KHITBAH DAN MAHAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita ketahui bahwa ketentuan hidup
berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup
lainnya bahkan segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt.
berjodoh-jodoh. Hal itu merupakan salah satu dari penyebab Islam
menganjurkan kita untuk melakukan perkawinan. Perkawinan amat penting dalam
kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan.
Khitbah merupakan pendahuluan
transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’. Syari’at Islam menghendaki
pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan kedua pasang
manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun keluarga
yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah muncul
masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syariat Allah dan sendi-sendi
ajaran agama Islam yang lurus.
Menurut Hadits dan sumber di dalam hukum
Islam merupakan penjabaran dari isi-isi Al-Quran,melalui bahasa yang bisa
dipahami oleh umat.Itu sebabnya
ada banyak ahli hadits yang memberikan kontribusinya buat hal ini. Hadist itu
sumber kedua yang wajib kita amalkan seperti Al Qur’an. Hadist merupakan ilmu
yang wajib kita amalkan karena sunnah. Dengan hadist juga memperindah hidup
kita dan membantu kita agar kita lebih mencintai Allah dan Rasulullah.
Menikah
termasuk dari sunnah yang paling ditekankan oleh setiap Rasul, dan juga
termasuk dari sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.Allah berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتْ
لِّلْعَالَمِينَ
"Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Menikah
dan kehidupan berkeluarga merupakan sunnatullah terhadap makhluk, yang mana dia
merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam dunia kehidupan hewan serta
tumbuh-tumbuhan.
Adapun manusia: bahwasanya Allah tidak menjadikannya seperti
apa yang ada pada kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat,
bahkan menentukan beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya,
memelihara kemuliaan dan menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan
pernikahan syar'i yang menjadikan hubungan antara seorang pria dengan seorang
wanita merupakan hubungan mulia, dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab
kabul, kelembutan serta kasih sayang.
Sehingga
bisa menyalurkan syahwatnya dengan cara benar, menjaga keturunan dari kerancuan
dan juga sebagai penjagaan bagi wanita agar tidak dijadikan sebagai mainan bagi
setiap orang yang menjamahnya.
1. Rumusan Masalah
2.1.
Apakah definisi khitbah dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan
khitbah ?
2.2. Apakah
defenisi Mahar dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan
mahar ?
2.Tujuan
Makalah
ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum islam
di Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe, juga untuk memberikan
informasi mengenai Khitbah (meminang) dan Mahar dalam perkawinan secara
lebih merinci.tugas mata kuliah Fiqh Munakahat, tetapi juga untuk memberikan informasi
mengenai Khitbah secara lebih merinci tentu sesuai dengan kempuan penulis :
a. Untuk
mengetahui definisi tentang apa itu khithbah.
b. Menyebutkan
hukum-hukum dalam al-Hadist.
c. Dapat
menyebutkan macam-macam dari pada khithbah.
d. Memberikan penjelasan tentang
anggota tubuh terpinang yang boleh dilihat pada saat meminang, waktu melihat
wanita terpinang, empat mata dengan wanita pinangan serta menjelaskan hukum
pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang.
BAB II
PEMBAHASAN
KHITBAH
A. Definisi Khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai
seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam kebersamaan hidup.
Atau pula dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi
seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam;
adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan,
atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya
untuk meminta orang yang dikehendaki.
Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan
umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan
dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal
11-13 yaitu :
Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh orang
yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.
Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya.
ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah
raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4)
menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum
menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus
sesuai dengan agama dan adat setempat.
Al
Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (19/190)
B.Hukum Khitbah
Hukum meminang adalah boleh (mubah). Adapun dalil yang
memperbolehkannaya adalah :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ
لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا
عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran,atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)dalam hatimu Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang
ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah,
sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun”. . (Al-Baqoroh ayat 235).
C.Karakteristik Khitbah
Di antara hal yang disepakati mayoritas ulam fiqh, syariat,
dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah,
belum ada akad nikah. Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah.
Masing-masing calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan
pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni,
tidak ada hak intervensi orang lain.
Bahkan andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan
bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah
menerima berbagai hadiah dari peminang atau telah menerima hadiah yang
berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan
karena tuntutan maslahat.
Al
Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (19/190)
Maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah
pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena
akad nikah adalah akad yang menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat,
yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua
belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
D.Perempuan Yang Boleh Dipinang
Tidak semua perempuan boleh dikawini laki-laki. Ada
perempuan yang untuk selamanya tidak boleh dikawini, seperti: ibu, saudara
kandung, dan mertua. Ada yang dilarang hanya untuk sementara, seperti: saudara
ipar, perempuan yang sedang dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, dan
wanita yang sedang menjalani masa idah.
Oleh karena itu, tidak semua perempuan boleh dipinang
seketika. Perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat :
1. Tidak terdapat halangan-halangan
syarak untuk dikawini seketika oleh laki-laki yang meminang karena tidak ada
hubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau
tidak sedang menjalani ialah talak raj’i.
2. Tidak sedang dalam peminangan
laki-laki lain.
E.Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang
wanita yang ingin dinikahi, bahkandianjurkan dan disunahkan karena pandangan
peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup
pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang
wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw.
Al
Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (19/190)
Kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang
wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah melihatnya” Ia menjawab: “Belum.”
Beliau bersabda
أُنْظُرْ
اِلَيْهَا فَاِنَّهُ أَحْرى يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia,sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk
mempertemukan antara Anda berdua.(maksudnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian).
Demikian juga hadis dari Jabir, ia berkata: Rosulullah Saw.
Bersabda:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَاِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا
يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ
أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَ
تَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Jika meminang salah seorang di antar kamu terhadap seorang
wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah.
Jabir berkata :”Kemudian seorang wanita yang semula tersembunyi sehingga aku
melihat apa yang menarik bagiku untuk menikahinya, kemudian aq
menikahinya.” (HR.
Abu Dawud)
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita
terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita yang lain yang bukan mahram.
Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk
melakukan hal tersebut karena masing calon-calon pasangan memang harus
mengetahui secara jelas permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan
secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi bagian yang paling penting untuk
keberlangsungan pernikahan, yakni anak-anak dan keturunanya. Demikian juga
diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan wanita memendang satu sama lain
pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian,
dan menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari
hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
Nihayatul Muhtaj Halm
(6/198)
F. Anggota Tubuh Terpinang Yang
Boleh Dipandang
1.
Mayoritas
fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
wajah dan kedua telapak tangan.Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan
mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua
telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun
dalil mereka adalah firman Allah Swt. :
وَلاَ
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
apa yang biasa terlihat darinya.(QS.An-Nur:31)
2. Ulama
Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita
terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita
umumnya di saat bekerja di rumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh
yang pada umumnya tertutup. Adapun alasan mereka; Nabi Saw. Tatkala
memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.
Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur
madzhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat
adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari
itu.Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin
mengetahui kondisi tubuhnya.Dawud Az-Zahiri berpendapat bolehnya melihat
seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman
sabda Nabi Saw. “Lihatlah kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Bidayat Al-Mujtahid Halm
(2/3).
G.Syarat Sah Khitbah
Pinangan (khitbah) tidak sah kecuali dua syarat, yaitu :
1. Seorang wanita yang baik diakadnikahi;
Wanita yang baik diakadnikahkan pada saat pinangan sehingga
dapat menyempurnakan akad nikah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa
khitbah berfungsi sebagai sarana (wasilah) untuk mencapai suatu tujuan, yakni
nikah.
H.Meminang Perempuan dalam Masa
Iddah
1. Wanita Ber-iddah Talak Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman meminang dalam masa tunggu
(iddah) talak raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum
mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa yang tegas (sharih) atau
bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’I masih berstatus
istri dan hak suami atas istri masih eksis selama masih dalam masa iddah. Suami
boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan daripadanya kapanpun, tidak perlu
akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddah.
Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada wanita
dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan hak suami
pencerai, menodai perasaanya, dan merampas haknya dalam mengembalikan istri
tercerai ke pangkuannya karena terkadang wanita itu mempunyai anak yang masih
kecil yang kemudian bias terlantar karenanya.
2. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in
Tidak ada perselisihan di kalangan fuqoha’, bahwa tidak
boleh meminang wanita masa iddah talak ba’in qubro (talak ba’in besar yakni
talak tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas.
Al Mughni Halm
(6/554).
Kecuali dengan menggunakan kalimat samara atau sindiran,
jumhur ulama memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak
memperbolehkan. Jumhur ulama itu adalah ulama Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah, dan Hanabilah dengan dalil nash Al-Qur’an, sunnah, dan rasio.
Di antara Al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah firman Allah
:
وَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِى أَنْفُسِكُمْ
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. (QS. Al-Baqarah : 235)
Pada ayat diatas, kalimat tidak dosa meminang wanita dengan
kalimat sindiran memberi paham boleh (boleh hukumnya). Kata
“perempuan-perempuan” dalam ayat memberi faedah umum meliputi semua wanita
ber-iddah termasuk ber-iddah talak ba’in.
Dalil rasio (aqli) bolehnya meminang wanita ber-iddah talak
ba’in qubra, bahwa talak ini memutus hubungan pasangan suami istri karena ia
menjadi haram, sementara bagi suami pencerai tidak ada harapan kembali sebelum
dinikahi laki-laki lain.
3. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in
Shughra
Wanita yang tertalak ba’in sughra dimaksud adalah wanita
yang telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini
halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar baru dan tidak
dipersyaratkan seperti talak bain qubra. Mantan suami pencerai tidak boleh
menikahi kembali mantan istrinya sebelum dinikahi laki-laki lain sampai telah
bercampur benar sebagai pasangan suami istri dan masing-masing telah mencicipi
madunya.
Dalam hal ini fuqoha’ berbeda pendapat, menurut ulama
Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah boleh meminang sindiran terhadap wanita dalam
mas iddah talak ba’in sughra dianalogikan dengan talak bain qubra.
Al Mughni Halm
(6/554).
Bidayat
Al-Mujtahid Halm (2/3).
Talak ba’in memutus hubungan suami istri, pinangan sindiran
tidak mengandung makna pinangan secara jelas. Wanita tidak akan berpegang pada
kalimat sindiran itu dan tidak membuat pengakuan bohong tentang habisnya masa
iddah.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat keharaman melakukan pinangan
sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan bolehnya pinangan bagi
selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya permusuhan antara keduanya,
sementara suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih
utama daripada yang lain.
4. Wanita Ber-iddah karena
Khulu’ atau Fasakh
Wanita ber-iddah khulu’ (talak karena permohonan istri
dengan hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak keabsahan
nikah) karena suami miskin atau menghilang, tidak pernah pulang. Hukum meminang
sindiran terhadap kedua wanita tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama sebagaimana meminang sindiran terhadap wanita pada masa iddah dari talak
ba’in sughra.
Fuqoha’ sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak
boleh dipinang secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi semua pencerai
boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan selain wanita ber-iddah talak
ba’in qubra.
5. Wanita Ber-iddah karena Kematian Suami
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang dengan jelas kepada
wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikmah adanya larangan
tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan berbagai bencena. Fuqoha’
juga sepakat diperbolehkannya meminang dengan sindiran, hikmah diperbolehkannya
sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan antara suami dan istri telah
selesai disebabkan kematian sehingga tidak ada jalan menyatukan kembali
antarmereka berdua. Oleh karena itu, tidak ada permusuhan pada hak suami yang
meninggal dalam pinangan sindiran.
Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al
Kuwaitiyyah Halm (19/199).
I. Pemutusan Pertunangan
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu
kewajiban, dalam masalah janji akan kawin ini kadang-kadang terjadi hal-hal
yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan pertunangan.
Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak
beberapa waktu setelah pertunangan, yang disarankan akan mengganggu tercapainya
tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah
menurut ajaran Islam, misalnya karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari
segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan
seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah apabila dalam masa
peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas kawin) telah dibayarkan
kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan.
Fuqoha madzhab Hanafi berpendapat bahwa masing-masing pihak
berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah pertunangan yang berasal dari
masing-masing , bila hadiah itu masih ada wujudnya pada saat pertunangan
diputuskan. Hadiah-hadiah yang telah tidak ada wujudnya lagi tidak perlu
diganti dengan harganya. Ketentuan itu berlaku, baik yang memutuskan
pertunangan adalah pihak laki-laki ataupun pihak perempuan. Alasan pendapat ini
ialah karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan adanya janji akan kawin.
Maka, apabila janji dimaksud dibatalkan, hadiah-hadiah harus kembali pada asalnya.
Fuqoha madzhab Syafii berpendapat bahwa pihak peminang
berhak menerima kembali hadiah-hadiah yang diberikan, berupa barang apabila
masih ada wujudnya, atau ganti harganya apabila sudah tidak ada wujudnya lagi.
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram,
(Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Fuqoha madzhab Maliki memperhatikan pihak mana yang
memutuskan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan, hadiah-hadiah yang
pernah diterima dari pihak laki-laki harus dikembalikan, dalam bentuk barang
apabila masih ada wujudnya, atau pengganti harganya apabila sudah rusak, hilang
atau musnah. Apabila yang memutuskan adalah pihak laki-laki, ia tidak berhak atas
pengembalian hadiah yang pernah diberikan kepada pihak perempuan, meskipun
wujud barangnya masih ada pada waktu memutuskan pertunangan terjadi.
Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibenarkan apabila ada syarat lain
antara dua pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat pihak-pihak
bersangkutan menentukan lain.
Ali
Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta : Amzah,
2010) cet, 1, hlm 66.
Abdul Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Fiqih Lengkap, (Bogor :
Pustaka Ibnu Katsir, 2005) Cet, 1, hlm 205-206
MAHAR
A.Definisi Mahar
Mahar dalam bahasa Arab shadaq.
Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil
dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaqmemberikan
arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau
maskawin.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah
sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan
secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi.
Di dalam KHI masalah mahar juga telah di
jelaskan yang terdapat pada:
Pasal 30 menjelaskan bahwan
calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang
jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.
Pasal 31, penentuan mahar
berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama
Islam.
Pasal 32 Mahar diberikan
langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya.
Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih
Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:
1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.
2. Hak rohaniah, deperti melakikannya dengan adil jika duami berpoligami dan
tidak boleh membahayakan istri.
Para fuqoha berbeda dalam status mahar
apakah sebagai pengganti pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita atau ia
sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah?
Masykur A.B., Afif
Muhammad, Idrus al-Kaff,Fiqih
Lima Mazhab: Ja’fari,
Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali,
cet. ke-26
(Jakarta:Lentera, 2010), hal. 326
Al-Bajuri telah mengkompromikan dua
pendapat ini yang pada intinya, orang yang melihat lahirnya mahar sebagai
imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan mahar sebagai kompensasi pemanfaatan
alat seks wanita tersebut.
Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa
sang istri bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga
bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan
pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih
sayang antara pasangan suami istri.
B. Syarat Sah Mahar
1. Mahar tidak berupa uang haram.
2. Tidak ada kesamaran, sperti mahar berupa hasil panen
kebun pada tahun yang akan datang.
3. Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
4. Mahar mampu diserahkan.
C. Dalil Disyari’atkan Mahar
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan
hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan
mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari Al-Qur’an adalah firman Allah
SWT:
وَءَاتُواْ
النِّسَآءَصَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’ : 4)
Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. Kepada orang yang
hendak menikah :
اِلْتَمِسْ
وَلَوْ خَاتَمَ مِنْ حَدِيْدِ
Carilah walaupun cincin besi. (HR. Muslim)
(Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992),
hal. 13
Hati, 2008), hal. 559
Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang
harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada
kemampuan suami sesuai dengan pandangan yang sesuai. Tidak ada dalam syara’
atau dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya.
Sekalipun fuqoha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal
dalam mahar, tetapi seyognyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang.
Hadist yang diriwayatkan Rosulullah Saw. Bersabda :
Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.
Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat
tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai
materi, baik sedikit maupun banyak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak
dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Menurut
madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham.
Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku.
E. Benda yang Layak Dijadikan
Mahar
Fuqoha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut
dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang
kertas, dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam
pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak sah
untuk dijadikan mahar seperti babi, bangakai, dan khamr.
F. Macam-macam Mahar
1. Mahar
yang Disebutkan
Maksudnya adalah mahar yang disepakati oleh kedua belah
pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama
akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar,
(Semarang: CV. Asy
Syifa’, 1992), hal. 13
Hati, 2008), hal. 559
kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan
kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
2. Mahar
Mitsil (mahar yang sama)
Maksudnya adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah
tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita
yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan
sekandung dan saudara perempuan tunggal bapak.
G Hikmah Disyari’atkan Mahar
Mahar disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat
wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan
yang tinggi. Oleh karena itu, Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada
wanita, karena ia lebih mampu berusaha.
(Semarang: CV. Asy
Syifa’, 1992), hal. 13
Hati, 2008), hal. 559
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Khitbah
adalah permintaan seorang laki-laki terhadap keluarga wanita untuk meminangnya,
dilakukan oleh orang yang mencari pasangan atau lewat orang perantara dengan
kententuan agama dan adat setempat. Tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan
menikah, belum ada akad nikah.
2.
Hukum
meminang adalah boleh (mubah).
3.
Perempuan
boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat, yaitu tidak terdapat
halangan-halangan syarak untuk dikawini seketika oleh laki-laki yang meminang
karena tidak ada hubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan
laki-laki lain atau tidak sedang menjalani ialah talak raj’I dan tidak sedang
dalam peminangan laki-laki lain.
4.
Syarat
sah khitbah ada 2, yaitu seorang wanita yang baik diakad nikahi dan
wanita yang belum terpinang.
5.
Perempuan
yang dapat dipinang dalam Masa Iddah yaitu wanita Ber-iddah Talak Raj’I,
Ber-iddah Talak Ba’in, Ber-iddah Talak Ba’in Shughra, Ber-iddah karena Khulu’
atau Fasakh, dan Ber-iddah karena Kematian Suami.
6.
Mahar adalah pemberian yang wajib diberikan oleh mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai penghormatan yang
jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai
wanita dengan ikhlas dan sejak itu milik pribadinya.
7.
Syarat
Sah Mahar, yaitu mahar tidak berupa uang haram, tidak ada kesamaran, mahar
dimiliki dengan pemilikan sempurna, mahar mampu diserahkan.
8.
Mahar
tidak memiliki ukuran batas. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan
suami.
9.
Benda
yang layak dijadikan mahar adalah harta yang berharga dan maklum patut
dijadikan mahar.
10.
Mahar
ada dua macam, yaitu mahar yang disebutkan dan Mahar Mitsil (mahar yang sama).
Komentar