Bergeriliya Pliton Kariya di gunoeng geureudong pase',

Sejarah bergeriliya Pliton Kariya di gunung geureudong pase', dan Pemberontakan di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka)

Maret 28, 2018 Sejarah
Makalah mini dituli dan di kutip
oleh Waled Dari beberapa Sumber
Lama dan baru di padukan menjadi makalah mini

BAB.I.
Latar belakang .

Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Konflik Aceh - Setelah Perang Dingin kita banyak menyaksikan berbagai konflik yang terjadi di dalam sebuah Negara, seperti halnya pada Yugolslavia, Kroasia, Macedonia, Bosnia dan Indonesia. Konflik yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah konflik Aceh dimana dalam konflik tersebut telah memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban materi. Secara umum Latar belakang Konflik di aceh yang paling jelas adalah Perbedaan budaya antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia. Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam administrasi pada masa Presiden Soeharto (Orde Baru) sangat tidak disukai di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh tidak menyukai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mempromosikan satu "budaya Indonesia". Kemudian lokasi provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia menimbulkan anggapan yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti dan memperhatikan masalah yang dimiliki Aceh serta tidak bersimpati pada kebutuhan dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.
      Konflik atau Pemberontakan di Aceh antara tahun 1976 hingga tahun 2005 dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hal tersebut untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan GAM, merupakan perjuangan yang dilanjutkan oleh Hasan Tiro karna dengan alasan tidak mau tunduk di bawah perintah Daoud beureu'eh yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan didirikannya GAM adalah untuk mengupayakan Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melanjutkan aceh seperti awal ya itu sebuah kerajaan/sebuah negara kesatuan sendiri sebagai mana yang pernah aceh alamai beberapa puluhan tahun kebelakang. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).

BAB. 2
Sejarah Konflik Aceh-Indonesia

Selain itu, Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto dan berbagai permasalahan lainnya akhirnya mendorong tokoh Aceh Hasan di Tiro (Teungku Hasan Muhammad di Tiro) untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan memproklamasikan kemerdekaan Aceh Di Gunung Halimon. Permasalahan utama yang dianggap melatarbelakangi hal ini adalah budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan makin banyaknya jumlah transmigran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh serta Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam yang diambil dari Aceh.

Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari para intelektual A ceh yang merasa kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini berpendapat bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam tanah Aceh. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan di Tiro kemudian membuat gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah pemerintah orde baru meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara pada awal 1970an.

Sebab lain terjadinya Gerakan Aceh Merdeka GAM di Aceh, di perkuat oleh dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum terselesaikan secara tuntas di zaman orde lama. beberapaTokoh DI/TII yang Mereda dan melemah melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dengan memberikan dukungan terhadap GAM serta sebagian mereka yang langsung bergabung, harapannya nanti Aceh dapat memperoleh kemerdekaannya. Kemungkinan Penyebab Pemberontakan GAM menurut Beberapa Pihak Yaogi Edwart Manullang;
Konflik Aceh merupakan dasar dari akumulasi ketidakadilan dan peristiwa- peristiwa yang terjadi terhadap masyarakat Aceh. Akar masalah di Aceh ada dua yaitu alasan ekonomi dan alasan sosial-budaya. Ketidakadilan ekonomi dalam pembagian atas hasil aset sumber daya alam Aceh membuat rakyat Aceh kecewa. Aceh yang kaya akan sumber daya alam, hasilnya lebih banyak di ambil ke Jakarta, dalam pengelolaanpun aset-aset yang menghasilkan keuntunganpun masyarakat Aceh tidak diberi banyak kesempatan.

Masyarakat Aceh secara umum kurang memiliki kesejahteraan, kemiskinan, dan banyaknya pengangguran. Alasan ekonomi inilah yang menjadi alasan utama protes masyarakat Aceh, terhadap pemerintah pusat karena merasa diperlakukan tidak adil. Selain alasan ekonomi, protes masyarakat Aceh juga karena alasan sosial budaya yaitu, masyarakat Aceh ingin budaya mereka yang kental dengan nuansa lslam lebih diterapkan dalam kehidupan. Secara turun-temurun masyarakat Aceh dikenal melaksanakan syariat lslam secara ketat sejak masa kerajaan, termasuk ketika mengalami puncak kejayaan pada masa kerajaan Aceh. Adanya kekhasan budaya dari masyarakat Aceh ini membentuk identitas khusus yang secara umum berbeda dengan identitas daerah lainnya di lndonesia, dan bertubrukan dengan identitas nasional.

