam kondisi baik dan tidak cacat. Ibadah shalat misalnya, dikatakan sah bilamana dilaksanakan secara lengkap syarat dan rukunnya. Demikian pula akad perkawinan, dapat dikatakan sah apabila melengkapi syarat dan rukun perkawinan itu sendiri. Sedangkan tidak sah (fasid) atau batal, merupakan lawan dari sah, yang berarti tidak memenuhi/melengkapi syarat dan rukun suatu ibadah atau akad[6] Jadi, tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan maka akan batal menurut hukum, karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dalam suatu perbuatan hukum. Rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan menurut hukum syara’ di mana seorang mukallaf tidak boleh menggantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang dia kehendaki. Adapun rukun dan syarat perkawinan menurut kebanyakan para ulama’ diantaranya adalah sebagai berikut:
a.     Bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan duka sama suka tanpa adanya akad[7]
b.    Syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan nikah adalah baligh dan berakal, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai, terlepas dari keadaankeadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya, harus pasti dan tentu orangnya[8]
c.     Saksi minimal terdiri dari dua orang laki-laki.[9]


C. Beberapa hal yang membuat akad nikah menjadi batal, bilamana salah satu dari beberapa hal di bawah ini terdapat pada suatu pernikahan, akad nikah itu dianggap batal.
a.       Nikah syigar.
b.       Nikah mut'ah. Yaitu nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut kesepakatan.
c.       Nikah mukhrim. Yaitu pernikahan yang dilaksanakan dimana dua calon suami isteri atau salah satunya sedang dalam keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji maupun untuk melaksanakan umrah.
d.      Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan dengan dua orang wali yang berjauhan tempat.
e.       Nikah wanita yang sedang beriddah.
f.       Nikah laki-laki muslim dengan wanita non Islam.
g.       Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim.

D. Selain itu dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.  Seorang suami melakukan poligami tanpa seijin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadiisteri orang lain yang mafqud.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d.  Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No. 2 tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.[9]

2.4. Yang Berhak Membatalkan Perkawinan.
Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a.     Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.    Suami atau isteri.
c.     Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang.
d.    Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67[10]

E. Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa: pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan pembatalan perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri[11] Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan yang bersifat kontensius (sengketa). Sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan pembatalanperkawinan yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang diatur secara terperinci dalam pasal perkawinan[12].Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu. Seperti halnya perceraian, fasakh juga putusnya hubungan perkawinan. Secara harfiyah fasakh berarti batalnya sebuah perjanjian atau menarik kembali suatu penawaran. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas salah satu pihak oleh hakim Pengadilan agama. Tuntutan pemutusan perkawinan disebabkan karena salah satu pihak memenuhi cela pada pihak lain yang belum diketahui sebelum berlangsung perkawinan. Perkawinan yang sudah berlangsung dianggap sah dengan segala akibat hukumnya bubarnya hubungan perkawinan dimulai sejak difasakhkan perkawinan itu. Dasar dari putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh berdasar firman Allah SWT Surat An-Nisa’: 35[13]   
واِنْ خِفْتُمْ شِقَا قَ بَيْنِهِمَا فَبْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا, اِنْ يُّرِيْدَا اصْلَأ حًا يُّوَفِّقِ الَّلهُ بَيْنَهُمَا, اِنَّ الَّلهَ كَا نَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Didalam surat Al-Baqarah 231:
وَاِذَا طَلَقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْ هُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْ هُنَّ بِمَعْرُفٍ, وَلَا تُمْسِكُوْ هُنَّ ضِرَارًالِّتَعْتَدُوْا, وَمَنْ يَفْعَلْ ذَالِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ, وَلَا تَتَّخِذُوْا اَيَتِ لَّلهِ هُزُوًا وَّذْ كُرُوْا نِعْمَتَ الَّلهِ عَلَيْكُمْ وَمَا اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ, وَاتَّقُوالَّلهَ وَعْلَمُوْا اَنَّ الَّلهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”[14]

2.5.Pemutusan perkawinan
Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1.  Kematian.
2.  Perceraian, dan
3.  Atas Keputusan Pengadilan.

F.  Sementara menurut Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan beberapa hal:
a.       Karena meninggal dunia,
b.       Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas,
c.       Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,
d.      Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.[6]

2.6. Pumutusan Perkawinan Karena Kematian
Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan. Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan. Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris. Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris.[7] Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.[8] Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat. Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di saat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus. Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan..

2.7. Pumutusan Perkawinan karena Perceraian
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan batasan mengenai istilah perceraian.  Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:
a.     Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.    Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.     Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;
d.  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
e.     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
f.     Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.[9] Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala.

G. Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :
a.       Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b.       Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. [10]

H. Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :
a.     Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan.
b. Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;
c.     Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.

I.  Kemudian dalam Pasal 209 Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:
a.       zinah,
b.       meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
c.       penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
d.      melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau luka-luka yang membahayakan.

J. Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah, riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama. Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina. Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum positif yang lain.

2.8. Pumutusan Perkawinan karena Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena adanya seseorang yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Perceraian membawa akibat yang luas bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama. Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu. Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama (Undang-undang N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Negeri. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur-tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini. Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu saat ada perselisihan mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya. Dan harus diterima oleh para pihak. Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat tungga. Artinya, walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua atas anak yang masih di bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti pengaturan dalam KUH Perdata (pasal 298, 299).[11] Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
-    Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,
-    Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,
-    Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 24 PP No. 9 tahun 1975)
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41)

Perwalian tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Mereka yang di bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap berumur 18 tahun.

2.9. Perwalian
Salah satu elemen yang penting dalam akad pernikahan adalah perwalian . Wali yang merupakan satu rukun akad nikah. Dalam akad nikah, seorang wanita harus diwakili oleh seorang wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)

Dalam kesempatan ini, kami pihak lbm.mudimesra.com akan menyajikan penjelasan tentang urutan tertib wali pernikahan. Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah.[15] Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita bikr (wanita yang belum pernah di jimak dalam pernikahan yang sah). Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.[16] Ketika keduanya tidak ada (tidak ada secara hissi atau secara syar`i) maka hak perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut[17]:
1.         Saudara laki-laki seibu sebapak
2.         Saudara laki-laki se bapak
3.         Anak saudara laki-laki se ibu sebapak
4.         Anak saudara laki-laki sebapak.
5.         Paman seibu sebapak
6.         Paman sebapak
7.         Anak paman se ibu sebapak
8.         Anak paman sebapak.

3,0. Perwalian dengan kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan wali nasab. Selanjutnya apabila wali nasab tidak ada (baik tidak ada pada hissi  maupun tidak ada dalam pandangan syara`) maka berpindah kepada wali dengan sebab wila`. Wila` merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tiq). Selanjutnya bila maula mu`tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada `ashabah maula mu`tiq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.[18]  Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita adalah KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada.[19] Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw  (H.R. Imam Abu Dawud);
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Sulthan wali bagi orang yang tidak ada wali.”

3.1. Perwalian sulthan/hakim hanya terjadi dalam kondisi sebagai berikut[20]:
1.    Tidak ada wali sama sekali.
2.    Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah (± 86 km) dan pada tempat tersebut tidak ada wakil dari wali aqrab.
3.    Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.
4.    Tidak diketahui keberadaan wali aqrab dan belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan apabila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada wali ab’ad.
5.    Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang juga sekufu. Keengganan wali aqrab untuk menikahkan tersebut harus berdasarkan ketetapan hakim, dimana hakim telah memanggil wali dan dan kedua calon mempelai kemudian hakim memerintahkan kepada wali untuk menikahkan mempelai wanita tetapi wali tersebut enggan menikahkannya. Maka pada saat demikian hakim boleh menikahkannya segera dengan laki-laki yang sekufu. Namun apabila hakim memerintahkan kembali sampai tiga kali dan wali aqrab menolak menikahkan wanita tersebut sampai tiga kali, maka wali tersebut di hukumi fasek apabila amalan taatnya tidak lebih besar dan hak perwalian wanita tersebut berpindah kepada wali ab`ad.
6.    Wali sedang melakukan ihram.
7.    Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada) maka yang menjadi wali adalah hakim.

3.2. Secara umum ketentuan (dhabit) kondisi yang menyebabkan hakim menjadi wali nikah adalah “Apabila hak wali masih berada pada wali aqrab tetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak perwalian berpindah ke di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”.[21]Hal-hal yang menghilangkan hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak, gila, fasik , hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar) karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad.[22]. Apabila tidak diperdapatkan wali yang telah di sebutkan di atas, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam.

3.3. Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :
1.  Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab (atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.
2.  Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid.[23]

J.     KESIMPULAN
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya. Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum. Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain. Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu : 1. Kematian. 2. Perceraian, dan3. Atas Keputusan Pengadilan. Meskipun dalam suatu perkawinan kelak akan terjadi banyak masalah, tetapi alangkah lebih baiknya kalau permasalahan itu masih bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, jangan pernah berfikiran Pemutusan perkawinan adalah jalan satu-satunya. Kecuali memang perkawinan itu putus disebabkan oleh kematian. Kita tidak bisa menolaknya. Karena kematian adalah hak prerogatif  Tuhan.  Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan. Didalam pasal 85 KUHPer berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan menjadi batal karena hukum. Pernyataan batal suatu perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang disyaratkan adanya keputusan pengadilan, keputusan yang demikian hanya boleh dijatuhkan dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang dan atas gugatan orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu. Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan perkawinan, karena adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh menurut pasal 22 Undang-undang pekawinan, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perkawian dapat dibatalkan apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syart perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 atau berdasarkan KHI, dalam pasal 22,24,26, dan 27 UU No.1/1974 dan pasal 70 dan 71 KHI.

K. SARAN
Mempelajari Fiqih Munakahat sangatlah penting, terutama bagi pelajar mahasiswa pascasarjana IAIN Lhokseumawe khususnya dan umumnya seluruh Indonesia juga bagi pemimpin-pemimpin Islam. Dengan mempelajari studi Fiqih Munakahat kita dapat mengetahui berbagai hal yang menyangkut tentang pernikahan. Sebagai umat Islam hendaknya kita mengetahui hukum-hukum yang terkandung didalam agama kita yaitu Islam. Kami dari kelompok 6 (enam) berharap kepada pembaca untuk mengkritik dan memberi saran pada makalah kami ini karena dengan kritik dan saran dari pembaca akan membangun kami dan juga tanggapan serta tambahan yang bisa membuat materi kita dan pembahasan menjadi lebih sempurna dan bisa kita gali kedalam wawasan yang baru dan maju tentunya.

K.      DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.       Abdul Ghafur Anshari, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005
2.       Abdur Rahman Al Jazairi.  Kitaabu’l Fiqh ala mazahibi’l Arbaah jilid IV Muchtar, 3.Drs.Kamal.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974.
4.       Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189.
5.       Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek / BW)
6.       Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, Tahun 2004, hal. 103
7.       Soimin, S.H, Soedaryo.1992.Hukum Orang dan Keluarga.Jakarta:Sinar Grafika. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
8.       Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. II (Jeddah, al-Haramain, tt), hal. 226-227.
9.       Sulaiman bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi, juz. III (Beirut, Dar Fikr) h. 193
10.     Sayyid Bakri Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III hl 308-311
11.     Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III hl 312
12.     Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III hl 308-314
13.     Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III  hl 315-318
14.     Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hl. 318,
15.     Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)
16.     Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj juz VII (Beirut, Dar Fikr,1997 ) hl. 278-279


[1] Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan hlm 11 thn 1974
[2] Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189
[3] Soedaryo Soimin ,S.H dalam bukunya Hukum Orang dan Keluarga mengatakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan ma - s yarakat dan Negara
[4] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5] Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
[6] Ibid hal sot
[7] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39
[8] Ibid, hal. sot
[9] Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[10] Pasal 298 “Tiap-tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan dan kesegaran terhadap bapak dan ibunya
[11] Pasal 299 “Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu”
[12]. dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.  
[13] Surah an-Nisa : 35:
[14] QS. Al-Baqarah: 231
[15] Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. II (Jeddah, al-Haramain, tt), hal. 226-227.
[16] Sulaiman bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi, juz. III (Beirut) hal. 193
[17] .Sayyid Bakri Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III tt, hal 308-311
[18] Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III tt, hal 312
[19] Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III hl 308-314
[20] Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III  hl 315-318
[21] Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hal. 318,
[22] Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)
[23] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj juz VII (Beirut, ,1997 ) hal. 278-279


Daftara Isi
  1. A.    Pendahuluan……………………………………………..........1
  2. 1.1   Latar Belakan.…….……………………….....................….........1
  3. 1.2   Rumusan Masalah…………………............................................. 1
  4. 1.3.  Tujuan……..……………………………………........................1
  5.  
  6. B.    Pembahasan………………..………………............................... 2
  7. 2.1.  Pengertian pembatalan perkawina................................................ 2
  8. 2.2.  Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan.........................................2
  9. 2.3.  Fktor yang mebatalkan perkawinan..................................................... 3
  10.           a.   Bahwa pernikahan baru dianggap sah...................................4
  11.           b.    Syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan nikah.....4
  12.           c.    Saksi minimal terdiri dari dua orang laki-laki.....................4

  13. C. Ada beberapa hal yang membuat akad nikah menjadi batal...........5
  14.            a.     Nikah syigar...............................................................................5   
  15.            b.     Nikah mut'ah..............................................................................5
  16.            c.     Nikah mukhrim..........................................................................5
  17.            d.      Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan....5
  18.            e.     Nikah wanita yang sedang beriddah……………………..5
  19.            f.      Nikah laki-laki muslim dengan wanita non Islam...............5
  20.            g.      Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim......5

  21. D. Selain itu dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam...........................5
  22. a.           Seorang suami melakukan poligami tanpaseijin Pengadilan..5
  23. b.           Perempuan yang dikawini ternyata…………………………5
  24. c.            Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa idah..5
  25. d.           Perkawinan yang melanggar batas umur....................................5
  26. e.           Perkawinan dilangsungkan tanpa wali.......................................5
  27. f.            Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan......................5

  28. 2.4     Yang Berhak Membatalkan Perkawinan...........................................5
  29. a.          Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas...................5
  30. b.          Suami atau isteri.................................
  31. c.          Pejabat yang berwenang mengawasi………………………… 6
  32. d.          Para pihak yang berkepentingan……………………………    6

  33. 2.5.    Pemutusan perkawinan………………………………………………….7
  34. 1.  Kematian…………………………………………………………………..7
  35. 2.  Perceraian, dan……………………………………………………………7
  36. 3.  Atas Keputusan Pengadilan……………………………………………..7
  37. d.Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan………..       8

  38. F.      Sementara menurut Undang-Undang Hukum Perdata……………………   8
  39. a.  Karena meninggal dunia,………………………………………………   8
  40. b.  Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang………………………  .    8
  41. c.  Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja d.   Karena…… 8 perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga …. 8

  42. 2.6.    Pumutusan Perkawinan Karena Kematian…………………………     8
  43. 2.7.    Pumutusan Perkawinan karena Perceraian………………………..      9
  44. a.            Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk……  10
  45. b.           Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun………………………………………………………………………10
  46. c.            Salah satu pihak mendapat hukuman penjara……………   10
  47. d.           Salah satu pihak mendapat cacat badan…………………      10
  48. e.            Salah satu pihak melakukan kekejaman……………………. 10
  49. f.            Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan.. ……………………………………………………………………………..10

  50. G.      Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa……… 10
  51. a.            Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara… ….. 11
  52. b.           Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya………     11
  53. c.            Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami……… 11

  54. H. Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :……………………………….  11
  55. a.            Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara……     11
  56. b.           Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya…….    11
  57. c.            Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami……… 11


  58. I.       Kemudian dalam Pasal 209 Undang-Undang……………………...    11
  59. a.            zina…………..    11
  60. b.           meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat………………..12
  61. c.            penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun…….  12
  62. d.           melukai berat atau mengania  12

  63. 2.8.    Pumutusan Perkawinan karena Putusan Pengadilan………………  13
  64. 2.9.    Perwalian…………………………15
  65. 1.  Saudara laki-laki seibu sebapak…. 16
  66. 2. Saudara laki-laki se bapak…………   16
  67. 3. Anak saudara laki-laki se ibu sebapak.  16
  68. 4. Anak saudara laki-laki sebapak…  16
  69. 5. Paman seibu sebapak………………………16
  70. 6. Paman sebapak……………………………   16
  71. 7.  Anak paman se ibu sebapak………16
  72. 8. Anak paman sebapak………………… 16

  73. 2,9.    Perwalian dengan kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah……….     15
  74. 3.0.    Perwalian sulthan/hakim….    16
  75. 3.1. Perwalian sulthan/hakim hanya terjadi dalam kondisi ……………….…     17
  76. 1.  Tidak ada wali sama sekali……17
  77. 2.  Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah (± 86 km)………....    17
  78. 3.  Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah……………………     17
  79. 4.  Tidak diketahui keberadaan wali aqrab…………………………….    17
  80. 5.  Wali aqrab tidak mau menikahkannya17
  81. 6.  Wali sedang melakukan ihram.…… 17
  82. 7.  Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya………… 17

  83. 3.2.    Secara umum ketentuan (dhabit)…………………………………......  17
  84. 3.3.    Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :…………….   18
  85. 1.  Apabila tidak ada semua wali, …18
  86. 2.  Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid………  18

  87. J.       KESIMPULAN…………………………   18
  88. K.      SARAN……………………………………….   18
  89.           Daftar kepustakaan…………………   20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah