SEBAB SEBAB WARISAN DAN PENGHALANG


SEBAB-SEBAB WARISAN DAN PENGHALANG WARISAN

PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang

Mewaris memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab mewaris pada jaman Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi harta warisan kepada orang laki-laki dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak mendapatkan bagian. Pada saat Rasulullah Membawakan Syariat Agama Islam kepada mereka rasulullah menerangkan sesuai ayat  yang di turunkan  Surat An-Nisa’ayat 11:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Seseungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”(QS. An-nisa’:11) Dapat dikembangkan bahwa orang yang memiliki pertalian darah, perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak laki-laki maupun perempuan bisa mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan dimana kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan seperti jaman jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan mengenai mewarisi. Oleh karena itu kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lain-lain agar dapat kita terapkan di dalam keluarga.


B.    Rumusan Masalah
1.     Apakah sebsa-sebab kewarisan?
2.     Apakah penyebab terhalangnya kewarisan?
perempuan?

C.    Tujuan Masalah
1.     sebab-sebab kewarisan
2.     penyebab terhalangnya kewarisan

B. SEBAB-SEBAB KEWARISAN
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada empat:[1]

1. Nasab (النسب) atau hubungan kekerabatan. Nasab ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini berdasarkan firman Allah:

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman sesudahmu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[2]

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu sesudah orang-orang yang lebih dahulu beriman dan berhijrah (kemudian berhijrah dan berjihad bersama kalian, maka orang-orang itu termasuk golongan kalian) hai orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar. (Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu) yakni orang-orang yang mempunyai hubungan persaudaraan (sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya) dalam hal waris-mewarisi daripada orang-orang yang mewarisi karena persaudaraan iman dan hijrah yang telah disebutkan pada ayat terdahulu tadi (di dalam Kitabullah) di Lohmahfuz. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) yang antara lain ialah hikmah yang terkandung di dalam hal-ihwal waris-mewarisi.

2. Perkawinan (الزواج). Seorang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَ لَكُمْ  نِصْفُ  مَا تَرَكَ  أَزْوَاجُكُمْ...الآية
“Dan bagi kamu seprdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu”[3]

Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:
1. Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak sah.[4]Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari ibunya.
2. Perkawinan itu dalam posisi:
a. Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh –tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya perkwinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.
b. Perkawinan telah teputus,  tetapi antara suami dan istri masih dalam iddah  (masa tunggu yang dibolehkan suami  kembali kepada istri dengan tidak membuat akad baru), yang itu disebut dengan thalaq raj’iy, yaitu masa dimana suami dapat merujuk kepada istri tampa membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin istri tersebut. Dari itu, apabila pada saat itu salah seorang mati, maka mereka dapat saling mewarisi. Akan tetapi bila waktu iddah telah habis kemudian  salah seroang meninggal maka hak saling mewaris telah habis dengan sebab iddah tersebut telah habis.[5]

3  al-Wala’ (pemerdekaan), yaitu kekerabatan yang disebabkan oleh pemerdekaan  yang dilakukan seorang terhadap budak. Pemerdeka berhak mendapat warisan dari budak yang dimerdekakan karena ia telah memberikan kesenangan kepadanya dengan jalan memerdekakan itu sendiri dari perbudakan. Dengan dimerdekakan budak itu, maka  ia mendapatkan kesenangan dengan kembali sifat “kemanusiaannya” dan berakhirnya anggapan sebagai binatang. [6]Keberadaan perbudakan ini nampaknya sudah tidak ada lagi di muka bumi, sehingga keberadaan wala’ sebagai penyebab mendapat warisan dengan sendiri tidak ada lagi.

4.  Islam Seorang muslim meniggal dunia dan tidak memiliki ahli waris yang khas ataupun ada tetapi tidak mendapat jatah dari seluruh harta warisan maka harta sisa tersebut diserahkan untuk baitul mal atas dasar pusaka bagi kaum muslimin.



C. PENGHALANG WARISAN
Seorang yang telah memenuhi persyaratan untuk mendapat harta warisan dari orang yang mati, seperti adanya ikatan kekeluargaan (nasab), perkawinan, dan wala’ belum tentu ia berhak mendapatkan warisan apabila ia memiliki sifat penghalang warisan yang pada dirinya, yaitu sebagai budak, pembunuh, berlainan agama, dan berlainan negara. Keempat pengahalang ini akan dibahas pada berikut bahasan berikut:

1.  Perbudakan.
 pada masa lalu memang terjadi perbudakan manusia yang disebabkan oleh tawanan perang. Akibat dari perbudakan itu adalah  hilangnya sifat “kemanusiaannya yang merdeka”, tetapi ia dianggap sebagai barang atau binatang yang selalu tunduk kepada tuannya,  bahkan harta yang dibawanya pun milik tuan. Dasar hukum perbudakan ini sebagai pengahala adalah adalah firman Allah: Surat An-Nahl Ayat 75

 ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا ۖ هَلْ يَسْتَوُونَ ۚ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.[7]

Para ulama’ memahami ayat di atas bahwa budak itu tidak cakap megurus diri dan hak milik  kebendaan dengan jalan apa saja, sementara dalam hal pusaka-mempusakai ada pelepasan hak milik kebendaan. Budak terhalang  dari mewarisi dilihat dari 2 (dua) jalan: a. Ia dianggap sebagai benda  milik tuannya, karena itu ia terhalang sebagai penerima warisan disebabkan ia sendiri sebagai benda milik tuannya. b. Ia dipandang sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan terhadap benda miliknya, karena itu ia tidak dapat memberikan warisan kepada ahli warisnya seandainya ia memiliki kerabat, karena ia sendiri dan hartanya milik tuannya sehingga ia diangga tidak memiliki harta sedikitpun.[8]

2.  Pembunuhan.
Dasar hukum pembunuh tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya adalah hadist Rasulullha yang berbunyi:

قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم    ليس للقاتل  شيء وإن لم يكن له وارث فوارثه أقرب الناس إليه ولا يرث القاتل شيئا

Rasulullah bersabda: “Pembunuh (yang membunuh pemebri warisan) tidak memiliki hak sedikitpun (untuk mewarisi). Jika ia (pemberi warisan) tidak meninggalkan pewaris maka yang berhak mewarisinya adalah orang yang paling dekat (hubungan keluarga) dengannya, dan pembunuh itu tidak mewarisi sesuatu”[9]

Seorang yang telah terbukti sebagai pembunuh pemberi warisan tidak dapat mewarisi harta peninggalannya. Tetapi tipe pembunuhan bagaimana yang dapat mengahalangi seorang untuk mendapat harta warisan dari yang terbunuh masih diperselisihkan ulama’. Bentuk pembunuhan itu ada tiga macam:

a.القتل العمد, yaitu pembunuhan dengan sengaja dimana pembunuh bermaksud membunuh terbunuh, dengan terpenuhi syarat sebagai orang yang berakal dan bermaksud membunuh. Pembunuhan semacam ini bersansikan “Qishash” dengan syarat:
1.      Orang yang akan di-qishash harus orang berakal dan balig.
2.      Sepakatnya keluarga yang terbunuh untuk di-qishah.
3. Tidak boleh melibihi dalam melakukan qishash, seperti ditetapkan  orang yang hamil untuk di-qishah,maka harus ditunggu sampai ia melahirkan.

b.  القتل شبه العمد, yaitu pembunuhan yang serupa dengan pembunuhan sengaja, mislanya  seperti pemukulan dengan menggunakan tongkat yang ringan, sabuk,  atau melempar dengan batu kecil kemudian seorang mati. Cara seperti ini adalah mirip dengan sengaja karena adanya dua kemungkinan antara sengaja dan kesahalan. Sanksi pembunuhan semacam ini  adalah berdosa dan diat.

c.  القتل الخطاء, yaitu pembunuhan karena kesalahan pada perbuatan yang boleh dilakukan oleh sorang yang mukallaf, seperti pemburu yang  salah sasaran, pembuat sumur yang mengakibatkan orang terjatuh mati, dan pembunuhan yang  dilakukan oleh anak kecil atau orang gila. Pembunuhan semacam ini dikenakan sangsi diyat dan kifarat.[10]

Terhadap macam bentuk pembunuhan di atas diperselisihkan ulama’, yaitu bentuk pembunuhan yang mana yang dapat mengahalangi untuk mendapat warisan.  Dalam hal dapat dilihat dalam penjelasan berikut:
a. Menurut azhab Hanafi pembunuhan yang dapat menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah pembunuhan sengaja, mirip sengaja, karena kesalahan, dan pembunuhan yang dianggap kesalahan. Sementara pembunuhan yang tidak dianggap sebagai penghalang adalah pembunuhan tidang langsung, pembunuhan karena membela hak, pembunuhan karena yang dilakukan oleh orang yang tidak mukallaf.
b. Menurut Malikiyah pembunuhan yang dapat menghalagi untuk mendapat warisan adalah pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan mirip sengaja, dan pembunuhan tak langsung. Sementara yang tidak menjadi penghalang adalah pembunuhan karena kesalahan, dianggap salah, membela hak, belum mukallaf, dan karena uzur.
c. Menurut ulama Syafi’iyah, bahwa pebunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris itu adalah segala bentuk pembunuhan secara mutlak., baik sengaja, tidak sengaja, atau karena kasalahan.
d. Sementara menurut mazhab Hambali bahwa pembunuhan yang dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan adalah pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, dan tak langsung. Pembunuhan yang tidak menjadi peghalang menurut mereka adalah pembunuhan karena kesalahan, dianggap kesalahan, karena membela hak, pembunuhan yang dilakukan oleh orang tidak mukallaf, dan karena uzur.[11]

3.  Berbeda Agama
Yang dimaksud dengan berbeda agama adalah berbeda keyakinan antara orang yang akan saling mewarisi, seperti orang yang akan memberi warisan  adalah orang yang beragama Islam sementara orang yang menerima warisan adalah beragama lain, seperti pewarisan kakak dengan adik, atau anak dengan bapak, atau cucu dengan kakek, dan sebagainya yang berbeda agama, baik agama Yahudi. Keristen, Hindu, Buda, dan lainnya. Dasar hukumnya adalah hadist Rasulullullah yang berbunyi:
أن النبي  صلى الله عليه وسلم  قال لا يرث المسلم  الكافر ولا يرث الكافر المسلم
“Nabi bersabda: Seorang muslim tidak dapat (saling) mewaris dengan orang kafir, dan (demikian juga) orang kafir tidak dapat (saling) mewarisi dengan orang muslim.[12]

Oleh karena perbedaan agama menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan, maka apabila terjadi pemurtadan dalam sebuah keluarga, misalnya anak memeluk masuk agama lain, ia tidak berhak menerima pusaka dari ayahnya (atau lainnya yang dapat saling mewarisi), karena keyakinan yang berbeda tersebut, sekalipun sebelum pembagian harta warisan dibagikan ia (anak itu) kembali kepada agama Islam, menurut jumhur ulama. Sementara menurut Imam Ahmad dalam satu pendapatnya adalah boleh ia menerima, sebab ia sudah keluar dari sifat murtad tersebut.[13]

4.  Beda kondisi non muslim
Dua orang non muslim yang memiliki hubungan kerabat tetapi yang satu statusnya harbi(boleh diperangi) dan yang satunya lagi statusnya Zimmi(dilindungi) bila salah satunya meninggal dunia maka bagi karabatnya tidak akan mendapat harta warisan.

5. Murtad,
     Murtad berasal dari akar kata riddah atau irtidad yang berarti tolak. Istilah murtad berarti keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.  QS Al Baqarah : 217
     يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah : 217)

6.  Dur hukmi (kembali kepada hukum dasar yang megindikasikan kontradiksi hukum) Seorang muwaris (mayat) memiliki saudara laki-laki kandung, kemudian sudaranya tersebut mengaku bahwa muwarisnya memiliki anak laki-laki maka anak laki-laki tersebut dihukumkan memiliki hubungan nasab dengan muwaris tetapi tidak mendapatkan harta pusaka, karna bila anak tersebut mendapat harta pusaka maka tidak akan terilhak(terhubung) nasab lantaran syarat sah ilhak nasab, orang yang mengaku harus waris yang haiz (mendapat jatah asabah).



Dalam syari’at Islam ada empat syarat agar pewarisan dinyatakan ada mendapatkan warisan, sehingga dapat memberikan hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu: Al-Muwarrist, Ahli waris atau waris, adanya hubungan, seperti hubungan nasab, hubungan pernikahan, hubungan perbudakan(wala) dan hubungan agama. Serta syarat-syarat dalam mewarisi yaitu Meninggalnya seseorang (pewaris), baik secara hakiki maupun hukum, Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia, Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

 Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan  perbudakan, pembunuhan, murtad, beda agama, Beda kondisi non muslim durhukmi, al-muwarris. Di dalam hUkum islam, sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang memperoleh harta warisan ialah perkawinan, kekerabatan dan wala.


DAFTAR PUSTAKA

[1]Sayyid Sabik, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikir, 1992), jilid III: hlm.162
[2]al-Qur’an surat al-‘anfal (8): 75
[3]al-Qur’an surat al-‘Nisa’ (4): 12
[4]Fathurrahman, Ilmu Waris…, hlm. 114
[5] Ibid, hlm.115
[6]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, 1995,  hlm. 55
[7]Qs, an-Nahl  (60): ayat 75.
[8]Fathurrahman, Ilmu Waris…, hlm. 85
[9]Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Bairut: Dar al-Fikir, tt), jilid IV: hlm. 189 
[10]Sayyid Sabik, Fiqh,….hlm, 438
[11] Fathurrahman, Ilmu Waris…, hlm. 94
[12]Muslim, Shahih Muslim, (Bairut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arabiy, tt) jilid III: hlm 1233
[13]Fathurrahman, Ilmu Waris…, hlm. 98















MAKALAH

SEBAB SEBAB WARISAN DAN PENGHALANG KEWARISAN

Tugas
ABDILLAH;
NIM: 2018540573
Pembimbing:
Dr. Munadi.,M.A


Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2018-2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah