Pernikahan wanita zina hamil dan anak zina
BENARKAH
HUKUM PERNIKAHAN WANITA PENZINA,
HAMIL,
DAN ANAK HASIL ZINA SAH
PERSPEKTIF
FIQH ISLAM
Di
Susun Oleh;
Waled
Blang Jruen
Bahan
tela’ah beberapa kitab kuning,ayat serta hadts.berdasarkan sumber beberapa guru
besar dari Dayah Panton Labu, Dayah Mudi Mesra, Dayah Asasul ‘Ulum. Dayah Nahdhatul ‘Ulum
A. pendahuluan
Setiap
syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk umat ini, pasti
mempunyai hikmah yang bisa diambil dan juga ujian yang harus diwaspadai.
Shalat, zakat, puasa dan haji adalah contoh Syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang mengandung banyak hikmah, namun tak dapat dipungkiri, di balik semua itu ada
ujian atau cobaan yang harus diwaspadai. Jika tidak, maka kita tidak akan
pernah mendapatkan apa-apa dari semua itu, demikian juga dengan pernikahan. Pernikahan secara etimologi (bahasa)
adalah perkumpulan, sedangkan secara terminologi (istilah) adalah satu akad
untuk membolehkan persetubuhan, dengan
lafadh إنكاح أو تزويج. (menikahkan
atay- mengawinkan) atau terjemahan dari lafadh tersebut. Pernikahan dalam Islam
satu pekerjaan mulia yang dianjurkan oleh Syara’. Hal ini sesuai sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berbunyi :
مَنْ نَكَحَ فَقَدْ أَخْرَزَ شَطْرَ دِيْنِهِ
فَلْيَتَّقِ الله فِي الشَّطْرِالثَّانِيْ
"barangsiapa
yang sudah melaksanakan perkawinan maka dia telah membentengi setengah
agamanya, maka bertakwalah kepada Allah dari separuh lainnya".
Syariat
pernikahan sudah dimulai sejak masa nabi Adam as hingga hari akhirat kelak
(surga). Salah satu perbedaanya, jika di
dunia kita tidak bisa menikahi Mahram, tapi dalam Surga hal itu dibolehkan
kecuali Asal dan Furu' (Ayah hingga seterusnya tidak bisa menikah dengan anak
perempuan, Ibu hingga ke atas tidak bisa menikah dengan anak laki-laki).
B. Permasalahan:
Apakah nikah
masuk kategori amalan akhirat atau amalan dunia?
C. Tujuan pernikahan:
Secara fitrah
laki-laki suka kepada perempuan sebagaimana perempuan suka kepada laki-laki.
Suka sama suka tersebut kadang-kadang berujung kepada pernikahan dan tidak
sedikit pula yang gagal kepelaminan dengan bermacam-macam faktor, seperti:
faktor ekonomi, tidak ada restu orang tua. jika nikah diniatkan mengikuti
rasulullah SAW atau memperoleh keturunan yang shalih, iffah jiwa, menjaga
kemaluan, mata, menjaga hati dan lain seumpamanya maka dia itu masuk amalan
akhirat dan mendapat pahala. Dan jika tidak diniatkan demikian, hukumnya mubah
dan masuk kategori amalan dunya, tidak memperoleh pahala bagi yang melakukannya
dan tidak pula berdosa.[1]
ان قصد به شيئًا من الطاعات، بأن قصد الاقتداء
برسول الله - صلى الله عليه وسلمأو تحصيلَ ولد صالح، أو إعفافَ نفسه، وصيانةَ
فرجه، وعينه، وقلبه، ونحو ذلك، فهو من أعمال الآخرة وُيثابُ عليه، وإن لم يقصد به
شيئًا من ذلك فهو مباح من أعمال الدنيا وحظوظ النفس، ولا ثواب فيه، ولا إِثم
D. Beberapa Hikmah Pernikahan:
1.Memelihara
keturunan
2.Mengeluarkan
air yang memudharatkan badan jika tidak
dikeluarkan
3.Menemukan kelezatan dalam bersetubuh.
E. Hukum asal dari menikah adalah boleh,
hukum tersebut tidak baku dan bisa
berubah kapan saja tergantung individu dan kondisi. Berikut Rinciannya:.[2].
1.. Nikah
disunatkan bagi orang yang berhajat untuk bersetubuh, dengan catatan sanggup
untuk memenuhi kebutuhan berupa Mahar, pakaian, tempat tinggal, dan nafakah
sehari-hari. Ini berlaku kepada setiap orang, sekalipun orang tersebut sedang
menyibukkan diri dengan ibadah.
2. Khilaf
aula (lebih baik tidak menikah). Ini berlaku bagi orang yang telah berhajat
untuk bersetubuh, tetapi mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan berupa Mahar,
pakaian, tempat tinggal, dan nafakah sehari-hari. Kepada orang ini dianjurkan
untuk tidak menikah dulu, karena keterbatasan biaya. Sedangkan metode menghilangkan
keinginan untuk bersetubuh adalah dengan berpuasa karena dengan berpuasa
seseorang bisa menghilangkan atau menurangi syahwat/keinginan bersetubuh.
3. Makruh.
Pernikahan yang di makruhkan bagi orang yang tidak berhajat untuk bersetubuh
dan juga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan berupa Mahar, pakaian, tempat
tinggal, dan nafakah sehari-hari.
4. Wajib.
Pernikahan yang wajib berlaku jika seseorang bernazar kepada Allah berupa
pernikahan. Kasus lainnya berlaku bagi seseorang yang sudah berhajat kepada persetubuhan,
memiliki kesanggupan dari seri materi dan ditakutkan terjadi zina jika tidak
segera menikah. Pada dua kasus tersebut hukum nikah yang semula Boleh, telah
berubah status menjadi wajib.
F. Adapun
sebab-sebab mahram adalah:Nikah, selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
biologis juga untuk mempertahankan
kelanjutan kehidupan manusia dari kepunahan. Hubungan nikah merupakan hubungan
yang sacral, karena itulah dalam agama, nikah telah diatur dengan sedemikian
rupa. Salah satu perkara nikah yang telah digariskan dalam agama adalah mahram,
yaitu orang –orang yang haram dinikahi, selain haram untuk dinikahi, dengan mahram juga berlaku hukum tidak runtuh
wuduk dengan sebab bersentuhan dengan mereka dan dibolehkan berdua-duan (khalwat).[ 3]
a. Nasab
b. Ridha`(penyusuan).
c. Mushaharah(perkawinan)
a). Dengan
sebab Nasab, adapun orang orang yang menjadi mahram dengan sebab hubungan nasab
(keturunan) adalah :
1. Ibu, nenek,
ibu dari nenek dan seterusnya keatas.
2. Anak
perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah
2. Saudara
wanita
4. Anak
perempuan dari saudara laki-laki dan saudara wanita
5. Bibi(
saudara orang tua , baik dari pihak bapak atau ibu).
Sedangkan
yang lainnya bukanlah mahram, maka saudara sepupu (anak paman atau bibi)
bukanlah mahram, sehingga tidak boleh berdua-duaan dengannya dan boleh dinikahi
serta runtuh wuduk bila bersentuhan dengannya.
b). Ridha`(penyusuan)
Wanita yang menyusuI bayi yang berumur Dibawah dua tahun
maka anak tersebut akan menjadi anak susuannya, yang berakibat kepada anak
tersebut haram menikah dengannya dan dengan orang lain sebagaimana pada sebab
nasab.
c). Mushaharah(perkawinan)
G. Adapun
orang-orang yang menjadi mahram dengan sebab perkawinan adalah:
1. Istri bapak
(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya keatas baik kakek dari pihak bapak atau
ibu.
2. Menantu
(istri anak, cucu dan seterusnya kebawah).
3. Anak istri
(anak tiri) baik anak nasab maupun anak susuan, ini berlaku bila telah
melakukan hubungan badan dengan istri.
4. Ibu
istri(mertua) , nenek istri (dan seterusnya keatas) baik ibu nasab maupun ibu
susuan.
H. Adapun dalil
yang menjadi pijakan dalam penetuan mahram adalah ayat Al quran surat an nisa`
ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua),
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
I. Pernikahan Wanita Hamil Zina
Permasalahan yang
timbul dan banyak terjadi dewasa ini adalah bagaimana apabila wanita pezina
tadi ternyata dalam keadaan hamil, bolehkah dinikahi? Ulama fiqih madzhab
Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil zina
berdasarkan pada hadits sahih riwayat Abu Daud dan Hakim di mana Nabi bersabda:
“Wanita hamil tidak boleh dijimak (dinikahi) kecuali setelah melahirkan.”[4]
a)
Madzhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan
bahwa boleh hukumnya menikahi wanita hamil karena zina. Abdurrahman bin
Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i, dalam
kitab Bughiyatul Mustarsyidin menyatakan: “boleh menikahi wanita hamil karena
zina baik oleh yang menzinahinya maupun pria lain. Begitu juga boleh melakukan
hubungan intim tapi makruh.”[5]
b). Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi
dalam kitab Al-Muhadzab juga menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil zina
karena kehamilannya tidak dinasabkan kepada siapapun karena itu adanya janin
dianggap tidak ada.” Senada dengan pendapat ini adalah Zakaria Al-Anshari dalam
kitab Asnal Mathalib di mana ia menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil karena
zina dan berhubungan intim dengannya seperti halnya wanita yang tidak hamil
karena tidak ada keharaman bagi wanita itu.”[6]
c). Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa
al-Kubro Al-Fiqhiyah secara ringkas menguraikan sejumlah pendapat antar-madzhab
yang berbeda-beda sebagai berikut: [7]
وَأَمَّا نِكَاحُ
الْحَامِلِ من الزِّنَا فَفِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ أَيْضًا بَيْن أَئِمَّتِنَا
وَغَيْرِهِمْ وَالصَّحِيحُ عِنْدَنَا الصِّحَّةُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ رضي
اللَّهُ تَعَالَى عنه لِأَنَّهَا لَيْسَتْ في نِكَاحٍ وَلَا عِدَّةٍ من الْغَيْر
وَعَنْ مَالِكٍ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه قَوْلٌ بِخِلَافِهِ
ثُمَّ إذَا قَلَّدَ
الْقَائِلِينَ بِحِلِّ نِكَاحِهَا وَنَكَحَهَا فَهَلْ له وَطْؤُهَا قبل الْوَضْعِ
الذي صَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ نعم قال الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا حُرْمَة لِحَمْلِ
الزِّنَا وَلَوْ مُنِعَ الْوَطْءُ لِمَنْعِ النِّكَاحِ كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ وقال
ابن الْحَدَّادِ من أَئِمَّتِنَا لَا يَجُوزُ له الْوَطْءُ وَبِهِ قال أبو
حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَدَاوُد رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى وَاسْتَدَلُّوا
بِخَبَرِ أبي دَاوُد وَالتِّرْمِذِيِّ وَلَفْظُهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ
بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَيُجَابُ
بِأَنَّ ذلك إنَّمَا وَرَدَ لِلتَّنْفِيرِ عن وَطْءِ الْمَسْبِيَّةِ الْحَامِلِ
لِأَنَّ حَمَلَهَا مُحْتَرَمٌ فَحُرِّمَ الْوَطْءُ لِأَجْلِ احْتِرَامِهِ
بِخِلَافِ حَمْلِ الزِّنَا فإنه لَا حُرْمَةَ له تَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْوَطْءِ
وَعَلَى الْقَوْلِ بِحِلِّهِ هو مَكْرُوهٌ كما في الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ
خُرُوجًا من خِلَافِ من حَرَّمَهُ هذا كُلُّهُ فِيمَا تُحُقِّقَ أَنَّهُ من
الزِّنَا
(Adapun
menikahi wanita hamil zina terdapat perbedaan ulama. Yang sahih adalah pendapat
yang mengesahkan. Abu Hanifah berkata wanita hamil itu tidak dalam keadaan
nikah dan tidak dalam keadaan iddah dari pria lain. Sedang dari Imam Malik
terdapat pendapat yang berbeda.
Kemudian
apabila orang bertaklid pada pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil
lalu menikah dengannya apakah boleh berhubungan intim sebelum wanita itu
melahirkan? Pendapat yang sahih menurut Syaikhain [Nawawi – Rafi’i] adalah
boleh. Sedangkan menurut pendapat Ibnul Haddad tidak boleh hubungan intim
selama hamil. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Malik, dan Dawud… Bagi
pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil zina, maka makruh melakukan
hubungan intim sebelum melahirkan seperti keterangan dalam kitab Al-Anwar dan
lainnya).
Seperti yang
btelah dijelaskan bahwa dalam tinjauan fiqih sah hukumnya pernikahan wanita
pezina baik dalam keadaan hamil atau tidak. Baik pria yang menikahi sama-sama
perzina atau orang salih Namun demikian, bagi lelaki dan wanita salih, menikah
dengan pasangan yang pernah berzina hendaknya menjadi pilihan terakhir kecuali
kalau memang sudah betul-betul taubat. Karena hal itu akan memiliki efek
psikologis dan sosial kelak di kemudian hari dalam kehidupan
berumahtangga.Kalau bisa memilih pasangan yang salih dan salihah mengapa harus
memilih pasangan yang punya masa lalu kelam?[8]
wanita yang tidak perawan Ada dua kategori, yaitu karena
berstatus janda atau pernah berzina. Yang dimaksud dalam judul tulisan ini
adalah makna yang kedua. Tulisan ini berasal dari sebuah pertanyaan yang
dikirim ke info@alkhoirot.com sebagai berikut: “Apakah hukum dalam agama Islam
menikah dengan wanita yang pernah berzina atau sudah tidak perawan lagi akibat
pergaulan bebas?”
Pertanyaan itu timbul karena ada firman Allah dalam QS
An-Nur 24:3 yang menyatakan: “Seorang lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali
dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Seorang wanita pezina tidak boleh
menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Hal itu diharamkan
bagi seorang mukmin.”[9] Secara eksplisit ayat ini jelas menyatakan larangan
menikah dengan wanita yang pernah berzina. Itulah sebabnya si penanya menjadi
ragu-ragu ketika hendak menikahi seorang perempuan yang ternyata sudah tidak
perawan lagi karena pernah melakukan hubungan zina dengan lelaki yang dikenal
sebelumnya.
Ismail bin Umar Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dalam
Tafsir Ibnu Katsir membandingkan ayat ini dengan QS An-Nisa’ 4:25 di mana Allah
berfirman “…sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina
dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”
Dalam konteks inilah Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
demikian:
ذهب الإمام أحمد بن حنبل
، رحمه الله ، إلى أنه لا يصح العقد من الرجل العفيف على المرأة البغي ما دامت
كذلك حتى تستتاب ، فإن تابت صح العقد عليها وإلا فلا وكذلك لا يصح تزويج المرأة
الحرة العفيفة بالرجل الفاجر المسافح ، حتى يتوب توبة صحيحة; لقوله تعالى : وحرم
ذلك على المؤمنين
(Imam Ahmad
bin Hanbal berpendapat bahwasanya tidak sah akad nikah laki-laki saleh yang
menikahi wanita nakal (pezina) kecuali setelah bertaubat. Apabila wanita itu
bertaubat maka sah akad nikahnya. Begitu juga tidak sah perkawinan wanita
salihah dengan laki-laki pezina kecuali setelah melakukan taubat yang benar
karena berdasar pada firman Allah dalam akhir ayat QS An-Nur 24:3.)
Sementara itu
Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menguraikan sejumlah
perbedaan penafsiran dan ikhtilaf ulama dalam memahami ayat QS An-Nur 24:3
tersebut. Dari pendapat Ibnu Mas’ud yang mengharamkan menikahi wanita perzina
sampai pendapat Said bin Al-Musayyab dan segolongan ulama yang membolehkan wanita
pezina secara mutlak karena menganggap ayat 24.3 sudah di-naskh oleh QS Annur
24:23 yang berbunyi ” Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…”
.Selain itu, ulama yang membolehkan menikahi wanita pezina berargumen adanya
hadits dari Sahabat Jabir sebagai berikut:
أن رجلا أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال
يا رسول الله إن امرأتي لا تدفع يد لامس ؟ قال : طلقها ، قال : فإني أحبها وهي
جميلة ، قال : استمتع بها . وفي رواية غيره ” فأمسكها إذا
Artinya:
Seorang laki-laki datang pada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, istri saya
tidak pernah menolak sentuhan tangan lelaki.” Nabi menjawab, “Ceraikan dia!”.
Pria itu berkata: “Tapi saya mencintainya karena dia cantik”. Nabi menjawab: “Kalau
begitu jangan dicerai.”[10]
Dari hadits
ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk menyimpulkan:
وإن زنى رجل بزوجة رجل لم ينفسخ نكاحها، وبه
قال عامة العلماء ، وقال على بن أبى طالب: ينفسخ نكاحها وبه قال الحسن البصري
دليلنا حديث ابن عباس في الرجل الذى قال للنبى صلى الله عليه وسلم: إن امرأتي لا
ترد يد لامس
(Apabila seorang
lelaki berzina dengan istri orang lain, maka nikah perempuan itu tidak rusak
(tidak batal). Ini pendapat kebanyakan ulama. Ali bin Abi Talib berkata:
nikahnya rusak (batal) pendapat ini diikuti Al-Hasan Al-Bishri. Dalil kita
adalah hadits Ibnu Abbas di mana seorang laki-laki yang istrinya berzina diberi
pilihan oleh Nabi untuk mentalak atau tidak.)[11]
Pendapat Imam
Nawawi di atas senada dengan pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Umm yang
menyatakan:[12]
فالاختيار للرجل أن لا ينكح زانية وللمرأة أن
لا تنكح زانيا فإن فعلا فليس ذلك بحرام على واحد منهما ليست معصية واحد منهما في
نفسه تحرم عليه الحلال إذا أتاه قال وكذلك لو نكح امرأة لم يعلم أنها زنت فعلم قبل
دخولها عليه أنها زنت قبل نكاحه أو بعده لم تحرم عليه ولم يكن له أخذ صداقه منها
ولا فسخ نكاحها وكان له ان شاء أن يمسك وإن شاء أن يطلق وكذلك إن كان هو الذى
وجدته قد زنى قبل أن ينكحها أو بعدما نكحها قبل الدخول أو بعده فلا خيار لها في
فراقه وهى زوجته لحالها ولا تحرم عليه وسواء حد الزانى منهما أو لم يحد أو قامت
عليه بينة أو اعترف لا يحرم زنا واحد منهما ولا زناهما ولا معصية من المعاصي
الحلال إلا أن يختلف ديناهما بشرك وإيمان.
(Laki-laki
hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak
menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga
apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina,
kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah
berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan
tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh
nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita
tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina
sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka
tidak ada khiyar [pilihan] untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu
tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau
mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau
maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau
iman.)
J. Menikahi anak hasil zina
Seorang pria yang telah berzina dengan seorang wanita,
kemudian lahirlah anak perempuan dari hasil zinanya. Saat anak perempuan itu
sudah beranjak dewasa, si ayah biologis ini menikahinya, setelah disetubuhi,
kemudian pria mengakui bahwa isterinya itu adalah anak biologisnya sendiri
hasil dari perzinahannya dahulu dengan seorang wanita yang merupakan ibu si
perempuan yang telah jadi istrinya sekarang. Bagaimanakah status pernikahan
pria tadi dengan anak biologisnya? Sah atau tidak ? Bolehkah pria itu
meneruskan perkawinannya? Dan adakah ganjaran kepada si lelaki itu yang telah
mengawini anak biologisnya?
Dengan sebab perzinahan, anak perempuan yang lahir dari
wanita yang dizinahi oleh laki-laki tersebut tidak diharamkan kepada ayah
biologisnya, karena anak perempuan tersebut tidak dihubungkan dengan laki-laki
tersebut melalui jalur syara’. Status pernikahan keduanya adalah sah.
Pernikahan tersebut masih bisa dilanjutkan. Kepada laki-laki tersebut tidak
dikenakan sanksi apa-apa. Ini berpijak atas pendapat yang kuat dikalangan ulama
syafi’iyyah.[13]
رجل زنا بامرأة واستولدها بنتا من الزنا فلما بلغت
البنت تزوجها ودخل بها ثم بعد الدخول اعترف أنها ابنته من الزنا, فهل تزوجه البنت
المذكورة صحيح أم لا؟ وهل له إمساكها بالتزويج المذكور؟ وهل يترتب عليه شيء فى
ذلك؟
أجاب: مجرد الزنا لا تحرم به المولودة مذكورة اذا لم يظهر نسبها إليه بطريق
شرعي وحينئذ فتزويجه صحيح, لأنها ليست بنته شرعا وله إمساكها, ولا يترتب عليه شيئ
على المعتمد عند الشافعية
Mempelajari
Fiqih Munakahat sangatlah penting, terutama bagi pelajar mahasiswa pascasarjana
IAIN Lhokseumawe khususnya dan umumnya seluruh Indonesia juga bagi para-pemimpin
Islam. Dengan mempelajari studi Fiqih Munakahat kita dapat mengetahui berbagai
hal yang menyangkut tentang pernikahan .Waled berharap kepada pembaca untuk
mengkritik dan memberi saran pada pembahasan makalah ini karena dengan kritik
serta saran dari pembaca yang bersifat membangun dan juga tanggapan dan tambahan yang bisa membuat materi pembahasan menjadi lebih sempurna juga bila
ada kekeliruan tentang hukum dalam menelaahnya mohon tinggalkan pesan agar bias
di perbaikinya. Akhirul kalam hanya kepada Allah jualah kita berharap hdayah
serta inayahnya.Aamiin
والله
أعلم
Referensi:
[1]. Fatawa
An-Nawawi, Jld. I, Hal 179.
[2]. Sumber :
I’anatut Thalibin juz 3, hal 253-256,
cet. Toha Putra.
[3].Asy
Syarqawy `ala tahrir jilid 2 hal 215 cet. Haramain Bujairimy 3 hal 415 cet.Dar
Fikr
[4].Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubra Al-Fiqhiyah, 4/93
[6] Imam
Nawawi dalam Al-Majmuk 6/223
[7] Imam
Syafi’i dalam Al-Umm , 5/13.
[8] Teks
hadits: لا توطأ حامل حتى تضع
[9] Teks
asal: يجوز
نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. Lihat Bughiyatul
Mustarsyidin 1/419.
[10] Teks
asal: ويجوز
نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه. Lihat Al-Muhadzab
2/45.
[11] Teks asal: َ. يَجُوزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ من
الزِّنَا وَكَذَا وَطْؤُهَا كَالْحَائِلِ إذْ لَا حُرْمَةَ له Lihat Asnal
Matalib, 3/393.
[12]. Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubra Al-Fiqhiyah,
[13].
Fatawa Bulqini, Juz.II, Cet. Dar ibnu Affan, hal.213.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abidin, Ibn, Radd
al-Mukhtar’ala al-Dur al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Ihya’ alTuruki
al-‘Arabiy,1407 H/1987 M, 5 juz
2.
Ahmad, Noer dkk,
Epistemologi Syara: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2000
3. al-Hanafi, Ibn al-Humam ,Fath
al-QodirI,cet. II,(t.tp: Dar al-Fikr,1379 H/ 1977
M),4 juz
4. al-Bagdadi, Al-Qadi ‘Abd al-Wahhab,
Al-Ma’unatu ‘ala Maz}hab ‘Alim alMadinati al-Imam Malik ibn Anas,cet. III
Beirut: Dar al-Fikr,1415 H/ 1995M, 2 juz
5. Ibn Asir, An-Nihayah fi Garib al-Hadis wa
al-Asar, Beirut:Maktabah al- Ilmiyyah, t.t, 5 juz
6. al-Jauziyyah, Ibn al-Qoyyim, I’lam
al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin,Beirut:Dar al-Fikr ,t.t, 2 juz
7. Al-Jazir, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh
'Mazahib al-Arba'ah, Juz IV, (Kairo: Dar al-Pikr, t.t).
8. al-Zuhaily, Wahbah, al Fiqh al-Islami wa
Adilatuhu, Juz VII, (damsyiq : Dar alFikr, 1989).
9. Ali, H. Zainuddin, Prof, Dr. M.A., Hukum
Perdata Islam di Indonesia, 2006.
10. Anderson, J.N.D, Islamic Law in the Modern
World, New York: New York
University Press, 1959
11. Ansari, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab,
Semarang: Toha Putra, t.t
Ansary, Hafiz A.Z dan Chuzaimah
T. Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam
12. Kontemporer II, cet. II Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996 , Problematika Hukum Islam Kontemporer I. II Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996
13. Badran, Badran Abu ‘Ainain, az-Zawaj wa
Talaq fi al-Islam: Fiqh Maqarin baina
14. al-Mazhahib al-Arba’ah as-Sunnah wa
al-Mazhab al-Jaghfari wa al-Qanun, Iskandaria: Muasasah
15. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan
Islam, cet. IX Yogyakarta:UII 1999
16. Bukhori, M. Hubungan Seks Menurut Islam,
cet. I Jakarta: Bumi Aksara,1994
17. Djamil, Fathurrahman, Filasafat Hukum
Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
18. Effendi M. Zein, H. Satria, Prof.Dr.,
Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Penerbit Prenada Media, Jakarta
2004.
19. Ghazali, Abdul Moqsith, dkk, Tubuh,
Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan,
editor: Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir, cet.I
Yogyakarta: LKIS, 2002
20. Gundur, Ahmad, At-Talaq fi Syari’ah
al-Islamiyah Qanun, I Mesir: Darul-Ma’arif, 1967
21. Hazairin, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1975.
22. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan
Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung,
1990.
23. Ibrahim, Hosen, Fiqh
Perbandingan dalam masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Ihya Ulumuddin, Jakarta1971.
24. Nuruddin, H. Amiur, MA dan Drs. Azhari
Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
No 1/1974 sampai KHI, Penerbit
Prenada Media, Jakarta 2004.
25. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta : Rajawali Pers, 1995).
26. Ramulyo, Moh. Idris, Asas-asas Hukum Islam,
(Jakarta : Sinar Grafika, 1995).
27. Abuya Muhibbuddin Waly Peradilan Agama dan
Zakat Menurut Hukum Islam Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara,
28. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1986.
29. Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II,
(Bandung : Al-Ma'arif, t.t.).
Komentar