Aspirasi orang Aceh tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah sehingga segala macam bentuk protes ditanggapi dan dianggap sebagai penghambat pembangunan yang harus dihilangkan. Pemerintah orde baru menanggapi hal ini secara kekerasan yaitu dengan cara militer, sampai akhirnya dijadikannya aceh sebagai daerah operasi militer. Penyelesaian secara kekerasan ini tidak menyelesaikan masalah. Hal inilah yang semakin meningkatkan protes berwujud kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat. Ditambah pula pengelolaan pemerintahan yang terlalu sentralistis. Akibat adanya operasi militer malah mengakibatkan masyarakat Aceh juga menghadapinya dengan kekerasan, dengan mempersenjatai diri.

Sejak diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), Aceh merupakan daerah konflik paling mencemaskan pemerintah pusat. Pemberontakan GAM sempat berhenti sampai akhir 1980-an. Tetapi hal tersebut hanya berlangsung singkat ketika Pemerintahan Soeharto memberlakukan Operasi Jaringan Merah untuk menumpas habis GAM. Sekitar 10 sampai 12 ribu masyarakat sipil tewas di masa itu Berkat operasi inilah, GAM menjadi populer terutama di pedesaan dan di Pidie dan umumnya sepanjang pantai Timur.

Pemimpin GAM, Hasan Tiro yang merupakan keturunan dari Teuku Syik Muhamad Saman di tiro , seorang pahlawan Aceh dan pewaris kerajaan Islam Aceh. Hasan Tiro mengklaim bahwa Aceh tidak merupakan dari Indonesia karena Aceh tidak pernah dijajah oleh Belanda. Wilayah Indonesia hanyalah bekas wilayah Belanda selama penjajahan. Hal ini membuat GAM tidak mengakui ada hubungan (bond) dengan Republik Indonesia. Pada sisi lain, pemerintah Indonesia menganggap Aceh adalah wilayahnya sehingga GAM adalah warga negara Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintahan Indonesia menganggap GAM adalah warga yang mengganggu stabilitas keamanan nasional. Pada masa demokrasi, hubungan antara GAM dan pemerintah Indonesia berubah. Pemerintah Indonesia tidak lagi menganggap GAM sebagai pengganggu ancaman keamanan nasional melainkan sebagai kelompok politik yang berhak untuk berbicara dengan pemerintah.

GAM dan milisinya menyalahkan Pemerintah Indonesia dalam menciptakan ketidakadilan di Aceh. Mereka menilai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah milik etnis Jawa. Fakta politik di masa Orde Baru, etnis Jawa mendominasi struktur pemerintahan. GAM membangun rasa benci dan permusuhan dengan memamfaatkan sentiment etnis. Persepsi masyarakat sipil terhadap GAM, Pemerintah Indonesia, TNI/POLRI dibentuk oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang dengan persepsi itulah mereka mengkritisi GAM dan pemerintah. Perilaku ini secara umum memberi pengaruh cukup penting terhadap kemauan GAM dan Pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam proses dialog.

Puncak konflik selama orde baru adalah operasi militer pertama pada tahun 1989. Operasi militer yang diputuskan di bawah tekanan TNI terhadap pemerintah sipil Indonesia. TNI menyadari kekosongan operasi militer telah dimanfaatkan oleh GAM untuk merekrut dan mereorganisasi gerakannya. Pada gilirannya, perang pecah kembali tanpa bisa dihindari. Kedua belah pihak pada dassarnya menggunakan coercive action, atau “contending strategy” (strategi berkelahi).[6] Atas desakan masyarakat sipil pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia pada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengundang HDC ( the Centre for Humanitarian Dialogue) sebagai fasilitator dan mediator. Pemerintah Indonesia memenuhi tuntutan pemimpin agama di Aceh dengan memberi otonomi khusus melalui UU No. 18/2001 untuk mengimplementasikan Hukum Islam di Aceh.

Perubahan politik melalui gerakan masyarakat sipil pada tahun 1998 membawa sistem demokrasi dan menumbangkan rezim Orde Baru. Perubahan ini mengubah konteks politik dari kediktatoran menjadi kedaulatan rakyat. Ruang politik demokratis tercipta dan memberi pengaruh terhadap kemunculan kelompok-kelompok konflik baru, isu dan dinamika konflik. Reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan Operasi Militer (Operasi Jaringan Merah) yang terjadi di Aceh dan menggunakan analisis antagonistik atas konflik yang terjadi antara Aceh-Indonesia. Dengan demikian, diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca untuk mengkaji lebih dalam faktor yang melatarbelakangi konflik di Aceh sehingga konflik tersebut berlangsung berlarut-larut dan menelan banyak korban jiwa.
Menurut Edward Aspinall;

Akademis dari Universitas Nasional Australia Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Hal tersebut karena Aceh memainkan peranan penting pada revolusi dan perang kemerdekaan melawan Belanda sebagai akibatnya diduga aceh telah mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia. Jalannya Konfil / Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka

Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan di Tiro dilakukan secara diam-diam disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan bawah tanah di Aceh.

Banyak pemimpin GAM merupakan pemuda dan profesional berpendidikan yang merupakan anggota kelas ekonomi menengah dan golongan kaya masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh Di Tiro di Aceh antara tahun 1976-1979, beranggotakan beberapa tokoh sebagai berikut:
1.Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara,Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung
2.Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden,
3.Menteri Dalam NegeriTeungku Ilyas Leube:Menteri Kehakiman
4.Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
5.Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
6.Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri
7.Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
8.Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
9.Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan
10.Amir Ishak: Menteri Komunikasi
11.Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
12. Zakariya ; sebagai komandan Bataliyon

dan banyak lain yang tidak kita sebutkan nya, baik dalam negeri maupun luar negeri
Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun NGL adalah operator ladang gas Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada saat itu pasukan AM/GAM yang dimobilisasi oleh Pliton Kariya AM/GAM masih minim jumlahnya . Meskipun sudah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh namun hal tersebut tidak mengundang partisipasi aktif massa untuk mendukung AM/ GAM. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, pada awalnya hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga Hasan di Tiro kemudian Hasan tiro membentuk pasukan bataliyon di pase' aceh utara yang di tunjuk Sebagai komandannya ZAKARIYA yang nama sandi atau nama panggilan masyhur Pliton Kariya , teman teman dan saudara Pliton Kariya langsung bergabung karena loyalitas kepribadian kepada keluarga Pliton Kariya sementara sisanya bergabung karena faktor kekecewaan pada pemerintah pusat.

Hasil gambar untuk image pasukan inong bale

Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i, 1999
Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i, 1999

Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah memukul telak GAM, para komandan GAM banyak yang berakhir di dibunuh, pengasingan, atau dipenjara. pengikut GAM lantas tercerai berai, bersembunyi dan melarikan diri. Para pemimpinnya seperti Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM) dan Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM) sudah kabur ke luar negeri dan kabinet GAM yang resmi yang tinggal di pase ' hanya Pliton Kariya dan kawan kawan menjalankan fungsinya secara bersmbunya bergeriliya dilereng gunung di selatan Aceh Utara di sana pliton Kariya membuat Gubuk di pinggir sungai dan bercocok tanam untuk makan seharai hari sambil menggu perintah dari Hasan Tiro yang sudah pergi keluar negeri , disana pliton Kariya rajin beridah meminta pertolongan kepada Allah Agar Aceh Merdeka. sampai sekarang di samping gubuk dia ada lubuk yang bernama Lubuk Pliton(leubok pliton) yang di beri nama oleh Pilton Kariya. pada tahun 2002 pliton Kariya menghembuskan nafas terkhir karna sakit ketuan di umur usia 80an

Meskipun kala itu minm mendapatkan dukungan , tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia bertindak represif. Periode antara tahun 1989-1998 kemudian dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh.

Langkah Pemberlakuan DOM di Aceh ini meskipun secara taktik sukses menghancurkan kekuatan gerilya GAM, namun telah menyebabkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh dan rakyat Aceh merasa terasing dari Republik Indonesia.
Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian mendukung dan membantu GAM membangun kembali organisasinya saat militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden B.J. Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto, saat itu Jakarta dilanda kerusuhan dan terjadi ketidak stabilan pemerintahan dan politik di indonesia.

Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie sampai dengan presiden Megawati telah mengupayakan berbagai kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif.

Hasil gambar untuk lengser soeharto image
Pada tahun 1999 saat terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif hal tersebut memberikan kesempatan bagi GAM untuk melancarkan pemberontakan kembali di Aceh, namun kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Sebenarnya pada tahun 1999 diumumkan penarikan pasukan, namun karena situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang tentara dalam jumlah yang besar ke Aceh. pada pertengahan 2002 GAM dikatakan telah menguasai 70 persen pedesaan di penjuru Aceh.

Memburuknya kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras dilakukan pada tahun 2001-2002. Pemerintah Megawati pada tahun 2003 juga meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat diberlakukan di Provinsi Aceh. Pada November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama 6 bulan karena GAM belum dapat dihancurkan sepenuhnya. Menurut laporan Human Rights Watch akibat dari di adakannya darurat militer di Aceh menyebabkan sekitar 100.000 orang mengungsi pada 7 bulan pertama darurat militer dan beberapa pelanggaran HAM.

Konflik ini sebenarnya masih berlangsung pada akhir 2004, namu saat itu tiba-tiba bencana Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan memporakporandakan segala infrastruktur di provinsi Aceh, sehingga secara tidak langsung bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh. Kesepakatan damai dan pilkada pertama di Aceh

Setelah bencana Tsunami dahsyat meluluhlantahkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menekankan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik tak berkesudahan ini. Upaya-upaya perdamaian yang sebelumnya telah gagal tetapi karena beberapa alasan termasuk faktor bencana tsunami, perdamaian akhirnya terjadi pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan.
Perundingan perdamaian kemudian difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia).


Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian maka terciptalah kesepakatan bahwa dilakukannya pelucutan senjata GAM dan Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia kemudian tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara non-Aceh). Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa menerjunkan 300 pemantau yang tergabung dalam Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission). Misi mereka selesai pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama. Beberapa kemungkinan faktor resolusi damai di Aceh Melemahnya posisi militer GAM (Gerakan Aceh Merdeka)

Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. International Crisis Group (ICG) melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.

GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya. Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah. Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe (subdistrik) memiliki otonomi komando yang besar sehingga mampu melancarkan aksi militer dengan kemauannya sendiri.

Menurut Komandan Jenderal ABRI saat itu (Endriartono Sutarto), pasukan keamanan Indonesia telah mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang. Meski banyak yang meragukan keakuratan jumlah tersebut, namun mayoritas pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM pasca penerapan darurat militer telah memberikan pukulan telak dan kerugian besar bagi GAM.
Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh
Bencana Alam Tsunami


Posisi pemerintah sangat jelas disini. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, beberapa hari setelah tsunami dengan jelas mengumumkan bahwa perdamaian harus segera dilakukan. Bagi Jusuf Kalla, sangat mustahil membangun puing-puing reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan GAM masih bersebrangan. bencana Tsunami yang dahsyat juga menelan ratusan ribu korban jiwa dari kedua belah pihak sehingga gencatan senjata dan perjanjian damai merupakan kebutuhan bersama untuk membangun Aceh.

Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004, dan Keseriusan nya dalam Resolusi DamaiKemenangan pemilu presiden 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk melakukan negosiasi untuk mencapai perdamaian. Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prakarsa upaya damai konflik Aceh yang berakhir dengan perjanjian resmi.

Sejak dari akhir Januari hingga Juli 2005, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sangat serius melakukan Perjanjian damai dan mulai melakukan beberapa babak pembicaraan informal dengan pihak GAM untuk melakukan perundingan sebagai cara damai guna menyelesaikan konflik di Aceh. Pembicaaan informal ini difasilitasi oleh CMI yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari (mantan pesiden Finlandia). Dimana pembicaraan / perjanjian damai tersebut dikemudian hari dikenal dengan nama perjanjian Helsinki.

Sekian penjelasan artikel mengenai Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), semoga artikel diatas dapat bermanfaat bagi sobat maupun untuk sekedar menambah wawasan dan pengetahuan sobat mengenai Latar belakang Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Jalannya Konfil / Pemberontakan GAM, Kemungkinan Penyebab Pemberontakan GAM menurut Beberapa Pihak, Kesepakatan damai dan pilkada pertama di Aceh dan Beberapa kemungkinan faktor resolusi damai di Aceh, Akhir Kata Terimakasih atas kunjungannya.

BAB.III
KESIMPULAN

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, eksploitasi sumber daya alam Aceh sangat gencar dilaksanakan terlebih dengan batuan multinasional. Kekhawatiran tokoh-tokoh Aceh menjadi nyata setelah melihat Soeharto mendapat legitimasi pada Pemilu 1977 yang memenangkan Golkar secara mutlak. Sejumlah tokoh Darul Islam bertekat melakukan gerakan dengan mencuri start menjelang Pemilu 1977 sehingga dilahirkan Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan Aceh Merdeka kemudian mulai menanamkan pengaruhnya dalam rangka menentang pemerintahan pusat. Namun, tarik menarik antara rakyat-GAM-Pemerintahan Orde Baru tidak terlalu mencuat ke permukaan. Pada tahun 1989, konflik di Aceh mencuat kepermukaan secara terbuka. Saat itu pemerintahan melakukan program ABRI masuk desa (AMD) di desa Kota Makmur. Dengan dalih mengamankan pemerintahan desa, ABRI kemudian dijadikan senjata yang mengawasi setiap gerak-gerik hingga ke masyarakat pedesaan. Sebagai pimpinan, Daud Beureueh menyadari perlawanan terhadap pemerintah Soeharto harus didukung oleh kekuatan senjata yang maksimal. Tanpa itu, pengalaman pahit saat melawan Soekarno akan kembali mereka rasakan. Daud Beureueh kemudian mengingat seorang putra Aceh, Hasan Tiro yang sedang menjalankan studi di Amerika Serikat. Daud Beureueh berharap Hasan Tiro dapat mencarikan senjata untuk perjuangan rakyat Aceh sehingga pada 1972, Daud Beureueh mengutus Zainal Abidin untuk menemui Hasan Tiro.

Konflik di Aceh, mulai terjadi lagi pada masa orde baru, yang ditandai dengan lahirnya Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF), yang kemudian menjadi Gerakan Aceh Merdeka, dengan tokohnya Tengku Hasan Tiro, yang memproklamirkan kemerdekaan Aceh dengan menyebut wilayahnya sebagai negara Aceh Sumatra, pada tanggal 4 Desember 1976. Gerakan ini tidak banyak pengikutnya, sehingga dengan mudah dapat dihancurkan pemerintah dengan militer. Para tokohnya termasuk Tengku Hasan Tiro, kabur ke luar negeri. Setelah itu pemikiran separatisme, meminta kemerdekaan Aceh tetap ada walaupun tidak terlalu nampak ke permukaan. Pada tahun 1989, muncul gerakan yang menuntut keadilan dalam pembangunan, dan memprotes dampak negatif industrialisasi, seperti munculnya kemaksiatan, kriminalitas yang dianggap tidak sesuai dengan keadaan sosial budaya di Aceh. Oleh pemerintah gerakan ini disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan, yang dianggap menghambat pembangunan. Sejak Mei 1989, mulailah babak baru dalam konflik Aceh dengan dijadikannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer. Pada masa itu banyak terjadi pelanggaran. Hukum, keadilan tidak berlaku, yang ada adalah kekerasan militer. Pada masa itu rakyat Aceh mengalami kekerasan oleh militer. Terjadi juga penyekapan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan oleh militer kepada rakyat Aceh. Rakyat Aceh menderita karenanya. Pemberlakuan DOM ini juga melumpuhkan sector ekonomi dan pendidikan, terutama di daerah yang banyak menjadi korban DOM.

Orde baru dengan Soehartonya telah ditumbangkan oleh reformasi, pendekatan terhadap GAMpun berubah. Ketika reformasi aceh sebagai daerah operasi militer dicabut, operasi militerpun sedikit mengendur. Selain menggunakan pendekatan militer, pemerintahpun menggunakan jalur perundingan dengan GAM. Pada proses perundingan tahun 2000-2002, beberapa kali terjadi pelanggaran dan gagal. Bagi pemerintah, NKRI adalah hal yang tidak bisa ditawar, bagi GAM kemerdekaan adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar, namun pada akhirnya pemerintah lndonesia dan GAM sama-sama melunak, pemerintah menerima opsi penyelesaian dengan syarat, Aceh tetap menjadi bagian NKRI, GAM pun pada akhirnya tidak menginginkan kemerdekaan, hanya menginginkan Aceh mempunyai otonomi yang luas dalam mengatur politik, ekonomi dan sosial-budaya. Ternyata penyelesaian masalah aceh secara militer yang berkepanjangan juga menghabiskan dana yang banyak, tidak menyelesaikan masalah, tidak dapat mengahabiskan GAM, dari sisi GAM, perjuangan bersenjata mereka juga tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Ditambah lagi adanya momentum yaitu bencana tsunami yang memporak porandakan aceh, pada tanggal 26 Desember 2004, yang menelan banyak korban, menghancurkan infrasuktur. Akhirnya pemerintah lndonesia dan GAM serius menyelesaikan masalah Aceh melalui perundingan. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya perundingan perdamaian Aceh memasuki babak baru.

Akhirnya terjadilah proses menuju perundingan Helsinski, lalu tercapailah perundingan Helsinski pada tanggal 15 Agustus 2005. Dalam perundingan Helsinski tim GAM terdiri atas perdana mentri Malik Mahmud, mentri luar negri Zaini Abdullah, juru bicara Bahtiar Abdullah, pejabat politik Nur Djuli dan Nurdin Abdul Rahman, kemudian ditambah Shadia Marhaban dan Irwandi Yusuf. Delegasi Rl, dipimpin menkumham Hamid Awaludin, Menkominfo Sofyan Djalil, yang merupakan putra asli Aceh, deputi menko kesra dr Farid Husain, dan dua pejabat kementrian luar negri. Perundingan ini membawa hasil yaitu dintandatanganinya MoU antara pemerintah lndonesia dan GAM.

Secara umum, MoU Helsinski ini berisi penyelenggaraan pemerintahan Aceh, partisipasi politik Aceh, hak-hak ekonomi bagi Aceh, pembentukan undang-undang tentang Aceh, penyelesaian masalah pelanggaran HAM, pemberian amnesty dan reintegrasi mantan anggota GAM, pengaturan keamanan. Setelah perundingan ini implementasi hasil perundingan segera dilaksanakan, secara bertahap.

Daftar pustaka.
Adam, Asvi Warman. “Konflik dan Penyelesaian Aceh: Dari Masa ke Masa,” Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. ed.M. Hamdan Basyar. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
ASNLF. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2008 (http://www.asnlf.net/topmy.htm)
Bhakti, Ikrar Nusa. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Daldjoeni, N. Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia). Bandung: Penerbit Alumni, 1987.
Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, 2008
(http://www.acehinstitute.org/resume_150607_edward_aspinal.h…)
Gayatri, Irine Hiraswari. “Rekonstruksi Aceh Baru,” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Hasan, Husaini. “Sejarah GAM (bagian ke-II)” Sejarah yang dibuat Dr.Husaini Hasan, 2008 (http://my.opera.com/…/bl…/perjuangan-bangsa-belomlah-selesai)
Kawilarang, Harry. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultas Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2006
Lulofs, M.H.Skelely. Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh. Depok: Komunitas Bambu, 2007.
Nurhasim, Moch. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008
Piliang, Indra J. “Nasionalisme Aceh dan Negara Federal: Mengapa Tidak?” Analisis CSIS. th XXX No.3, 2001, pp.308-316
Saleh, Hasan. Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Daerah. Jakarta: Grafiti, 1992
Siregar, Sarah Nuraini. “POLRI dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU Helsinki,” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Syamsuddin, Nazaruddin. Revolusi di Serambi Mekah Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949. Jakarta: UI-Press, 1999
Teuku Syamsuddin, Syamsuddin. “Kebudayaan Aceh,” Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. ed.Koentjaraningrat. Jakarta: Djambatan, 2002
Yanuarti, Sri. “Pergeseran Peran TNI Pasca MoU Helsinki,” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah