Poligami tanpa izin istri
POLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMA DAN HAK HAK ISTRI
KEDUA, KETIGA, KEEMPAT DALAM IMPLIKASINYA BERDASARKAN HUKUM KELUARGA INDONESIA
ISLAM DAN HUKUM AGAMA ISLAM
Ditulis 0leh Walid Tetntang
poligami pembahasan Ilmu Fiqh termasuk dalam bab munakahat Dan Ilmu Umum Hukum
keluarga Islam Indonesia Serta Memperhatikan Kuhp ini sangat rumit dalam
mengkajinya
Semoga para pembaca mudah
memahami hal
A. Latar Belakang Masalah
Manusia Insan mahluk sosial tidak
dapat lepas dari hidup
bermasyarakat, karena sebagai individual, manusia tidak
dapat hidup untuk mencapai segala seguatu yang
diinginkanya dengan mudah, tanpa bantuan orang
lain atau harus adanya kerja sama diantara individu dengan lainnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan. diantara lain ialah melalukan perkawinan. Dalam membangun masyarakat, Islam telah memberikan ketentuan hukum yang sangat jelas untuk kemashlahatan Insan manusia tersebut, yang
mana terangkum dalam maqashid
al-syariah. Islam telah memberi perhatian yang
besar dalam pembentukan keluarga, karena keluarga adalah satu kelompok kecil yang memiliki kontribusi besar dalam membangun masyarakat di dalam Al-Qur‟an dan
Hadits banyak ditemukan
ayat-
ayat yang menjelaskan
masalah
perkawinan
dan keluarga.
Secara sosiologis, perkawinan
pada
hakikatnya merupakan
bentuk
kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah
suatu peraturan khusus atau khas
dan
hal ini sangat diperhatikan baik oleh
Agama, Negara maupun Adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut
bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan
ini
diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan suami istri yang sah. Setiap orang mendambakan keluarga yang bahagia. Kebahagiaan
harus didukung oleh rasa cinta kepada pasangan. Cinta dan
kasih sayang merupakan
jembatan dari suatu pernikahan dan
dasar dalam pernikahan adalah
memberikan kebahagiaan. Namun kenyataannya,
dalam menjalani kehidupan perkawinan selalu saja ada permasalahan
muncul yang dapat memicu
timbulnya keinginan suami untuk melakukan
poligami.
Ada berbagai
macam bentuk
perkawinan
dalam masyarakat, tetapi yang
paling populer diantaranya yaitu monogami dan poligami. Dari kedua bentuk perkawinan ini, perkawinan monogami dianggap paling ideal dan sesuai untuk dilakukan. Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dimana pada prinsipnya bahwa suami mempunyai satu istri saja dan sebaliknya (Pasal 27 KUH
Perdata dan Pasal 3
ayat 1
Undang-undang Perkawinan)
dan
juga KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
menganut asas monogami mutlak.
Walaupun perkawinan monogami merupakan perkawinan yang paling
sesuai untuk
dilakukan tetapi banyak juga masyarakat yang
melakukan perkawinan poligami, hal ini dapat dilihat dari banyaknya public figur yang melakukan
poligami. Dalam
Alqur’an Allah berfirman surat An-Nisa ayat 3 :
وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ
لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا
تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى
اَلَّا تَعُوۡلُوۡا
Artinya :Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim..(QS.An-Nisa Ayat 3).
Permasalahan
dalam perkawinan
yang semakin
berkembang,
menuntut para Ulama salaf maupun kontemporer untuk menuangkan buah
pikirannya guna menjawab masalah yang semakin kompleks, dan pada gilirannya menimbulkan
beberapa perbedaan pendapat.
Hal ini sangat wajar,
mengingat masalah perkawinan merupakan permasalahan
munakahah dan salah satu cabang mu‟amalah yang
terus bergerak dinamis dan menuntut jawaban dengan segera. Salah satu
permasalahan dalam perkawinan yang hingga saat ini belum
selesai
diperdebatkan dan menimbulkan banyak kontroversi di kalangan para Ulama
maupun
Akademisi ialah masalah poligami.[1]
Di satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam
argumentasi,
baik
yang bersifat normatif, maupun
psikologis. Bahkan dikaitkan dengan
ketidakadilan gender karena poligami dinilai sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap
kaum
perempuan. Pada sisi lain, poligami
dikampanyekan, karena dianggap memiliki sandaran normatif yang
tegas dan dipandang
sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena perselingkuhan
(Zina) dan prostitusi.
Ketentuan
mengenai masalah poligami diatur
dalam Pasal 3 ayat 2, Pasal 4,
dan Pasal 5
Undang-undang
Perkawinan.
Walaupun
sudah
ada
Undang-undang Perkawinan tersebut, kenyataannya
poligami tetap saja terjadi tanpa memenuhi syarat yang
telah ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan. Praktek poligami yang tidak sesuai dengan aturan-aturan dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam hukum perkawinan di Indonesia akan menimbulkan berbagai masalah yang serius dalam keluarga. Salah satu
permasalahannya ialah dapat berpengaruh terhadap
kehidupan
sosial dan ekonomi. Sampai saat ini memang Undang-Undang
tentang
Perkawinan belum
mengatur sanksi pidana bagi suami yang menikah
lagi tanpa seizin Pengadilan Agama (PA). Adapun rencana pemberlakuan sanksi hukum
terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan
Agama dalam Rancangan Undang-Undang
Hukum Materiil Pengadilan Agama (RUU HMPA) tahun 2008, hingga saat ini belum diputuskan.
Aturan yang sudah ada hanyalah mengatur tentang pembatalan perkawinan, jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, yaitu sebagaimana yang
telah diatur pada pasal 71 Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Hukum Islam mengenal perkawinan poligami (mempunyai istri
lebih
dari
satu), di dalamnya diatur pula mengenai hak waris istri dari perkawinan
poligami yakni istri dari perkawinan
poligami mendapat bagian yang sama besar
seperti halnya bagian yang diterima oleh
istri terlebih dahulu.
Tetapi
dalam kenyataannya hak waris istri dari perkawinan poligami tidak sesuai dengan apa yang seharusnya ia dapatkan Sedangkan Hukum Perdata tidak
mengenal perkawinan poligami tetapi yang ada adalah perkawinan yang ke dua dan selanjutnya setelah terjadinya kematian atau
perceraian dengan
istri
terdahulu dan diatur
pula mengenai hak warisnya. Berdasarkan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan, perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.
Berdasarkan KUH Perdata Pasal 221, perceraian (echtscheiding) adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu,
melalui
keputusan hakim yang didaftarkan pada
catatan sipil1. Perkawinan putus karena kematian artinya kematian salah
satu dari suami atau istri secara otomatis menjadikan ikatan
perkawinan
terputus.
Undang-undang
tidak mengatur tentang
akibat-akibat putusnya perkawinan karena kematian. Yang diatur hanyalah akibat-akibat perceraian saja, tetapi putusnya perkawinan
karena kematian
secara otomatis mengakibatkan terjadinya pewarisan. Putusnya perkawinan karena putusan
pengadilan
adalah berakhirnya perkawinan yang
didasarkan atas putusan
pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Pewarisan merupakan suatu sistem hukum yang mengatur tentang
beralihnya harta warisan dari pewaris kepada ahli waris atau orang yang
ditunjuknya karena kematian pewaris.6 Secara garis
besar, BW membedakan ahli waris atas 2, yaitu ahli waris ab intestato dan
ahli waris testamenter.
Ahli
waris ab intestato ini
adalah ahli waris menurut atau berdasarkan Undang- undang
dan
mereka secara otomatis menjadi ahli waris jika terjadi kematian. Sedangkan apabila ada orang-orang tertentu yang
dikehendaki oleh pewaris agar juga memiliki harta peninggalannya dengan bagian-bagian yang telah ditentukan oleh pewaris maka kehendak ini dapat dituangkan dalam suatu akta yang disebut wasiat. Ahli waris yang ditentukan dalam wasiat tersebut adalah ahli waris testamenter.7
Bahwa dalam pembagian
harta warisan itu menurut Hukum Islam maupun Hukum Perdata, yang
lebih diutamakan
adalah orang yang mempunyai hubungan darah (nasab) dengan pewaris sesuai dengan Pasal 832KUH Perdata dan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam serta dalam Surat An Nisa (4) ayat 7, maka istri dan anak-anaknya sangatlah berperan
dalam
pembagian harta warisan.
Dan pembagian
warisan antara kedua hukum yaitu
Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata berbeda karena adanya
perbedaan asas yang
dipakai. Pembagian
warisan untuk menikah lebih dari satu kali sering menimbulkan masalah yaitu bagaimana hak waris dari istri atas perkawinan poligami tersebut.
Dalam Perkawinan terdahulu, akan diperoleh harta perkawinan yang terdiri dari harta bawaan
dan harta bersama,
dimana harta perkawinan ini sangat penting
untuk kelangsungan hidup selama perkawinan dan
akan
menjadi warisan bagi ahli waris dikemudian hari, berbicara tentang warisan
Walid menulis pembasan ini mengarah kepada
perhatian para pembaca kepada suatu peristiwa
hukum yaitu peristiwa kematian.
Akibat hukum yang
selanjutnya timbul dengan terjadinya kematian seseorang
diantaranya ialah penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat
meninggalnya seseorang. Peristiwa kematian ini
juga
membawa konsekuensi yuridis berupa hubungan saling mewarisi antara si
pewaris dengan
ahli waris, yang diatur dalam Hukum Waris, hak waris istri
dari perkawinan
poligami dalam
Hukum Islam,
di sebutkan dalam Q.S An-Nisa ayat 12 :
وَلَـكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ اَزۡوَاجُكُمۡ اِنۡ
لَّمۡ يَكُنۡ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنۡ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَـكُمُ الرُّبُعُ
مِمَّا تَرَكۡنَمِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصِيۡنَ بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍؕ وَلَهُنَّ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ اِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّكُمۡ وَلَدٌ ۚ فَاِنۡ كَانَ
لَـكُمۡ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡمِّنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ
تُوۡصُوۡنَ بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍؕ وَاِنۡ كَانَ رَجُلٌ يُّوۡرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امۡرَاَةٌ
وَّلَهٗۤ اَخٌ اَوۡ اُخۡتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنۡ
كَانُوۡۤا اَكۡثَرَ مِنۡ ذٰ لِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ مِنۡۢ بَعۡدِ
وَصِيَّةٍ يُّوۡصٰى بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ ۙ غَيۡرَ مُضَآرٍّوَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِؕ
وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَلِيۡمٌ ؕ
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika
mereka
tidak mempunyai anak.
jika Isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka
kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak.
jika
kamu mempunyai
anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu
tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang
kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun
perempuan
yang tidak meninggalkan
ayah
dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu
saja)
atau
seorang saudara perempuan (seibu
saja),
Maka bagi masing-masing
dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang
sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat
yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa :12)
Sementara hukum Perdata Barat,
dan Hukum Islam,dan hukum adat sedangkan
pada
masyarakat adat di Indonesia pada umumnya berpedoman pada hukum waris adat yang berdasarkan sistem kekerabatan. Salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam mewarisi yaitu: adanya ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima warisan karena adanya hubungan kekerabatan, pernasaban, perkawinan dan lain-lain.
Di dalam Hukum Kewarisan Islam,
duda dan janda dikatakan sebagai ahli waris sababiyah,
artinya kedudukan
mereka sebagai salah satu
ahli waris lahir
karena peristiwa hukum tertentu, yaitu perkawinan.
Sementara anak, bapak, ibu, saudara dan
lain-lain
dikatakan sebagai salah satu waris nasabiyah, artinya kedudukan mereka sebagai ahli waris muncul karena
kelahiran. Secara umum dapat dikatakan
sebagai ahli waris nasabiyah lebih kuat dari pada ahli waris sababiyah sebab
hubungan darah atau nasab tidak
dapat terputus karena alasan
apapun, sementara itu hubungan perkawinan dapat terputus yakni jika terjadi perceraian. Suatu perkawinan yang
sah
menimbulkan hak waris kepada seseorang dalam hal ada yang
meninggal.
Berkaitan dengan ahli waris dari pewaris (suami) yang
melakukan poligami tanpa adanya izin
dari
istri pertama dan
Pengadilan Agama,
karena ketentuan
hukum waris yang
ada
dan berlaku di Indonesia sampai ini masih belum
merupakan unifikasi hukum sehingga di dalam pengaturannya berpedoman
pada
aturan hukum yang berbeda-beda yang
menimbulkan suatu
permasalahan yang menyangkut kewarisan dari istri dari perkawinan kedua,ketiga,keempat.
Menurut
Hukum Perdata bahwa dalam perkawinan untuk
kedua kali atau
selanjutnya,
berlakulah
demi hukum persatuan harta kekayaan secara
bulat antara suami
dan
istri kedua atau selanjutnya selama dalam perjanjian perkawinan
tidak diadakan ketentuan
lain
sesuai dalam Pasal 180
KUH
Perdata. Namun
apakah
pada
kenyataan telah sesuai dengan teori dan
aturan yang
ada, dengan terciptanya suatu ketertiban dan keadilan yang
sangat dibutuhkan
bahwa para pelaku
poligami tersebu
B. PEMBAHASAN
1. POLIGAMI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Pengertian Poligami dan Dasar Hukum Poligami
Secara etimologis,
istilah poligami berasal dari bahasa yunani terdiri dari dua pokok
kata,
yaitu Polu dan Gamein. Polu berarti banyak, Gamein
berarti kawin. Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak[2] Pengertian etimologis tersebut dapat dijabarkan
dan dipahami bahwa poligami merupakan perkawinan
dengan salah satu pihak
(suami) mengawini lebih
dari seorang
isteri dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri- isteri tersebut masih dalam
tanggungan suami dan tidak diceraikan
serta masih
sah
sebagai isterinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan
sistem perkawinan yang membolehkan
seseorang mempunyai istri atau suami
lebih
dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri
atau suami kedua,
ketiga dan seterusnya.[3] Dalam pengertian umum yang berlaku di
masyarakat kita sekarang ini poligami diartikan seorang laki-laki
kawin dengan
banyak
wanita. Menurut
tinjauan Antropologi sosial (Sosio
antropologi)
poligami memang mempunyai pengertian
seorang laki-laki
kawin dengan
banyak
wanita atau
sebaliknya.
Poligami dibagi menjadi 2 macam yaitu:a)
Polyandri yaitu perkawinan
antara seorang perempuan
dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu
perkawinan antara laki-laki dengan
beberapa orang perempuan.
Dalam perkembangannya istilah poligini jarang sekali dipakai, bahkan bisa dikatakan
istilah ini tidak dipakai lagi di
kalangan masyarakat,
kecuali di kalangan antropolog saja.
Sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan
istilah poligini dengan pengertian perkawinan
antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan disebut poligami,
dan
kata ini dipergunakan
sebagai lawan
polyandri.[4] Selain
poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri adalah
suatu
bentuk perkawinan dengan
ciri
salah satu pihak
(isteri) memiliki lebih dari seorang suami dalam
waktu bersamaan.[5]Dibandingkan
poliandri,
poligami lebih
banyak dipraktekkan
dalam kehidupan masyarakat. Adapun
dalam istilah kitab-kitab fiqih
poligami disebut dengan
ta’addud al-zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan
secara istilah
diartikan
sebagai kebolehan mengawini perempuan
dua,
tiga, atau empat,
kalau bisa berlaku adil.
Jumhur ulama membatasi poligami hanya empat
wanita saja.[6]Kendatipun banyaknya poligami pada masyarakat kita ini belum pernah diselidiki secara research
apa
sebenarnya motif
dan sebabnya, namun
pada
kenyataan nya kebanyakan
poligami dilakukan
oleh
masyarakat kita
tidak
sesuai dengan segala ketentuan,
sehingga poligami yang dilakukan
itu sangat jauh
dari
hikmah-hikmah
dan
rahasianya yang terkandung didalamnya.
2. Dasar Hukum Poligami
Dalam hukum positif di Indonesia,
masalah poligami termaktub dalam berbagai peraturan
perundang-undangan
perkawinan,
yaitu
dalam UU No.
1 Th. 1974 tentang perkawinan, PP RI No. 9 Th. 1975 tentang Pelaksanaan
UU No.
1 Th. 1974 tentang perkawinan. Untuk
PNS, terdapat dalam PP RI No.
10 Th. 1983 yang telah disempurnakan dengan
PP
RI No. 45 Th.
1990 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi PNS dan
SE
No. 08/SE/1983 tentang izin perkawinan
dan perceraian
bagi PNS serta SE No. 48/SE/1990
tentang
petunjuk pelaksanaan PP No. 45 Th.
1990. Adapun sebagai hukum materiil bagi orang Islam,
terdapat ketentuan dalam Inpres No.1
Th. 1991 tentang KHI.[7]Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah
diatur
mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah
isteri, alasan atau motif yang dijadikan
dasar poligami,
persyaratan-persyaratan hingga prosedur
yang harus ditempuh
dan dipenuhi oleh
suami yang akan poligami.
Namun
demikian, salah satu
prinsip atau asas perkawinan
yaitu
asas monogami yang
terdapat dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 juncto penjelasan
umum
bagian 4 huruf
(c) UU No.1 Th.
1974. .
Menurut
Soemiyati, asas monogami dalam UU perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan
perkawinan monogami dengan jalan
menetapkan persyaratan-persyaratan dan prosedur yang telah ditentukan dalam UU perkawinan.
Persyaratan
dan prosedur poligami diatur dalam pasal 4
dan 5 UU No. 1 Th. 1974,
yaitu PA hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih
dari seorang apabila isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, ataupun isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Adapun syarat-syarat lain diatur
dalam pasal 5
UU
No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan yaitu adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri dan adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka. Selain itu
harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
Mengenai masalah
ini,
Rasyid Ridha mengatakan,
sebagaimana yang
dikutip
oleh
Masyfuk
Zuhdi yaitu, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat dari pada manfaatnya,
karena manusia itu mempunyai watak cemburu,
iri
hati dan
suka mengeluh.
Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan
kadar tinggi,
jika
hidup dalam kehidupan
keluarga
yang poligamis.
Menurut Rasyid Ridho
maksud
dari
ayat tersebut adalah untuk
memberantas atau
melarang tradisi jahiliyyah yang tidak
manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa
memberi hak mahar dan
hak-hak lainnya dan ia bermaksud
untuk makan harta anak
yatim
dengan cara tidak
sah,
serta ia menghalangi anak yatimnya kawin
dengan orang lain
agar ia tetap leluasa menggunakan
hartanya.
Demikian
pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini istri banyak
dengan perlakuan
yang tidak
adil dan tidak manusiawi hal ini dilarang oleh
Islam.[8]
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan batasan empat istri dalam waktu yang
bersamaan, di antaranya:
عَنْ
قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ
النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ
أَرْبَعًا. رواه أبو داود و ابن ماجة
Artinya:Dari Qais bin al-Harits, ia
berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan istri. Aku pun
mengatakan kepada Nabi SAW tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda,
‘Pilihlah empat saja dari kedelapan istrimu tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ
نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ -صلى
الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ. رواه الترمذي
Artinya:Dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin
Salamah ats-Tsaqafi baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri pada
masa Jahiliyah. Istri-istrinya pun masuk Islam bersamanya, lantas Nabi SAW
memerintahkan agar ia memilih empat orang dari istri-istrinya. (HR. Tirmidzi
Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Imam
Nawawi dalam al–Majmu’16: 137, menyatakan,”Diperbolehkan bagi seorang laki-laki
mengumpulkan empat orang istri[9].
Lebih dari itu tidak diperbolehkan, karena dalam ayat hanya menyebutkan: dua,
tiga, atau empat.” Jadi, bila ada orang yang mempunyai istri lebih dari empat
sekaligus, berarti telah melanggar hadits-hadits Nabi di atas. Na’udzubillah
min dzalik. Apa pun alasannya, haram menikahi lima orang istri atau lebih dalam
waktu yang bersamaan. Tetapi,
Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan
laki-laki beristeri banyak
sebagaimana yang
sudah
berjalan
dahulu
kala,
dan Islam tidak menutup
rapat kemungkinan adanya laki-laki berpoligami.
Praktek
poligami sudah
menjadi fakta yang terjadi di masyarakat lama sebelum
diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti sudah
diketahui Nabi Ibrahim a.s
beristerikan Siti Hajar
disamping Siti Sarah dengan
alasan karena isteri
pertama belum memberikan keturunan
kepada Nabi Ibrahim a.s.
Dalil yang dijadikan landasan
kebolehan
poligami sesuai Firman Allah pada surat An-
Nisa‟ ayat 3
di atas Ayat ini merupakan kelanjutan
tentang memelihara anak
yatim, yang kemudian disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena eratnya hubungan
pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih
dari satu sampai empat yang terdapat dalam ayat ini, maka akan dipaparkan secara
singkat asal mula turunnya ayat ini.
Menurut
tarsir Aisyah
r.a, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan
Urwah bin
Zubair
kepada Aisyah
isteri Nabi Saw,
tentang ayat ini. Lalu beliau menjawabnya,
“Wahai anak
saudara perempuanku, yatim disini maksudnya adalah anak
perempuan
yatim yang berada dibawah asuhan
walinya mempunyai harta kekayaan
bercampur
dengan harta kekayaannya serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya, lalu
ia
ingin menjadikannya sebagai isteri, tetapi tidak mau memberikan maskawin
dengan adil, karena itu pengasuh
anak
yatim yang seperti ini
dilarang menikahi mereka,
kecuali jika mau
berlaku
adil kepada mereka dan memberikan
maskawin
kepada mereka lebih tinggi dari biasanya, dan
jika tidak dapat berbuat demikian,
maka mereka diperintahkan
untuk
menikahi perempuan perempuan
lain
yang disenangi.[10]Begitu
juga dengan Surat An-
Nisa‟ Ayat 129
وَلَنۡ تَسۡتَطِيۡعُوۡۤا اَنۡ
تَعۡدِلُوۡا بَيۡنَ النِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡفَلَا تَمِيۡلُوۡا كُلَّ الۡمَيۡلِ
فَتَذَرُوۡهَا كَالۡمُعَلَّقَةِوَاِنۡ تُصۡلِحُوۡا وَتَتَّقُوۡا فَاِنَّ اللّٰهَ
كَانَ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا
Artinya : “Dan
kamu
sekali-kali tidak akan
dapat Berlaku adil di antara
isteriisteri(mu), walaupun
kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena
itu
janganlah kamu terlalu
cenderung
(kepada
yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung. dan
jika kamu Mengadakan perbaikan
dan memelihara
diri (dari kecurangan),
Maka Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri, seperti, pakaian,
tempat,
giliran,
dan lain lain yang bersifat lahiriyah, islammemang memperbolehkan
poligami dengan
syarat-syarat tertentu.
Dari dua ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang laki-laki muslim boleh
mengawini hanya empat wanita saja.
Namun,
bila
ternyata ia tidak bisa berbuat adil bahkan
berbuat zalim bila mempunyai beberapa orang isteri,
hendak
nya
ia mengawini hanya seorang isteri saja. Ketidakmungkinan manusia untuk
bisa
Kalau ayat tersebut seolah-olah
bertentangan
dalam masalah
berlaku adil, pada ayat 3 Surat An-Nisa‟, diwajibkan
berlaku adil, sedangkan
ayat 129
meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah
bertentangan
karena yang dituntut disini adalah
adil dalam masalah lahirian
bukan kemampuan
manusia,
berlaku adil yang ditiadakan
dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. Sebab, Allah Swt. sendiri
tidak
memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya,
sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 286
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا
اِلَّا وُسۡعَهَا ؕ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا اكۡتَسَبَتۡؕ رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِيۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ
عَلَيۡنَاۤ اِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهٗ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا ۚرَبَّنَا
وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖوَاعۡفُ عَنَّا وَاغۡفِرۡ لَنَا
وَارۡحَمۡنَا ۚ اَنۡتَ مَوۡلٰٮنَا فَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ الۡكٰفِرِيۡنَ
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupan
nya. ia mendapat pahala
(dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa
(dari kejahatan)
yang
dikerjakannya.
(mereka berdoa): "Ya Tuhan
Kami,
janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau
Kami tersalah. Ya Tuhan
Kami, janganlah Engkau bebankan kepada
Kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum
kami. Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
Kami apa yang tak
sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami,
Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang
kafir."
Hukum perkawinan lebih dari seorang istri (poligami)
diperbolehkan
dan bukan wajib. Akan tetapi kebolehan
berpoligami itu sekiranya telah mencukupi syarat-syarat yang telah
ditentukan, di antara syarat tersebut adalah (a).Mampu
menafkahi istri-istri dan anak-anak.(b).Berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Bagi mereka yang
tidak dapat memenuhi persyaratan, maka ia tidak dibenarkan untuk
berpoligami.[11]Pembicaraan
tentang poligami selalu mengacu pada surah An-Nisaa‟
ayat 3
seperti mana yang difahami bahwa Allah
SWT tidak
memerintahkan
untuk berpoligami,
hanya saja menunjukkan
kebolehannya saja.
Bagi yang tidak mampu
atau
tidak mungkin
untuk melaksanakannya, maka dirinya tidak
diperbolehkan untuk
berpoligami. Kebiasaannya sistem poligami tidak
akan kecuali dalam kondisi mendesak saja.[12]Dari uraian
ringkas di atas dapat
diketahui bahwa hukum poligami adalah mubah (boleh)
bukanlah
sunat dan
bukan pula wajib.
Artinya kondisi yang bagaimana
menuntut adanya poligami seperti mandulnya seorang istri, istri yang sakit tidak bisa melayani kebutuhan
suami,
dan meningkatnya jumlah kaum perempuan, maka dalam kondisi yang
seperti inilah Islam memberikan solusi untuk melakukan
poligami dengan
mengsyaratkan dengan
adanya keadilan dalam mengatur urusan- urusan bahtera rumah tangga yang bahagia.
3.
Syarat-syarat
Poligami
Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristri lebih
dari
seorang,
diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang
Perkawinan
yaitu:
1.Istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri;
2. Istri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3.Istri tidak dapat melahirkan
keturunan;
Selain itu syarat-syarat untuk berpoligami menurut ketentuan
Pasal 5 Undang-undang Perkawinan yang juga harus dipenuhi,
adalah:
1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang
ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a). Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri,
b). Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.
c).Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap
isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
2).
Persetujuan
yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam
perjanjian,
atau apabila
tidak ada
kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Un[13]tuk melihat perbedaan
antara Pasal 4 dan Pasal 5
adalah, pada Pasal 4
disebut dengan persyaratan alternatif
yang artinya salah satu harus ada untuk
dapat mengajukan
permohonan poligami.
Sedangkan pasal 5 adalah
persyaratan
komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan
melakukan poligami.[14]Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat poligami dijelaskan dalam pasal 55 yang berbunyi:
a. Beristeri lebih dari satu
orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanya sampai empat orang isteri.
b. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
c. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih
dari seorang.
Syarat yang lain disebutkan
dalam pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam:
Selain
syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan
pada
pasal 5 Undang-undang No.
1 Tahun 1974 yaitu: a. Adanya persetujuan
isteri,
b. Adanya kepastian
bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup
Isteri-isteri dan
anak-anak
mereka.
Undang –undang nomor 1 tahun
1974 yang memuat tentang kebolehan
poligami dengan persaratan
tertentu salah satunya adalah adil. dalam perpektif psikologis, adalnya kebolehan poligami dengan
persaratan adil mempunyai
dampak
psikis begitu besar.[15]
Dalam Al- Qur‟an menerangkan
tentang syarat-syarat melakukan
poligami yaitu:
a.
Mampu
berbuat adil kepada semua istrinya dalil Surat An-Nisa‟: 3,
وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ
لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا
تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى
اَلَّا تَعُوۡلُوۡا
Artinya :Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuanyatim
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,
maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim..(QS.An-Nisa
Ayat
3)[16]
.
b.Mampu menjaga diri untuk tidak terperdaya dengan istri -istrinya itu dan
tidak mening galkan hak-hak Allah karena keberadaan mereka. Allah
berfirman dalam Surat
At-Tagabun Ayat 14
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Surat At-Tagabun Ayat 14)
c.Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan agar istri-istrinya itu
terhindar dari kenistaan dan
kerusakan,
karena Allah tidak
menyukai kerusakan. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW. Bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya:"Hai sekalian pemuda,
barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah,
karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan
barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi
benteng baginya." (HR Muttafaq 'alaih).
d.Memiliki kesanggupan untuk
member
nafkah
kepada mereka. Allah SWT. Berfirman,” Dan orang-orang yang tidak mampu
kawin
hendaklah menjaga kesucian
(diri)-Nya, sehingga Allah
membuat mereka mampu
dengan
karunia-Nya.”
(An-Nur:33)
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ
نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ
الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ
خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا
فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ
إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak
yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (An-Nur:33)
4.Poligami Tanpa Izin Istri Pertama
Hingga saat ini poligami di Indonesia masih
menjadi topik
yang laku untuk
diteliti. Perform konsepnya yang menggugah,
dan ditunjang maraknya prakter poligami, tak terasa telah
membawa berbagai pandangan yang kontraproduktif
di
tengah masyarakat.
Munculnya berbagai persepsi yang
dilematis ini, tentu
saja salah
satunya berawal dari alasan
yang menjadi dasar poligami,
serta modus yang ditempuh pelaku poligami. Akan
tetapi adakalanya timbul situasi atau kondisi darurat, misalnya dalam keadaan istri tidak
dapat melahirkan
keturunan, atau tidak
dapat menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri, karena cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
dan
sebagainya.
Demi kepentingan
manusia, baik secara individual maupun masyarakat, poligami tidak
sertamerta diperbolehkan
oleh
Islam maupun aturan perundang-undangan
yang berlaku,
tetapi diperbolehkannya poligami harus didasarkan
alasan yang
kuat. Alasan
tersebut adalah
dasar atau faktor yang mempengaruhi orang tersebut untuk melakukan poligami. Persetujuan
tersebut tidak
diperlukan
bagi seorang suami apabila istri atau
istri-istrinya tidak
memunkinkan diminta persetujuannya dan tidak ada kabar istrinya sekurang-kurangnya dua tahun, apabila istri tidak mau memberikan
persetujuan
kepada suaminya untuk beristri lebih
dari satu orang,
berdasarkan salah
satu alasan tersebut di atas.
Maka pengadilan agama dapat menetapkan
pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar
istri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama dan
terhadap
penetapan ini, istri atau suami dapat mengajukan
banding/kasasi.
Syari‟at Islam meperbolehkan
berpoligami dengan
batasan sampai empat orang dan
mewajibkan berlaku
adil bagi kepada mereka,
baik
dalam
urusan pangan,
pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifa kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan
istri yang miskin, yang
berasal dari keturunan tinggi maupun dengan yang rendah. Bila suami khawatir berbuat yang tidak
baik dan tidak
mampu memenuhi semua hak-hak
mereka, maka ia diharamkan
berpoligami.
E.
Sistem Pewarisan Menurut
KUH Perdata dan Hukum Islam,,
1.Sistem Pewarisan Menurut
Hukum Perdata,
Hukum adalah suatu yang berkenaan
dengan manusia,
yaitu
aturan yang mengatur
manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya dalam
suatu
pergaulan
hidup. Menjadi suatupemikiran dalam ilmu pengetahuan
ukum Perdata Barat bahwa setiap
manusia itu
merupakan
orang pembawa
hak. Sebagai pembawa hak
padanya dapat diberikan
hak
(dapat menerima warisan,
menerima hibah mutlak dan
sebagainya)
dan dapat dilimpahkan kewajiban.[17]
Hukum di Indonesia masih
bersifat Pluralistis yaitu
berlakunya banyak sistem hukum didalam suatu
wilayah
tertentu
yang mengatur masalah
yang berlaku bagi masing-masing golongan.
Seperti halnya hukum
yang mengatur
masalah waris yaitu masih
berlakunya Hukum
Waris Adat,
Hukum Waris Perdata Barat dan Waris Islam.
Hukum waris merupakan salah satu
bagian dari hukum Perdata
secara keseluruhan
dan
merupakan
bagian terkecil dari hukum Keluarga.
Hukum waris yang ada dan berlaku
di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Untuk itu hingga kini peraturan masalah
waris masih
belum terdapat keseragaman.
Apabila memperhatikan pengaturan yang berbeda-beda, maka dapat diketahui baik
perbedaan maupun persamaannya dan
selanjutnya akan dapat diketahui
baik perbedaan maupun
persamaannya dan para ahli waris, baik menurut Hukum Waris Perdata Barat maupun
Hukun
Waris Islam.[18]
Sebagai akibat dari keadaan
yang ditemukakan tersebut,
maka
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia pada “Hukum Waris yang
berlaku
bagi yang meninggal dunia”. Apabila yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk
Indonesia,
maka yang berlaku adalah Hukum Waris Adat, sedangkan
apabila pewaris termasuk
golongan
Eropa/Timur
Asing Cina,
maka
bagi mereka berlaku
Hukum Waris Barat.
Apabila pewaris termasuk golongan penduduk
Indonesia yang beragama
Islam, maka mereka mempergunakan peraturan hukum
waris berdasarkan Hukum Waris Islam.[19]
Menurut Soepomo
Hukum Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan
serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud
benda (immateriele
goedren) dari angkatan
manusia (generatie) kepada turunannya. Proses
tersebut tidak menjadi “akut” oleh
sebab orang tua meninggal dunia.
Menurut R. Wirjono
Prodjodikoro warisan adalah soal apakah dan
bagamanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban
tentang
kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang lain yang masih hidup,
dalam definisi warisan
ini
mempunyai 3unsur yaitu:
a.
Seseorang peninggal warisan (elflater) pada saat meninggal dunia meninggalkan kekayaan.
b. Seorang
atau
beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang
berkah
menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.
c.
Harta warisan (nalatenchap) yaitu wujud kekayaan yang
ditinggalkan dan
sekali beralih
kepada para ahli waris itu.[20]
Hukum Perdata menganut sistem keturunan bilateral, dimana setiap orang
itu menghubungkan dirinya ke dalam keturunan ayah
maupun ibunya,
artinya ahli waris berhak mewarisi dari ayah
jika
ayah meninggal dan
berhak
mewaris dari ibu
jika ibu meninggal. Apabila dihubungkan
dengan sistem kewarisan, maka KUH Perdata menganut sistem kewarisan individual,
artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris), harta warisan
(peninggalan)
dapat dibagi-bagi pemiliknya antara para ahli
waris.[21]
Ciri khas hukum waris menurut KUH Perdata antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk
sewaktu-waktu menurut
pembagian
dari
harta warisan”. Ini berarti, apabila seorang ahli waris
menurut pembagian
harta warisan di depan Pengadilan.
Tuntutan
tersebut tidak dapat ditolak
oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera
dalam Pasal 1066
KUH Perdata, yaitu:
a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagain dari harta peninggalan
tidak dipaksa untuk memberikan harta peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi diantara para ahli waris yang ada;
b.
Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun
ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
c. Perjanjian
penangguhan pembagian harta peninggalan
dapat saja
dilakukan hanya untuk
beberapa waktu tertentu;
d.
Perjanjian penangguhan
pembagian
harta
berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh
para
pihak[22]
Undang-undang merupakan dasar
hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat atau testament adalah
suatu pernyataan
tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia dan tidak
ditarik
kembali selama pembuat surat wasiat
masih hidup.
Surat wasiat masih dapat diubah
atau dicabut seakan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak
lagi dapat diubah, dicabut maupun
ditarik kembali oleh
siapapun.
Seseorang dapat
mewariskan
sebagian atau seluruh
hartanya dengan
surat wasiat. Apabila
seseorang hanya menetapkan
sebagian
dari hartanya melalui surat wasiat,
maka
sisanya merupakan bagian
ahli waris.
Berdasarkan
undang-undang (ahli waris Ab intestate).
Hal ini tidak
berarti bahwa ahli waris karena
wasiat merupakan
penghalang
bagi ahli waris Ab intesto.
Untuk
menentukan besarnya Legitime portie (bagian waris menurut undang-undang yang tidak boleh
dikurangi oleh
pewaris)
dalam suatu
warisan pada Pasal 921
KUH Perdata adalah
sebagai berikut:
a. Harta peninggalan pada waktu pewaris meninggal dunia ditetapkan jumlahnya,ber
dasarkan
harga pada waktu pewaris meninggal.
b. Jumlah itu harus ditambah dengan barang yang dihibahkan pada waktu
pewaris
masih hidup.
c.
Jumlah yang terdapat tersebut dikurangi dengan
segala hutang
pewaris.
d.
Sisa pengurangan ini dijadikan dasar menghitung legitime portie para
ahli waris mutlak.
Ahli waris menurut Hukum Perdata adalah sekalian
orang
yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris. Kepemilikan suatu benda terjadi diantaranya dengan
adanya pewarisan dari orang
yang meninggal dunia karena disebabkan adanya suatu
ikatan
menurut undang-undang
maupun karena wasiat.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 584
KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “hak milik
atas segala sesuatu
kebendaan tak dapat diperoleh
dengan cara lain, melainkan dengan kepemilikan,karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan
atau
penterahan
berdasarkan
asa suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik,
dilakukan
oleh
seorang yang berhak berbuat bebasterhadap
kebendaan itu” Tiap ahli waris berhak
menuntut bagian
warisan yang menjadi haknya, sebgaimana diatur dalam Pasal 913.
KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Legitime portie (bagian
mutlak), adalah suatu bagian
dari
harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus
menurut undang-undang, terhadap bagian
mana
si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian
antara yang
masih hidup,
maupun selaku wasiat”. Bagian
mutlak
bagi para waris dalam garis lurus ke bawah dimuat dalam Pasal 914
KUH Perdata yaitu:
a. Kalau hanya ada seseorang anak (Sah) saja, maja bagian itu adalah
setengah
dari
bagian itu
jika ia mewariskan
tanpa testament;
b. Kalau ada 2 orang anak bagian itu sebesar 2/3 bagian masing-masing
menutut hukum waris tanpa testamen;
c. Kalau ada 3 anak atau lebih maka bagian itu tiga per empat bagian
masing-masing menurut hukum waris tanpa testamen;
d. Jika tidak ada anak, maka kedudukannya diganti oleh anak-anaknya
dan seterusnya.
Berhubungan
dengan ahli waris menurut Hukum Perdata untuk
dapat
menjadi ahli waris ditentukan
dengan 2 cara yaitu
:38
a. Ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang (Ab intestate)
Ahli waris menurut ketentuan
undang-undang ini dibagi dalam 4 golongan yaitu :
1) golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka serta
suami/istri
yang ditinggalkan / yang hidup paling
lama
(Pasal 852
KUH Perdata)
2) golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang
tua dan saudara (Pasal 854 KUH Perdata, Pasal 855 KUH Perdata, Pasal
856 KUH
Perdata, Pasal 844 KUH Perdata,
dan Pasal 857 KUH Perdata)
3) golongan ketiga,
meliputi kakek,
nenek
dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris (Pasal 853 ayat(1) KUH
Perdata. Dan Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata)
4) golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis samping
dan
sanak keluarga lainnya sampai derajat ke enam(Pasal 858
ayat (2)
KUH Perdata, Pasal 861
ayat (1) KUH Perdata)
b. Pewarisan menurut wasiat (testament)
Pewarisan
menurut wasiat terjadi apabila pewaris menunjuk orang untuk
menjadi ahli waris. Pengertian
suatu wasiat (testament)
adalah suatu
pernyataan
dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah mati.
Wasiat merupakan
suatu
penunjukan
yang
sifatnya sepihak artinya keluar dari seorang (pewaris)
saja,
selain itu kedudukannya tidak
tetap yaitu sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Surat wasiat tidak boleh bertentangan
dengan hukum.
surat wasiat tersebut dapat disimpulkan
dari Pasal 957
KUH Perdata, yaitu :
1) wasiat yang menunjukan berupa tertentu ( Leggat)
2) wasiat yang menunjuk berupa bagian dari pada warisan (erftelling) Seorang yang
mendapat erftelling mempunyai kedudukan sebagai ahli waris undang-undang sehingga akibatnya ia tidak hanya menerima hak-hak yang
melekat pada harta warisan,
melainkan juga kewajiban-
kewajiban antara lain membayar
hutang-hutang dari pewaris.
Berbeda dengan
seorang yang mendapat leggat,
ia
tidak mempunyai kedudukan sebagai kedudukan
sebagai ahli waris menurut undang-undang
sehingga ia tidak dapat menggantikan pewaris dari hak-hak
dan kewajiban yaitu untuk
membayar hutang-hutang pewaris. Selain itu dalam masalah
barang ia hanya berhak
menuntut penyerahan
barang-barang tertentu
yang diserahkan
padanya dari ahli waris. Seorang legitaris berkedudukan sebagai penerima beberapa benda itu
kepada orang lain yang ditunjuk dalam wasiat (testament). Ahli waris menurut wasiat harus ada sewaktu
pewaris meninggal dunia. Ahli waris yang
tidak
patut dan tidak berhak
menerima warisan karena ada beberapa penyebab diantranya adalah yang
disebutkan dalam Pasal 838 KUH Perdata ayat (1) sampai (4)
yang
berbunyi sebagai berikut:
1) mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau
mencoba membunuh si meninggal ;
2) mereka yang
dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan
pengaduan
terhadap siyang meninggal, ialah suatu pengaduan tekah melaku
kan sesuatu kejahatan yang
terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya/
hukuman yang lebih
berat;
3) mereka yang dengan kekerasan atau
perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk
membuat atau
mencabut surat wasiatnya;
4) mereka yang telah menggelapkan, merusak / memalsukan surat wasiat
siyang meninggal[23]
2. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Islam
Di Indonesia yang berlandaskan
Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya telah dimulai untuk
menjalankan Sabda Raslullah SAW untuk mempelajari dan
mengajarkan hukum
waris,
sebagaimana Sabda Nabi :
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ تَعَلَّمُوا القُرْآنَ
وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ
مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ
فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا – رواه الحاكم
Artinya:Dari
Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah
Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan
ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang
berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa
menjawabnya". (HR.
Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
Dari hadist diatas tersirat bahwa mempelajari ilmu
Faraidh (ilmu
waris)
adalah
sesuatu
keharusan bagi umat Islam agar dapat diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan
sekarang,
bagaimana penerapan ilmu
tersebut (Hukum Waris Islam) dalam kehidupan
lingkungan masyarakat muslim Indonesia secara konsisten, merupakan suatu hal yang
tidak
dapat dipungkiri,
bahwa hukum waris Islam bagi seorang muslim
mempunyai kedudukan yang utama dibandingkan dengan
hukum waris lainnya,
sebab sudah jelas Hukum Waris Islam tersebut telah
disyaratkan
dalam Al-Qur‟an meupun
Sunnah bahkan merupakan hal yang
wajib
dilaksanakn oleh umat Islam.
Apalagi peran
Pengadilan Agama yang telah
disahkan
dan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan
kehakiman
yaitu
sebagai Pengadilan yang berdiri sendiri dan
mempunyai kewenangan penuh
untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan
kewarisan bagi masyarakat yang telah memeluk
agama Islam. Huzairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Quran mengemukakan bahwa “sistem kewarisan islam adalah sistem individual bilateral. Hal ini tersebut berdasarkan ayat Al-Quran antara lain
tercantum dalam ayat 7 ,8 ,11 ,12 , 33, dan 176 Q.S An.Nisa,
setelah
sistem waris manurut Al-Quran yang individual
bilateral dalam masyarakat yang bilateral.
Pengertian waris menurut bahasa arab
merupakan mashbar dari
warits yang berarti menjatuhkan
dan warisan yang berarti pengalihan (peninggalan) lebih jelas lagi Al Munawir Ahmad Warson
dalam kamus Arab
mengemukakan bahwa warisan itu
adalah
memindahkan sesuatu
kepadanya atas seseorang setelah meninggal, adapun pengertian
hukum kewarisan
berdasarkan
Pasal 171 KHI yang menyatakan bahwa: “hukum
kewarisan
adalah Hukum yang mengatur
tentang pemindahan hakpemilik
harta peninggalan
(tirkah) pewaris,
menetukan siapa-siapa yang berhakmenjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.”[24]Dalam Islam sebab-sebab pusaka ada 4
yaitu:
a.
Kekeluargaan;
b. Perkawinan;
c.
Dengan
jalan memerdekakan
dari perbudakan;
d. Hubungan Islam, orang yang
meninggal dunia
yang harta peninggalannya diserahkan keBaitul untuk umat Islam dengan jalan
pusaka.[25]
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu pewarisan, yaitu:
a.
Muwarits yaitu orang yang meninggal dunia yang
harta
peninggalannya berha kdimiliki oleh ahli warisnya, baik dia mati secara haqiqy, huqmy, maupun taqdiry. Mati huqmy disimi ialah
suatu
kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walupun sesungguhnya belum matisejati/sebenarnya. Dalam
Hadist Nabi Muhammad SAW yang menerapkan tentang hak ahli
waris dalam menerima harta warisan, yaitu: “barang
siapa yang
meninggalkan suatu hak atau suatu har ta, maka hak atau harta itu
adalah
untuk
ahli warisnya setelah kematian”.
b.
Warits yaitu orang yang berhak mewarisi harta peninggalan si mati.
Baik itu disebabkan karena adanya hubungan (nasab) darah,
kerabat,
perikatan ataupun
karena adanya hak
perwalian dengan lain
sebagainya.
c. Mauruts yaitu harta benda atau kekayaan yang ditinggalkan oleh si
mati. Baik itu
berupa harta
bergerak maupun
harta
yang tidak
bergerak,
itu pun setelah
dipisahkan dari
hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi dahulu sehubungan dengan adanya peristiwa kematian.
Mauruts (warisan) terap sekali disebut orang dengan nama “irtsan,
miratsan dan tirkatan (tirkah)”. Namun hakikatnya bermakna sama,
yaitu seluruh harta benda dan kekayaan yang ditinggalkan oleh
almarhum untuk para ahli warisnya.
Harta warisan
atau
maurutsun menurut ajaran Islam diartikan sama dengan
harta peninggalan
atau
tirkah.
Tirkah ialah apa-apa yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dunia dibenarkan oleh syarat untuk dipusakai oleh
para
ahli waris[26]
a.
Jumhur Ulama, tirkah itu adalah apa yang ditinggalkan oleh seseorang
sesudah dia meninggal, baik merupakan harta maupun merupakan hak yang bersifat harta/hak yang lebih kuat unsur harta terhadap hak perorangan tanpa melihat siapa yang berhak
menerimanya.
b. Dikatakan Fuqaha Hanafiyah
terdapat tiga pendapat
1) Pendapat yang
termashur dari Fuqaha Hanafiayah menafsirkan
tirkah ialah harta benda yang ditinggalkan si mati yang
tidak
mempunyai hubungan dengan
orang
lain. Tirkah ini dikeluarkan untuk
memenuhi hak
biaya perawatan, hak pelunasan hutang,
hak dan ahli waris.
2) Sebagian Fuqaha Hanafiyah mengatakan bahwa tirkah itu adalah
sisa harta setelah diambil perawatan, hak pelunasan utang. Jadi
tirkah dalam ta’fi ini ialah harta peninggalan yang harus
dibayar
untuk melaksanakan
wasiat yang harus diterimakan kepada ahli waris.
3) Sebagian mereka
yang lain, mengartikan
secara mutlak yaitu setiap harta benda yang
ditinggalkan oleh si mati, dengan demikan
tirkah itu
mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan
hak orang lain, biaya perawatan, pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat
dan penerimaan
kepada ahli waris.[27]
c. Ibnu Hamzah sependapat dengan pendapat Fuqaha Hanafiyah yang mengatakan bahwa harta peninggalan yang harus dipusakakan itu ialah berupa harta benda saja. Sedangkan berupa hak-hak tidak dapat
dipusakakan kecuali kalau hak-hak tersebut mengikuti kepadabendanya seperti hak mendirikan bangunan, atau menanam tumbuh-
tumbuhan di atas tanah.[28]
d. Ulama-ulama Malikiyah Syafi‟iyah, Hanabilah memutlakkan
tirkah
kepada segala
yang ditinggalkan oleh si mati baik berupa harta benda,
maupun hak-haknya. Baik hak-hak kebendaan maupun bukan
kebendaan. Hanya Imam Maliki saja yang memasukan hak-hak yang
tidak dapat dibagi, seperti hak beliau
menjadi wali nikah, ke dalam keumumam arti anak-anak.
e. Kitab undang-undang waris Mesir mengambil pendapat jumlah dalam menetapkan pengertian tirkah segala apa yang ditinggalkan oleh si mati yang
mencakup seluruh harta atau tanggungan yang
berpautan dengan hak orang
lain, biaya-biaya perawatan, pelunasan hutang, sisa
yang diwasiatkan
yang diterimakan
kepada ahli waris.
Dari berbagai warisan atau harta peninggalan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa warisan ialah berbagai perpindahan
dan
kewajiban tentang kekayaan harta peninggalan
seseorang yang telah
meningal dunia kepada
orang lain yang masih hidup.
3. Pewaris dan
Dasar Hukum Mewaris Menurut
Hukum Islam
Pewaris adalah
orang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan
yang meninggalkan
sejumlah harta benda maupun
hak-hak yang diperoleh
selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat maupun
tanpa surat wasiat[29]Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau
dasar
untuk mendapatkan bagian harta benda Al-Quran, yaitu :
a. Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam Q.S An-Nisaa ayat
7,
ayat 11,
ayat 12,
ayat 33,
dan ayat 176.
b. Hubungan semenda atau pernikahan. Seseorang dapat memperoleh harta
warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan perkawinan antara si pewaris dan (yang
meninggal) dengan seseorang. Yang termasuk
dalam klasifikasi ini adalah suami dan istri dari yang meninggal. Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah tentang
hak
waris seorang
istri.
Menurut uraian di sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa seorang perempuan dapat memperoleh harta warisan (menjadi
ahli waris) apabila
terikat oleh suatu ikatan perkawinan yang sah dengan pewaris
(suami).
Disebutkan
dalam Q.S An-Nisa ayat12, yang artinya:“para istri
memperoleh seperempat harta yang
kamu
tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak,
jika
kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu
tinggalkan sesudahdipenuhi wasiat yang kamu buat atau(dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu...”
c. hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Qur‟an
bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris.
Seperti tersurat Q.S Al- Azhab
ayat 6:
“Nabi itu lebih
utama bagi orang-orang
mukmin
dibandingkan diri merekasendiri dan
istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang
yang mempunyai
hubungan
darah
satu sama
lain lebih berhak (waris mewaris) di dalam kitab Allah dari pada orang-orang
mukmin
dan
orang-orangmuhajirin, kecuali kalau
kamu
hendak berbuat baik
kepada
nsaudara -saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis
dalam kitab (Allah)”
d. hubungan
kerabat Karena
sama-sama hijrah
pada
permulaan
pengembangan Islam, meskipun tidak
ada
hubungan darah. Seperti tersurat dalam Q.S Al -Anfaal ayat 75: “Dan orang yang
beriman setelah itu berhijrah dan berjihad bersamamumaka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagaiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) menurut kitab
Allah.
Sungguh Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
4.
Hak Ahli Waris Dalam Islam
Ahli waris adalah
seseorang atau beberapa orang
yang berhak
mendapat bagian
dari
harta peninggalan.
Secara garis besar
ahli waris di dalam Islam
dapat dibedakan ke dalam 3
(tiga)
golongan, yaitu;
1. Dzul Farã’idh
Ahli waris ini terdiri dari semua orang
yang mendapat bagian
tertentu secara pasti dan tetap
menurut Al-Qur‟an. Bagian-bagian ini adalah. Dalam pembagian pokok ini tak menghijab dan
tak
dihijab. Hijãb ialah sistem keutamaan yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan
orang lain yang ikut serta mewaris.
Bagian Dzul farã’id diambil dari sisa harta peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang. Zakat,
wasiat,
dan ongkos-ongkos untuk jenazah.
Jika jumlah farã’id melampaui sisa besar
maka
diadakan
“awl” atau
pengurangan. Ahli waris dzul farã’idh ini didalam Al-Qur‟an tertera dalam surat An-Nissa ayat 11, 12 dan
176. Bahwa jumlah ahli waris berdasarkan Al-Qur‟an terdiri dari dua belas,
yaitu :
a. Dalam garis ke bawah
1) Anak Perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S An-Nisa ayat 11 b. Dalam garis ke atas
1)
Ayah
2)
Ibu
3)
Kakek dari garis ayah
4) Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S An-nisa ayat 11)
c.
Dalam garis kesamping
1)
Saudara perempuan
yang
seayah dan
seibu
dari
garis ayah
2)
Saudara perempuan tiri dari garis ayah (Q.S An-Nisa ayat 12)
3)
Saudara lelaki tiri dari garis ibu (Q.S An-Nisa ayat 12)
d. Duda dan Janda (Q.S An-Nisa ayat 12)
2.
Ashãbah
Ashãbah dalam bahasa Arab berarti “anak lelaki dan
kaum kerabat dari pihak
ayah”.
Ashãbah adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau
bagian sisa ahli waris ashãbah
terdiri dari
a.
Ashãbah
Binafsih
yaitu
ashãbah-ashãbah yang berhak mendapatkan
semua harta atau
semua sisa,
yang urutannya yaitu:
1)
Anak
laki-laki.
2)
Cucu laki-laki terus kebawah asal saja pertaliannya masih
laki-laki.
3)
Ayah .
4) Kakek dari pihak ayah dan terus asala saja pertaliannya belum putus
dari
pihak ayah.
5)
Saudara laki-laki sekandung.
6)
Saudara laki-laki seayah.
7)
Anak
saudara laki-laki kandung.
8)
Anak
saudara laki-laki seayah.
9)
Paman
yang sekandung dengan
ayah.
10) Paman yang seayah
dengan
ayah.
11) Anak laki-laki paman yang sekandung dengan
ayah.
12) Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
b.Ashãbah Bilghairi
yaitu ashãbah yang sebab orang lain, yakni seorang wanita yang
menjadi ashãbah karena ditarik oleh seorang
laki-laki. Mereka
yang termasuk ashãbah bilghairi adalah sebagai berikut:
1)
Anak
perempuan yang disamping oeleh anak laki-laki.
2)
Saudara perempuan
yang disamping oleh saudara laki-laki.
c. Ashãbah
Ma’al
Ghairi yaitu
perempuan yang mewaris bersama keturunan perempuan
dari
pewaris, mereke ini adalah:
1)
Saudara perempuan
sekandung.
2)
Saudara perempuan
seayah.
3.Dzul Arham
Artinya kata Dzul Arham adalah “ orang yang mempunyai hubungan darah pewaris melalui pihak wanita saja”. Arti sebenarnya dari dzul arhãm ialahs setiap orang
yang ada hubungan darah dengan pewaris bukan dzul farãidh
dan bukan ashãbah. Dzul arhãm ini bukan manerima warisan
bilamana tidak ada kedua golongan ahli waris tersebut diatas. Dzul arhãm ini terdiri dari 11 orang
yaitu.
a. Cucu laki-laki keturunan
anak
perempuan
b. Kemenakan laki-laki yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan c. Anak perempuan
dari
saudaran
laki-laki
d. Anak perempuan
dari
paman
e. Paman
dari
ibu
f. Saudara laki-laki dari ibu
g. Saudara perempuan
dari ayah
h. Ayah
dan ibu
i. Ibu dari ayah
j. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang
seibu.
KESIMPULN
Berdasarkan
dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya dalam skripsi yang berjudul“hak-hak istri dari poligami menurut
hukum positif dan hukum Islam”.
1. Adapun
persamaan dan perbedaan poligami menurut
hukum positif dan hukum Islam adalah:
a. Poligami sirri
menurut hukum positif yaitu perkawinan yang lebih dari satu wanita dalam waktu
yang bersamaan dengan tidak dicatat
perkawinannya dikantor urusan agama. Sedangkan poligami
sirri menurut hukum Islam yaitu perkawinan yang lebih dari satu wanita dalam
waktu yang bersamaan hanya sah dalam hukum Islam dan hukum adat saja.
b. Perbedaan
poligami sirri,menurut hukum positif yaitu bahwa suami harus meminta izin
keapada istri pertamanya ketika ingin berpoligami, istri kedua yang tidak
dicatatkan perkawinannya di PPN (Pegawai Pencatat Nikah) tidak memiliki
kekuatan hukum, Sedangkan poligami menurut hukum Islam yaitu bahwa suami tidak
perlu meminta izin kepada istri pertama untuk berpoligami sebab izin
berpoligami hanya adab (tata cara sopan santu) saat hendak ingin berpoligami,
dalam Islam tidak ada istri yang tidak sah apabila perkawinannya memenuhi rukun
dan syarat nikah,
2. Hak-hak istri
dari poligami sirri menurut hukum positif dan hukum Islam, adalah:
a. Hak-hak istri
dari poligami sirri menurut hukum positif yaitu: perkawinan kedua dan
seterusnya yang mana tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) bahkan
perkawinannyapun dianggap tidak pernah terjadi, maka istri akan kehilangan
haknya sebagai istri, istri tidak bisa menunt nafkah, memiliki rumah sendiri, waktu giliran, dan
pada saat ingin berpergian, apabila suami
mengabaikanya istri sirri tidak bisa menunut, karena Undang-Undang tidak
mengatur poligami sirri.
b. Hak istri dari
poligami sirri menurut hukum Islamadalah istri yang dicatat perkawinannya
maupun istri yang tidak dicatat perkawinannyaapabilah rukun dan syaratnya telah
terpenuhi, hak istri muncul sejak ijab qobul itu usai dilakukan pada saat
itulah suami harus memberikan apa-apa yang menjadi hak-hak seorang istri yang
harus dipenuhi yang merupakan kewajiban suami.
c. Kewajibab suami gugur apabila istri nusyuz, seperti keluar rumah tanpa izin suami, istri tidak mau melayani suami, dan istri murtad.
1.Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: KencanaPrenadaMediaGroup, 2008), h. 6
2.Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami (Yogyakarta : Al Kautsar, 1990), hal 11
3.Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Indonesia Pusat Bahasa, Eds. Empat, 2008, hal. 1089
4.Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, 1990, hal. 71-72
5.Departemen dan Kebudayaan RI, Kamus
Besar Indonesia , 1998, hal. 693
6.supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perka
7Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, hal.. 1047
8.Tihami dan Sohari Sahrani , Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap 2013 hal. 357
9.Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap 2013,hal 357
10.Muhammad Fadhullah Suhaimi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, 1990Cet. Pertama, hal. 31
11.Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan muslimah tt, 2005 Cet. ke-2, hal..189
12.Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,,
cet. ke-3,1998,
hal.
172
13.Amiur Nuruddin, dan
Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam…, hal. 164
14Jurnal AL-Adalah”, Vol.12, No 2 Tahun ,2015.
15.Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Asbabun Nuzul, hal. 77 20
16.Tamakirin, Asas-Asas Hukum Waris
Menurut Tiga Sistem Hukum,1992 hal. 1
17.Eman Suparman, Intisari Hukum Waris
Indonesia.1985, hal. 18
18.Retno Wulan Sutantio, Wanita dan Hukum, 1979
hal.
84.
19.Wirjono Projodikoro, Hukum Waris di Indonesia,
1995, hal.50
20.Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata
21.A. Hamzah, Kompilasi Hukum Islam, 2004, hal. 70
22.Tamakirin, Asas-Asas Hukum Waris
Menurut Tiga Sistem Hukum,1992, hal.85.
23.Muhamad Ali As-shabuni, Hukum Waris
Komentar