Kode Etik Hakim


KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-NYA saya bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Kode Etik HakimTugas makalah merupakan salah satu tugas mata kuliah Hadist TematikTematik .

Dalam penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan saya yang terbatas. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam makalah ini saya menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam mengerjakan makalah ini. Terutama saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Dr.Husni, M.Ag yang telah memberi tugas ini.

Akhirnya saya berharap agar makalah yang saya buat bisa bermanfaat.


Lhokseumawe, ……..,…….,20


ABDILLAH
Nim.2018540573




DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………
Kata Pengantar .......................................................................................................
Daftar Isi .................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang ........................................................................................
1.2.   Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3.   Tujuan .....................................................................................................
1.4.   Metode Penulisan ...................................................................................
1.5.  Sistematika Penyajian ..............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1.   Pengertian Kode Etik Hakim…………………………………………..
      2.2.   Kewajiban / Tugas Hakim……… ..……………
2.3.  Tanggung Jawab Hakim……………….………….....……………………
2.4.  Kode Etik Hakim......................................................................................
BAB III PENUTUP
a.       Tiga Tipe Hakim Menurut Hadis ….....……………………
b.      Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim….....……………………
c.       Ijtihad hakim….....……………
      D. Tiga golongan hakm
    
BAB IV PENUTUP

3.1.   Kesimpulan .............................................................................................
3.2.   Saran .......................................................................................................


1.   Menjawab soal ujian pertengahan semester tentang Bagaimana Hakikat Dan Tujuan Penetatapan Hukum Munakahat ‘Nikah’ Serta Hikmahnya, Penulis Lebih Spesifik Membahas Pernikahan Hamil Kare Zina

PERKAWINAN HAMIL KARENA ZINA DI TINJAU DARI HUKUM
ISLAM DAN IMPLIKASINYA

A,      Perkawinan Hamil Karena Zina Ditinjau Dari Hukum Islam 
a).      Perkawinan Zina atau hamil karena zina
Para Imam dan Ulama berbeda pendapat mengenai masalah perkawinan zina atau hamil karena zina. Sebagian ulama berpendapat perkawinannya penzina sah apakah  perempuan ter sebut hamil atau tidak, dan sebagian para ulama berpendapat perkawinannya dianggap sah apabila ia telah bertaubat dan menjalankan hukum rajam. Sebagai berikut :[1]
  ulama mazhab yang empat (hanafi, maliki, hambali, dan syafe’i) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri si pria yang menghamilinya atau bukan  .
  Ibnu Hazm (Penganut Mazhab-Zhahiriyah, firqah-Sunni ) [2]berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera cambuk, karena keduanya telah berzina. Ini berdasarkan :
1. ketika Jabir bin Abdullah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, beliau berkata : “boleh mengawinkannya, asalkan keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
2. Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata “ya amirul mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan dera, kemudian dikawinkan.
b).Para ulama dari keempat madzhab sepakat membolehkan perkawinan antara 2 insan yang berzina sebelumnya.
(a).         Jadi tidak perlu diulangi akad pernikahannya setelah sang perempuan melahirkan anak. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat al-Nur:  
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak mengawini melainkan laki-laki yang berzina atau yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman".
 (b).        Adapun masalah status anak, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak sah dinasabkan pada si bapak. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka anak ini tidak bisa langsung dinasabkan pada Bapakny. Yang menjadi perdebatan antar ulama adalah jika seorang laki-laki baik-baik mengawini seorang perempuan yang telah melakukan zina. Sebagian ulama seperti Imam Hasan al-Basri melarang hal tersebut dengan argumentasi dalil di atas yang jelas-jelas mengharamkan seorang perempuan yang berzina untuk menikah dengan laki-laki mukmin. Sementara mayoritas ulama membolehkan perkawinan ini dengan berdasar pada ayat  surat al-Nisa`, 
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
    أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. "Dan dihalalkan bagi kamu sekalian selain yang demikian". (selain yang tersebut dalam daftar perempuan yang tidak boleh dinikahi, disini perempuan yang berzina tidak masuk kategori). Juga berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dari Ibnu Abbas, diceritakan bahwa "Seorang laki-laki datang mengadu pada Nabi saw, "Isteriku tidak menjauhi tangan-tangan nakal (maksudnya berzina -red). Rasul pun menasehatinya, "Jauhilah dia!!" Laki-laki tadi menjawab, "Tapi saya kahwatir hatiku masih terikat padanya." Rasul menimpali, "(kalau begitu ) pertahankan saja
(c).Ancaman dosa melakukan “takhbib” terdapat pada hadits berikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﺧَﺒَّﺐَ ﺍﻣﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭﺟِﻬَﺎ
”Bukan bagian dari kami, Orang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.”

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ
”Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dari kami.”
Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah  dijelaskan bahwa merusak di sini adalah mengompor-ngompori untuk minta cerai atau menyebabkannya (mengompor-ngompori secara tidak langsung).
ﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺯَﻭْﺟَﺔَ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﺃَﻱْ : ﺃَﻏْﺮَﺍﻫَﺎ ﺑِﻄَﻠَﺐِ ﺍﻟﻄَّﻼَﻕِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺘَّﺴَﺒُّﺐِ ﻓِﻴﻪِ ، ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺗَﻰ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﻜَﺒَﺎﺋِﺮِ ” ﺍﻧﺘﻬﻰ
“Maksud merusak istri orang lain yaitu mengompor-ngompori untuk meminta cerai atau menyebabkannya, maka ia telah melalukan dosa yang sangat besar
 (d).Abdillah menjelaskan merusak hati wanita terhadap suaminya perbuatan yang sangat di benci oleh Rasulullah saw. Ini pengajian di Dayah malikussaleh pantol labu yang di sampaikankan Oleh guru besar Syech Ibnu Hajar
ﺇﻓﺴﺎﺩ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﻬﺎ
”Merusak hati wanita terhadap suaminya.”
Perhatikan hadits berikut, Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ
 (e). Mayoritas Imam Mazhab empat  memberikan pendapat :[3]
1 -          Madzhab Hanafy:
Jika si perempuan yang berzina tersebut terbukti tidak hamil, maka akad pernikahannya sah. Dan jika si perempuan sudah hamil akad nikahnya sah juga, tapi si suami tidak boleh menggaulinya hingga ia melahirkan bayi hasil zinanya.
2 -          Madzhab Maliky:
Tidak boleh menikahi seorang perempuan yang berzina kecuali setelah berlalu 3 bulan (3 masa haid). Kurang dari itu, perkawinannya batal, baik perempuan itu sudah hamil atau belum.
3 -          Madzhab Syafii :
Membolehkan perkawinan tersebut dengan dalil hadis Aisyah di atas.
4 -          Madzhab Hanbaly:
Boleh mengawini perempuan yang berzina, dengan 2 syarat:
         Setelah masa 'iddah selesai, yaitu sampai si perempuan melahirkan.
         Si perempuan bertaubat dari perbuatan haram tersebut.
(f),Tata cara perkawinannya tetap mengikuti prosedur biasa, yaitu dengan mendatangkan 2 saksi dan wali. Juga disunnahkan mengadakan walimah. Yang penting perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-syarat pernikahan. Adapun nikah sirri, di mana wali, saksi dan kedua mempelai menyembunyikan perkawinan ini dari masyarakat walaupun keluarganya sendiri, menurut Imam Hanbal boleh-boleh saja meski makruh. Apakah perzinahan yang mereka lakukan itu adalah 'aib? Iya, 'aibnya tetap saja 'aib. Tak perlu diperbincangan. Bahkan dosa memperbincangkannya dengan nada mencemoohkan. Apalagi menghina. Karena apapun bentuk cemoohan dan hinaan itu tindakan berdosa. Kalau memang perlu diketahui, dan ada maslahat di situ, juga tak ada maksud lain kecuali kebaikan, ya tak apa-apa diberitahukan saja. Perlu disadari keluarganya, bukankah betapapun besarnya sebuah dosa, Allah swt. lebih luas pintu ampunannya? Perkawinan mereka sah. Tinggal yang terpenting mereka menyesali sedalam-dalamnya perbuatan dosanya itu, dan kini menjadi pasangan yang baik-baik. Sudah tak ada masalah. Anaknya yang hasil zina itu juga mempunyai hak yang sama dengan manusia biasa. Dia terlahir atas kehendak Allah, dalam keadaan fitri, tak punya dosa.
     g).      Mayoritas Ulama Jumhur Berpendapat

1 - Jumhurul Fuqaha:  menyatakan jika yang dipahami pada ayat diatas adalah bukan mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina dan bahkan mereka memperbolehkan menikahi wanita yang merupakan pezina. Kemudian, bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan hal tersebut. Para fuqaha mempunyai 3 alasan dalam hal tersebut dan dalam hal ini mereka menyatakan jika lafaz hurrima atau diharamkan pada ayat tersebut bukan pengharaman akan tetapi tanzih atau dibenci. Selain itu, mereka juga mengungkapkan jika apabila memang diharamkan, maka hal tersebut lebih menjurus pada kasus khusus pada saat ayat diturunkan. Mereka mengatakan jika ayat tersebut sudah dibatalkan menyangkut ketentuan hukum atau di nasakh dengan ayat lainnya yakni :
     وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
     Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. serta fuqaha pada umumnya dan mereka memperbolehkan seorang pria untuk menikah dengan wanita berzina dan juga jika seseorang sudah pernah berzina tidaklah diharamkan dirinya untuk menikah secara syah. Pendapat tersebut diperkuat dengan hadits, “Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).Hadits kedua adalah, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
2 -.         Pendapat Yang Mengharamkan
     Sedangkan untuk sebagian lagi berpendapat jika menikah dengan wanita yang sudah pernah berzina adalah haram seperti pendapat dari Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka berkata jika seorang pria yang berzina dengan wanita, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut begitu juga dengan wanita yang sudah pernah berzina dengan pria lain maka diharamkan untuk dinikahi pria yang baik dan bukan pezina. Ali bin abi Thalib bahkan berkata jika terjadi perselingkuhan dalam rumah tangga dimana seorang isteri berzina, maka sangat wajib pasangan tersebut diceraikan dan begitu juga jika suami berzina. Semuanya ini diambil atas dalil zahir ayat an Nur:3. Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts yakni orang yang tidak memiliki rasa cemburu apabila isterinya melakukan selingkuh dalam Islam dan tetap menjadikan wanita tersebut sebagai isterinya.  Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud).
3 -. Pendapat Yang Menengahi[4]
     Pendapat pertengahan dalam hal ini adalah dari Imam Ahmad bin Hanbal dimana beliau mengharamkan seseorang untuk menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum melakukan pertaubatan. Jika pernikahan tetap terjadi, maka pernikahan tersebut tidaklah sah. Akan tetapi, jika wanita tersebut sudah tidak berbuat dosa dan dan melakukan cara bertaubat dari zina, maka tidak terdapat larangan untuk menikahi wanita tersebut dan jika pernikahan berlangsung maka nikah tersebut syah secara syar’i. Ulama kalangan mazhab Hambali mengemukakan pendapat jika pernikahan antara wanita pezina yang belum bertaubat hukumnya adalah tidak sah dan mereka tidak menjadikan taubat pezina laki laki sebagai syarat sha dalam pernikahan tersebut. [Al-Inshaf, 8/132, Kasyaful Qana, 5/83] Pendapat ketiga inilah yang sesuai dengan asas perikemanusiaan sebab jika seseorang sudah bertaubat, maka ia mendapat haknya kembali untuk bisa hidup dengan normal dan memperoleh pasangan yang baik.

B. Anak dari hasil perzinahan
a).      Seorang pria yang telah berzina dengan seorang wanita, kemudian lahirlah anak perempuan dari hasil zinanya. Saat anak perempuan itu sudah beranjak dewasa, si ayah biologis ini menikahinya, setelah disetubuhi, kemudian pria mengakui bahwa isterinya itu adalah anak biologisnya sendiri hasil dari perzinahannya dahulu dengan seorang wanita yang merupakan ibu si perempuan yang telah jadi istrinya sekarang. Bagaimanakah status pernikahan dengan anak biologisnya Sah atau tidak Bolehkah pria itu meneruskan perkawinannya. Dan adakah ganjaran kepada si lelaki itu yang telah mengawini anak biologisnya. Dengan sebab perzinahan, anak perempuan yang lahir dari wanita yang dizinahi oleh laki-laki tersebut tidak diharamkan kepada ayah biologisnya, karena anak perempuan tersebut tidak dihubungkan dengan laki-laki tersebut melalui jalur syara’. Status pernikahan keduanya adalah sah. Pernikahan tersebut masih bisa dilanjutkan. Kepada laki-laki tersebut tidak dikenakan sanksi apa-apa. Ini berpijak atas pendapat yang kuat dikalangan ulama syafi’iyyah.
 رجل زنا بامرأة واستولدها بنتا من الزنا فلما بلغت البنت تزوجها ودخل بها ثم بعد الدخول اعترف أنها ابنته من الزنا, فهل تزوجه البنت المذكورة صحيح أم لا؟ وهل له إمساكها بالتزويج المذكور؟ وهل يترتب عليه شيء فى ذلك؟
أجاب: مجرد الزنا لا تحرم به المولودة مذكورة اذا لم يظهر نسبها إليه بطريق شرعي وحينئذ فتزويجه صحيح, لأنها ليست بنته شرعا وله إمساكها, ولا يترتب عليه شيئ على المعتمد عند الشافعية
Adapun masalah status anak, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak sah dinasabkan pada si bapak. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka anak ini tidak bisa langsung dinasabkan pada Bapaknya, kecuali jika si Bapak menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya.
Ayah dan anak adalah dua orang yang punya hubungan darah paling dekat. Namun terkadang ada hal yang berbeda yang menjadi ketetapan hukum bagi seorang laki-laki dengan anak biologisnya tersebut yaitu hubungan laki-laki dengan anak perempuan dari hasil zinanya sendiri. Dalam hukum islam, lelaki tersebut boleh untuk menikahi anak perempuan biologisnya dengan alasan anak tersebut tidak dihubungkan nasabnya kepada ayah secara syara’. Namun bagi perempuan yang dizinahi tersebut tidak boleh menikahi dengan anak hasil zinanya. Karena dari seorang laki-laki, anak perempuan yang lahir dari perzinaan hanya berupa tetesan sperma yang tidak berbentuk manusia sedangkan dari seorang perempuan, anak yang lahir adalah manusia yang sudah berbentuk sempurna.
والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد انفصل من المرأة وهو إنسان كامل
Anak zina dalam pandangan agama tidak terhubung nasabnya kepada ayah biologisnya, tetapi nasabnya hanya terhubung kepada ibunya. Maka anak zina tidak menerima warisan dari ayah biologisnya, demikian juga sebaliknya. Ini merupakan ijma’ para ‘Ulama yang disepakati oleh ke-empat madzhab fiqh. Selain tidak berlaku waris-mewarisi di antara anak zina dan ayah biologisnya, dalam madzhab al-Syafi’i juga tidak berlaku semua hukum nasab yang lain di antara keduanya seperti pernikahan. Ayah biologisnya sah saja menikahi anak tersebut karena nuthfah yang keluar melalui perzinaan tidak terhormat dalam pandangan agama. Salah satu hukum nasab adalah perwalian dalam pernikahan. Karena anak perzinaan tidak terhubung nasabnya dengan ayah biologisnya, maka ayahnya tersebut tidak sah menjadi wali nikah anak hasil zina tersebut sebagaimana di terangkan secara sharih oleh para ‘Ulama dalam kitab fiqh.
b).Ketika ayah biologis tidak punya hak wali, lalu siapakah yang berhak menjadi wali dari anak zina:
c).      Sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya dalam tulisan kami urutan hak perwalian dalam pernikahan, bahwa yang paling berhak menjadi wali adalah wali nasab. Jika wali pada bagian ini tidak ada, baik secara nyata maupun tidak ada (hissi) menurut pandangan agama (syar`i), maka hak wali berpindah kepada wali wila`. Jika wali perempuan tersebut bukanlah mantan budak sehingga wali dari pihak wila` tidak berlaku baginya, maka hal wali langsung berpindah kepada sulthan dan penggantin ya.  Dalam permasalahan anak zina, karena ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya maka dapat dipastikan bahwa ia tidak memiliki wali dari nasab. Dalam hal ini jika ia bukan seorang mantan budak maka otomatis ia juga tidak memiliki wali wila`, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya, karena seseorang yang tidak memiliki wali maka sulthan-lah yang menjadi walinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw  :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.”
Berdasarkan pemahaman tentang hadits ini dan ketentuan tentang perpindahan hak perwalian nikah serta nisab anak zina, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi wali bagi anak zina adalah sulthan atau penggantinya (KUA). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang menjadi wali wanita anak hasil perzinahan adalah wali ibunya karena ia di bangsakan kepada ibunya adalah pendapat yang tidak di dukung referensi. Belum kami temukan ada pendapat ulama yang menyatakan demikian. Dalam hukum fiqh, wali pernikahan hanya berada dari pihak kerabat ayah tidak ada dari pihak kerabat sang ibu.
 d).    Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang menjadi wali wanita anak hasil perzinahan adalah wali ibunya karena ia di bangsakan kepada ibunya adalah pendapat yang tidak di dukung referensi. Belum kami temukan ada pendapat ulama yang menyatakan demikian. Dalam hukum fiqh, wali pernikahan hanya berada dari pihak kerabat ayah tidak ada dari pihak kerabat sang ibu. Yang bertanggung jawab penuh atas Nafqah anak itu adalah si ibu bukan laki laki yang menghamilinya karena tidak ada hubungan nasab antara mereka, Bahkan menurut pendapat dari jumhur kalangan Syafi’I laki-laki ini halal menikahi anak tersebut. Dalam hal ini agama membebankan nafqah kepada ibu, karena laki laki tersebut bukan ayah secara hakiki dalam pandangan islam, bayi yang lahir itu juga bukan anaknya secara hakiki, maka pantas nafqah tidak wajib atasnya hal ini di jelaskan dalam kitab Al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr sebagai berikut :
وَوَلَدُ الزِّنَا لَا يُلْحَقُ الزَانِــي فِي قَوْلِ الْجُمْهُورِ
“Menurut jumhur ulama anak zina tidak dinasabkan kepada lelaki pezina ” dalam kitab Al-Mughni Bairut. Namun menurut mayoritas fuqaha selain Imam Malik dan Imam Syafii, meskipun dianggap tidak memiliki pertalian darah, sang ayah biologis tetap diharamkan untuk menikahi anak tersebut.  Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yang masyhur di kalangan madzhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuan itu. Hal ini sebagaimana dilansirkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni .
وَيَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ نِكَاحُ ابْنَتِهِ مِنَ الزِّنَا وَاُخْتِهِ وَبِنْتِ ابْنِهِ وَبِنْتِ بِنْتِهِ وَبِنْتِ أَخِيهِ وَاُخْتِهِ مِنَ الزِّنَا فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْمَشْهُورِ مِنْ مَذْهَبِهِ يَجُوزُ لَهُ لِاَنَّهَا اَجْنَبِيَّةٌ مِنْهُ وَلَا تُنْسَبُ إِلَيْهِ شَرْعًا وَلَا يَجْرِى التَّوَارُثُ بَيْنَهُمَا وَلَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ إِذَا مَلَكَهَا وَلَا يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا فَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْاَجَانِبِ
Artinya : Menurut mayoritas fuqaha, haram bagi lelaki menikahi anak perempuan yang dihasilkan dari perzinahan, saudara perempuannya, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan saudara perempuanya. Sedangkankan menurut pandangan Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yang masyhur di kalangan madzhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahinya karena ia adalah ajnabiyyah (tidak memiliki hubungan darah), tidak dinasabkan kepadanya secara syar’i, tidak berlaku di antara keduanya hukum kewarisan, dan ia tidak bebas dari laki-laki yang menjadi ayah biologisnya ketika sang yang memilikinya sebagai budak, dan tidak wajib bagi sang ayah untuk memberi nafkah kepadanya. Karena, ia tidak haram bagi ayah biologisnya (untuk dinikahinya) sebagaimana perempuan-perempuan yang lain”. Dalam Kitab bujairimi a'la khatib juz dua Maktaba Syamela 
فرع: قال الصيمري: فطرة ولد الزنا على أمه إذ لا أب له كما تلزمها نفقته، وكذا من لاعنت فيه لذلك؛ فإن اعترف به الزوج لم ترجع الأم عليه بما أدته من فطرته كما لا ترجع عليه بما غرمته من نفقته. وكأن وجهه أنه حال إخراج الفطرة والإنفاق كان منفيا عنه ظاهرا ولم يثبت نسبه إلا من حين استلحاقه، ثم رأيته علل بأن ذلك منها على سبيل المواساة؛ وقضيته أنه لو كان بإجبار حاكم رجعت وهو محتمل،. اهـ. عب وشرحه.
e).      Dalam Kitab Bajuriy Juz dua telah di jelaskan secara rinci  .
أما المخلوقة من ماء زنا شخص فتحل له على الأصح بدليل انتفاء سائر الأحكام عنها من إرث وغيره. الباجوري
C.      Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang  Nomor  1  Tahun   1974 Tentang Perkawinan;
a)       Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.  Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj berasal  dari  bahasa  Azzawa’ju  artinya  (genap),  lawan  kata  dari  alfarda  (sendiri, ganjil), dipergunakan untuk beragam maksud. Diantaranya, Asynfu walnaw’u (jenis atau ragam ). Setiap dua jenis , dua bentuk,atau model yang saling brekaitan disebut Al Zawjani. Maka dikatakan bagi laki-laki dan wanita (yang menikah). Sebagai Al zawjani (sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “Dan bahwasannya Dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. “(An- Najam:45). Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi mengandung pengertian Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling mengisi) dikatakan dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya sebagai pohon menyatu dan menyelinap  (masuk),  karena  memuat  unsur penyatuan  antara salah satu  pasangan suami istri dengan pasangannya berdasarkan aturan agama Islam, baik melalui persetubuhan atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergunakan  untuk makna akad nikah, sehingga bermakna pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath’u (hubungan badan).  Pengertian Al zawju (pernikahan) secara termonologi kata Al zawju seperti yang telah disampaikan, merupakan bentuk sinonim kata alnikahu (nikah).
b).     Para ahli fikih mendefenisikannya dengan beragam defenisi. Hal ini karena, setiap mazhab memiliki defenisi khusus yang berbeda-beda. yaitu :
1.       Ulama Hanafiyah mengatakan, perkawinan nadalah perjanjian yang diselenggarakan  untuk  tujuan  memperoleh  kenikmatan  dari  wanita  dengan disengaja. Maksudnya,untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta’) dari seorang wanita. Defenisi ini menghindari keracuan dari  akad  jual  beli  (wanita),  yang  bermakna  sebuah  akad  perjanjian  yang dilakukan untuk memiliki budak wanita .
2.       Ulama Malikiyah mendefenisikan,“Pernikahan  adalah akad  perjanjian untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, wanita ahli kitab melalui subuah ikrar.
3.       Ulama Syafi’iyah mendefenisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian yang  mengandung  unsur  memperbolehkan  persetubuhan  dengan menggunakan lafazh inkahu ( aku menikahimu wahai fulan dengan fulana) atau tazawwajtu ( aku mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).
4.       Ulama Hanabilah berkata, akad  pekawinan  maksudnya sebuah perjanjian yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam bahasa lain ) nya yang dijadikanh sebagai pedoman. Defenisi  yang terbaik  untuk perkawinan adalah sebagai berikut: perjanjian yang bersifat syar’i yang   berdampak  pada  halalnya  seseorang   (lelaki   atau perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan,  dengan ikrar tertentu   secara disengaja, begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperbolehkan oleh syariat. Islam mengatur masalah perkawinan   dengan   sangat   teperinci, untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah mahluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai al- Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.
c).      Syarat Dan Rukun Nikah Menurut Hukum Islam:
Bagi umat Islam diisyaratkan beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan hukum perkwainan  Islam  seperti  yang  ditetapkan  oleh  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun1974. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat perkawinan, yaitu  yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram dari  mempelai  wanita,  atas  kemauan  sendiri,  jelas  orangnya  dan  tidak  sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar’i, jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan  ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab – Kabul.

C. Pengaturan  dalam prosesi akad nikah atau nikah zina 
a).      Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut :
1.       Lafadz Ijab dan Qabul, b. Calon Suami,
4.       Calon Istri.
3.       Dua Saksi
4.       Wali.
Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai  perempuan kepada calon mempelai pria. Lapadz yang mengikuti antara seorang laki-laki dengan seorang  perempuan  dalam  ikatan  perkawinan . Ijab  Qabul  merupakan  unsur  yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad. Berkaitan artinya: tidak sah nikah kecuali dengan wali. Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam :
1.       Wali Nasab,
2.       Wali Hakim’
3.       Wali Tahkim,
b).     Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim.Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:
1.       Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya,
2.       Dihadiri dua orang saksi laki-laki,
3.       Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga  ini   dianut Kaum  muslimin  di  Indonesia  dan  merupakan  pendapat  Syafi’i,  Ahmad  bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn Syubrumah.
c).      Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.       Pilihan jodoh yang tepat,
2.       Perkawinan didahului dengan peminangan,
3.       Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan,
4.       Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan,
5.       Ada persaksian dalam akad nikah,
6.       Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu,
7.       Ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,
8.       Ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah,
9.       Tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,
10.     Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.
d).     Akad nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dengan  mempelai  perempuan  yang  dilakukan  didepan  dua  orang  saksi  laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan, yang menurut kebanyakan para fuqaha’ dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul adalah pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki. Mas kawin tidak mesti ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan pula barangnya .Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah perkawinan. Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad nikah yaitu:
1.       Mempelai laki-laki dan perempuan,
2.       Wali  mempelai perempuan,
3.       Dua orang saksi laki-laki,
4.    Ijab dan qabul.
Seperti halnya pada akad umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan sempurna, yaitu  telah  baliqh,  berakal  sehat  dan  tidak  terpaksa.  Orang  yang  kehilangan kecakapan  karena gila, rusak akal atau dibawah umur tidak sah melakukan  akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baliqh dipandang berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan pada izin walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing  pihak  yang  melakukan  akad  harus  mendengar  dan  mengerti  arti ucapan atau perkataan masing-masing.
e).      Perkawinan  yang  mubah,  adalah  bahwa  syarat  kecakapan  sempurna  bagi calon mempelai diperlukan, umur  yang melampaui umur baligh (15 tahun ) seperti ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat1). Objek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian, tetapi orang yang menjadi persetujuan  bersama,  yaitu halal melakukan hubungan  timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan istri.   Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering di pergunakan bahasa Arab dikalangan mereka yang memahaminya dengan menggunakan kata nikah. Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah semuanya dipandang sah bila dipergunakan  kata nikah.  Sealain  itu pada  dasarnya  ijab  kqabul  dilakukan  secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti dengan cara tertulis. Dalam hal  secara  tertulis  tidak  mungkin  dilakukan  karena  salah  satu  pihak  buta  huruf misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.  Antara ijab dan qabul diisyaratkan  terjadi dalam satu majelis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak diisyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab Syafi’I mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab  mempelai  laki-laki  harus  segera  menyatakan  qabul  tanpa  berselang  waktu. Pendapat yang terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum muslim di  Indonesia.  Dalam  masalah  ini,  pendapat  Ulama-Ulama  Madzhab  Hanafi  dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab qabul tanpa menentukan  majelis dan interval waktu.  Ada syarat ijab qabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan kepada suatu syarat, disandarkan pada waktu yang akan datang atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat  yang dipandang tidak sah ini ialah apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada calon mempelai laki-laki: “ Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah.” Ijab seperti ini tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar pada waktu yang akan datang, misalnya wali mempelai perempuan mengatakan  kepada calon suami: “ aku nikahkan anakku fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf al-Qur’an ini.” Akad nikah seperti itu tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan dalam akad. Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama sebulan atau lebih, atau kurang, tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan prinsip perkawinan  dalam  Islam.  Nikah  untuk  waktu  tertentu  disebut:  “ Nikah  Mut’ah” (nikah senang-senang) dan “nikah muqathi“ ( nikah terputus ). Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa nikah mut’ah itu haram, dengan berdasarkan antara lain hadist nabi riwayat Ibnu Majah yang mengajarkan: “wahai umat manusia, dulu aku mengijinkan kamu kawin mut’ah, tetapi ketahuilah, Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. “Ulama-Ulama Madzhab Syi’ah sampai sekarang masih membolehkan  kawin  mut’ah  itu  dengan  beberapa persyaratan yang ketat. Tetapi Ulama-Ulama Madzhab lain tidak dapat menyetujuinya .

D. Menurut Undang-Undang  Perkawinan  Nomor  1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan di Indonesia:
a). peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bab 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang ini memberi pengertian perkawinan /Pernikahan sebagai berikut :Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan dua orang yaitu antara pria dan wanita, sebagai ikatan lahir dan batin, perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan yang formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri . Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita . Dari pengertian tersebut unsur-unsur perkawinan adalah :
1.       Adanya seorang pria dan wanita;
2.       Ikatan lahir batin;
3.       Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal;
4.       Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b).     Dari rumusan perkawinan  menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah  tangga) yang bahagia dan kekal. Ini  berarti  bahwa  perkawinan  dilangsungkan  bukan  untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja . Dalam rumusan perkawinan  itu  dinyatakan  dengan  tegas  bahwa  pembentukan  keluarga  (rumah tangga)  yang bahagia  dan kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa,  hal  ini berarti  bahwa perkawinan  harus  didasarkan  pada agama  dan kepercayaan.  Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu. merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban  kepada  Tuhan  sang  pencipta  (Allah  SWT).  Dengan adanya unsur ketuhanan,  maka hilanglah pandangan  yang menyatakan  bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2  ayat (1) menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan merujuk paham relegius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal   dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.
c).      Syarat  sahnya  perkawinan  menurut  Undang-Undang  nomor  1 Tahun  1974 meliputi  syarat-syarat  materil  dan formil.  Syarat-syarat  materil  yaitu  syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat –syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi   sebelum dan pada saat dilangsungkannya  perkawinan,  syarat-syarat  materil  dan formil  dalam perkawinan secara terperinciyaitu :
a.       Syarat Materil Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:
1).     Harus ada persetujuan  dari kedua calon mempelai  (pasal 6 ayat (1) Undang- Undang   Nomor   1   tahun   1974   bahwa   perkawinan   harus   didasarkan   atas persetujuan kedua calon mempelai .Dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang perkawinan, dapat dihubungkan dalam system perkawinan zaman dulu, yaitu seorang anak yang hidup patuh pada orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak  kehendak  orang  tuanya,  walaupun  kehendak  anak  tidak  demikian.
Untuk menanggulangi kawin paksa,Undang-Undang perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan  dengan  menunjuk  pasal  27  ayat  (1)  apabila  paksaan  untuk  itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2).     Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1) Ayat (2)   menetapkan   tentang kemungkinan  penyimpangan  terhadap  ketentuan  tersebut  di atas`dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya  sepanjang  hukum  masing-masing  agama  dan  kepercayaan  yang bersangkutan tidak menentukan lain. Izin kedua orang tua mereka yang belum  mencapai umur 21 tahun.  Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau bisa juga izin dari pengadilan,  bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya  (pasal 6 ayat 2,3,4, dan 5) .Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
b).     Syarat Formil meliputi:
1).     Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan,
2).     Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan,
3).     Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing,
4).     Pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan .
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya10 hari kerja sebelum perkawinan di langsungkan, dilakukan secara lisan oleh calaon mempelai atau orang  tua  atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3,4,,5 peraturan pemerintah nomor 9 Tahun 1975) . Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah/perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman  dilakukan  dengan  suatu  formil  khusus  untuk itu,  ditempelkan  pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari ini, tanggal, jam dan tempat dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6,7 dan 9 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975).

D.      Hal-Hal Yang Memotivasi Seseorang Mau Menikahi Wanita Hamil Karena Zina.
Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam, sebab hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang terhormat  melebihi  mahkluk-mahkluk  yang  lain.  Hukum  perkawinan  Islam  yang dikenal  dengan  fiqh munakahat  merupakan  bagian  dari  ajaran  agama  Islam  yang wajib  ditaati  dan  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan-ketentuan  yang  terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah . Manusia  adalah  mahkluk  yang  lebih  dimuliakan  dan  diutamakan  allah dibanding dengan mahkluk –mahkluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan –aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya tanpa adanya ikatan perkawinan.  Melihat fakta sekarang, banyak wanita hamil diluar perkawinan, karena terlalu bebasnya pergaulan antara laki-laki dan wanita, tanpa berpikir, bagaimana jika sekiranya kehamilan sampai terjadi . Dalam hukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan  perkawinan yang sah  disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata .

E. Dalam hukum Islam Zina terbagi 2 (dua) yaitu[5]:
1. Zina Muhsan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah.
2. Zina Ghairu Muhson
yaitu: zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau gadis. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhsan sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina  muhsan  dirajam sampai mati, sedangkan bagi pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina tersebut disebut anak diluar nikah . Dalam hukum Islam, pembuktian perbuatan  berupa perzinaan bisa dilakukan melalui tiga cara:
a). Pengakuan dari Pelaku. Dengan syarat (pelaku saat menyatakan pengakuannya):sudah  baligh,  tidak  gila,  tidak  mabuk,  dan  tidak  dalam paksaan.
b)..Persaksian 4 (empat) orang saksi laki-laki. (atau 8 delapan) orang perempuan/ dua orang laki-laki dan empat perempuan/ satu org laki-laki dan enam perempuan/ tiga org laki-laki dan dua perempuan).
c).Kehamilan. dengan syarat:wanita yg  hamil  tdk  diperkosa, sadar  dalammelakukannya
Hamil  diluar  nikah  adalah  sesuatu  yang  sangat  tabu  di  Indonesia  dan merupakan  hal ang masuk kategori  zina  dalam  Islam.  Hamil  di  luar  nikah merupakan perbuatan zina yang seharusnya dihukum dengan kriteria Islam. Ketika hamil diluar nikah telah terjadi maka  akan muncul  masalah yaitu aib bagi keluarga. Dengan  terjadinya  hamil  diluar  nikah, maka pasangan tersebut diharuskan untuk segera menikah demi melindungi keluarga dari aib yang lebih besar. Menikah  sesungguhnya   merupakan hal  yang biasa dilakukan oleh seorang yang sudah dewasa. Hal ini   terbukti dengan adanya  ketentuan undang- undang yang memperbolehkan seorang   menikah  ketika   dia sudah mampu mengemban tanggung jawabnya dengan baik. Sebuah hal  yang berbeda ketika pernikahan  tersebut dilakukan  oleh seseorang  yang didahului dengan perbuatan tidak halal  misalnya melakukan persetubuhan antara dua jenis kelamin yang berbeda diluar ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku. Pernikahan ini bisaanya dinamakan perkawinan akibat perzinaan .Hal-hal yang memotivasi seorang laki-laki mau  menikahi wanita hamil karena zina adalah:
1.  Untuk  menutup  aib, karena  sebelum terjadi  kehamilan  laki-laki  ini  sudah bolak-balik mengajak wanita yang dihamilinya untuk menikah tetapi siwanita tidak mau dengan berbagai macam alasan diantaranya, belum mau direpoti dengan  anak  dan  suami,  mau  berkarir  dulu,malah  wanita  yang  dihamili berkata mana tau masih ada pilihan yang lebih baik (jodoh yang lebih baik), sebenarnya  waktu siwanita ini hamil, pada mulanya si laki-laki  tidak mau bertanggung jawab karena kesal atas penolakanpenolakan si wanita selama ini dan sempat menghilang tapi karena untuk menutup aib dan mungkin masih cinta dia kembali lagi dan mau menikahi wanita yang dihamilinya tersebut.[6]
2.  Harus bertanggungjawab dengan perbuatan yang dilakukannya,n karena telah menghamili  wanita  tersebut,  walaupun  pada  awalnya  mereka  tidak  ingin sampai  kehamilan  ini terjadi, mungkin karena seringnya  bersama sehingga hal-hal  yang tidak diinginkan  pun terjadi, jadi setelah terjadi kehamilan  si laki-laki harus bertanggung jawab dengan   menikahi wanita tersebut, karena kalau   silaki-laki   tidak bertanggung jawab bagaimana si wanita   dan keluarganya   harus menanggung malu, dan bagaimana nanti anak yang akan dilahirkannya  tidak    punya  ayah,  secara  jelas-jelas  yang  menghamilinya adalah laki-laki tersebut dan karena laki-laki tersebut juga mencintainya dan keluarga si laki-laki dan perempuan juga   merestui hubungan mereka selamaini
3. Untuk menutup malu karena merupakan aib bagi keluarga, baik bagi keluarga laki-laki apalagi bagi keluarga perempuan, karena telah menghamili seorang wanita  sebelum  adanya  perkawinan,   jadi  untuk  menutup   malu  supaya keluarga  tidak  menjadi  lebih  malu  lagi    harus  menikahi  wanita  tersebut, walaupun umur kami masih tergolong muda (laki-laki dan wanita berumur 20 Tahun ) Yang paling mendasar yang dijadikan alasan bagi seseorang menikahi wanita hamil karena zina adalah semata-mata untuk menutupi aib wanita tersebut dan keluarganya, bila aib sudah tertutupi melalui perkawinan yang sah, secara tidak langsung akan menimbulkan kebaikan-kebaikan  tertentu, anak akan jelas statusnya dan ibu akan terlindungi nama baiknya .Adalah  kehidupan  free sex yang semakin  meningkat  dan dilakukan  secara terbuka serta dengan penuh rasaa bangga. Akibat dari semua itu maka banyak terjadi kehamilan diluar nikah yang menimbulkan kepanikan, baik bagi wanita yang bersangkutan   maupun   keluarga. Untuk   mennghindari   perasaan   malu   kepada masyarakat, maka mereka cepat-cepat dinikahkan dalam keadaan hamil.  Dari Hal-hal yang memotifasi seseorang mau melakukan perkawinan dengan seorang wanita yang hamil  diatas kembali lagi pada manusianya masing-masing, jika mereka merasa siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi, baik konsekuensi pada diri sendiri atau konsekuesi sosial yang ada dimasyarakat maka mereka harus siap dengan segala dampak buruknya, seperti tindak kekerasan hingga kemungkinan terburuknya ialah kematian.Resiko tersebut harus dapat ditanggung oleh pelakunyamasing-masing contohnya jika terjadi kehamilan, pihak   laki-laki   dapat pergi meninggalkan wanitanya begitu saja, tetapi jika ada kekerasan atau pencemaran nama baik,  hal  tersebut  bisa  saja  dipidanakan.Maka   seks  pranikah  sebaiknya   tidak dilakukan karena ada beberapa dampak yangsangat  merugikan, di sini pihak yang akan sangat dirugikan adalah pihak wanita. Maka sebaiknya para wanita harus pintar menjaga diri dengan tidak mudah percaya dengan orang lain terutama pria dan harus punya sikap agar pria menghormati wanita tersebut

F..Kesimpulan
Para ulama empat mazhab sepakat bahwa perkawinan hamil di antara laki-laki dan perempuan karena berzina dianggap perkawinan yang sah, bila laki-laki yang menghamilinya mau menikah. Sedangkan ibnu Hazm berpendapat perkawinanya dianggap sah, dengan ketentuan mereka berdua telah bertaubat dan telah menjalani hukuman deranya. Anak dari perkawinan hamil karena zina, mempunyai hak waris-mewarisi. Berbeda dengan anak dari hasil perzinahan, tidak mempunyai hak waris-mewarisi dengan ayahnya yang telah menzinahi ibunya. Namun, para ulama empat mazhab berbeda pendapat mengenai halal atau haramkah seorang laki-laki menikahi dengan anak perempuan dari hasil perzinahan itu.  Menurut Maliki dan Syafe’i seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuannya dari hasil zina, karena secara syar’i bukan muhrim. Di antara keduanya tidak dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut Hambali, Imamiyah, dan Hanafi seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan anak perempuannya dari hasil zina, karena ia merupakan darang dagingnya sendiri. Namun mereka sepakat, dalam hak waris tidak mempunyai hak untuk saling mewarisi.
2.    Menjawab soal ujian pertengahan semester tentang Bagaimana Hakikat Dan Tujuan Penetatapanibadah Amaliah 

ZAKAT PENGHASILAN

بسم الله الرحمن الرحيم
kata kta sambutan untuk mengawali pembahasan
Assalamu’alaikum. Wr. Wb…
      Puji syukur kehadirat Allah swt elah memberikan semua nikmat serta karunia-Nya, sehingga kita masih bisa merasakan nikmat-nikmat Nya sampai saat sekarang ini ita bershalawat dan bersalam keharibaan junjungan Alam Baginda Rasulallah saw yang telah menyatukan ummat islam dari ujung masyrik sampai ujung magrhib serta merubah peradaban dunia dari Zaman kekafiran menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan juga sebagai salah seorang The Best Leader di Dunia sampai akhirat .yang sampai saat sekarang ini dan nanti menjadi panutan semua ummat manusia wabil khusus kita sebagai orang islam[7].

      zakat merupakan suatu ibadah yang paling penting kerap kali dalam Al-Quran,Allah menerangkan zakat beriringan dengan menerangkan sembahyang. Pada delapan puluh dua tempat Allah menyebut zakat beriringan dengan urusan shalat ini menunjukan bahwa zakat dan shalat mempunyai hubungan yang rapat sekali dalam hal keutamaannya shalat dipandang seutama-utama ibadah badaniyah zakat dipandang seutama-utama ibadah maliyah.

A.  Perintah islam yang menjadi pilar pembangunan umat salah satunya adalah zakat. Zakat bukan hanya persoalan mengenai rukun islam atau penerapan dari keimanan kita terhadap rukun iman saja. Zakat dalam konteks sosial masyarakat sebagai salah satu instrument untuk membangun peradaban. Dapat kita lihat dari sejarah, bahwa pembangunan islam mulai dari aspek fisik seperti arsitektur, bangunan, masjid, fasilitas umum hingga kepada bantuan ekonomi untuk sesama dan penggerakan ekonomi, berawal dari zakat, salah satunya adalah zakat maal.

      Pentingnya zakat senantiasa Allah sejajarkan dengan perintah shalat. Untuk itu zakat menjadi aspek yang utama juga sebagaimana perintah shalat. Hal ini sebagaimana disampaikan Allah dalam Al-Quran :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
       “Dan tidak mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS : 98 : 5)

      Dan disampaikan juga dalam QS Al-Baqarah ayat 43,[8]
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
      Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.

      Zakat dan Shalat bukan suatu yang terpisah. Diantaranya shalat dan zakat juga akan senantiasa berhubungan dengan tujuan hidup menurut islam, tujuan penciptaan manusia, hakikat penciptaan manusia , dan hakikat manusia menurut islam. Semuanya diorientasikan untuk membangun keadilan dan keseimbangan di muka bumi. Orang yang berzakat harus melaksanakan shalat, begitupun shalat tetap harus melaksanakan zakat, bagi mereka yang sudah mencapai ketentuan pelaksanaan harta zakat. Hal tersebut membuktikan bahwa aturan atau fungsi agama islam tidak hanya berkutat persoalan ritual dan habluminaullah, tetapi juga mengatur hubungan sosial antar sesama manusia.

B.  Pembahasan Mengenai Zakat dalam Al- Quran
      Pembahasan zakat dalam Al-Quran senantiasa diulang-ulang dan ditegaskan bersamaan dengan perintah shalat. Dengan pembahasan zakat yang cukup banyak dalam Al-Quran, hal ini menunjukkan pula bahwa aturan zakat adalah aspek yang juga penting untuk diperhatikan dan ditegakkan oleh umat islam.

      Persoalan zakat tersebut juga berkaitan dengan bagaimana umat islam dapat mengelola hartanya dengan baik bukan hanya untuk orientasi individu melainkan untuk dinafkahkan dalam jalan kebaikan atau jalan yang telah Allah tunjukkan. Berikut adalah ayat-ayat mengenai perintah zakat yang harus diperhatikan dan dilaksanakan umat islam.

      1.Allah Memberikan Perintah Mensucikan diri dengan Mensucikan Harta ”(QS At Taubah : 103)
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
      "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS At Taubah : 103)[9]

      Melaksanakan aturan zakat adalah bagian dari cara agar hati tenang dalam islam dan membuat diri kita ikhlas. Ketentraman jiwa akan diraih bagi mereka yang mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Sedangkan menahan zakat, tidak ikhlas menunaikannya atau tidak menunaikannya tentu akan merusakan ketentraman jiwa umat islam. Ciri-ciri orang yang tidak ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT adalah mereka yang senantiasa menghitung untung rugi dari apa yang diibadahi oleh mereka sesuai perhitungan duniawi.

      2.Harta Apapun (Emas dan Perak) Harus di Orientasikan pada Allah
      Emas dan perak adalah harta yang harus dinafkahkan di jalan Allah atau dikueluarkan zakatnya. Emas dan perak adalah salah satu harta atau material yang cukup banyak dicintai dan dibanggakan oleh manusia. Untuk itu, emas dan perak perlu juga dinafkahkan atau dikeluarkan zakatnya, agar manusia tidak terjebak kepada cinta duniawi semata. Hakiaktnya, harta dalam islam adalah bukan sebagai tujuan, melainkan hanya titipan yang harus dioptimalkan manusia. firan Allah (QS At-Taubah 34)[10]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
      Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
      (QS At-Taubah 34)

      3.Tidak Melupakan Rezeki dari Allah untuk dibagikan Pada yang Berhak
      Segala yang ada di dunia ini hakikatnya adalah rezeki yang Allah berikan kepada manusia. Untuk itu, rezeki yang Allah berikan tersebut bukan hanya untuk disimpan sendiri atau dinikmati sendirian. Allah menyuruh untuk membagikan hasilnya kepada yang membutuhkan pula, sebagaimana Allah telah berlaku baik dan adil kepada yang menerima rezeki tersebut.     firman Allah QS Al An’am : 141)
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
      "Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan" (QS Al An’am : 141)

      4.Zakat adalah Perintah yang Allah Wajibkan ” (QS At Taubah : 104)
اَلَمۡ یَعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ ہُوَ یَقۡبَلُ التَّوۡبَۃَ عَنۡ عِبَادِہٖ وَ یَاۡخُذُ الصَّدَقٰتِ وَ اَنَّ اللّٰہَ ہُوَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ
      “Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS At Taubah : 104)

      5.Harta yang dikeluarkan untuk Zakat sebagaimana Air Hujan Menyirami Tanaman
      Firman Allah QS Al-Baqarah : 265)[11]
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
      "Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS Al-Baqarah : 265)

      Zakat yang dikeluarkan oleh umat islam, hakikatnya sebagaimana hujan yang membawakan keberkahan kepada tumbuhan. Sejatinya orang yang mengeluarkan zakat akan mendapatkan atau menuai hasilnya bagi diri nya sendiri pula. Tidak ada kerugian atas ibadahnya mengeluarkan zakat.

C.  Perintah Mengenai Zakat Penghasilan
      Perintah mengenai zakat penghasilan tentu tidak terlepas dari perintah Allah dalam ayat-ayat Al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan zakat penghasilan adalah sebagai berikut :

      1.Dalam Harta yang di Hasilkan ada Hak Orang-Orang Miskin
      Dalam harta yang kita miliki, tentu saja dari hasil yang kita usahakan terdapat hak-hak bagi orang-orang yang miskin. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu, kesulitan terhadap ekonomi, untuk itu Allah mewajibkan umat islam untuk membantu sesama lewat kewajiban zakat. firman Allah QS. Adz Dzariyaat : 19)
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
      "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian". (QS. Adz Dzariyaat : 19)[12]
   
      2.Kewajiban Menafkahkan Sebagian harta di Jalan Allah
      Pada hakikatnya, kewajiban menafkahkan harta di jalan Allah adalah sebagai bentuk aturan Allah agar manusia tidak terlena kepada harta benda yang dimilikinya. Yang Allah perintahkan juga bukan seluru harta yang dimiliki, melainkan sebagian harta saja. Tidak ada kewajiban mengeluarkan semuanya, namun Allah hanya memberikan perintah sebagiannya saja. Sebagian yang lain dimanfaatkan untuk kehidupannya dan kebutuhan secukupnya.

      Sebagaimana Allah mengharamkan harta riba, bahwa hukum riba dalam islam adalah haram tentu untuk kemasalahatan manusia, bukan hanya sekedar mengatur tanpa efek atau dampak. Cara menghindari riba salah satunya adalah kita menunaikan zakat dan tentu akan membantu sesama tanpa harus meminta riba pada kaum lemah. Bahaya riba tentu bukan hanya di dunia namun juga di akhirat, dan di dunia dampaknya sebagaimana mematikan ekonomi kaum yang lemah. riba

      “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (QS Al Hadid : )

      3.Kewajiban Memberikan Hasil Usaha yang Baik-Baik pada yang Membutuhkan

      Allah memerintahkan untuk mengeluarkan atau memberikan hasil usaha yang baik-baik kepada mereka yang membutuhkan. Kita dilarang untuk menghardik atau memberikan hasil usaha yang buruk-buruk kepada mereka serta memincingkan mata karena kebencian atau ketidaksukaan.

      Hasil usaha yang kita dapatkan sejatinya adalah bentuk rezeki dan nikmat dari Allah. Untuk itu Allah berikan kewajiban bagi umat islam untuk menjadikannya nikmat bagi yang lain, dan Allah balas pahala berlimpah bagi yang melakukannya.

      “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al Baqarah : 267)[13]

D.  Sumber Penghasilan untuk Zakat Penghasilan
      Zakat penghasilan adalah zakat yang diberikan dari sumber pendapatan seorang muslim dari profesinya. Misalnya saja ada yang berperan sebagai dokter, konsultan, notaris, pegawai swasta atau negeri, dan sebagainya. Ulama kontemporer memiliki pemahaman bahwa hasil profesi (yang sudah terhitung nisab) termasuk kepada jenis harta yang memiliki kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya.

      Hal ini disebabkan karena pada dasarnya zakat adalah harta dari orang-orang yang kaya untuk dijadikan sebagai sumber daya umat islam dan dibagikan kepada orang-orang ataiu pihka yang berhak, dan hasilnya memiliki manfaat untuk kemaslaahtan umat.

      Dalam hal ini, tentu saja tidak semua hasil usaha atau kerja seseorang dikenakan wajib zakat. Untuk itu ada cara menghitung zakat maal sebagai contoh perhitungan zakat. Hasil usaha yang tidak mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, tentu tidak wajib untuk mengeluarkan, atau bahkan bisa jadi dia harus dibantu atau ditolong lewat zakat, tentu sesuai dengan syarat penerima zakat dalam aturan islam. Jika kebutuhan hidupnya (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan) sudah mampu dipenuhi dan berlebih memilikinya, tentu wajib untuk mengeluarkan zakatnya.

E.   Ketentuan Zakat Penghasilan
      Dalam fiqh islam klasik, zakat penghasilan belum begitu familiar atau populer diketahui. Untuk itu, zakat profesi dikelompokkan sebagai harta wajib zakat yang dianalogikan dengan karakteristik zakat yang sudah ada. Hal itu adalah sebagai berikut :

      Cara memperoleh penghasilan yang ada sekarang mirip dengan hasil panen, hasil perkebunan
      Model harta yang diterima adalah uang, maka ini sebagaimana zakat harta (simpanan atau kekayaan)

      Ketentuan zakat penghasilan sama sebagaimana zakat pertanian yaitu berdasaran nisab 635 kg gabah kering atau setara dengan 522 kg beras. Waktu pengeluaran zakatnya adalah setiap kali panen. Sedangkan, besaran harta yang dikeluarkan adalah 2,5%. Untuk itu, jika penghasilan yang didapatkan seseorang telah sampai pada nisabnya, maka dapat dikeluarkan sesuai besarannya.

F.   Hikmah dari Kewajiban Zakat Penghasilan
      Dapat menolong dan membantu kaum dhufa atau lemah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan hal tersebut dapat mengangkat ekonomi dan tetap mampu melaksanakan Membangun jiwa sosial yang tinggi serta menghilangkan berbagai penyakit sosial yang timbul dari adanya perbedaan encolok kelas konomi di masyarakat. Tentu riya dalam islam atau atau sifat sombong dalam islam, dalam menyombong nyombongkan harta adalah perbuatan yangdibenci Allah.Mensucikan diri dan membersihkan hati kita, serta menghilangkan sifat kikir dan serakah yang bisa muncul kapan saja

 Dapat memperkuat umat islam dan masyarakat yang madani – seimbang terwujud
 Menjadi instrument ekonomi dan pembangunan umat, Menjadi instrument persatuan dan kekuatan umat islam


3.    Menjawab soal ujian pertengahan semester tentang Bagaimana Hakikat Dan Tujuan haji mabrur

HAJI MABRUR

A       .Melaksanakan wajib merupakan salah satu rukun islam yang ke lima, Haji salah rukun islam yang pelaksanaannya membutuhkan energi, harta yang banyak dan kesabaran yang tinggi karena dilakukan di sebuah lokasi yang telah ditentukan yaitu Mekkah Al-Mukarramah dengan suhu puluhan derajat celcius. Walaupun tantangan dan modal besar tidak mengurangi minat kaum muslimin di seluruh dunia untuk melengkapi rukun Islam kelima itu. Bahkan yang sudah berhaji satu kali ingin menambah kali yang kedua dan yang sudah dua kali ingin ketiga kali begitu seterusnya, dan berhaji itu di wajibkan di makkah bukan pada tempat yang lain berdasarkan( QS Ali Imran ayat 97);

فِیۡہِ اٰیٰتٌۢ بَیِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبۡرٰہِیۡمَ ۬ۚ وَ مَنۡ دَخَلَہٗ کَانَ اٰمِنًا ؕ وَ لِلّٰہِ عَلَی النَّاسِ حِجُّ الۡبَیۡتِ مَنِ اسۡتَطَاعَ اِلَیۡہِ سَبِیۡلًا ؕ وَ مَنۡ کَفَرَ فَاِنَّ اللّٰہَ غَنِیٌّ عَن      الۡعٰلَمِیۡنَ
Artinya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam

Akan tetapi tidak semua haji itu mabrur berdasarkan hadits nabi SAW yang diriwayat oleh Khatib Al-Bagdadi dari Anas berkata:
يأتي على الناس زمان يحج أغنياءهم للنزهة وأوساطهم للتجارة وقراؤهم للرياء والسمعة وفقراؤهم للمسئلة.ولذا كان عمر  يقول الوفد كثير والحج قليل
Artinya:
"Akan datang satu masa dimana orang-orang kaya berhaji tujuan mereka piknik dan orang sederhana untuk berniaga, para qari buat riya dan sum’ah (memperdengar), orang-orang fakir karena ada masalah. Oleh karena itu Sayyidina Umar berkata: kloter itu banyak dan haji itu sedikit.

Pertanyaan, soal jika kita di tanyai orang Bagaimakah Ciri-ciri Haji Mabrur, Jawabannya Ciri-ciri Haji Mabrur itu:

1.Pulang dari haji ia bertingkah laku dengan akhlak terpuji dan tidak terjerumus ke dalam dosa, Santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam).
2.Tidak menilai dirinya melebihi atas orang lain, menebarkan kedamaian (ifsya’us salam).
3.Tidak berlomba-lomba pada perkara dunia hingga wafat,memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar Peduli anak yatim,fakir miskin (ith‘amut tha‘am)

B.    Dan Ciri-ciri haji tidak mabrur itu:

1.Kembali kepada perilaku seperti sebelum haji .
2.Melihat hajinya lebih diterima dari haji orang lain karena dia sempurna menunaikan manasik dan keluarnya dalam manasik dari khilaf ulama.

C.      Haji tidak Mabrur atau Haji marduz/Maz'ur merupakan lawan dari Haji Makbul atau haji yang dikabulkan. Jadi, pengertian dari Haji Mardud adalah Haji yang ditolak oleh Allah, karena dalam melakukannya banyak dicampuri dosa dan keharaman, misalnya mengerjakan haji dengan perbekalan dari usaha haram (korupsi). Dan, tidak ada pahala bagi orang-orang yang mengerjakan haji dari hasil yang haram. Dalam kasus haji seperti ini, Muhammad bersabda :

Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan kami, maka amalannya tersebut tertolak

Allah SWT berfirman Dalam (Al-Baqarah: Ayat 197)

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ‏‎ ‎فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا‎ ‎جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”

Dan, dalam sabda lain-Nya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam muslim, Muhammad bersabda :

“Tidak ada talbiyah bagimu dan tidak ada pula keberuntungan atasmu karena makananmu haram, pakaianmu haram dan hajimu ditolak.

semoga kita slalu mengerjakan amal kebaikan untuk menuju dunia maupun ukhrawi
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Artinya;
Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik
Referensi/rujukan:
 1.Mudi Mesra Samalanga
 3.Malikussaleh Panton Labu
 3.Asasul Ulum gp Blang
 4.Van Hoeve; Hassan Shadily. Ensiklopedia Indonesia. Ichtiar Baru.
 5.Menjaga Kemabruran Haji".
6.Bughyatul Mustarsyidin, Cet. Darul Fikri, Hal 73
7.Syarkawi ‘ala Tahrir, Cet. Haramain, Hal 459
فائدة : قال الخوّاص رحمه الله : من علامات قبول حج العبد وأنه خلع عليه خلعة الرضا عنه أنه يرجع من الحج وهو متخلق بالأخلاق المحمدية ، لا يكاد يقع في ذنب ، ولا يرى نفسه على أحد من خلق الله ، ولا يزاحم على شيء من أمور الدنيا حتى يموت ، وعلامة عدم قبول حجه أن يرجع على ما كان عليه قبل الحج ، كما أن من علامات مقته أن يرجع وهو يرى أن مثل حجه أولى بالقبول من حج غيره ، لما وقع فيه من الكمال في تأديه المناسك وخروجه فيها من خلاف العلماء ، لكن لا يدرك هذا المقت إلا أهل الكشف اهـ من خاتمة الميزان للشعراني



أعلم بالصواب والله


















DAFTAR PUSTAKA


1.   Abidin, Ibn, Radd al-Mukhtar’ala , (Beirut: Dar al-Ihya’ alTuruki al-‘Arabiy,1407 H/1987 M, 5 juz
2.   Ahmad, Noer dkk, Epistemologi Syara: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyaka Pelajar. 2000
3.   al-Hanafi, Ibn al-Humam ,Fath al-QodirI,cet. II,(t.tp: Dar al-Fikr,1379 H/ 1977M),4 juz
4.   al-Bagdadi, Al-Qadi ‘Abd al-Wahhab, Al-Ma’unatu ‘ala Maz}hab ‘Alim alMadinati al-Imam Malik ibn Anas,cet. III Beirut: Dar al-Fikr,1415 H/ 1995M, 2 juz
5.   al-Bagdadi, Al-Qadi ‘Abd al-Wahhab, Al-Ma’unatu ‘ala Maz}hab ‘Alim alMadinati al-Imam Malik ibn Anas,cet. III Beirut: Dar al-Fikr,1415 H/ 1995M, 2 juz
6.   al-Jauziyyah, Ibn al-Qoyyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin,Beirut:Dar al-Fikr ,t.t, 2 juz
7.   Al-Jazir, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh 'Mazahib al-Arba'ah, Juz IV, (Kairo: Dar al-Pikr, t.t).
8.   al-Zuhaily, Wahbah, al Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, (damsyiq : Dar alFikr, 1989).
9.   Ali, H. Zainuddin, Prof, Dr. M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, 2006.
10. Anderson, J.N.D, Islamic Law in the Modern World, New York: New York University Press, 1959
11. Ansari, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Semarang: Toha Putra, t.t
12. Kontemporer II, cet. II Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996 , 1996
13. Badran, Badran Abu ‘Ainain, az-Zawaj wa Talaq fi al-Islam: Fiqh Maqarin baina
14. al-Mazhahib al-Arba’ah as-Sunnah wa al-Mazhab al-Jaghfari wa al-Qanun, Iskandaria: Muasasah
15. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX Yogyakarta:UII 1999
16. Bukhori, M. Hubungan Seks Menurut Islam, cet. I Jakarta: Bumi Aksara,1994
17. Djamil, Fathurrahman, Filasafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
18. Effendi M. Zein, H. SatriaProblematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Penerbit 2004.
19. Ghazali, Abdul Moqsith, dkk, Tubuh, Seksualitas, , 2002
20. Gundur, Ahmad, At-Talaq fi Syari’ah al-Islamiyah Qanun, I Mesir: Darul-Ma’arif, 1967
21. Hazairin, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1975.
22. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Agama 1990.
23. Ibrahim, Hosen, Fiqh Perbandingan dalam masalah Nikah,.
24. Nuruddin, H. Amiur, MA dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata , UU
No 1/1974 sampai KHI, Penerbit Prenada Media, Jakarta 2004.
25. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995).









DAFTAR ISI


1.      Menjawab soal ujian pertengahan semester tentang bagaimana hakikat dan tujuan penetatapan hukum munakahat ‘nikah’ serta hikmahnya, penulis lebih spesifik membahas pernikahan hamil karena zina; perkawinan hamil karena zina di tinjau dari hukum Islam dan implikasinya.


2.      Menjawab soal ujian pertengahan semester tentang bagaimana hakikat dan tujuan penetapan ibadah amaliah ; zakat penghasilan.



4.        Menjawab soal ujian pertengahan semester tentang bagaimana hakikat dan tujuan haji mabrur.



















[1] Abidin, Ibn, Radd al-Mukhtar’ala al-Dur al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Ihya’ alTuruki al-‘Arabiy,1407 H/1987 M, 5 juz
[2] Ahmad, Noer dkk, Epistemologi Syara: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia,
[3] al-Hanafi, Ibn al-Humam ,Fath al-QodirI,cet. II,(t.tp: Dar al-Fikr,1379 H/ 1977 M),4 juz
[4] al-Bagdadi, Al-Qadi ‘Abd al-Wahhab, Al-Ma’unatu ‘ala Maz}hab ‘Alim alMadinati al-Imam Malik ibn Anas,cet. III Beirut: Dar al-Fikr,1415 H/ 1995M, 2 juz
[5] al-Bagdadi, Al-Qadi ‘Abd al-Wahhab, Al-Ma’unatu ‘ala Maz}hab ‘Alim alMadinati al-Imam Malik ibn Anas,cet. III Beirut: Dar al-Fikr,1415 H/ 1995M, 2 juz
[6] 1.al-Jauziyyah, Ibn al-Qoyyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin,Beirut:Dar al-Fikr ,t.t, 2 juz
2.                Al-Jazir, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh 'Mazahib al-Arba'ah, Juz IV, (Kairo: Dar al-Pikr, t.t).
3.                al-Zuhaily, Wahbah, al Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, (damsyiq : Dar alFikr, 1989).
4.                Ali, H. Zainuddin, Prof, Dr. M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, 2006.
5.                Anderson, J.N.D, Islamic Law in the Modern World, New York: New York
[7] Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995).
[8] QS Al-Baqarah ayat 43,
[9] ”(QS At Taubah : 103)
[10] QS At-Taubah 34)
[11] QS Al-Baqarah : 265)
[12] QS. Adz Dzariyaat : 19)
[13] QS Al Baqarah : 267)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah