Poligami tanpa izin istri

 

POLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMA DAN HAK HAK ISTRI KEDUA, KETIGA, KEEMPAT DALAM IMPLIKASINYA BERDASARKAN HUKUM KELUARGA INDONESIA ISLAM DAN HUKUM AGAMA ISLAM

 

Ditulis 0leh Walid Tetntang poligami pembahasan Ilmu Fiqh termasuk dalam bab munakahat Dan Ilmu Umum Hukum keluarga Islam Indonesia Serta Memperhatikan Kuhp ini sangat rumit dalam mengkajinya

Semoga para pembaca mudah memahami hal

 

A. Latar Belakang Masalah

Manusia Insan mahluk sosial tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individual, manusia tidak dapat hidup untuk mencapai segala seguatu yang diinginkanya dengan mudah, tanpa bantuan orang lain  atau harus adanya  kerja sama diantara  individu dengan lainnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan. diantara lain ialah melalukan perkawinan. Dalam membangun masyarakat, Islam telah memberikan ketentuan hukum yang  sangat jelas untuk kemashlahatan Insan manusia tersebut, yang mana terangkum dalam maqashid al-syariah. Islam telah memberi perhatian yang besar dalam pembentukan keluarga, karena keluarga adalah satu kelompok kecil yang memiliki kontribusi besar dalam membangun masyarakat di dalam Al-Qur‟an dan Hadits banyak ditemukan ayat- ayat yang menjelaskan masalah perkawinan dan keluarga.

 Secara sosiologis, perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus atau khas dan hal ini sangat diperhatikan baik oleh Agama, Negara  maupun Adat, artinya bahwa dari  peraturan tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan suami istri yang sah. Setiap orang  mendambakan keluarga  yang  bahagia. Kebahagiaan harus didukung oleh rasa cinta kepada pasangan. Cinta dan kasih sayang merupakan jembatan dari suatu pernikahan dan dasar dalam pernikahan adalah memberikan kebahagiaan. Namun kenyataannya, dalam menjalani kehidupan perkawinan selalu saja ada permasalahan muncul yang dapat memicu timbulnya keinginan suami untuk melakukan poligami.

Ada berbagai  macam bentuk perkawinan dalam masyarakat,  tetapi yang paling populer diantaranya yaitu monogami dan poligami. Dari kedua bentuk perkawinan ini, perkawinan monogami dianggap paling ideal dan sesuai untuk dilakukan. Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang  laki-laki dengan seorang  wanita dimana  pada  prinsipnya  bahwa suami mempunyai satu istri saja dan sebaliknya (Pasal 27 KUH Perdata dan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Perkawinan) dan juga KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)  menganut  asas monogami mutlak. Walaupun perkawinan monogami merupakan perkawinan yang paling sesuai untuk dilakukan tetapi banyak juga masyarakat yang melakukan perkawinan poligami, hal ini dapat dilihat dari banyaknya public figur yang melakukan poligami. Dalam  Alqur’an Allah berfirman surat An-Nisa ayat 3 :

وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ‌‌ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ‌ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا

Artinya :Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim..(QS.An-Nisa Ayat 3).

 

Permasalahan  dalam  perkawinan  yang  semakin  berkembang, menuntut para Ulama salaf maupun kontemporer untuk menuangkan buah pikirannya guna menjawab masalah yang semakin kompleks, dan pada gilirannya menimbulkan beberapa perbedaan pendapat.  Hal ini sangat wajar, mengingat  masalah  perkawinan  merupakan permasalahan munakahah dan  salah  satu  cabang  mu‟amalah yang terus bergerak dinamis dan menuntut jawaban dengan segera. Salah satu permasalahan dalam perkawinan yang hingga saat ini belum selesai diperdebatkan dan menimbulkan banyak kontroversi di kalangan para Ulama maupun Akademisi ialah masalah poligami.[1] 

Di satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi, baik yang bersifat normatif, maupun psikologis. Bahkan dikaitkan dengan ketidakadilan gender karena poligami dinilai sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Pada sisi lain, poligami dikampanyekan, karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena perselingkuhan (Zina) dan prostitusi. Ketentuan mengenai masalah poligami diatur dalam Pasal 3 ayat 2, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan. Walaupun sudah ada Undang-undang Perkawinan tersebut,  kenyataannya  poligami  tetap saja terjadi tanpa memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan. Praktek poligami yang tidak sesuai dengan aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam hukum perkawinan di Indonesia akan menimbulkan berbagai masalah yang serius dalam keluarga. Salah satu permasalahannya ialah dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Sampai saat ini memang Undang-Undang tentang Perkawinan belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang  menikah lagi tanpa seizin Pengadilan Agama (PA). Adapun rencana pemberlakuan sanksi hukum terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan Agama dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Pengadilan Agama (RUU HMPA) tahun 2008, hingga saat ini belum diputuskan.

Aturan yang sudah ada hanyalah mengatur tentang pembatalan perkawinan, jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, yaitu sebagaimana yang telah diatur pada pasal 71 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum Islam mengenal perkawinan poligami (mempunyai istri lebih dari satu), di dalamnya diatur pula mengenai hak waris istri dari perkawinan poligami yakni istri dari perkawinan poligami mendapat bagian yang sama besar seperti halnya bagian yang diterima oleh istri terlebih dahulu. Tetapi dalam kenyataannya hak waris istri dari perkawinan poligami tidak sesuai dengan apa yang seharusnya ia dapatkan Sedangkan Hukum Perdata tidak mengenal perkawinan poligami tetapi yang ada adalah perkawinan yang ke dua dan selanjutnya setelah terjadinya kematian atau perceraian dengan istri terdahulu dan diatur pula mengenai hak warisnya. Berdasarkan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.

Berdasarkan KUH Perdata Pasal 221, perceraian (echtscheiding) adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil1. Perkawinan putus karena kematian artinya kematian salah satu dari suami atau istri secara otomatis menjadikan ikatan perkawinan terputus.         

Undang-undang tidak mengatur tentang akibat-akibat putusnya perkawinan karena kematian. Yang diatur hanyalah akibat-akibat perceraian saja, tetapi putusnya perkawinan karena kematian secara otomatis mengakibatkan terjadinya pewarisan. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan adalah berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pewarisan merupakan suatu sistem hukum yang mengatur tentang beralihnya  harta warisan dari pewaris kepada ahli waris atau  orang yang ditunjuknya karena kematian pewaris.6 Secara garis besar, BW membedakan ahli waris atas 2, yaitu ahli waris ab intestato dan ahli waris testamenter.

Ahli waris ab intestato ini adalah ahli waris menurut atau berdasarkan Undang- undang dan mereka secara otomatis menjadi ahli waris jika terjadi kematian. Sedangkan apabila ada orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh pewaris agar juga memiliki harta peninggalannya dengan bagian-bagian yang telah ditentukan oleh pewaris maka kehendak ini dapat dituangkan dalam suatu akta yang disebut wasiat. Ahli waris yang ditentukan dalam wasiat tersebut adalah ahli waris testamenter.7

Bahwa dalam pembagian harta warisan itu menurut Hukum Islam maupun Hukum Perdata, yang lebih diutamakan adalah orang yang mempunyai hubungan darah (nasab) dengan pewaris sesuai dengan Pasal 832KUH Perdata dan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam serta dalam Surat An Nisa (4) ayat 7, maka istri dan anak-anaknya sangatlah berperan dalam pembagian harta warisan.

Dan pembagian warisan antara kedua hukum yaitu Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata berbeda karena adanya perbedaan asas yang dipakai. Pembagian warisan untuk menikah lebih dari satu kali sering menimbulkan masalah yaitu bagaimana hak waris dari istri atas perkawinan poligami tersebut.   

Dalam Perkawinan terdahulu, akan diperoleh harta perkawinan yang terdiri dari harta bawaan dan harta bersama, dimana harta perkawinan ini sangat penting untuk kelangsungan hidup selama perkawinan dan akan menjadi warisan bagi ahli waris dikemudian hari, berbicara tentang warisan Walid menulis pembasan ini mengarah kepada perhatian para pembaca kepada suatu peristiwa hukum yaitu peristiwa kematian.

Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya kematian seseorang diantaranya ialah penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya   seseorang. Peristiwa kematian ini juga membawa konsekuensi yuridis berupa hubungan saling mewarisi antara si pewaris dengan ahli waris, yang diatur dalam Hukum Waris, hak waris istri  dari  perkawinan  poligami  dalam  Hukum  Islam, di sebutkan dalam Q.S An-Nisa ayat 12 :

وَلَـكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ اَزۡوَاجُكُمۡ اِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنۡ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَـكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَ‌مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصِيۡنَ بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ‌ؕ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ اِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّكُمۡ وَلَدٌ ۚ فَاِنۡ كَانَ لَـكُمۡ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ‌مِّنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ تُوۡصُوۡنَ بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ‌ؕ وَاِنۡ كَانَ رَجُلٌ يُّوۡرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امۡرَاَةٌ وَّلَهٗۤ اَخٌ اَوۡ اُخۡتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُ‌ۚ فَاِنۡ كَانُوۡۤا اَكۡثَرَ مِنۡ ذٰ لِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصٰى بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ ۙ غَيۡرَ مُضَآرٍّ‌وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ‌ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَلِيۡمٌ ؕ‏

 Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang  saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa :12)

 

Sementara hukum Perdata Barat, dan Hukum Islam,dan hukum adat sedangkan pada masyarakat adat di Indonesia pada umumnya berpedoman pada hukum waris adat yang berdasarkan sistem kekerabatan. Salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam mewarisi yaitu: adanya ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima warisan karena adanya hubungan kekerabatan, pernasaban, perkawinan dan lain-lain.

Di dalam Hukum Kewarisan Islam, duda dan janda dikatakan sebagai ahli waris sababiyah, artinya kedudukan mereka sebagai salah satu ahli waris lahir karena peristiwa hukum tertentu, yaitu perkawinan. Sementara anak, bapak, ibu, saudara dan lain-lain dikatakan sebagai salah satu waris nasabiyah, artinya kedudukan mereka sebagai ahli waris muncul karena kelahiran. Secara umum dapat dikatakan sebagai ahli waris nasabiyah lebih kuat dari pada ahli waris sababiyah sebab hubungan darah atau nasab tidak dapat terputus karena alasan apapun, sementara itu hubungan perkawinan dapat terputus yakni jika terjadi perceraian. Suatu perkawinan yang sah menimbulkan hak waris kepada seseorang dalam hal ada yang meninggal. Berkaitan dengan ahli waris dari pewaris (suami) yang melakukan poligami tanpa adanya izin dari istri pertama dan Pengadilan Agama, karena ketentuan hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai ini masih belum merupakan unifikasi hukum sehingga di dalam pengaturannya berpedoman pada aturan hukum yang  berbeda-beda yang menimbulkan suatu permasalahan yang menyangkut kewarisan dari istri dari perkawinan kedua,ketiga,keempat.

Menurut Hukum Perdata bahwa dalam perkawinan untuk kedua kali atau selanjutnya, berlakulah demi hukum persatuan harta kekayaan secara bulat antara suami dan istri kedua atau selanjutnya selama dalam perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain sesuai dalam Pasal 180 KUH Perdata. Namun apakah pada kenyataan telah sesuai dengan teori dan aturan yang ada, dengan terciptanya suatu ketertiban dan keadilan yang sangat dibutuhkan bahwa para pelaku poligami tersebu

 

B. PEMBAHASAN

1. POLIGAMI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

Pengertian Poligami dan Dasar Hukum Poligami Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa yunani terdiri dari dua pokok kata, yaitu Polu dan Gamein. Polu berarti banyak, Gamein berarti kawin. Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak[2] Pengertian etimologis tersebut dapat dijabarkan dan dipahami bahwa poligami merupakan perkawinan dengan salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri- isteri tersebut masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah sebagai isterinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri atau suami kedua, ketiga dan seterusnya.[3] Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut tinjauan Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami memang mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya. Poligami dibagi menjadi 2 macam yaitu:a) Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan antara laki-laki dengan beberapa orang perempuan. Dalam perkembangannya istilah poligini jarang sekali dipakai, bahkan bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi di kalangan masyarakat, kecuali di kalangan antropolog saja. Sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan disebut poligami, dan kata ini dipergunakan sebagai lawan polyandri.[4] Selain poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu bentuk perkawinan dengan ciri salah satu pihak (isteri) memiliki lebih dari seorang suami dalam waktu bersamaan.[5]Dibandingkan poliandri, poligami lebih banyak dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami hanya empat wanita saja.[6]Kendatipun banyaknya poligami pada masyarakat kita ini belum pernah diselidiki secara research apa sebenarnya motif dan sebabnya, namun pada kenyataan nya kebanyakan poligami dilakukan oleh masyarakat kita tidak sesuai dengan segala ketentuan, sehingga poligami yang dilakukan itu sangat jauh dari hikmah-hikmah dan rahasianya yang terkandung didalamnya.

2. Dasar Hukum Poligami

 Dalam hukum positif di Indonesia, masalah poligami termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan perkawinan, yaitu dalam UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan, PP RI No. 9 Th. 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan. Untuk PNS, terdapat dalam PP RI No. 10 Th. 1983 yang telah disempurnakan dengan PP RI No. 45 Th. 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dan SE No. 08/SE/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS serta SE No. 48/SE/1990 tentang petunjuk pelaksanaan PP No. 45 Th. 1990. Adapun sebagai hukum materiil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam Inpres No.1 Th. 1991 tentang KHI.[7]Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah isteri, alasan atau motif yang dijadikan dasar poligami, persyaratan-persyaratan hingga prosedur yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh suami yang akan poligami. Namun demikian, salah satu prinsip atau asas perkawinan yaitu asas monogami yang terdapat dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 juncto penjelasan umum bagian 4 huruf (c) UU No.1 Th. 1974. .

Menurut Soemiyati, asas monogami dalam UU perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan menetapkan persyaratan-persyaratan dan prosedur yang telah ditentukan dalam UU perkawinan. Persyaratan dan prosedur poligami diatur dalam pasal 4 dan 5 UU No. 1 Th. 1974, yaitu PA hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, ataupun isteri tidak dapat melahirkan keturunan  

 Adapun syarat-syarat lain diatur dalam pasal 5 UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan yaitu adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. Selain itu harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi yaitu, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Menurut Rasyid Ridho maksud dari ayat tersebut adalah untuk memberantas atau melarang tradisi jahiliyyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan hartanya.

Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi hal ini dilarang oleh Islam.[8] Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan batasan empat istri dalam waktu yang bersamaan, di antaranya:

عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. رواه أبو داود و ابن ماجة

Artinya:Dari Qais bin al-Harits, ia berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi SAW tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda, ‘Pilihlah empat saja dari kedelapan istrimu tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ. رواه الترمذي

Artinya:Dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah. Istri-istrinya pun masuk Islam bersamanya, lantas Nabi SAW memerintahkan agar ia memilih empat orang dari istri-istrinya. (HR. Tirmidzi Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih).

 

         Imam Nawawi dalam al–Majmu’16: 137, menyatakan,”Diperbolehkan bagi seorang laki-laki mengumpulkan empat orang istri[9]. Lebih dari itu tidak diperbolehkan, karena dalam ayat hanya menyebutkan: dua, tiga, atau empat.” Jadi, bila ada orang yang mempunyai istri lebih dari empat sekaligus, berarti telah melanggar hadits-hadits Nabi di atas. Na’udzubillah min dzalik. Apa pun alasannya, haram menikahi lima orang istri atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristeri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala, dan Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki berpoligami. Praktek poligami sudah menjadi fakta yang terjadi di masyarakat lama sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti sudah diketahui Nabi Ibrahim a.s beristerikan Siti Hajar disamping Siti Sarah dengan alasan karena isteri pertama belum memberikan keturunan kepada Nabi Ibrahim a.s. Dalil yang dijadikan landasan kebolehan poligami sesuai Firman Allah pada surat An- Nisaayat 3 di atas Ayat ini merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, yang kemudian disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena eratnya hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih dari satu sampai empat yang terdapat dalam ayat ini, maka akan dipaparkan secara singkat asal mula turunnya ayat ini.

Menurut tarsir Aisyah r.a, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah isteri Nabi Saw, tentang ayat ini. Lalu beliau menjawabnya, Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini maksudnya adalah anak perempuan yatim yang berada dibawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya, lalu ia ingin menjadikannya sebagai isteri, tetapi tidak mau memberikan maskawin dengan adil, karena itu pengasuh anak yatim yang seperti ini dilarang menikahi mereka, kecuali jika mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan maskawin kepada mereka lebih tinggi dari biasanya, dan jika tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan untuk menikahi perempuan perempuan lain yang disenangi.[10]Begitu juga dengan Surat An- NisaAyat 129

وَلَنۡ تَسۡتَطِيۡعُوۡۤا اَنۡ تَعۡدِلُوۡا بَيۡنَ النِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡ‌فَلَا تَمِيۡلُوۡا كُلَّ الۡمَيۡلِ فَتَذَرُوۡهَا كَالۡمُعَلَّقَةِ‌وَاِنۡ تُصۡلِحُوۡا وَتَتَّقُوۡا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا

Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri, seperti, pakaian, tempat, giliran, dan lain lain yang bersifat lahiriyah, islammemang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dari dua ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini hanya empat wanita saja. Namun, bila ternyata ia tidak bisa berbuat adil bahkan berbuat zalim bila mempunyai beberapa orang isteri, hendak nya ia mengawini hanya seorang isteri saja. Ketidakmungkinan manusia untuk bisa   

Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah berlaku adil, pada ayat 3 Surat An-Nisa‟, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahirian bukan kemampuan manusia, berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. Sebab, Allah Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 286

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا ‌ؕ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا اكۡتَسَبَتۡ‌ؕ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِيۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ‌ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَاۤ اِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهٗ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا ‌‌ۚرَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ‌وَاعۡفُ عَنَّا وَاغۡفِرۡ لَنَا وَارۡحَمۡنَا ۚ اَنۡتَ مَوۡلٰٮنَا فَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ الۡكٰفِرِيۡنَ

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan nya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

 

Hukum perkawinan lebih dari seorang istri (poligami) diperbolehkan dan bukan wajib. Akan tetapi kebolehan berpoligami itu sekiranya telah mencukupi syarat-syarat yang telah ditentukan, di antara syarat tersebut adalah (a).Mampu menafkahi istri-istri dan anak-anak.(b).Berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Bagi mereka yang tidak dapat memenuhi persyaratan, maka ia tidak dibenarkan untuk berpoligami.[11]Pembicaraan tentang poligami selalu mengacu pada surah An-Nisaaayat 3 seperti mana yang difahami bahwa Allah SWT tidak memerintahkan untuk berpoligami, hanya saja menunjukkan kebolehannya saja. Bagi yang tidak mampu atau tidak mungkin untuk melaksanakannya, maka dirinya tidak diperbolehkan untuk berpoligami. Kebiasaannya sistem poligami tidak akan kecuali dalam kondisi mendesak saja.[12]Dari uraian ringkas di atas dapat diketahui bahwa hukum poligami adalah mubah (boleh) bukanlah sunat dan bukan pula wajib. Artinya kondisi yang bagaimana menuntut adanya poligami seperti mandulnya seorang istri, istri yang sakit tidak bisa melayani kebutuhan suami, dan meningkatnya jumlah kaum perempuan, maka dalam kondisi yang seperti inilah Islam memberikan solusi untuk melakukan poligami dengan mengsyaratkan dengan adanya keadilan dalam mengatur urusan- urusan bahtera rumah tangga yang bahagia.

3. Syarat-syarat Poligami

Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristri lebih dari seorang, diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yaitu:

1.Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

2. Istri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3.Istri tidak dapat melahirkan keturunan;

Selain itu syarat-syarat untuk berpoligami menurut ketentuan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan yang juga harus dipenuhi, adalah:

   1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a). Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri,

b).        Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.

c).Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam  perjanjian,  atau  apabila  tidak  ada  kabar  dari  isterinya selama  sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat   penilaian dari Hakim Pengadilan. Un[13]tuk melihat perbedaan antara Pasal 4 dan Pasal 5 adalah, pada Pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.[14]Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat poligami dijelaskan dalam pasal 55 yang berbunyi:

a.   Beristeri  lebih  dari  satu  orang pada  waktu  bersamaan,  terbatas hanya sampai empat orang isteri.

b.   Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

c.   Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Syarat yang lain disebutkan dalam pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu: a. Adanya persetujuan isteri, b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup Isteri-isteri dan anak-anak mereka. Undang –undang nomor 1 tahun 1974 yang memuat tentang kebolehan poligami dengan persaratan tertentu salah satunya adalah adil. dalam perpektif psikologis, adalnya kebolehan poligami dengan persaratan adil mempunyai dampak psikis begitu besar.[15] Dalam Al- Qur‟an menerangkan tentang syarat-syarat melakukan poligami yaitu:

a. Mampu berbuat adil kepada semua istrinya dalil Surat An-Nisa: 3,

وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ‌‌ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ‌ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا

 

Artinya :Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuanyatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim..(QS.An-Nisa Ayat 3)[16]

.

b.Mampu menjaga diri untuk tidak terperdaya dengan istri -istrinya itu dan tidak mening galkan hak-hak Allah karena keberadaan mereka. Allah berfirman dalam Surat At-Tagabun Ayat 14

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat At-Tagabun Ayat 14)

 

c.Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan agar istri-istrinya itu terhindar dari kenistaan dan kerusakan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW. Bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya:"Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya." (HR Muttafaq 'alaih).

 

d.Memiliki kesanggupan untuk member nafkah kepada mereka. Allah SWT. Berfirman,” Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-Nya, sehingga Allah membuat mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur:33)

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (An-Nur:33)

 

4.Poligami Tanpa Izin Istri Pertama

Hingga saat ini poligami di Indonesia masih menjadi topik yang laku untuk diteliti. Perform konsepnya yang menggugah, dan ditunjang maraknya prakter poligami, tak terasa telah membawa berbagai pandangan yang kontraproduktif di tengah masyarakat. Munculnya berbagai persepsi yang dilematis ini, tentu saja salah satunya berawal dari alasan yang menjadi dasar poligami, serta modus yang ditempuh pelaku poligami. Akan tetapi adakalanya timbul situasi atau kondisi darurat, misalnya dalam keadaan istri tidak dapat melahirkan keturunan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, karena cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan sebagainya.

Demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, poligami tidak sertamerta diperbolehkan oleh Islam maupun aturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi diperbolehkannya poligami harus didasarkan alasan yang kuat. Alasan tersebut adalah dasar atau faktor yang mempengaruhi orang tersebut untuk melakukan poligami. Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak memunkinkan diminta persetujuannya dan tidak ada kabar istrinya sekurang-kurangnya dua tahun, apabila istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang, berdasarkan salah satu alasan tersebut di atas.

Maka pengadilan agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini, istri atau suami dapat mengajukan banding/kasasi. Syariat Islam meperbolehkan berpoligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil bagi kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifa kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi maupun dengan yang rendah. Bila suami khawatir berbuat yang tidak baik dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami.

 

E. Sistem Pewarisan Menurut KUH Perdata dan Hukum Islam,,

1.Sistem Pewarisan Menurut Hukum Perdata,

Hukum adalah suatu yang berkenaan dengan manusia, yaitu aturan yang mengatur manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Menjadi suatupemikiran dalam ilmu pengetahuan ukum Perdata Barat bahwa setiap manusia itu merupakan orang pembawa hak. Sebagai pembawa hak padanya dapat diberikan hak (dapat menerima warisan, menerima hibah mutlak dan sebagainya) dan dapat dilimpahkan kewajiban.[17]

Hukum di Indonesia masih bersifat Pluralistis yaitu berlakunya banyak sistem hukum didalam suatu wilayah tertentu yang mengatur masalah yang berlaku bagi masing-masing golongan. Seperti halnya hukum yang mengatur masalah waris yaitu masih berlakunya Hukum Waris Adat, Hukum Waris Perdata Barat dan Waris Islam. Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum Perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum Keluarga.

Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Untuk itu hingga kini peraturan masalah waris masih belum terdapat keseragaman. Apabila memperhatikan pengaturan yang berbeda-beda, maka dapat diketahui baik perbedaan maupun persamaannya dan selanjutnya akan dapat diketahui baik perbedaan maupun persamaannya dan para ahli waris, baik menurut Hukum Waris Perdata Barat maupun Hukun Waris Islam.[18]

Sebagai akibat dari keadaan yang ditemukakan tersebut, maka Hukum Waris yang berlaku di Indonesia padaHukum Waris yang berlaku bagi yang meninggal dunia”. Apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia, maka yang berlaku adalah Hukum Waris Adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa/Timur Asing Cina, maka bagi mereka berlaku Hukum Waris Barat.

Apabila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam, maka mereka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan Hukum Waris Islam.[19]

Menurut Soepomo Hukum Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goedren) dari angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses tersebut tidak menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia.

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro warisan adalah soal apakah dan bagamanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup, dalam definisi warisan ini mempunyai 3unsur yaitu:

a.   Seseorang peninggal warisan (elflater) pada saat meninggal dunia meninggalkan kekayaan.

b.  Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berkah menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.

c.   Harta warisan (nalatenchap) yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.[20]

        Hukum Perdata menganut sistem keturunan bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya ke dalam keturunan ayah maupun ibunya, artinya ahli waris berhak mewarisi dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal. Apabila dihubungkan dengan sistem kewarisan, maka KUH Perdata menganut sistem kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris), harta warisan (peninggalan) dapat dibagi-bagi pemiliknya antara para ahli waris.[21]

      Ciri khas hukum waris menurut KUH Perdata antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menurut pembagian dari harta warisan. Ini berarti, apabila seorang ahli waris menurut pembagian harta warisan di depan Pengadilan. Tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 KUH Perdata, yaitu:

a.  Seseorang yang mempunyai hak atas sebagain dari harta peninggalan tidak dipaksa  untuk memberikan harta peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi diantara para ahli waris yang ada;

b.   Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;

c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;

d.   Perjanjian  penangguhan  pembagian  harta  berlaku  mengikat  selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak[22]

 

Undang-undang merupakan dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat atau testament adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia dan tidak ditarik kembali selama pembuat surat wasiat masih hidup. Surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut seakan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak lagi dapat diubah, dicabut maupun ditarik kembali oleh siapapun. Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris. Berdasarkan undang-undang (ahli waris Ab intestate). Hal ini tidak berarti bahwa ahli waris karena wasiat merupakan penghalang bagi ahli waris Ab intesto. Untuk menentukan besarnya Legitime portie (bagian waris menurut undang-undang yang tidak boleh dikurangi oleh pewaris) dalam suatu warisan pada Pasal 921  KUH Perdata adalah sebagai berikut:

a.   Harta peninggalan pada waktu pewaris meninggal dunia ditetapkan jumlahnya,ber dasarkan harga pada waktu pewaris meninggal.

b.   Jumlah itu harus ditambah dengan barang yang dihibahkan pada waktu pewaris masih hidup.

c.   Jumlah yang terdapat tersebut dikurangi dengan segala hutang pewaris.

d.   Sisa pengurangan ini dijadikan dasar menghitung legitime portie para ahli waris mutlak.

        

              Ahli waris menurut Hukum Perdata adalah sekalian orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris. Kepemilikan suatu benda terjadi diantaranya dengan adanya pewarisan dari orang yang meninggal dunia karena disebabkan adanya suatu ikatan menurut undang-undang maupun karena wasiat.

              Sebagaimana tercantum dalam Pasal 584 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: hak milik atas segala sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan kepemilikan,karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan atau penterahan berdasarkan asa suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebasterhadap kebendaan itu” Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya, sebgaimana diatur dalam Pasal 913. KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Legitime portie (bagian mutlak), adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Bagian mutlak bagi para waris dalam garis lurus ke bawah dimuat dalam Pasal 914 KUH Perdata yaitu:

a.   Kalau hanya ada seseorang anak (Sah) saja, maja bagian itu adalah setengah dari bagian itu jika ia mewariskan tanpa testament;

b.   Kalau ada 2 orang anak bagian itu sebesar 2/3 bagian masing-masing menutut hukum waris tanpa testamen;

c.   Kalau ada 3 anak atau lebih maka bagian itu tiga per empat bagian masing-masing menurut hukum waris tanpa testamen;

d.   Jika tidak ada anak, maka kedudukannya diganti oleh anak-anaknya dan seterusnya.

Berhubungan dengan ahli waris menurut Hukum Perdata untuk dapat menjadi ahli waris ditentukan dengan 2 cara yaitu :38

a. Ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang (Ab intestate)

Ahli waris menurut ketentuan undang-undang ini dibagi dalam 4 golongan yaitu :

1)     golongan  pertama,  keluarga  dalam  garis  lurus  ke  bawah,  meliputi anak-anak  beserta  keturunan  mereka  serta  suami/istri  yang ditinggalkan / yang hidup paling lama (Pasal 852 KUH Perdata)

2)     golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara (Pasal 854 KUH Perdata, Pasal 855 KUH Perdata, Pasal 856  KUH  Perdata,  Pasal  844  KUH  Perdata,  dan  Pasal  857  KUH Perdata)

3)     golongan ketiga, meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris (Pasal 853 ayat(1) KUH Perdata. Dan Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata)

4)     golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat ke enam(Pasal 858 ayat (2) KUH Perdata, Pasal 861 ayat (1) KUH Perdata)

b.   Pewarisan menurut wasiat (testament)

Pewarisan menurut wasiat terjadi apabila pewaris menunjuk orang untuk menjadi ahli waris. Pengertian suatu wasiat (testament) adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah mati. Wasiat merupakan suatu penunjukan yang sifatnya sepihak artinya keluar dari seorang (pewaris) saja, selain itu kedudukannya tidak tetap yaitu sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Surat wasiat tidak boleh bertentangan dengan hukum. surat wasiat tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 957 KUH Perdata, yaitu :

1)   wasiat yang menunjukan berupa tertentu ( Leggat)

2)   wasiat yang menunjuk berupa bagian dari pada warisan (erftelling) Seorang yang mendapat erftelling mempunyai kedudukan sebagai ahli waris   undang-undang sehingga akibatnya ia tidak hanya menerima hak-hak yang melekat pada harta warisan, melainkan juga kewajiban- kewajiban antara lain membayar hutang-hutang dari pewaris.

 

               Berbeda dengan seorang yang mendapat leggat, ia tidak mempunyai kedudukan sebagai kedudukan sebagai ahli waris menurut undang-undang sehingga ia tidak dapat menggantikan pewaris dari hak-hak dan kewajiban yaitu untuk membayar hutang-hutang pewaris. Selain itu dalam masalah barang ia hanya berhak menuntut penyerahan barang-barang tertentu yang diserahkan padanya dari ahli waris. Seorang legitaris berkedudukan sebagai penerima beberapa benda itu kepada orang lain yang ditunjuk dalam wasiat (testament). Ahli waris menurut wasiat harus ada sewaktu pewaris meninggal dunia. Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak menerima warisan karena ada beberapa penyebab diantranya adalah yang disebutkan dalam Pasal 838 KUH Perdata ayat (1) sampai (4) yang berbunyi sebagai berikut:

1) mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si meninggal ;

2)   mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap siyang meninggal, ialah suatu pengaduan tekah melaku kan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya/ hukuman yang lebih berat;

3)   mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;

 4)       mereka yang telah menggelapkan, merusak / memalsukan surat wasiat siyang meninggal[23]

2. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Islam

Di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya telah dimulai untuk menjalankan Sabda Raslullah SAW untuk mempelajari dan mengajarkan hukum waris, sebagaimana Sabda Nabi :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا – رواه الحاكم

Artinya:Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

 

Dari hadist diatas tersirat bahwa mempelajari ilmu Faraidh (ilmu waris) adalah sesuatu keharusan bagi umat Islam agar dapat diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan sekarang, bagaimana penerapan ilmu tersebut (Hukum Waris Islam) dalam kehidupan lingkungan masyarakat muslim Indonesia secara konsisten, merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum waris Islam bagi seorang muslim mempunyai kedudukan yang utama dibandingkan dengan hukum waris lainnya, sebab sudah jelas Hukum Waris Islam tersebut telah disyaratkan dalam Al-Qur‟an meupun Sunnah bahkan merupakan hal yang wajib dilaksanakn oleh umat Islam. Apalagi peran Pengadilan Agama yang telah disahkan dan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yaitu sebagai Pengadilan yang berdiri sendiri dan mempunyai kewenangan penuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kewarisan bagi masyarakat yang telah memeluk agama Islam.  Huzairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Quran mengemukakan bahwasistem kewarisan islam adalah sistem individual bilateral. Hal ini tersebut berdasarkan ayat Al-Quran antara lain tercantum dalam ayat 7 ,8 ,11 ,12 , 33, dan 176 Q.S An.Nisa, setelah sistem waris manurut Al-Quran yang individual bilateral dalam masyarakat yang bilateral. Pengertian waris menurut bahasa arab merupakan mashbar dari warits yang berarti menjatuhkan dan warisan yang berarti pengalihan (peninggalan) lebih jelas lagi Al Munawir Ahmad Warson dalam kamus Arab mengemukakan bahwa warisan itu adalah memindahkan sesuatu kepadanya atas seseorang setelah meninggal, adapun pengertian hukum kewarisan berdasarkan Pasal 171 KHI yang menyatakan bahwa: hukum kewarisan adalah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hakpemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa-siapa yang berhakmenjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[24]Dalam Islam sebab-sebab pusaka ada 4 yaitu:

a.     Kekeluargaan;

b.      Perkawinan;

c.     Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan;

d.      Hubungan Islam, orang yang meninggal dunia yang  harta peninggalannya diserahkan keBaitul untuk umat Islam dengan jalan pusaka.[25]

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu pewarisan, yaitu:

a.      Muwarits yaitu orang yang meninggal dunia yang harta peninggalannya berha kdimiliki oleh  ahli warisnya, baik dia mati secara haqiqy, huqmy, maupun taqdiry. Mati huqmy disimi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walupun sesungguhnya belum matisejati/sebenarnya. Dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang menerapkan tentang hak  ahli waris dalam menerima harta warisan, yaitu: barang siapa yang meninggalkan suatu hak atau suatu har ta, maka hak atau harta itu adalah untuk ahli warisnya setelah kematian.

b.  Warits yaitu orang yang berhak mewarisi harta peninggalan si mati. Baik itu disebabkan karena adanya hubungan (nasab) darah, kerabat, perikatan   ataupun   karena   adanya   hak   perwalian   dengan   lain sebagainya.

c.  Mauruts yaitu harta benda atau kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati.  Baik  itu  berupa  harta  bergerak  maupun  harta  yang  tidak bergerak,  itu  pun setelah  dipisahkan dari  hak  dan  kewajiban yang harus dipenuhi dahulu sehubungan dengan adanya peristiwa kematian. Mauruts (warisan) terap sekali disebut orang dengan namairtsan, miratsan dan tirkatan (tirkah). Namun hakikatnya bermakna sama, yaitu seluruh harta benda dan kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum untuk para ahli warisnya.

 

Harta warisan atau maurutsun menurut ajaran Islam diartikan sama dengan harta peninggalan atau tirkah. Tirkah ialah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia dibenarkan oleh syarat untuk dipusakai oleh para ahli waris[26]

a.   Jumhur Ulama, tirkah itu adalah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah dia   meninggal, baik merupakan harta maupun merupakan hak yang bersifat harta/hak  yang lebih kuat unsur harta terhadap hak perorangan tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya.

b.   Dikatakan Fuqaha Hanafiyah terdapat tiga pendapat

1) Pendapat yang termashur dari Fuqaha Hanafiayah menafsirkan tirkah ialah   harta benda yang ditinggalkan si mati yang tidak mempunyai hubungan dengan  orang lain. Tirkah ini dikeluarkan untuk memenuhi hak biaya perawatan, hak  pelunasan hutang, hak dan ahli waris.

2)   Sebagian Fuqaha Hanafiyah mengatakan bahwa tirkah itu adalah sisa harta   setelah diambil perawatan, hak pelunasan utang. Jadi tirkah dalam ta’fi ini ialah harta peninggalan yang harus dibayar untuk melaksanakan wasiat yang harus diterimakan kepada ahli waris.

3)   Sebagian  mereka  yang  lain,  mengartikan  secara  mutlak  yaitu setiap harta benda yang ditinggalkan oleh si mati, dengan demikan tirkah itu mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, biaya perawatan, pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat dan penerimaan kepada ahli waris.[27]

c.    Ibnu Hamzah sependapat dengan pendapat Fuqaha Hanafiyah yang mengatakan bahwa harta peninggalan yang harus dipusakakan itu ialah berupa harta benda saja. Sedangkan berupa hak-hak tidak dapat dipusakakan kecuali kalau hak-hak tersebut mengikuti kepadabendanya seperti hak mendirikan bangunan, atau menanam tumbuh- tumbuhan di atas tanah.[28]

d.   Ulama-ulama Malikiyah Syafiiyah, Hanabilah memutlakkan  tirkah kepada segala  yang ditinggalkan oleh si mati baik berupa harta benda, maupun hak-haknya. Baik hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan. Hanya Imam Maliki saja yang memasukan hak-hak yang tidak dapat dibagi, seperti hak beliau menjadi wali nikah, ke dalam keumumam arti anak-anak.

e.    Kitab undang-undang waris Mesir mengambil pendapat jumlah dalam menetapkan pengertian tirkah segala apa yang ditinggalkan oleh si mati yang mencakup seluruh harta atau tanggungan yang berpautan dengan hak orang lain, biaya-biaya perawatan, pelunasan hutang, sisa yang diwasiatkan yang diterimakan kepada ahli waris.

 

Dari berbagai warisan atau harta peninggalan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa warisan ialah berbagai perpindahan dan kewajiban tentang kekayaan harta peninggalan seseorang yang telah meningal dunia kepada orang lain yang masih hidup.

3. Pewaris dan Dasar Hukum Mewaris Menurut Hukum Islam

Pewaris adalah orang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat[29]Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapatkan bagian harta benda Al-Quran, yaitu :

a.   Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam Q.S An-Nisaa ayat  7, ayat 11, ayat 12, ayat 33, dan ayat 176.

b.   Hubungan semenda atau pernikahan. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si pewaris dan (yang meninggal) dengan seseorang. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami dan istri dari yang meninggal. Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah tentang hak waris seorang istri. Menurut uraian di sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa seorang perempuan dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) apabila terikat oleh suatu ikatan perkawinan yang sah dengan pewaris (suami). Disebutkan dalam Q.S An-Nisa ayat12, yang artinya:para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudahdipenuhi wasiat yang  kamu buat atau(dan)  sesudah dibayar hutang-hutangmu...”

c.   hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Qur‟an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris. Seperti tersurat Q.S Al- Azhab ayat 6: Nabi itu lebih  utama  bagi  orang-orang  mukmin dibandingkan diri merekasendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang  yang  mempunyai  hubungan  darah  satu  sama  lain  lebih berhak (waris mewaris) di dalam kitab Allah dari pada orang-orang mukmin dan orang-orangmuhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada nsaudara -saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam kitab (Allah)

d. hubungan kerabat Karena sama-sama hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun  tidak ada hubungan darah. Seperti tersurat dalam Q.S Al -Anfaal ayat 75: Dan orang yang beriman setelah itu berhijrah dan berjihad bersamamumaka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

4. Hak Ahli Waris Dalam Islam

Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke  dalam 3 (tiga) golongan, yaitu;

1.   Dzul Farã’idh

      Ahli waris ini terdiri dari semua orang yang mendapat bagian tertentu secara pasti dan tetap menurut Al-Qur‟an. Bagian-bagian ini adalah. Dalam pembagian pokok ini tak menghijab dan tak dihijab. Hijãb ialah sistem keutamaan yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan orang lain yang ikut serta mewaris. Bagian Dzul farã’id diambil dari sisa harta peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang. Zakat, wasiat, dan ongkos-ongkos untuk jenazah. Jika jumlah farã’id melampaui sisa besar maka diadakan awl atau pengurangan. Ahli waris dzul farã’idh ini didalam Al-Qur‟an tertera dalam surat An-Nissa ayat 11, 12 dan 176. Bahwa jumlah ahli waris berdasarkan Al-Qur‟an terdiri dari dua belas, yaitu :

a. Dalam garis ke bawah

1)  Anak Perempuan

2)  Anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S An-Nisa ayat 11 b. Dalam garis ke atas

1)  Ayah

2)  Ibu

3)  Kakek dari garis ayah

4)  Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S An-nisa ayat 11)

c.   Dalam garis kesamping

1)  Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah

2)  Saudara perempuan tiri dari garis ayah (Q.S An-Nisa ayat 12)

3)  Saudara lelaki tiri dari garis ibu (Q.S An-Nisa ayat 12)

d.   Duda dan Janda (Q.S An-Nisa ayat 12)

2. Ashãbah

Ashãbah dalam bahasa Arab berarti “anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak ayah. Ashãbah adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa ahli waris ashãbah terdiri dari

a. Ashãbah  Binafsih  yaitu  ashãbah-ashãbah  yang  berhak  mendapatkan semua harta atau semua sisa, yang urutannya yaitu:

1)  Anak laki-laki.

2)  Cucu laki-laki terus kebawah asal saja pertaliannya masih laki-laki.

3)  Ayah .

4)  Kakek dari pihak ayah dan terus asala saja pertaliannya belum putus dari pihak ayah.

5)  Saudara laki-laki sekandung.

6)  Saudara laki-laki seayah.

7)  Anak saudara laki-laki kandung.

8)  Anak saudara laki-laki seayah.

9)  Paman yang sekandung dengan ayah.

10) Paman yang seayah dengan ayah.

11) Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah.

12) Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.

b.Ashãbah Bilghairi

yaitu ashãbah yang sebab orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi ashãbah karena ditarik oleh seorang laki-laki. Mereka  yang termasuk ashãbah bilghairi adalah sebagai berikut:

1)  Anak perempuan yang disamping oeleh anak laki-laki.

2)  Saudara perempuan yang disamping oleh saudara laki-laki.

c.   Ashãbah   Ma’al   Ghairi   yaitu   perempuan   yang   mewaris   bersama keturunan perempuan dari pewaris, mereke ini adalah:

1)  Saudara perempuan sekandung.

2)  Saudara perempuan seayah.

3.Dzul Arham

Artinya kata Dzul Arham adalah “ orang yang mempunyai hubungan darah pewaris melalui pihak wanita saja”. Arti sebenarnya dari dzul arhãm ialahs setiap orang yang ada hubungan darah dengan pewaris bukan dzul farãidh dan bukan ashãbah. Dzul arhãm ini bukan manerima warisan bilamana tidak ada kedua golongan ahli waris tersebut diatas. Dzul arhãm ini terdiri dari 11 orang yaitu.

a.   Cucu laki-laki keturunan anak perempuan

b.   Kemenakan laki-laki yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan c.   Anak perempuan dari saudaran laki-laki

d.   Anak perempuan dari paman

e.   Paman dari ibu

f.    Saudara laki-laki dari ibu

g.   Saudara perempuan dari ayah

h.   Ayah dan ibu

i.    Ibu dari ayah

j.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu.

KESIMPULN

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dalam skripsi yang berjudul“hak-hak istri dari poligami menurut hukum positif dan hukum Islam”.

1. Adapun persamaan dan perbedaan poligami  menurut hukum positif dan hukum Islam adalah:

a.   Poligami sirri menurut hukum positif yaitu perkawinan yang lebih dari satu wanita dalam waktu yang bersamaan dengan tidak dicatat

perkawinannya dikantor urusan agama. Sedangkan poligami sirri menurut hukum Islam yaitu perkawinan yang lebih dari satu wanita dalam waktu yang bersamaan hanya sah dalam hukum Islam dan hukum adat saja.

b.   Perbedaan poligami sirri,menurut hukum positif yaitu bahwa suami harus meminta izin keapada istri pertamanya ketika ingin berpoligami, istri kedua yang tidak dicatatkan perkawinannya di PPN (Pegawai Pencatat Nikah) tidak memiliki kekuatan hukum, Sedangkan poligami menurut hukum Islam yaitu bahwa suami tidak perlu meminta izin kepada istri pertama untuk berpoligami sebab izin berpoligami hanya adab (tata cara sopan santu) saat hendak ingin berpoligami, dalam Islam tidak ada istri yang tidak sah apabila perkawinannya memenuhi rukun dan syarat nikah,

2.   Hak-hak istri dari poligami sirri menurut hukum positif dan hukum Islam,  adalah:

a.   Hak-hak istri dari poligami sirri menurut hukum positif yaitu: perkawinan kedua dan seterusnya yang mana tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) bahkan perkawinannyapun dianggap tidak pernah terjadi, maka istri akan kehilangan haknya sebagai istri, istri tidak bisa menunt nafkah,  memiliki rumah sendiri, waktu giliran, dan pada saat ingin berpergian,  apabila suami mengabaikanya istri sirri tidak bisa menunut, karena Undang-Undang tidak mengatur poligami sirri.

b.   Hak istri dari poligami sirri menurut hukum Islamadalah istri yang dicatat perkawinannya maupun istri yang tidak dicatat perkawinannyaapabilah rukun dan syaratnya telah terpenuhi, hak istri muncul sejak ijab qobul itu usai dilakukan pada saat itulah suami harus memberikan apa-apa yang menjadi hak-hak seorang istri yang harus dipenuhi yang merupakan kewajiban suami.

c.   Kewajibab suami gugur apabila istri nusyuz, seperti keluar rumah tanpa izin suami, istri tidak mau melayani suami, dan istri murtad.


1.Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: KencanaPrenadaMediaGroup, 2008), h. 6

2.Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami (Yogyakarta : Al Kautsar, 1990), hal 11

3.Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Indonesia Pusat Bahasa, Eds. Empat, 2008, hal. 1089

4.Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, 1990, hal. 71-72

5.Departemen dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia , 1998, hal. 693

6.supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perka

7Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, hal.. 1047

8.Tihami dan Sohari Sahrani , Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap 2013  hal. 357

9.Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap 2013,hal 357

10.Muhammad Fadhullah Suhaimi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, 1990Cet. Pertama, hal. 31

11.Syaikh Mutawalli As-Syarawi, Fikih Perempuan muslimah tt, 2005 Cet. ke-2, hal..189

12.Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,, cet. ke-3,1998, hal. 172

13.Amiur Nuruddin, dan  Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam…, hal.  164

14Jurnal AL-Adalah, Vol.12, No 2 Tahun ,2015.

15.Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemah dan Asbabun Nuzul, hal. 77 20

16.Tamakirin, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum,1992 hal. 1

17.Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia.1985, hal. 18

18.Retno Wulan Sutantio, Wanita dan Hukum, 1979 hal. 84.

19.Wirjono Projodikoro, Hukum Waris di Indonesia, 1995, hal.50

20.Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata

21.A. Hamzah, Kompilasi Hukum Islam, 2004, hal. 70

22.Tamakirin, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum,1992, hal.85.

23.Muhamad Ali As-shabuni, Hukum Waris 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah