KEWAJIBAN MUSLIM MENGETAHUI HUKUM SHALAT

KEWAJIBAN MUSLIM MENGETAHUI HUKUM SHALAT 

Pembahasan Seputar Ibadah Mengenai Shalat Dan Tuntunannya Dan Wajib Bagi Seorang Muslim Mengetahui Segala Yang Menyangkut Tentang Ibadah Shalat Baik Shalat Itu Wajib Atau Sunnah Wajib Itu A’rizi Atau Sunnah A’rizi  Disini Walid Menulis Kajiian Hukum Islam Mengenai Shalat Dan Menguraikannya Satu Persatu Secara Rinci Menurut Pendapat Syafi’iyah Didalam Pembahasan Ini Melengkapi Segala Syarat Dan ,Baik Fardhu, Wajib, Sunnah,Dan Lain Lain Saling Bersangkutan Versi Dayah Atau Pesantren Mari Sama Sama Mengupasnya Secara Detail

Universitas Islam Dunia,20 pebruari 2021, bertepatan pada 8 rajab1443

A. PENDAHULUANA

Latar Belakang Masalah

Shalat lima waktu merupakan latihan pembinaan disiplin pribadi, untuk   dan terus menerus melaksanakannya pada waktu yang ditentukan dan sesuai dengan rukunnya sehingga akan terbentuk kedisiplinan pada diri individu tersebut. Berdasarkan hadist riwayat Ahmad, dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan tentang shalat pada suatu hari, kemudian berkata,

 مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

“Siapa saja yang menjaga shalat maka dia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat. Sedangkan, siapa saja yang tidak menjaga shalat, dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dan pada hari kiamat nanti, dia akan dikumpulkan bersama dengan Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf” menunaikan shalat lima waktu, maka dibutuhkan peranan orang tua dalam memotivasi anak agar bisa mengamalkan shalat lima waktu terutama sejak anak masih kecil. Sebagai orang tua tentu bertanggung jawab atas shalat putra dan putrinya dan hendaknya berlaku tegas sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam mendidik anak untuk melaksanakan shalat. Sebagai orang tua dalam membimbing anak agar mampu dan mau melaksanakan shalat dengan benar, Rasulullah SAW telah memerintahkan “didiklah anak-anakmu shalat sejak berumur 7 tahun, dan pukullah setelah 10 tahun”. Perintah Rasulullah SAW ini memiliki maksud agar dalam mendidik anak tidak secara instant, melainkan bertahap, kontinyu dan konsisten dari umur 7 tahun. Usia 7 tahun bagi anak merupakan golden age dimana anak memiliki kepekaan untuk meniru dan mencontohkan apa yang ia lihat  dan dengar. Hal ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW agar tegas dalam memerintah anak untuk melaksanakan shalat. Sabda Nabi SAW: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan”. Maka orang tua bertanggung jawab untuk mendidik putra-putrinya shalat sejakmasih kecil, apabila dibimbing shalat secara konsisten Insya Allah anak akan dapat melaksanakan shalat dengan baik dan benar dengan penuh kesadaran. Namun apabila sudah dibimbing sejak kecil perlu adanya evaluasi dan refleksi untuk melakukan tindakan yang lebih tegas, kalau perlu dipaksa bahkan memukulnya sehingga jangan sampai anak belum mampu dan mau shalat saat memasuki masa aqil baligh. Karenasetelah baligh anak sudah harus bertanggung jawab sendiri atas amal ibadahnya sendiri. Kewajiban orang tua adalah memerintahkan anaknya untuk shalat.

 B.PEMBAHASAN

Shalat secara bahasa adalah do’a. Dan secara syara’, sebagaimana yang di sampaikan oleh imam ar Rafi’i, adalah ucapan dan pekerjaan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.

وَهِيَ لُغَةً الدُّعَاءُ وَشَرْعًا كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكَبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ.

Shalat yang difardlukan ada lima. Dalam sebagian redaksi menggunkan bahasa “shalat-shalat yang difardhukan”.

(الصَّلَاُة الْمَفْرُوْضَةُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ الصَّلَوَاتُ الْمَفْرُوْضَاتُ (خَمْسٌ)

Masing-masing dari shalat wajib dilaksanakan sebab masuknya awal waktu akan sbg wajib yang diperluas (tidak harus segera dilakukan) hingga waktu yang tersisa hanya cukup digunakan untuk melakukannya, maka saat itu waktunya menjadi sempit (harus segera dilakukan).

يَجِبُ كُلٌّ مِنْهَا بِأَوَّلِ الْوَقْتِ وُجُوْبًا مُوَسَّعًا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ الْوَقْتِ مَا يَسَعُهَا فَيَضِيْقُ حِيْنَئِذٍ.

Shalat Dhuhur

Yaitu shalat Dhuhur. Imam an Nawawi berkata “shalat ini disebut dengan Dhuhur karena sesungguhnya shalat ini nampak jelas di tengah hari.”

(الظُّهْرُ) أَيْ صَلَاتُهُ قَالَ النَّوَوِيُّ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا ظَاهِرَةٌ وَسَطَ النَّهَارِ.

Awal masuknya waktu shalat Dhuhur adalah saat tergelincirnya, maksudnya bergesernya matahari dari tengah langit, tidak dilihat dari kenyataan nya, namun pada apa yang nampak oleh kita.

(وَأَوَّلُ وَقْتِهَا زَوَالُ) أَيْ مَيْلُ (الشَّمْسِ) عَنْ وَسَطِ السَّمَاءِ لَا بِالنَّظَرِ لِنَفْسِ الْأََمْرِ بَلْ لِمَا يَظْهَرُ لَنَا

Pergeseran tersebut bisa diketahui dengan bergesernya bayang-bayang ke arah timur setelah posisinya tepat di tengah-tengah, yaitu puncak posisi tingginya matahari.

وَيُعْرَفُ ذَلِكَ الْمَيْلُ بِتَحَوُّلِ الظِّلِّ إِلَى جِهَةِ الْمَشْرِقِ بَعْدَ تَنَاهِيْ قَصْرِهِ الَّذِيْ هُوَ غَايَةُ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ

Dan batas akhirnya waktu shalat Dhuhur adalah ketika bayang-bayang setiap benda seukuran dengan bendanya tanpa memasukkan bayang-bayang yang nampak saat zawal (gesernya matahari).

(وَآخِرُهُ) أَيْ وَقْتِ الظُّهْرِ (إِذَا صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْئٍ مِثْلَهُ بَعْدَ) أَيْ غَيْرَ (ظِلِّ الزَّوَالِ)

Dhil secara bahasa adalah penutup/ pelindung, engkau berkata, “aku berada di bawah dhilnya fulan”, maksdnya perlindungannya

وَالظِّلُّ لُغَةً السَّتْرُ تَقُوْلُ أَنَا فِيْ ظِلِّ فُلَانٍ أَيْ سَتْرِهِ

Bayang-bayang bukan berarti tidak adanya sinar matahari sebagaimana yang di salah fahami, akan tetapi bayang-bayang adalah perkara wujud yang di ciptakan oleh Allah Swt untuk kemanfaatan badan dan selainnya.

وَلَيْسَ الظِّلُّ عَدَمَ الشَّمْسِ كَمَا قَدْ يُتَوَهَّمُ بَلْ هُوَ أَمْرٌ وُجُوْدِيٌّ يَخْلُقُهُ اللهُ تَعَالَى لِنَفْعِ الْبَدَنِ وَغَيْرِهِ.

Shalat Ashar

Dan Ashar, maksudnya shalat Ashar. Disebut dengan shalat Ashar, karena pelaksanaannya mendekatii waktu terbenamnya matahari.

(وَالْعَصْرُ) أَيْ صَلَاتُهُ وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ لُمَعَاصَرَتِهَا وَقْتَ الْغُرُوْبِ

Permulaan waktunya adalah mulai dari bertambahnya bayangan dari ukuran bendanya.

(وَأَوَّلِ وَقْتِهَا الزِّيَادَةُ عَلَى ظِلِّ الْمِثْلِ)

Shalat Ashar memiliki lima waktu. Salah satunya adalah waktu fadlilah, yaitu mengerjakan shalat di awal waktu.

وَلِلْعَصْرِ خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ أَحَدُهَا وَقْتُ الْفَضِيْلَةِ وَهُوَ فِعْلُهَا أَوَّلَ الْوَقْتِ

Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Waktu ini diisyarahi oleh mushannif dengan ucapan beliau, akhir waktu Ashar di dalam waktu ikhtiyaradalah hingga ukura bayang-bayang dua kali lipat ukuran bendanya.

وَالثَّانِيْ وَقْتُ الْاِخْتِيَارِ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَآخِرُهُ فِي الْاِخْتِيَارِ إِلَى ظِلِّ الْمِثْلَيْنِ)

Yang ketiga adalah waktu jawaz. Waktu ini diisyarahi oleh mushannif dengan ucapan beliau, dan didalam wak tu jawaz  hingga terbenamnya matahari.

وَالثَّالِثُ وَقْتُ الْجَوَازِ وَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَفِي الْجَوَازِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ)

Yang ke empat adalah waktu jawaz tanpa disertai hukum makruh. Yaitu sejak ukuran bayang-bayang dua kali lipat dari ukuran bendanya hingga waktu ishfirar (remang-remang).

وَالرَّابِعُ وَقْتُ جَوَازٍ بِلَا كَرَاهَةٍ وَهُوَ مِنْ مَصِيْرِ الظِّلِّ مِثْلَيْنِ إِلَى الْاِصْفِرَارِ

Yang kelima adala waktu tahrim (haram). Yaitu meng-akhirkan pelaksanaan shalat hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan shalat.

وَالْخَامِسُ وَقْتُ تَحْرِيْمٍ وَهُوَ تَأْخِيْرُهَا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ الْوَقْتِ مَا لَا يَسَعُهَا

Shalat Maghrib

Dan Maghrib, maksudnya shalat Maghrib. Disebut dengan shalat Maghrib karena dikerja -kan saat waktu terbenamnya matahari.

(وَالْمَغْرِبُ) أَيْ صَلَاتُهَا وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِفَعْلِهَا وَقْتَ الْغُرُوْبِ

Waktu shalat Maghrib hanya satu. Yaitu terbenamnya matahari, maksudnya seluruh bulatan matahari dan tidak masalah walaupun setelah itu masih terlihat sorotanya, dan kira-kira waktu yang cukup bagi seseorang untuk melakukan adzan, wudhu’ atau tayammum, menutup aurat, iqamah shalat dan shalat lima rakaat.

(وَوَقْتُهَا وَاحِدٌ وَهُوَ غُرُوْبُ الشَّمْسِ) أَيْ بِجَمَيْعِ قَرْصِهَا وَلَايَضُرُّ بَقَاءُ شُعَاعٍ بَعْدَهُ (وَبِمِقْدَارِ مَا يُؤَذِّنُ) الشَّخْصُ (وَيَتَوَضَأُ) أَوْ يَتَيَمَّمُ (وَيَسْتُرُ الْعَوْرَةُ وَيُقِيْمُ الصَّلَاةَ وَيُصَلِّيْ خَمْسَ رَكَعَاتٍ)

Perkataan mushannif “وَبِمِقْدَارِ إِلَخْ” terbuang dari sebagian redaksi matan.

وَقَوْلُهُ وَبِمِقْدَارِ إِلَخْ سَاقِطٌ مِنْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ

Ketika kadar waktu di atas sudah habis, maka waktu maghrib sudah keluar. Ini adalah pendapat Qaul Jadid.

فَإِنِ انْقَضَى الْمِقْدَارُ الْمَذْكُوْرُ خَرَجَ وَقْتُهَا هَذَا هُوَ الْقَوْلُ الْجَدِيْدُ

Sedangkan Qaul Qadim, dan diunggulkan oleh imam an Nawawi, adalah sesungguhnya waktu shalat Maghrib memanjang hingga terbenamnya mega merah.

وَالْقَدِيْمُ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ أَنَّ وَقْتَهَا يَمْتَدُّ إِلَى مَغِيْبِ الشَّفَقِ الْأَحْمَرِ.

Shalat Isya’

Dan shalat Isya’. Isya’ dengan terbaca kasrah huruf ‘ainnya adalah nama bagi permulaan petang. Shalat ini disebut dengan nama tersebut karena dikerjakan pada awal petang.

(وَالْعِشَاءُ) بِكَسْرِ الْعَيْنِ مَمْدُوْدًا اسْمٌ لِأَوَّلِ الظُّلَامِ وَسُمِّيَتِ الصَّلَاةُ بِذَلِكَ لِفِعْلِهَا فِيْهِ

Permulaan waktu Isya’ adalah ketika terbe- namnya mega merah.

(وَأَوَّلُ وَقْتِهَا إِذَا غَابَ الشَّفَقُ الْأَحْمَرُ)

Adapun negara yang tidak terbenam mega merahnya, maka waktu Isya’ bagi penduduknya adalah ketika setelah ternggelamnya matahari, sudah melewati masa tenggelamnya megah merah negara yang terdekat pada mereka.

وَأَمَّا الْبَلَدُ الَّذِيْ لَايَغِيْبُ فِيْهِ الشَّفَقُ فَوَقْتُ الْعِشَاءِ فِيْ حَقِّ أَهْلِهِ أَنْ يَمْضِيَ بَعْدَ الْغُرُوْبِ زَمَنٌ يَغِيْبُ فِيْهِ شَفَقُ أَقْرَبِ الْبِلَادِ إِلَيْهِمْ

Shalat Isya’ memiliki dua waktu. Salah satunya adalah waktu Ikhtiyar, dan di isyarahkan oleh mushannif dengan ucapan beliau, “akhir waktu ikhtiyar shalat Isya’ adalah memanjang hingga seperti malam yang pertama.

وَلَهَا وَقْتَانِ أَحَدُهُمَا اخْتِيَارٌ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَآخِرُهُ) يَمْتَدُّ (فِيْ الْاِخْتِيَارِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ)

Yang kedua adalah waktu jawaz. Dan mushannif memberi isyarah tentang waktu ini dengan ucapan beliau, “dan di dalam waktu jawazhingga terbitnya fajar kedua, maksudnya fajar Shadiq, yaitu fajar yang menyebar dan membentang sinarnya di angkasa.

وَالثَّانِيْ جَوَازٌ وَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَفِي الْجَوَازِ إِلَى طُلُوْعِ الْفَجْرِ الثَّانِيْ) أَيِ الصَّادِقِ وَهُوَ الْمُنْتَشِرُ ضَوْؤُهُ مُعْتَرِضًا بِالْأُفُقِ

Adapun fajar Kadzib, maka terbitnya / muncul sebelum fajar Shadiq, tidak membentang akan tetapi memanjang naik ke atas langit, kemudian hilang dan di ikuti oleh kegelapan malam. Dan tidak ada hukum yang terkait dengan fajar ini.

وَأَمَّا الْفَجْرُ الْكَاذِبُ فَيَطَّلِعُ قَبْلَ ذَلِكَ لَا مُعْتَرِضًا بَلْ مُسْتَطِيْلًا ذَاهِبًا فِي السَّمَاءِ ثُمَّ يَزُوْلُ وَتَعْقِبُهُ ظُلْمَةٌ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ

Asy Syekh Abu Hamid menjelaskan bahwa se sungguhnya shalat Isya’memiliki waktu Karahah, yaitu waktu di antara dua fajar.

وَذَكَرَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ أَنَّ لِلْعِشَاءِ وَقْتَ كَرَاهَةٍ وَهُوَ مَا بَيْنَ الْفَجْرَيْنِ

Shalat Subuh

Dan Subuh, maksudnya shalat Subuh. Secara bahasa, Subuh memiliki arti permulaan siang (pagi-beungoeh; Aceh). Disebut demikian karena dikerjakan di permulaan siang (pagi).

(وَالصُّبْحُ) أَيْ صَلَاتُهُ وَهُوَ لُغَةً أَوَّلُ النَّهَارِ وَسُمِّيَتِ الصَّلَاةُ بِذَلِكَ لِفِعْلِهَا فِيْ أَوَّلِهِ

Seperti halnya shalat Ashar, shalat Subuh juga memiliki lima waktu. Salah satunya adalah waktu fadlilah. Yaitu awal waktu

وَلَهَا كَالْعَصْرِ خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ أَحَدُهَا وَقْتُ الْفَضِيْلَةُ وَهُوَ أَوَّلُ الْوَقْتُ

Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Mushannif menyebutkan didalam ucapan beliau, “awal waktu shalat Subuh adalah mulai terbitnya fajar kedua, dan akhirnya didalam waktu ikhtiyar adalah hingga isfar, yaitu waktu yang sudah terang.

وَالثَّانِيْ وَقْتُ اخْتِيَارٍ وَذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فِيْ قَوْلِهِ (وَأَوَّلُ وَقْتِهَا طُلُوْعُ الْفَجْرِ الثَّانِيْ وَآخِرُهُ فِي الْاِخْتِيَارِ إِلَى الْإِسْفَارِ) وَهُوَ الْإِضَاءَةُ

Yang ketiga adalah waktu jawaz. Dan mushannif mengisyarahkannya dengan ucapan beliau, “dan didalam waktu jawaz, artinya makruh hukumnya shalat hingga terbitnya matahari.

وَالثَّالِثُ وَقْتُ الْجَوَازِ وَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَفِي الْجَوَازِ) أَيْ بِكَرَاهَةٍ (إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ)

Dan yang ke empat adalah waktu jawaz tanpa disertai hukum makruh adalah sampai terbitnya mega merah.

وَالرَّابِعُ جَوَازٌ بِلَا كَرَاهَةٍ إِلَى طُلُوْعِ الْحُمْرَةِ

Dan yang ke lima adalah waktu tahrim (haram), yaitu mengakhirkan pelaksanaan shalat hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksana -kan shalat.

وَالْخَامِسُ وَقْتُ تَحْرِيْمٍ وَهُوَ تَأْخِيْرُهَا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ الْوَقْتِ مَالَايَسَعُهَا

SYARAT WAJIB SHALAT

(Fashal) syarat wajibnya shalat itu ada tiga perkara:

(فَصْلٌ) وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:)

Salah satunya adalah Islam. Maka tidak wajib shalat bagi kafir yang asli. Dan tidak wajib mengqadha’nya apabila ia masuk Islam.

أَحَدُهَا (الْإِسْلَاُم) فَلَا تَجِبُ الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ

 وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا إِذَا أَسْلَمَ

Adapun orang murtad, maka wajib baginya untuk melakukan shalat dan mengqadhainya ketika ia sudah kembali Islam.

وَأَمَّا الْمُرْتَدُ فَتَجِبُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَقَضَاؤُهَا إِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ

Yang kedua adalah baligh. Maka shalat tidak wajib bagi anak kecil laki-laki dan perempuan.

(وَ) الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا تَجِبُ عَلَى صَبِيٍّ وَصَبِيَّةٍ

Akan tetapi keduanya harus diperintah melaksana kan shalat setelah berusia tujuh tahun jika sudah tamyiz, jika belum maka diperintah setelah tamyiz.

لَكِنْ يُؤْمَرَانِ بِهَا بَعْدَ سَبْعِ سِنِيْنَ إِنْ حَصَلَ التَّميِيْزُ بِهَا وَإِلَّا فَبَعْدَ التَّمْيِيْزِ

Dan keduanya harus di pukul sebab mening -galkan shalat setelah berusia sepuluh tahun.

وَيُضْرَبَانِ عَلَى تَرْكِهَا بَعْدَ كَمَالِ عَشْرِ سِنِيْنَ

Yang ketiga adalah memiliki akal sehat. Maka shalat tidak wajib bagi orang gila.

(وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا تَجِبُ عَلَى مَجْنُوْنٍ

Perkataan mushannif “akal adalah batasan taklif tuntutan syarat)” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.

وَقَوْلُهُ (وَهُوَحَدُّ التَّكلِيْفِ) سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ

Shalat-Shalat Sunnah

Shalat-shalat yang disunnahkan ada lima. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bentuk jama’ yaitu الْمَسْنُوْنَاتُ”.

(وَالصَّلَوَاتُ,الْمَسْنُوْنَةُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ الْمَسْنُوْنَاتُ (خَمْسٌ

Yaitu shalat dua hari raya, maksudnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

الْعِيْدَانِ) أَيْ صَلَاةُ عِيْدِ الْفِطْرِ وَعِيْدِ الْأَضْحَى

Dan shalat dua gerhana, maksudnya gerhana matahari dan gerhana bulan. Dan istisqa’, artinya shalat istisqa’.

(وَالْكُسُوْفَانِ) أَيْ صَلَاةُ كُسُوْفِ الشَّمْسِ,وَخُسُوْفِ,الْقَمَرِ(وَالْإِسْتِسْقَاءُ)     أَيْ صَلَاتُهُ

Shalat Sunnah Rawatib

Shalat-shalat sunnah yang menyertai shalat-shalat fardhu, yang juga diungkapkan dengan shalat sunnah ratibah / rawatib, ada tujuh belas raka’at.

(وَالسُّنَنُ التَّابِعَةُ لِلْفَرَائِضِ) وَيُعَبَّرُ عَنْهَا أَيْضًا بِالسُّنَةِ الرَّاتِبَةِ وَهِىَ (سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً

Dua rakaat fajar, empat rakaat sebelum Dhuhur dan dua rakaat setelahnya, empat rakaat sebelum Ashar, dua rakaat setelah Maghrib, dan tiga rakaat setelah Isya’ yang digunakan untuk shalat witir satu rakaatnya.

رَكْعَتَا الْفَجْرِ وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهُ وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الْعَصْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَثَلَاثٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ)

Shalat Witir

Satu rakaat adalah minimal shalat witir. Dan maksimal shalat witir adalah sebelas rakaat. Waktu shalat witir adalah di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar.

الْوَاحِدَةُ هِيَ أَقَلُّ الْوِتْرِ وَأَكْثَرُهُ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَوَقْتُهُ بَعْدَ صَلَاةٍ الْعِشَاءِ وَطُلُوْعِ الْفَجْرِ

Sehigga, jikalau ada seseorang melakukan shalat witir sebelum shalat Isya’, baik sengaja atau lupa, maka shalat yang dilakukan tidak dianggap. Shalat rawatib yang muakad (sangat dianjurkan) dari semua shalat sunnah di atas sepuluh rakaat.

فَلَوْ أَوْتَرَ قَبْلَ الْعِشَاءِ عَمْدًا أَوْ سَهْوًا لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ وَالرَّاتِبُ الْمُؤَكَّدُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ عَشْرُ رَكَعَاتٍ

Yaitu dua rakaat sebelum Subuh, dua rakaat sebelum dan setelah Dhuhur, dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah shalat Isya’.

رَكْعَتَانِ قَبْلَ الصُّبْحِ وَرَكْعَتَانِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْعِشَاءِ

Shalat Sunnah Selain Rawatib

Dan tiga shalat sunnah muakkad yang tidak mengikut pada shalat-shalat farldu.

(وَثَلَاثُ نَوَافِلَ مُؤَكَّدَاتٌ) غَيْرُ تَابِعَةٍ لِلْفَرَائِضِ

Salah satunya adalah shalat malam. Shalat sunnah mutlak di malam hari itu lebih utama dari pada shalat sunnah di siang hari. Shalat sunnah mutlak di tengah malam adalah yang paling utama. Kemudian di akhir malam yang lebih utama. Hal ini bagi orang yang membagi waktu malam menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا (صَلَاةُ اللَّيْلِ) وَالنَّفْلُ الْمُطْلَقُ فِي اللَّيْلِ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ الْمُطْلَقِ فِي النَّهَارِ وَالنَّفْلُ وَسَطَ اللَّيْلِ أَفْضَلُ ثُمَّ آخِرَهُ أَفْضَلُ وَهَذَا لِمَنْ قَسَّمَ اللَّيِلَ أَثْلَاثًا

Yang kedua shalat Dhuha. Minimal shalat Dhuha adalah dua rakaat. Dan paling maksimal adalah dua belas rakaat. Waktu shalat Dhuha mulai dari naiknya matahari kira-kira setinggi satu tombak- hingga terge -lincirnya matahari, sebagaimana yang di sampai kan imam an Nawawi di dalam kitab at Tahqiq dan Syarh al Muhadzdzab.

(وَ) الثَّانِيْ (صَلَاةُ,الضُّحَى) وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ وَأَكْثَرُهَا اثْنَتَا عَشَرَةَ رَكْعَةً

وَوَقْتُهَا مِنِ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ إِلَى زَوَالِهَا كَمَا قَالَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ

Yang ke tiga adalah shalat tarawih. Yaitu shalat dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salaman di setiap malam di bulan Ramadhan. Dan jumlah nya sebanyak lima tarwihat.

(وَ) الثَّالِثُ (صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ) وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَجُمْلَتُهَا خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ

Di setiap pelaksanaan dua rakaat dari shalat tarawih, seseorang melakukan niat “sunnah tarawih” atau “qiyam Ramadhan (menghidupkan bulan Ramadhan)”. Dan seandainya ada seseorang melakukan shalat tarawih empat rakaat sekaligus dengan satu kali salam, maka shalat yang ia lakukan tidak sah.

وَيَنْوِي الشَّخْصُ فِيْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ مِنْهَا سُنَّةُ التَّرَاوِيْحِ أَوْ قِيَامُ رَمَضَانَ

وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ تَصِحَّ

Dan seandainya ada seseorang melakukan shalat tarawih empat rakaat sekaligus dengan satu kali salaman, maka shalat yang ia lakukan tidak sah.

وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ تَصِحَّ

Waktu shalat tarawih adalah di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar.

وَوَقْتُهَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوْعِ الْفَجْرِ

Bab Syarat-Syarat Shalat

(Fashal) syarat-syarat shalat sebelum melaku -kannya ada lima perkara.

(فَصْلٌ وَشَرَائِطُ الصَّلَاةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ)

Lafadz “asy syuruth” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “syarth”. Dan syarat secara bahasa adalah bermakna tanda. Dan secara syara’ adalah sesuatu yang menentukan sahnya shalat, namun bukan termasuk sebagian dari shalat. Dengan qayid ini, maka mengecualikan rukun. Karena sesungguhnya rukun adalah sebagian dari shalat.

وَالشُّرُوْطُ جَمْعُ شَرْطٍ وَهُوَ لُغَةً الْعَلَامَةُ وَشَرْعًا مَا تَتَوَقَّفُ صِحَّةُ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ جُزْأً مِنْهَا وَخَرَجَ بِهَذَا الْقَيِّدِ الرُّكْنُ فَإِنَّهُ جُزْءٌ مِنَ الصَّلَاةِ

Suci dari Hadats

Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats kecil dan besar ketika mampu melakukan. Adapun faqidut thohurain (tidak menemukan dua alt bersuci yaitu air dan debu), maka hukum sholatnya sah namun wajib baginya untuk mengulanginya -ketika sudah mampu bersuci-. Dan suci dari najis yang tidak dima’fu pada pakaian, badan dan tempat. Mushannif akan menjelaskan yang terakhir ini (suci tempat) sebentar lagi

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ (طَهَارَةُ الْأَعْضَاءِ مِنَ الْحَدَثِ) الْأَصْغَرِ وَالْأَكْبَرِ عِنْدَ الْقُدْرَةِ أَمَّا فَاقِدُ الطَّهُوْرَيْنِ فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ مَعَ وُجُوْبِ الْإِعَادَةِ عَلَيْهِ. أَمَّا فَاقِدُ الطَّهُوْرَيْنِ فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ مَعَ وُجُوْبِ الْإِعَادَةِعَلَيْهِ (وَ) طَهَارَةُ (النَّجَسِ) الَّذِيْ لَا يُعْفَى عَنْهُ فِيْ ثَوْبٍ وَبَدَنٍ وَمَكَاٍن وَسَيَذْكُرُ الْمُصَنِّفُ هَذَا الْأَخِيْرَ قَرِيْبًا.

Tempat Yang Suci

Syarat ke tiga adalah berdiri diatas tempat yang suci. Maka tidak sah shalatnya seseorang yang sebagian badan atau pakaiannya bertemu najis saat berdiri, duduk, ruku’, atau sujud.

(وَ) الثَّالِثُ (الْوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ) فَلَا تَصِحُّ صَلَاةُ شَخْصٍ يُلَاقِيْ بَعْضُ بَدَنِهِ أَوْ لِبَاسِهِ نَجَاسَةٌ فِيْ قِيَامٍ أَوْ قُعُوْدٍ أَوْ رُكُوْعٍ أَوْ سُجُوْدٍ

Masuk Waktu Shalat

Syarat ke empat dalah mengetahui masuknya waktu atau menyangka masuk waktu berdasar kan dengan ijtihad. Maka jikalau ada seseorang yang melakukan shalat tanpa semua itu, maka shalatnya tidak sah, walaupun tepat waktunya.

(وَ) الرَّابِعُ (الْعِلْمُ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ) أَوْ ظَنِّ دُخُوْلِهِ بِالْإِجْتِهَاد فَلَوْ صَلَّى بِغَيْرِ ذَلِكَ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَإِنْ صَادَفَ الْوَقْتَ

Menghadap Kiblat

Syarat ke lima adalah menghadap kiblat, maksudnya Ka’bah. Ka’bah disebut kiblat karena sesungguhnya seseorang yang melakukan shalat menghadap padanya. Dan disebut dengan Ka’bah, karena ketinggiannya.

(وَ) الْخَامِسُ (اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةُ) أَيِ الْكَعْبَةِ. سُمِّيَتْ قِبْلَةً لِأَنَّ الْمُصَلِّيَ يُقَابِلُهَا وَكَعْبَةً لِارْتِفَاعِهَا

Menghadap kiblat dengan dada adalah syarat bagi orang yang mampu melaksanakannya. Dan mushannif mengecualikan dari hal ini yang beliau jelaskan dengan perkataan beliau di bawah ini: diperbolehkan tidak menghadap kiblat saat melaksanakan shalat di dalam dua keadaan Yaitu saat syiddatul khauf (keadaan genting) ketika melakukan perang yang diperkenankan, baik shalat fardlu ataupun sunnah.

وَاسْتِقْبَالُهَا بِالصَّدْرِ شَرْطٌ لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ. وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ. (وَيَجُوْزُ- تَرْكُ) اسْتِقْبَالِ (الْقِبْلَةِ) فِي الصَّلَاةِ (فِيْ حَالَتَيْنِ,فِيْ شِدَّةِ الْخَوْفِ) فِيْ قِتَالٍ مُبَاحٍ فَرْضًا كَانَتِ الصَّلَاةُ أَوْ نَفْلًا

Yaitu saat syiddatul khauf (keadaan genting) ketika melakukan perang yang diperkenankan, baik shalat fardlu ataupun sunnah. Dan juga bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan yang diperbolehkan walaupun jaraknya dekat, maka diperkenankan melaksanakan shalat sunnah menghadap ke arah tujuannya-walaupun tidak menghadap kiblat-.

فِيْ شِدَّةِ الْخَوْفِ) فِيْ قِتَالٍ مُبَاحٍ فَرْضًا كَانَتِ الصَّلَاةُ أَوْ نَفْلًا, (وَفِي,النَّافِلَةِ,فِي,السَّفَرعَلَى,الرَّاحِلَةِ)

فَلِلْمُسَافِرِ سَفَرًا مُبَاحًا وَلَوْ قَصِيْرًا التَّنَفُّلُ صَوْبَ مَقْصِدِهِ

Dan bagi musafir yang naik kendaraan, maka tidak wajib baginya untuk meletakkan keningnya di atas pelana semisal, akan tetapi ia diperkenan -kan memberi isyarah saat ruku’ dan sujudnya. Namun sujudnya harus lebih rendah dari pada isyarah untuk ruku’nya.

وَرَاكِبُ الدَّابَةِ لَايَجِبُ عَلَيْهِ وَضْعُ جَبْهَتِهِ عَلَى سَرْجِهَا مَثَلًا بَلْ يُوْمِئُ بِرُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ وَيَكُوْنُ سُجُوْدُهُ أَخْفَضَ مِنْ رَكُوْعِهِ

Adapun musafir yang berjalan kaki, maka ia harus menyem purnakan ruku’ dan sujudnya, menghadap kiblat saat melaku kan keduanya, dan tidak berjalan kecuali saat berdiri dan tasyahud.

وَأَمَّا الْمَاشِيْ فَيُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ وَيَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ فِيْهِمَا وَلَا يَمْشِيْ إِلَّا فِيْ قِيَامِهِ وَتَشَهُّدِهِ

Bab Rukun-Rukun Shalat

(Fashal) menjelaskan rukun-rukun shalat. Sedang -kan pengertian shalat secara bahasa dan istilah syara’ sudah dijelaskan di depan. Rukun-rukun shalat ada delapan belas rukun

(فَصْلٌ) فِيْ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ. وَتَقَدَّمَ مَعْنَى الصَّلَاةِ لُغَةً وَشَرْعًا(وَأَرْكَانُ الصَّلَاةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ رُكْنًا)

Salah satunya adalah niat. Niat adalah menye -ngaja sesuatu berbarengan dengan melaksanakan -nya. Tempat niat adalah hati. Ketika shalat fardhu, maka wajib niat fardhu, menyengaja melaksanakannya dan menentukan -nya seumpama Subuh atau Dhuhur.dan lain lain

أَحَدُهَا (النِّيَّةُ) وَهِيَ قَصْدُ الشَّيْئِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ, فَإِنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ فَرْضًا وَجَبَ نِيَّةُ الْفَرْضِيَّةِ وَقَصْدُ فِعْلِهَا وَتَعْيِيْنُهَا مِنْ صُبْحٍ أَوْ ظُهْرٍ مَثَلًا

Atau shalat sunnah yang memiliki waktu tertentu seperti shalat rawatib atau shalat yang memiliki sebab seperti shalat istisqa’, maka wajib menyengaja melaksanakannya dan menentukan -nya, tidak wajib niat sunnah.

أَوْ كَانَتِ الصَّلاَةُ نَفْلًا ذَاتَ وَقْتٍ كَرَاتِبَةٍ أَوْ ذَاتَ سَبَبٍ كَاسْتِسْقَاءٍ وَجَبَ قَصْدُ فِعْلِهَا وَتَعْيِيْنُهُ لَا نِيَّةُ النَّفْلِيَّةِ

Berdiri dalam Shalat

Rukun kedua adalah berdiri jika mampu melakukannya. Jika tidak mampu berdiri, maka wajib duduk dengan posisi yang ia kehendaki, namun duduk iftiras adalah yang lebih utama.

(وَ) الثَّانِي (الْقِيَامُ مَعَ الْقُدْرَةِ) عَلَيْهِ, فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ قَعَدَ كَيْفَ شَاءَ وَقُعُوْدُهُ مُفْتَرِشًا أَفْضَلُ

Takbiratul Ihram

Rukun ketiga adalah takbiratul ihram. Bagi yang mampu, maka wajib mengucapkan takbiratul ihram, yaitu dengan mengucapkan “Allahu Akbar”.

(وَ) الثَّالِثُ (تَكْبِيْرَةُ الْإِحْرَامِ) فَيَتَعَيَّنُ عَلَى الْقَادِرِ النُّطْقُ بِهَا بِأَنْ يَقُوْلَ "اللهُ أَكْبَرُ"

Maka tidak sah jika dengan mengucapkan “Ar Rahmanu Akbar” dan sesamanya. Dan dalam tak biratul ihram, tidak sah mendahulukan  khabar sebelum mubtada’-nya seperti ucapan seseorang “Akbarullahu”.

فَلَا يَصِحُّ الرَّحْمَنُ أَكْبَرُ وَنَحْوُهُ وَلَا يَصِحُّ فِيْهَا تَقْدِيْمُ الْخَبَرِ عَلَى الْمُبْتَدَئِ كَقَوْلِهِ "أَكْبَرُ اللهُ"

Barang siapa tidak mampu mengucapkan takbiratul ihram dengan bahasa arab, maka wajib menterjemah nya dengan bahasa yang ia kehendaki, dan tidak boleh berpindah dari takbiratul ihram kepada bentuk dzikiran yang lain -semisal lafadz “alhamdulillah”- Dan wajib menyertai niat dengan takbiratul ihram.

وَمَنْ عَجَزَ عَنِ النُّطْقِ بِهَا بِالْعَرَبِيَّةِ تَرْجَمَ بِأَيِّ لُغَةٍ شَاءَ وَلَا يَعْدِلُ عَنْهَا إِلَى ذِكْرٍ آخَر

وَيَجِبُ قَرْنُ النِّيَّةِ بِالتَّكْبِيْرِ

Adapun imam an Nawawi, maka beliau memilih bahwa cukup dengan hanya berbarengan secara ‘urf, yaitu sekira secara ‘urf  ia sudah dianggap menghadir kan shalat di dalam hati saat takbiratul ihram-.

وَأَمَّا النَّوَوِيُّ فَاخْتَارَ الْاِكْتِفَاءَ بِالْمُقَارَنَةِ الْعُرْفِيَّةِ بِحَيْثُ يُعَدُّ عُرْفًا أَنَّهُ مُسْتَحْضِرٌ لِلصَّلَاةِ 

 

Membaca Al Fatihah

Rukun ke empat adalah membaca Al Fatihah, atau gantinya bagi orang yang tidak hafal Al Fatihah, baik shalat fardhu ataupun sunnah.

(وَ) الرَّابِعُ (قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ) أَوْ بَدَلِهَا لِمَنْ لَايَحْفَظُهَا فَرْضًا كَانَتْ أَوْ نَفْلًا

Bismillahirrahmanirrahim adalah satu ayat penuh dari surat Al Fatihah.

(وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا) كَامِلَةٌ

Barang siapa tidak membaca satu huruf atau satu tasydid dari surat al Fatihah, atau mengganti satu huruf dengan huruf yang lain, maka bacaannya tidak sah, begitu juga shalatnya jika memang sengaja melakukannya. Jika tidak sengaja, maka bagi dia wajib mengulangi bacaannya.

 

وَمَنْ أَسْقَطَ مِنَ الْفَاتِحَةِ حَرْفًا أَوْ تَشْدِيْدَةً أَوْ أَبْدَلَ حَرْفًا مِنْهَا بِحَرْفٍ لَمْ تَصِحَّ قِرَاءَتُهُ وَلَا صَلَاتُهُ إِنْ تَعَمَّدَ وَإِلَّا وَجَبَ عَلَيْهِ إِعَادَةُ الْقِرَاءَةِ

Wajib membaca surat Al Fatihah tertib. Yaitu dengan membaca ayat-ayatnya sesuai dengan urutan yang sudah diketahui.

وَيَجِبُ تَرْتِيْبُهَا بِأَنْ يَقْرَأَ أَيَاتِهَا عَلَى نَظْمِهَا الْمَعْرُوْفِ

Dan juga wajib membacanya secara muwallah (terus menerus), yaitu sebagian kalimat-kalimat Al Fatihah bersambung dengan sebagian yang lain tanpa ada pemisah kecuali hanya sekedar mengambil nafas.

وَيَجِبُ أَيْضًا مُوَالَاتُهَا بِأَنْ يَصِلَ بَعْضُ كَلِمَاتِهَا بِبَعْضٍ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ إِلَّا بِقَدْرِ التَّنَفُّسِ

Sehingga, ketika di antara muwallah terpisah / diselah-selahi zikiran yang lain, maka hal itu memutus bacaan muwallah surat Al Fatihah.

فَإِنْ تَخَلَّلَ الذِّكْرُ بَيْنَ مُوَالَاتِهَا قَطَعَهَا

Kecuali bacaan zikiran tersebut berhubungan dengan kemaslahatan shalat, seperti bacaan “amin”yang dilakukan makmum pada pertenga han al Fatihahnya karena bacaan  al Fatihah imam, maka sesungguhnya bacaan “amin” tersebut tidak sampai memutus  muwalath.

إِلَّا إِنْ تَعَلَّقَ الذِّكْرُ بِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَتَأْمِيْنِ الْمَأْمُوْمِ فِيْ أَثْنَاءِ فَاتِحَتِهِ لِقِرَاءَةِ إِمَامِهِ فَإِنَّهُ لَايَقْطَعُ الْمُوَالَاةَ

Barang siapa tidak tahu atau kesulitan membaca surat Al Fatihah karena tidak ada pengajar semisal, dan ia bisa membaca surat yang lain dari Al Qur’an, maka bagi dia wajib membaca tujuh ayat secara runtut ataupun tidak sebagai ganti dari surat Al Fatihah.

وَمَنْ جَهُلَ الْفَاتِحَةَ أَوْ تَعَذَّرَتْ عَلَيْهِ لِعَدَمِ مُعَلِّمٍ مَثَلًا وَأَحْسَنَ غَيْرَهَا مِنَ الْقُرْآنِ وَجَبَ عَلَيْهِ سَبْعُ آيَاتٍ مُتَوَالِيَةً عِوَضًا عَنِ الْفَاتِحَةِ أَوْ مُتَفَرِّقَةً

Jika tidak mampu membaca Al Qur’an, maka wajib bagi dia untuk membaca dzikir sebagai ganti dari Al Fatihah, sekira huruf dzikiran tersebut tidak kurang dari jumlah huruf Al Fatihah. Jika tidak bisa membaca Al Qur’an dan dzikiran, maka wajib bagi dia untuk berdiri selama kadar ukuran membaca Al Fatihah.

فَإِنَ عَجَزَ عَنِ الْقُرْآنِ أَتَى بِذِكْرٍ بَدَلًا عَنْهَا بِحَيْثُ لَا يَنْقُصُ عَنْ حُرُوْفِهَا, فَإِنْ لَمْ يُحْسِنْ قُرْآنًا وَلَا ذِكْرًا وَقَفَ قَدْرَ الْفَاتِحَةِ

Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “dan membaca Al Fatihah setelah bismillahirrahmanirrahim, dan basmalah adalah satu ayat dari Al Fatihah.

وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَقِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ بَعْدَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَهِيَ آيَةٌ مِنْهَا .

Rukun ke lima adalah ruku’ Minimal fardhunya ruku’ bagi orang yang melakukan shalat dengan berdiri, mampu melakukan ruku’, berfisik normal, dan selamat / sehat kedua tangan dan kedua lututnya, adalah membungkuk tanpa membusungkan dada (peucot dada; aceh) dengan ukuran sekira kedua telapak tangan bisa menggapai kedua lutut seandainya ia hendak meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya.

(وَ) الْخَامِسُ (الرُّكُوْعُ) وَأَقَلُّ فَرْضِهِ لِقَائِمٍ قَادِرٍ عَلَى الرُّكُوْعِ مُعْتَدِلِ الْخِلْقَةِ سَلِيْمِ يَدَّيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ أَنْ يَنْحَنِيَ بِغَيْرِ انْخِنَاسٍ قَدْرَ بُلُوْغِ رَاحَتَيْهِ رُكْبَتَيْهِ لَوْ أَرَادَ وَضْعَهُمَا عَلَيْهِمَا

Minimal fardhunya ruku’ bagi orang yang mampu berdiri melakukan ruku’, berfisik normal, dan selamat sehat kedua tangan dan kedua lututnya, bahwa membungkuk tanpa membusungkan dada (peucot dada; aceh) dengan ukuran sekira kedua telapak tangan bisa menggapai kedua lutut jikalau hendak meletak kan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Jika tidak mampu melakukan ruku’, maka wajib bagi dia membungkuk semampunya dan memberi isyarah dengan matanya.

وَأَقَلُّ فَرْضِهِ لِقَائِمٍ قَادِرٍ عَلَى الرُّكُوْعِ مُعْتَدِلِ الْخِلْقَةِ سَلِيْمِ يَدَّيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ أَنْ يَنْحَنِيَ بِغَيْرِ انْخِنَاسٍ قَدْرَ بُلُوْغِ رَاحَتَيْهِ رُكْبَتَيْهِ لَوْ أَرَادَ وَضْعَهُمَا عَلَيْهِمَا, فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى هَذَا الرُّكُوْعِ انْحَنَى مَقْدُوْرَهُ وَأَوْمَأَ بِطَرْفِهِ

Ruku’ yang paling sempurna adalah orang yang melakukan ruku’ meluruskan punggung dan lehernya sekira keduanya seperti satu papan yang lurus, menegakkan kedua betisnya, dan memegang kedua lutut dengan kedua tangannya.

وَأَكْمَلُ الرّكُوْعِ تَسْوِيَّةُ الرَّاكِعِ ظَهْرَهُ وَعُنُقَهُ بِحَيْثُ يَصِيْرَانِ كَصَفِحَةٍ وَاحِدَةٍ وَنَصْبُ سَاقَيْهِ وَأَخْذُ رُكْبَتَيْهِ بِيَدَّيْهِ

Rukun ke enam adalah thuma’ninah di dalam ruku’. Thuma’ninah adalah diam setelah bergerak

(وَ) السَّادِسُ (الطُّمَأْنِيْنَةُ) وَهِيَ سُكُوْنٌ  بَعْدَ حَرَكَةٍ (فِيْهِ) أَيِ الرُّكُوْعِ

Mushannif menjadikan thuma’ninah sebagai salah satuh rukun dan rukun-rukunnya shalat. Dan imam an Nawawi berjalan pada pendapat ini di dalam kitab at Tahqiq.

وَالْمُصَنِّفُ يَجْعَلُ الطُّمَأْنِيْنَةَ فِي الْأَرْكَانِ رُكْنًا مُسْتَقِلًّا وَمَشَى عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ

Sedangkan selain mushannif menjadikan thuma’ninah sebagai haiat yang menyertai shalat

وَغَيْرُ الْمُصَنِّفِ يَجْعَلُهَا هَيْئَةً تَابِعَةً لِلْأَرْكَانِ.

I’tidal

Rukun ke tujuh adalah bangun dari ruku’ dan i’tidal berdiri tegap sesuai keadaan sebelum ruku’, yaitu berdiri bagi orang yang melakukan shalat dengan berdiri dan duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri.

(وَ) السَّابِعُ (الرَّفْعُ) مِنَ الرُّكُوْعِ (وَالْإِعْتِدَالُ) قَائِمًا عَلَى الْهَيْئَةِ الَّتِيْ كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ رُكُوْعِهِ مِنْ قِيَامِ قَادِرٍ وَقُعُوْدِ عَاجِزٍ عَنِ الْقِيَامِ

Rukun ke delapan adalah thuma’ninah di dalam i’tidal.

(وَ) الثَّامِنُ (الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ) أَيِ الْاِعْتِدَالِ

Sujud

Rukun ke sembilan adalah sujud dua kali di dalam setiap rakaat. Minimal sujud adalah sebagian kening orang yang shalat menyentuh tempat sujudnya, baik tanah atau yang lainnya. Sujud yang paling sempurna membaca takbir tanpa mengangkat kedua tangan ketika turun ke posisi sujud, meletakkan kedua lutut, kemudi -an kedua tangan, lalu kening dan hidungnya

(وَ) التَّاسِعُ (السُّجُوْدُ) مَرَّتَيْنِ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَأَقَلُّهُ مُبَاشَرَةُ بَعْضِ جَبْهَةِ الْمُصَلِّيْ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ مِنَ الْأَرْضِ أَوْ غَيْرِهَا. وَأَكْمَلُهُ أَنْ يُكَبِّرَ لِهُوِيِّهِ لِلسُّجُوْدِ بِلَا رَفْعِ يَدَّيْهِ وَيَضَعُ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَدَّيْهِ ثُمَّ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ

Rukun ke sepuluh adalah thuma’ninah di dalam sujud, sekira beban kepalanya mengenai tempat sujudnya.

(وَ) الْعَاشِرُ (الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ) أَيِ السُّجُوْدِ بِحَيْثُ يَنَالُ مَوْضِعَ سُجُوْدهِ ثِقَلُ رَأْسِهِ,

Dan tidak memadai menyentuh kepalanya ke tempat sujud bahkan harus menekannya, seandai nya ada kapas di bawah kepalanya, niscaya nampak bekasanya, dan bebannya terasa diatas tangan seandainya diletakkan di bawahnya

وَلَا يَكْفِيْ إِمْسَاسُ رَأْسِهِ مَوْضِعَ سُجُوْدِه بَلْ يَتَحَامَلُ بِحَيْثُ لَوْ كَانَ تَحْتَهُ قُطْنٌ مَثَلًا لَانْكَبَسَ وَظَهَرَ أَثَرُهُ عَلَى يَدٍّ لَوْ فُرِضَتْ تَحْتَهُ. 

Duduk di Antara Dua Sujud

Rukun ke sebelas adalah duduk di antara dua sujud di setiap rakaat, baik shalat dengan berdiri, duduk atau tidur miring.

(وَ) الْحَادِيَ عَشَرَ (الْجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ) فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ سَوَاءٌ صَلَّى قَائِمًا أَوْ قَاعِدًا أَوْ مُضْطَجِعًا

Minimalnya adalah diam setelah bergeraknya anggota-anggota badannya. Dan yang paling sempurna adalah menambahi ukuran tersebut dengan do’a yang datang dari Rasulullah Saw saat melakukannya.

وَأَقَلُّهُ سُكُوْنٌ بَعْدَ حَرَكَةِ أَعْضَائِهِ وَأَكْمَلُهُ الزِّيَادَةُ عَلَى ذَلِكَ بِالدُّعَاءِ الْوَارِدِ فِيْهِ

Maka jikalau seandainya ia tidak duduk di antara dua sujud, bahkan posisinya hanya lebih dekat pada posisi duduk, maka duduk yang ia lakukan tidak sah.

فَلَوْ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ بَلْ صَارَ إِلَى الْجُلُوْسِ أَقْرَبَ لَمْ يَصِحَّ

Rukun ke dua belas adalah thuma’ninah di dalam duduk di antara dua sujud.

(وَ) الثَّانِيَ عَشَرَ (الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ) أَيِ الْجُلُوْسِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ

Rukun ke tiga belas adalah duduk yang terakhir, maksudnya duduk yang diiringi oleh salam.

(وَ) الثَّالِثَ عَشَرَ (الْجُلُوْسُ الْأَخِيْرُ) أَيِ الَّذِيْ يَعْقِبُهُ السَّلَامُ

Rukun ke empat belas adalah tasyahud di dalam duduk yang terakhir.

(وَ) الرَّابِعَ عَشَرَ (التَّشّهُّدُ فِيْهِ) أَيْ فِي الْجُلُوْسِ الْأَخِيْرِ .

Minimal tasyahud adalah

"التَّحِيَّاتُ لِلهِ سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ"

“Segala hormat milik Allah, semoga keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya atas Engkau wahai Nabi. Semoga keselamatan atas kami dan hamba-hamba Allah yang sholih. Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”

وَأَقَلُّ التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ لِلهِ سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ"

Tasyahud yang paling sempurna adalah

"التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ". “kehormatan yang diberkahi dan rahmat yang baik hanya milik Allah. Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya semoga atas Engkau wahai Nabi. Keselamatan semoga atas kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah. Dan saya bersaksi nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

وَأَكْمَلُ التَّشَهُّدِالتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ".

Bacaan Shalawat

Rukun ke lima belas adalah membaca shalawat atas Nabi Saw di dalamnya, maksudnya di dalam duduk yang terakhir setelah selesai membaca tasyahud.

(وَ) الْخَامِسَ عَشَرَ (الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ) أَيْ فِي الْجُلُوْسِ الْأَخِيْرِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ التَّشَهُّدِ

Minimal bacaan shalawat untuk baginda Nabi Saw adalah

" اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ"

“ya Allah, berikanlah rahmat kepada Nabi Muhammad”

وَأَقَلُّ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ"

Perkataan mushannif di atas memberitahukan bahwa membaca shalawat untuk keluarga Nabi Saw hukumnya tidak wajib, dan memang demikian  bahkan hukumnya adalah sunnah.

وَأَشْعَرَ كَلَامُ الْمُصَنِّفِ أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْآلِ لَا تَجِبُ وَهُوَ كَذَلِكَ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ

Salam, Niat Keluar Shalat dan Tertib

Rukun ke enam belas adalah membaca salam yang pertama. Dan wajib mengucapkan salam dalam posisi duduk.

(وَ) السَّادِسَ عَشَرَ (التَّسْلِيْمَةُ الْأُوْلَى) وَيَجِبُ إِيْقَاعُ السَّلَامِ حَالَ الْقُعُوْدِ

Minimal ucapan salam "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ" satu kali. Dan ucapan salam yang paling sempurna adalah "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ" dua kali pertama ke kanan dan kedua ke kiri.

 

وَأَقَلُّهُ "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ" مَرَّةً وَاحِدَةً وَأَكْمَلُهُ "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ" مَرَّتَيْنِ يَمِيْنًا وَشِمَالًا

Rukun ke tujuh belas adalah niat keluar dari shalat. Dan ini adalah pendapat yang marjuh (lemah). Ada yang mengatakan bahwa niat keluar dari sholat hukumnya tidak wajib, dan inilah pendapat al ashah.

(وَ) السَّابِعَ عَشَرَ (نِيَّةُ الْخُرُوْجِ مِنَ الصَّلَاةِ) وَهَذَا وَجْهٌ مَرْجُوْحٌ

وَقْيِلَ لَا يَجِبُ ذَلِكَ أَيْ نِيَّةُ الْخُرُوْجِ وَهَذَا الْوَجْهُ هُوَ الْأَصَحُّ

Rukun ke delapan belas adalah melakukan rukun-rukun shalat secara tertib, hingga di antara tasyahud yang terakhir dan bacaan shalat untuk baginda Nabi Saw di dalam tasyahud akhir. Ungkapan mushannif “sesuai dengan apa yang aku jelaskan” mengecualikan kewajiban mem -barengkan niat dengan takbiratul ihram, dan membarengkan duduk terakhir dengan tasyahud dan bacaan sholawat untuk baginda Nabi Saw.

(وَ) الثَّامِنَ عَشَرَ (تَرْتِيْبُ الْأَرْكَانِ) حَتَّى بَيْنَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ, وَقَوْلُهُ (عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ) يُسْتَثْنَى مِنْهُ وُجُوْبُ مُقَارَنَةِ النِّيَّةِ لِتَكْبِيْرَةِ الْإِحْرَامِ وَمُقَارَنَةِ الْجُلُوْسِ الْأَخِيْرِ لِلتَّشَهُّدِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Sunah sebelum  shalat ;Adzan dan Iqamah 

Kesunahan-kesunahan sebelum pelaksanaan shalat ada dua perkara. Yang pertama, adzan. Secara bahasa adzan berarti memberitahu. Dan secara syara’ adalah zikiran tertentu guna memberitahu.

masuknya waktu shalat yang fardhukan.Dan

(وَ) الصَّلَاةُ (سُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَاشَيْئآنِ,الْأَذَانُ) وَهُولُغَةً الْإِعْلَامُ وَشَرْعًا ذِكْرٌ مَخْصُوْصٌ لِلْإِعْلَامِ بِدُخُوْلِ وَقْتِ صَلَاةٍ مَفْرُوْضَةٍ

Lafadz-lafadz adzan dibaca dua kali kecuali lafadz takbir di permulannya maka dibaca empat kali, dan kecuali lafadz tauhid di akhir azan, maka dibaca satu kali. Dan yang kedua adalah iqamah. Iqamah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi aqama. Kemudian dijadikan nama sebuah dzikiran tertentu. Karena sesungguhnya dzikiran tersebut digunakan untuk mendirikan shalat.

وَأَلْفَاظُهُ مَثْنَى إِلَّا التَّكْبِيْرَ أَوَّلَهُ فَأَرْبَعٌ وَإِلَّا التَّوْحِيْدَ آخِرَهُ فَوَاحِدٌ,

 

 (وَالْإَقَامَةُ) وَهُوَ مَصْدَرُ أَقَامَ ثُمَّ سُمِّيَ بِهِ الذِّكْرُ الْمَخْصُوْصُ لِأَنَّهُ يُقِيْمُ إِلَى الصَّلَاةِ

Dan hanya sanya di syari’atkan adzan dan iqamah untuk shalat di wajibkan. Adapaun shalat yang lain, maka di kumandangkan dengan bahasa “asshalatu jami’ah”. ( الصَّلَاةُ جَامِعَةً)

وَإِنَّمَا يُشْرَعُ كُلٌّ مِنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ لِلْمَكْتُوْبَةِ وَأَمَّا غَيْرُهَا فَيُنَادَى لَهَا الصَّلَاةُ جَامِعَةً

Kesunahan-kesunahan di dalam shalat ada dua perkara, yaitu tasyahud awal dan qunut di dalam shalat Shubuh, yaitu saat i’tidal rakaat kedua dari shalat Subuh.

(وَ) سُنَنُهَا (بَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئآنِ التَّشَهُّدُ الْأَوَّلُ وَالْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ) أَيْ فِي اعْتِدَالِ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِنْهُ

Secara bahasa qunut bermakna do’a. Dan secara syara’ adalah dzikiran tertentu, yaitu

اللهم اهْدِنِي فَيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ إِلَخْ.

وَهُوَ لُغَةً الدُّعَاءُ وَشَرْعًا ذِكْرٌ مَخْصُوْصٌ وَهُوَ اللهم اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ إِلَخْ

Dan qunut di akhir shalat witir pada separuh bulan kedua dari bulan Ramadhan. Qunut di dalam shalat witir ini sama seperti qunutnya shalat Subuh yang sebelumnya di dalam tempat dan lafadznya.

(وَ) الْقُنُوْتُ (فِيْ) آخِرِ (الْوِتْرِ فِيْ النِّصْفِ الثَّانِيْ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ)

وَهُوَ كَقُنُوْتِ الصُّبْحِ الْمُتَقَدِّمِ فِيْ مَحَلِّهِ وَلَفْظِهِ

Qunut tidak harus menggunakan kalimat-kalimat qunut yang telah dijelaskan di atas. Sehingga, seandainya seseorang melakukan qunut dengan membaca ayat Al Qur’an yang mengandung doa dan ditujukan untuk qunut, maka kesunahan qunut sudah hasil.

وَلَا تَتَعَيَّنُ كَلِمَاتُ الْقُنُوْتِ السَّابِقَةُ فَلَوْ قَنَتَ بِأَيَةٍ تَتَضَمَّنُ دُعَاءً وَقَصَدَ الْقُنُوْتَ حَصَلَتْ سُنَّةُ الْقُنُوْتِ. 

Sunnah Haiah

Sunnah hai’ah-nya shalat ada lima belas perkara. Yang dikehendaki dengan haiat ialah bukan rukun dan bukan sunnah ab’adh yang diganti dengan sujud sahwi -ketika ditinggalkan-. Yaitu mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram hingga sejajar dengan kedua pundak.

(وَهَيْئآتُهَا) أَيِ,الصَّلَاةِوَأَرَادَبِهَيْئآتِهَا مَالَيْسَ,رُكْنًا فِيْهَا وَلَا بَعْضًا يُجْبَرُ بِسُجُوْدِالسَّهْو (خَمْسَةَعَشَرَخَصْلَةً رَفْعُ الْيَدَّيْنِ عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ الْإِحْرَامِ) إِلَى حَذْوِ مَنْكِبَيْهِ

Dan mengangkat kedua tangan ketika hendak berdiri dan bangun dari ruku’. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dan keduanya berada di bawah dada dan di atas pusar.

Do’a tawajjuh, maksudnya ucapan orang yang shalat setelah takbiratul ihram yang berbunyi,

"وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ الَخ"

(وَ) رَفْعُ الْيَدَّيْنِ (عِنْدَ الرُّكُوْعِ) وَعِنْدَ (الرَّفْعِ مِنْهُ وَوَضْعُ الْيَمْيِنِ عَلَى الشِّمَالِ) وَيَكُوْنَانِ تَحْتَ صَدْرِهِ وَفَوْقَ سُرَّتِهِ. (وَالتَّوَجُّهُ) أَيْ قَوْلُ الْمُصَلِّيْ عَقِبَ التَّحْرِيْمِ "وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ الَخ".

Yang dikehendaki adalah setelah takbiratul ihram, orang yang shalat membaca doa iftitah, baik ayat di atas ini atau yang lainnya dari bentuk-bentuk doa (yang warid) istiftah yang dating dari Rasulullah.Saw.Membaca,isti’adzah (ta’awudz )  setelah membaca doa tawajjuh.

وَالْمُرَادُ أَنْ يَقُوْلَ الْمُصَلِّيْ بَعْدَ التَّحَرُّمِ دُعَاءَ الْاِفْتِتَاحِ هَذِهِ الْآيَةَ أَوْ غَيْرَهَا مِمَّا وَرَدَ فِيْ الْاِسْتِفْتَاحِ

(وَالْاِسْتِعَاذَةُ) بَعْدَ التَّوَجُّهِ

Kesunnah isti’adzah sudah bisa hasil dengan setiap lafadz yang mengandung  ta’awudz (memohon perlindungan Allah). Dan do’a  ta’awudz  yang paling utama adalah,

"أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ"

“aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”

وَتَحْصُلُ بِكُلِّ لَفْظٍ يَشْتَمِلُ عَلَى التَّعَوُّذِ, وَالْأَفْضَلُ "أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ"

Menyaringkan suara di tempatnya jihar, yaitu di dalam shalat Subuh, dua rakaat pertama shalat Maghrib dan Isya’, shalat Jum’at dan dua shalat hari raya. Memelankan suara di tempatnya sir, yaitu di selain tempat-tempat yang telah disebutkan di atas.

(وَالْجَهْرُ فِيْ مَوْضِعِهِ) وَهُوَ الصُّبْحُ وَأُوْلَتَا الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالْجُمُعَةُ وَالْعِيْدَانِ (وَالْإِسْرَارُ فِيْ مَوْضِعِهِ) وَهُوَ مَا عَدَا الَّذِيْ ذُكِرَ

Diaminkan(Ta’min ) yaitu ucapan “amin” setelah selesai membaca surat Al Fatihah untuk karena membacanya  Al Fatihah di dalam shalat dan selainya shalat, akan tetapi di dalam shalat lebih dianjurkan. Seorang makmum sunnah membaca “amin” berbarengan dengan bacaan “amin” imamnya dengan menyaringkan suara. Membaca surat setelah membaca surat Al Fatihah bagi seorang imam atau orang yang shalat sendiri di dalam dua rakaatnya shalat Subuh dan dua rakaat pertamanya shalat yang lain. Membaca surat itu dilakukan setelah membaca surat Al Fatihah. Sehingga, seandainya seseorang mendahulukan membaca surat sebelum membaca Al Fatihah, maka bacaan suratnya tidak dianggap

(وَالتَّأْمِيْنُ) أَيْ قَوْلُ آمِيْنَ عَقِبَ الْفَاتِحَةِ لِقَارِئِهَا فِيْ صَلَاةٍ وَغَيْرِهَا لَكِنْ فِي الصَّلَاةِ آكَدُ وَيُؤَمِّنُ الْمَأْمُوْمُ مَعَ تَأْمِيْنِ إِمَامِهِ وَيَجْهَرُ بِهِ

(وَقِرَاءَةُ السُّوْرَةِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ) لِإِمَامٍ وَمُنْفَرِدٍ فِيْ رَكْعَتَيِ الصُّبْحِ وَأُوْلَتَيْ غَيْرِهَا وَتَكُوْنُ قِرَاءَةُ السُّوْرَةِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ فَلَوْ قَدَّمَ السُّوْرَةَ عَلَيْهَا لَمْ تُحْسَبْ

Bacaan takbir saat turun ke posisi ruku’. Dan saat mengangkat, maksudnya mengangkat punggung dari posisi ruku’.

(وَالتَّكْبِيْرَاتُ,عِنْدَالْخَفْضِ) لِلرَّكُوْعِ

 (وَالرَّفْعِ) أَيْ رَفْعِ الصُّلْبِ مِنَ الرَّكُوْعِ

Bacaan سَمِعَ اللهُ لِمَن حَمِدَهُ ketika mengangkat kepala dari ruku’. Dan jikalau seorang yang shalat mengucapkanمَنْ حَمَدَ اللهَ سَمِعَ لَهُ"“barang siapa memuji Allah, maka semoga Allah mendengar pujiannya”, maka memadai.

Makna سَمِعَ اللهُ لِمَن حَمِدَهُ adalah semoga Allah menerima pujian darinya dan memberi balasan atas pujiannya.

(وَقَوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَن حَمِدَهُ) حَيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكُوْعِ وَلَوْ قَالَ "مَنْ حَمِدَ اللهَ سَمِعَ لَهُ" كَفَى وَمَعْنَى سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَ "تَقَبَّلَ اللهُ مِنْهُ حَمْدَهُ وَجَازَاهُ عَلَيْهِ"

 

Ucapan mushalli (orang yang shalat) رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ ketika sudah berdiri tegap. Membaca tasbih di dalam ruku’. Minimal sempurna di dalam bacaan tasbih ini adalah;

 "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ" tiga kali. Membaca tasbih di dalam sujud. Minimal sempurna di dalam bacaan tasbih ini adalah "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى "  tiga kali

وَقَوْلُ الْمُصَلِّيْ (رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ) إِذَا انْتَصَبَ قَائِمًا (وَالتَّسْبِيْحُ فِيْ الرَّكُوْعِ) وَأَدَنَى الْكَمَالِ فِيْ هَذَا التَّسْبِيْحِ "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ" ثَلَاثًا (وَ) التَّسْبِيْحُ فِيْ (السُّجُوْدِ) وَأَدْنَى الْكَمَالِ فِيْهِ "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى" ثَلَاثًا

Untuk dzikiran yang paling sempurna di dalam bacaan tasbih saat ruku’ dan sujud yang sudah mashur. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha saat duduk tasyahud awal dan akhir.

Dengan membuka tangan kiri sekira ujung jemarinya sejajar dengan lutut. Dan menggenggam tangan kanan, maksudnya jemarinya, kecuali jari telunjuk tangan kanan

وَالْأَكْمَلُ فِيْ تَسْبِيْحِ الرَّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ مَشْهُوْرٌ (وَوَضْعُ الْيَدَّيْنِ عَلَى الْفَخْذَيْنِ فِيْ الْجُلُوْسِ) لِلتَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَالْأَخِيْرِ (يَبْسُطُ) الْيَدَّ (الْيُسْرَى) بِحَيْثُ تُسَامِتُ رُؤُسُ أَصَابِعِهَا الرُّكْبَةَ (وَيَقْبِضُ) الْيَدَّ (الْيُمْنَى) أَيْ أَصَابِعَهَا (إِلَّا الْمُسَبِّحَةَ) مِنَ الْيُمْنَى

Maka ia tidak menggenggamnya, karena sesung- guhnya ia akan menggunakannya untuk isyarah, mengangkatnya saat mengucapkan tasyahud, yaitu ketika mengucapkan kalimat "إِلَّا اللهُ". Dan tidak boleh menggerak-gerakan jari telunjuknya. Jika ia menggerak-gerakannya, maka hukumnya makruh dan shalatnya tidak sampai batal menurut pendapat al ashah.

فَلَا يَقْبِضُهَا (فَإِنَّهُ يُشِيْرُ بِهَا) رَافِعًا لَهَا حَالَ كَوْنِهِ (مُتَشَهِّدًا) وَذَلِكَ عِنْدَ قَوْلِ "إِلَّا اللهُ" وَلَا يُحَرِّكُهَا فَإِنْ حَرَّكَهَا كُرِهَ وَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ فِي الْأَصَحِّ.

Dan sunnah melakukan duduk iftirasy  pada semua posisi duduk yang realita dilakukan di dalam shalat, seperti duduk istirahat, duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud awal.

Iftirasy  adalah seseorang menduduki tumit/mata kaki kirinya, memposisikan punggung kaki kirinya pada lantai, menegakkan telapak kaki kanan, dan memposisikan jemari kaki kanannya menempel pada lantai dan menghadap ke kiblat

(وَالْاِفْتَرَاشُ فِيْ جَمِيْعِ الْجَلَسَاتِ) الْوَاقِعَةِ فِي الصَّلَاةِ كَجُلُوْسِ الْاِسْتِرَاحَةِوَالْجُلُوْسِ,بَيْنَ,السَّجْدَتَيْنِ وَجُلُوْسِ التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَالْاِفْتِرَاشُ أَنْ يَجْلِسَ الشَّخْصُ عَلَى كَعْبِ الْيُسْرَى جَاعِلًا ظَاهِرَهَا لِلْأَرْضِ وَيَنْصِبَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى وَيَضَعُ بِالْأَرْضِ أَطْرَافَ أَصَابِعِهَا لِجِهَةِ الْقِبْلَةِ

Dan sunnah duduk tawarruk saat duduk terakhir dari duduk-duduk di dalam shalat, yaitu duduk tasyahud akhir. Tawarruk sama dengan posisi duduk iftirasy, hanya saja di samping menetapi posisi iftirasy, mushali mengeluarkan kaki kirinya melalui arah bawah kaki kanannya dan menempelkan pantatnya ke lantai.

(وَالتَّوَرُّكُ فِي الْجَلسَةِ الْأَخِيْرَةِ) مِنْ جَلَسَاتِ الصَّلَاةِ وَهِيْ جُلُوْسُ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ. وَالتَّوَرُّكُ مِثْلُ الْاِفْتِرَاشِ إِلَّا أَنَّ الْمُصَلِّيَ يُخْرِجُ يَسَارَهُ عَلَى هَيْئَتِهَا فِي الْاِفْتِرَاشِ مِنْ جِهَةِ يَمِيْنِهِ وَيُلْصِقُ وَرَكَهُ بِالْأَرْضِ

Adapun makmum masbu’ dan orang yang lupa, maka dia disunnahkan melakukan duduk iftirasy keduanya, tidak duduk tawarruk. Dan sunnah mengucapkan salam kedua. Adapun salam yang pertama, maka sudah dijelaskan bahwa sesung guhnya termasuk dari rukunnya shalat. Dan sunnah mengucapkan salam kedua. Adapun salam yang pertama, maka sudah dijelaskan bahwa sesungguhnya termasuk dari rukun-rukunnya shalat.

أَمَّا الْمَسْبُوْقُ وَالسَّاهِيْ فَيَفْتَرِشَانِ وَلَا يَتَوَرَّكَانِ (وَالتَّسْلِيْمَةُ الثَّانِيَةُ) أَمَّا الْأَوْلَى فَسَبَقَ أَنَّهَا مِنْ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ. (وَالتَّسْلِيْمَةُ الثَّانِيَةُ) أَمَّا الْأَوْلَى فَسَبَقَ أَنَّهَا مِنْ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ.

(Fashal) Menjelaskan perkara-perkara yang berbeda antara wanita dan lelaki di dalam shalat.

Mushannif menjelaskan hal itu dengan perkataan beliau, “dan wanita berbeda dengan lelaki di dalam lima perkara,”

(فَصْلٌ) فِيْ أُمُوْرٍ تُخَالِفُ فِيْهَا الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فِيْ الصَّلَاةِ وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ (وَالْمَرْأَةُ تُخَالِفُ الرَّجُلَ فِيْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ:

Maka seorang lelaki mengangkat kedua sikunya dari lambungnya, dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya saat melakukan ruku’ dan sujud.

فَالرَّجُلُ يُجَافِيْ) أَيْ يَرْفَعُ (مِرْفَقَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَيُقِلُّ) أَيْ يَرْفَعُ (بَطْنَهُ عَنْ فَخْذَيْهِ فِيْ الرَّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ

Dan dinyaringkan suara pada tempat nyaring. Dan sudah dijelaskan hal ini dibelakang . Dan apabila seorang lelaki terkena sesuatu di dalam shalat, maka ia membaca tasbih.

وَيَجْهَرُ فِيْ مَوْضِعِ الْجَهْرِ)وَتَقَدَّمَ بَيَانُهُ فِيْ مَوْضِعِهِ. (وَإِذَا نَابَهُ)أَيْ أَصَابَهُ (شَيْئٌ فِيْ الصَّلَاةِ سَبَّحَ)

Sehingga ia mengucapkan “subhanallah”dengan tujuan berdzikir sahaja, atau besertaan tujuan memberitahu atau dimutlakan tanpa tujuan apa-apa, maka shalatnya tidak batal. Atau bertujuan memberitahu saja, maka shalatnya batal

فَيَقُوْلُ "سُبْحَانَ اللهِ" بِقَصْدِ الذِّكْرِ فَقَطْ أَوْ مَعَ الْإِعْلَامِ أَوْ أَطْلَقَ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ أَوِ الْإِعْلَامِ فَقَطْ بَطَلَتْ

Auratnya orang laki-laki adalah anggota di antara pusar dan lutut. Sedangkan pusar dan lutut itu sendiri bukan termasuk aurat, begitu juga anggota di atas keduanya.

(وَعَوْرَةُ الرَّجُلِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَتِهِ) أَمَّا هُمَا فَلَيْسَا مِنَ الْعَوْرَةِ وَلَا مَا فَوْقَهُمَا

Seorang wanita berbeda dengan laki-laki di dalam lima hal yang telah dijelaskan di atas. Maka sesungguhnya perempuan mencampurkan sebagian kepada sebahagian. Sehingga ia menempelkan perutnya pada kedua pahanya saat ruku’ dan sujud. Dan ia memelankan suaranya saat shalat di dekat lelaki-lekaki lain (bukan mahram dan bukan halalnya).

(وَالْمَرْأَةُ) تُخَالِفُ الرَّجُلَ فِي الْخَمْسِ الْمَذْكُوْرَةِ. فَإِنَّهَا (تَضُمُّ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ) فَتُلْصِقُ بَطْنَهَا بِفَخْذَيْهَا فِيْ رُكُوْعِهَا وَسُجُوْدِهَا. (وَتَحْفَضُ صَوْتَهَا) إِنْ صَلَّتْ (بِحَضْرَةِ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ)

Maka jika ketika ia shalat sendiri jauh dari mereka, maka sunnah mengeraskan suara (di tempat yang dianjurkan mengeraskan suara).

فَإِنْ صَلَّتْ مُنْفَرِدَةً عَنْهُمْ جَهَرَتْ

Dan apabila perempuan mengalami sesuatu dalam shalat, maka dianjurkan untuk bertepuk tangan dengan memukulkan punggung telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri.

(وَإِذَا نَابَهَا شَيْئٌ فِي الصَّلَاةِ صَفَّقَتْ) بِضَرْبِ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ الْيُسْرَى

Seandainya ia memukulkan telapak tangan bagian dalam ke telapak tangan bagian dalam yang satunya dengan tujuan main-main walaupun hanya sedikit saja padahal ia tahu akan keharaman hal tersebut, maka shalatnya batal. Seorang huntsa sama seperti seorang wanita. Seluruh badan wanita merdeka adalah aurat selain wajah dan kedua telapak tangannya

فَلَوْ ضَرَبَتْ بَطْنًا بِبَطْنٍ بِقَصْدِ اللَّعْبِ وَلَوْ قَلِيْلًا مَعَ عِلْمِ التَّحْرِيْمِ بَطَلَتْ صَلَاتُهَا وَالْخُنْثَى كَالْمَرْأَةِ. (وَجَمِيْعُ بَدَنِ) الْمَرْأَةِ (الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا) وَهَذِهِ عَوْرَتُهَا فِي الصَّلَاةِ أَمَّا خَارِجَ الصَّلَاةِ فَعَوْرَتُهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا

Wanita ammat seperti laki-laki di dalam shalat. Maka auratnya adalah anggota di antara pusar dan lututnya.

(وَالْأَمَّةُ كَالرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ) فَتَكُوْنُ عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ سُرَّتِها وَرُكْبَتِهَا.

(Fashal) menjelaskan hal-hal yang membatalkan shalat. Sesuatu yang membatalkan shalat ada sebelas perkara

(فَصْلٌ) فِيْ عَدَدِ مُبْطِلَاتِ الصَّلَاةِ وَالَّذِيْ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْأً

Yaitu pertama berbicara secara sengaja dengan kata-kata yang layak digunakan untuk berbicara di antara anak Adam, baik berhubungan dengan kemas lahatan shalat ataupun tidak. Kedua gerakan yang banyak dan terus menerus seperti tiga langkah sengaja ia ataupun lupa.

(الْكَلَامُ,عَمْدًا) الصَّالِحُ لِخِطَابِ الْآدَمِيِّيْنَ سَوَاءٌ تَعَلَّقَ بِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ أَوْ لاَ (وَالْعَمَلُ الْكَثِيْرُ) الْمُتَوَالِيْ كَثَلَاثِ خَطَوَاتٍ عَمْدًا كَانَ ذَلِكَ أَوْ سَهْوًا

adapun gerakan yang sedikit, maka tidak sampai membatalkan shalat.

أَمَّا الْعَمَلُ الْقَلِيْلُ فَلَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِهِ.

(ketiga dan ke empat) hadats kecil dan besar, dan terkena najis yang tidak dima’afkan.  Jikalau pakaiannya kejatuhan najis yang kering, kemudian ia langsung mengibaskan pakaiannya seketika itu, maka shalatnya tidak batal. (kelima) terbukanya aurat dengan sengaja. Jika tiupan angin membuka auratnya, kemudian ia langsung menutupnya kembali spontan, maka tidaklah batal shalatnya. (ke enam) berubah niat. Seperti niat hendak keluar dari shalat. (ke tujuh) membelakangi / berpaling dari kiblat. Seperti memposisikan kiblat di belakang punggungnya. (kedelapan & kesem bilan) makan dan minum, baik makanan dan minuman itu banyak ataupun sedikit. Terkeculai dalam bentuk ini hal sese orang yang melakukannya tidak tahu akan keharaman hal demikian. (kesepuluh) tertawa. Sebagian ulama’ mengung- kapkan dengan bahasa “dhahki (tertawa terbahak-bahak)”. (sebelas) murtad. Murtad adalah memutus Islam dengan ucapan atau perbuatan.

(وَالْحَدَثُ) الْأَصْغَرُ وَالْأَكْبَرُ (وَحُدُوْثُ النَّجَاسَةِ) الَّتِيْ لَايُعْفَى عَنْهَا. وَلَوْ وَقَعَ عَلَى ثَوْبِهِ نَجَاسَةٌ يَابِسَةٌ فَنَفَضَ ثَوْبَهُ حَالًا لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ. (وَانْكِشَافُ,الْعَوْرَةِ) عَمْدًا فَإِنْ كَشَفَهَا الرِّيْحُ فَسَتَرَهَا فِي الْحَالِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ, (وَتَغْيِيْرُ النِّيَّةِ) كَأَنْ يَنْوِيَ الْخُرُوْجَ مِنَ الصَّلَاةِ, (وَاسْتِدْبَارُ الْقِبْلَةِ) كَأَنْ يَجْعَلَهَا خَلْفَ ظَهْرِهِ, (وَالْأُكْلُ وَالشُّرْبُ) كَثِيْرًا كَانَ الْمَأْكُوْلُ وَالْمَشْرُوْبُ أَوْ قَلِيْلًا, إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ الشَّخْصُ فِيْ هَذِهِ الصُّوْرَةِ جَاهِلًا تَحْرِيْمَ ذَلِكَ, (وَالْقَهْقَهَةُ) وَمِنْهُمْ مَنْ يُعَبِّرُ عَنْهَا بِالضَّحْكِ, (وَالرِّدَةُ) وَهِيَ قَطْعُ الْإِسْلَامِ بِقَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.

(Fashal) pada menjelaskan jumlah rakaat shalat.

(فَصْلٌ) فِيْ عَدَدِ رَكَعَاتِ الصَّل

Jumlah rakaat shalat fardhu, maksudnya sehari semalam dalam shalat di rumah kecuali pada hari Jum’at adalah tujuh belas rakaat. Adapun untuk hari Jum’at, maka jumlah rakaat shalat fardhu pada hari itu adalah lima belas rakaat.  Adapun jumlah rakaat shalat setiap hari saat bepergian bagi orang yang melakukan shalat qashar adalah sebelas rakaat. Perkataan mushannif “di dalam jumlah rakaat tersebut terdapat tiga puluh empat sujudan, sembilan puluh empat takbir, sembilan tasyahud, sepuluh salam, dan seratus lima puluh tiga tasbih. Jumlah rukun di dalam shalat ada seratus dua puluh enam rukun, yaitu tiga puluh rukun di dalam sholat Subuh, empat puluh dua rukun di dalam shalat Maghrib, dan lima puluh empat rukun di dalam shalat empat rakaat” hingga akhir perkataan beliau adalah sudah jelas dan tidak perlu dijelaskan.

(وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ) أَيْ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فِيْ صَلَاةِ الْحَضَرِ إِلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ (سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً) أَمَّا يَوْمُ الْجُمُعَةِ فَعَدَدُ رَكَعَاتِ الْفَرَائِضِ فِيْ يَوْمِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ رَكْعَةً وَأَمَّا عَدَدُ,رَكَعَاتِ صَلَاةِ السَّفَرفِيْ كُلِّ يَوْمٍ لِلْقَاصِرِ فَإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً, قَوْلُهُ (فِيْهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُوْنَ سَجْدَةً وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُوْنَ تَكْبِيْرَةً وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ وَعَشْرُ تَسْلِيْمَاتٍ,وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُوْنَ تَسْبِيْحَةً وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُوْنَ رُكْنًا فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُوْنَ رُكْنًا وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُوْنَ رُكْنًا وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُوْنَ ركُنْاً) إِلَى آخِرِهِ ظَاهِرٌ غَنِيٌّ عَنِ الشَّرْحِ.

Shalatnya Orang yang Tidak Mampu

Dan barang siapa tidak mampu berdiri melak sanakan shalat fardhu karena ada hal berat yang ia alami saat berdiri, maka dipebolehkan shalat dengan cara duduk sesuai posisi ia kehendaki. Akan tetapi duduk iftirasy di waktu posisi berdiri lebih utama dari pada duduk tarabbu’ (bersila) menurut pendapat al Adhhar.  Dan barang siapa tidak mampu duduk, maka diperkenankan shalat dengan tidur miring.

Maka Jika tidak mampu tidur miring, maka diperkenankan shalat dengan terlentang di atas punggung dan kedua kaki menghadap kiblat.

Jika tidak mampu melakukan semua itu, maka hendaknya ia memberi isyarah dengan mata dan niat di dalam hati.

(وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيْضَةِ) لِمَشَقَّةٍ تَلْحَقُهُ فِيْ قِيَامِهِ (صَلَّى جَالِسًا) عَلَى أَيِّ هَيْئَةٍ شَاءَ, وَلَكِنِ افْتِرَاشُهُ فِيْ مَوْضِعِ قِيَامِهِ أَفْضَلُ مِنْ تَرَبُّعِهِ فِي الْأَظْهَرِ (وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوْسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا)

 فَإِنْ,عَجَزَعَنِ الْاِضْطِجَاعِ صَلَّى مُسْتَلْقِيًا عَلَى ظَهْرِهِ وَرِجْلَاهُ لِلْقِبْلَةِ فَإِنْ عَجَزَ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ أَوْمَأَ بَطَرْفِهِ وَنَوَى بِقَلْبِهِ

Dan wajib baginya untuk menghadap kiblat dengan wajah dengan meletakkan sesuatu di bawah kepalanya dan memberi isyarah dengan kepala saat ruku’ dan sujud.

وَيَجِبُ عَلَيْهِ اسْتِقْبَالُهَا بِوَجْهِهِ بِوَضْعِ شَيْئٍ تَحْتَ رَأْسِهِ وَيُوْمِئُ بِرَأْسِهِ فِيْ رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ

Jika tidak mampu memberi isyarah dengan kepala, maka hendaknya ia memberi isyarah dengan kedipan mata.

فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ أَوْمَأَ بِأَجْفَانِهِ

Jika tidak mampu memberi isyarah dengan itu, maka ia harus menjalankan rukun-rukun sholat di dalam hati. Dan tidak diperkenankan meninggalkan sholat selama akalnya masih ada.

فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِهَا أَجْرَى أَرْكَانَ الصَّلَاةِ عَلَى قَلْبِهِ وَلَايَتْرُكُهَا مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا

Orang yang sholat dengan posisi duduk, maka ia tidak wajib mengqadala’ dan pahalanya tidak berkurang, karena sesungguhnya ia adalah orang memiliki udzur.

وَالْمُصَلِّيْ قَاعِدًا لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَايَنْقُصُ أَجْرُهُ لِأَنَّهَ مَعْذُوْرٌ

Adapun sabda baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “barang siapa melakukan shalat dengan posisi duduk, maka ia mendapatkan separuh pahala orang yang shalat dengan berdiri. Dan barang siapa melakukan shalat dengan tidur, maka ia mendapatkan separuh pahala orang yang shalat dengan duduk.” Maka di arahkan pada orang yang melakukan shalat sunnah dan ia dalam keadaan mampu.

وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ فَمَحْمُوْلٌ عَلَى النَّفْلِ عِنْدَ الْقُدْرَةِ .

Bab Hal-Hal Yang Tertinggal Saat Shalat

(Fashal) sesuatu yang ditinggalkan dari shalat ada tiga perkara. Yaitu fardhu, yang juga disebut dengan rukun, sunnah ab’ad dan sunnah haiat dua ini adalah selain fardhu.

(فَصْلٌ وَالْمَتْرُوْكُ مِنَ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ فَرْضٌ) وَيُسَمَّى بِالرُّكْنِ أَيْضًا (وَسُنَّةٌ وَهَيْئَةٌ) وَهُمَا مَا عَدَا الْفَرْضَ

Mushannif telah menjelaskan ketiganya di dalam perkataan beliau, “fardhu tidak bisa digantikan oleh sujud sahwi.”  Bahkan ketika ia ingat telah meninggalkan fardhu, dan posisinya masih di dalam shalat, maka wajib baginya untuk melakukan fardhu yang telah ditinggalkan dan sholatnya dianggap selesai. Atau ingat setelah salam, dan masanya masih relatif sebentar, maka wajib baginya untuk melakukan fardhu yang ditinggalkan dan meneruskan apa yang tersisa dari shalatnya, serta melakukan sujud sahwi.

وَبَيَّنَ الْمُصَنِّفُ الثَّلَاثَةَ فِيْ قَوْلِهِ (فَالْفَرْضُ لَا يَنُوْبُ عَنْهُ سُجُوْدُ السَّهْوِ, بَلْ إِنْ ذَكَرَهُ) أَيِ الْفَرْضَ وَهُوَ فِيْ الصَّلَاةِ أَتَى بِهِ وَتَمَّتْ صَلَاتُهُ أَوْ ذَكَرَهُ بَعْدَ السَّلَامِ (وَالزَّمَانُ قَرِيْبٌ أَتَى بِهِ وَ بَنَى عَلَيْهِ) مَا بَقِيَ مِنَ الصَّلَاةِ (وَسُجُوْدِ السَّهْوِ)

Sujud Sahwi

Sujud sahwi hukumnya adalah sunnah seperti yang akan dijelaskan. Akan tetapi hukum seperti ini sa’at meninggalkan perkara yang diperintah kan atau perkara yang dilarang dalam shalat.  Sunnah ab’ad ketika ditinggalkan oleh orang yang shalat, maka ia tidak boleh kembali untuk melakukannya setelah ia dalam posisi melakukan bagian fardhu. Maka barang siapa semisal meni nggalkan tasyahud awal, kemudian ia ingat setelah dalam posisi berdiri tegak, maka tidak diperkenankan kembali ke posisi tasyahud. Jika ia kembali ke posisi tasyahud dalam keadaan tahu akan keharamannya, maka sholatnya batal

وَهُوَ سُنَّةٌ كَمَا سَيَأْتِيْ لَكْنِ عِنْدَ تَرْكِ مَأْمُوْرٍ بِهِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ فِعْلِ مَنْهِيٍّ عَنْهُ فِيْهَا, (وَالسُّنَّةُ) إِنْ تَرَكَهَا الْمُصَلِّيْ (لَايَعُوْدُ إِلَيْهَا بَعْدَ التَّلَبُّسِ بِالْفَرْضِ) فَمَنْ تَرَكَ التَّشَهُّدَ الْأَوَّلَ مَثَلًا فَذَكَرَهُ بَعْدَ اعْتِدَالِهِ مُسْتَوِيًا لَا يَعُوْدُ إِلَيْهِ فَإِنْ عَادَ إِلَيْهِ عَالِمًا بِتَحْرِيْمِهِ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ

Atau dalam keadaan lupa bahwa ia sedang melakukan shalat, atau tidak tahu akan keharamannya, maka shalatnya tidak batal namun harus berdiri ketika sudah ingat. Jika ia adalah seorang makmum, maka wajib kembali keposisi tasyahud karena untuk mengikuti imam.

أَوْ نَاسِيًا أَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ أَوْ جَاهِلًا فَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ وَيَلْزَمُهُ الْقِيَامُ عِنْدَ تَذَكُّرِهِ وَإِنْ كَانَ مَأْمُوْمًا عَادَ وُجُوْبًا لِمُتَابَعَةِ إِمَامِهِ

Jika ia adalah seorang makmum, maka wajib kembali keposisi tasyahud karena untuk mengikuti imam.

وَإِنْ كَانَ مَأْمُوْمًا عَادَ وُجُوْبًا لِمُتَابَعَةِ إِمَامِهِ

Akan tetapi disunnahkan baginya untuk melakukan sujud sahwi ketika dalam kasus tidak kembali atau kembali ke posisi tasyahud dalam keadaan lupa.

(لَكِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا) فِيْ صُوْرَةِ عَدَمِ الْعَوْدِ أَوِ الْعَوْدِ نَاسِيًا

Yang dikehendaki mushannif dengan “sunnah” di sini adalah sunnah-sunnah ab’ad yang berjumlah enam perkara.

وَأَرَادَ الْمُصَنِّفُ بِالسُّنَّةِ هُنَّا الْأَبْعَاضَ السِّتَّةَ

Yaitu tasyahud awal, duduk tasyahud awal, qunut di dalam shalat Subuh dan di akhir shalat witir di separuh bulan kedua dari bulan Ramadhan, berdiri untuk melakukan qunut, bacaan sholawat untuk baginda Nabi Saw di dalam tasyahud awal, dan bacaan shalawat untuk keluarga baginda Nabi Saw di dalam tasyahud akhir.

وَهِيَ التَّشَهُّدُ الْأَوَّلُ وَقُعُوْدُهُ وَالْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِيْ آخِرِ الْوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَالْقِيَامُ لِلْقُنُوْتِ وَالصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَالصَّلَاةُ عَلَى الآلِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ.

Sunnah hai’ah seperti bacaan-bacaan tasbih dan sesamanya dari kesunahan-kesunahan yang tidak diganti dengan sujud sahwi, maka setelah meninggalkannya, seorang mushalli tidak boleh kembali untuk melakukkannya. Dan tidak boleh melakukan sujud sahwi karenanya, baik ia meninggalkan secara sengaja atau karena lupa.

(وَالْهَيْئَةُ) كَالتَّسْبِيْحَاتِ وَنَحْوِهَا مِمَّا لَايُجْبَرُ بِالسُّجُوْدِ (لَايَعُوْدُ) الْمُصَلِّي (إِلَيْهَا بَعْدَ تَرْكِهَا وَلَايَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا) سَوَاءٌ تَرَكَهَا عَمْدًا أَوْ سَهْوًا

Ketika seorang mushalli ragu-ragu di dalam jumlah rakaat yang ia lakukan, seperti orang yang ragu-ragu apakah ia telah melakukan tiga rakaat atau empat rakaat, maka wajib baginya untuk melakukan apa yang diyaqini, yaitu jumlah yang terkecil seperti tiga rakaat di dalam contoh ini, dan ia wajib menambah satu rakaat dan sunnah melakukan sujud sahwi.

(وَإِذَا شَكَّ) الْمُصَلِّيْ (فِيْ عَدَدِ مَا أَتَى بِهِ مِنَ الرَّكَعَاتِ) كَمَنْ شَكَّ هَلْ صَلَّى ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا (بَنَى عَلَى الْيَقِيْنِ وَهُوَ الْأَقَلُّ) كَالثَّلَاثَةِ فِيْ هَذَا الْمِثَالِ وَأَتَى بِرَكْعَةٍ (وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ)

Dugaan kuat bahwa ia telah melakuan empat rakaat tidak bisa dibuat pegangan, dan ia juga tidak diperkenankan mengikuti ucapan orang lain yang mengatakan padanya bahwa ia telah melakukan empat rakaat, walaupun jumlah mereka mencapai jumlah mutawatir.

وَلَا يَنْفَعُهُ غَلَبَةُ الظَّنِّ أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا وَلَايَعْمَلُ بِقَوْلِ غَيْرِهِ لَهُ أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا وَلَوْ بَلَغَ ذَلِكَ الْقَائِلُ عَدَدَ التَّوَاتُرِ

Sujud sahwi hukumnya sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan, dan tempat melakukannya adalah sebelum salam. Maka Jika seorang mushalli melakukan salam dengan sengaja dan tahu bahwa ia dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi, atau lupa namun masanya cukup lama secara ‘urf, maka kesunnahan untuk melakukan sujud sahwi telah hilang. Jika masanya relatif singkat secara ‘urf, maka waktu melaksanakannya tidak hilang, dan saat itu ia di perkenakankan melakukan atau meninggal -kan sujud sahwi.

(وَسُجُوْدُ السَّهْوِ سُنَّةٌ) كَمَا سَبَقَ (وَمَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ) فَإِنْ سَلَّمَ الْمُصَلِّيْ عَامِدًا عَالِمًا بِالسَّهْوِ أَوْ نَاسِيًا وَطَالَ الْفَصْلُ عُرْفًا فَاتَ مَحَلُّهُ

 

 

وَإِنْ قَصُرَ الْفَصْلُ عُرْفًا لَمْ يَفُتْ وَحِيْنَئِذٍ فَلَهُ السُّجُوْدُ وَتَرْكُهُ .

WAKTU-WAKTU YANG DIMAKRUHKAN SHALAT JAMA’AH

Hukum Berjama’ah

(Fasal) shalat berjama’ah bagi orang-orang laki-laki di dalam shalat-shalat fardhu selain shalat Jum’at hukumnya sunnah muakkad menurut mushannif dan imam ar Rafi’i. Namun pendapat al Ashah menurut imam an Nawawi adalah bahwa sesungguhnya shalat berjama’ah hukum -nya fardlu kifayah. Seorang makmum bisa mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam pada selain shalat Jum’at selama sang imam belum melakukan salam yang pertama, walaupun makmum belum sempat duduk bersama imam.

(فَصْلٌ وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ) لِلرِّجَالِ فِي الْفَرَائِضِ غَيْرِ الْجُمُعَةِ (سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ) عِنْدَ الْمُصَنِّفِ وَالرَّافِعِيِّ

وَالْأَصَحُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ وَيُدْرِكُ الْمَأْمُوْمُ الْجَمَاعَةَ مَعَ الْإِمَامِ فِيْ غَيْرِ الْجُمُعَةِ مَالَمْ يُسَلِّمِ التَّسْلِيْمَةَ الْأُوْلَى وَإِنْ لَمْ يَقْعُدْ مَعَهُ

Adapun hukum berjama’ah di dalam shalat Juma’at adalah fardhu ‘ain, dan tidak bisa hasil dengan kurang dari awal jama’ah satu rakaat.

أَمَّا الْجَمَاعَةُ فِي الْجُمُعَةِ فَفَرْضُ عَيْنٍ وَلَا تَحْصُلُ بِأَقَلَّ مِنْ رَكْعَةٍ

Kewajiban-Kewajiban di Dalam Berjama’ah

Bagi makmum wajib niat menjadi makmum atau niat mengikuti imam. Dan tidak wajib menentukan imam yang diikuti bahkan cukup niat bermakmum dengan imam yang hadir saat itu walaupun dia tidak mengenalnya.

(وَ) يَجِبُ (عَلَى الْمَأْمُوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْاِئْتِمَامَ) أَوِ الْاِقْتِدَاءَ بِالْإِمَامِ وَلَا يَجِبُ تَعْيِيْنُهُ بَلْ يَكْفِي الْاِقْتِدَاءُ بِالْحَاضِرِ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْهُ

Jika ia menentukan sang imam dan ternyata keliru, maka shalatnya batal kecuali jika disertai isyarah dengan ucapannya“saya niat bermakmum pada Zaid, yaitu orang ini”, namun ternyata dia adalah ‘Amr, maka shalatnya tetap sah.

فَإِنْ عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إِلَّا إِنِ انْضَمَّتْ إِلَيْهِ إِشَارَةٌ بِقَوْلِهِ نَوَيْتُ الْاِقْتِدَاءَ بِزَيْدٍ هَذَا فَبَانَ عَمْرًا فَتَصِحُّ

Tidak bagi imam, maka tidak wajib bagi dia niat menjadi imam untuk mengesahkan bermakmum padanya di dalam selain shalat Jum’at. Bahkan niat menjadi imam hukumnya disunnah -kan bagi imam. Jika ia tidak niat menjadi imam, maka shalatnya dihukumi shalat sendirian.

(دُوْنَ الْإِمَامِ) فَلَا يَجِبُ فِيْ صِحَّةِ الْاِقْتِدَاءِ بِهِ فِيْ غَيْرِ الْجُمُعَةِ نِيَّةُ الْإِمَامَةِ بَلْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ فِيْ حَقِّهِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ فَصَلَاتُهُ فُرَادَى.

Yang Sah Menjadi Imam

Bagi lelaki merdeka d perkenankan bermakmum pada seorang budak laki-laki. Dan bagi lelaki baligh diperkenankan bermakmum pada anak yang menjelang baligh (murahiq).  Adapun anak kecil yang belum tamyiz, maka tidak sah bermakmum padanya. Seorang lelaki tidak sah bermakmum pada seorang wanita dan khuntsa musykil. Seorang khuntsa muskil tidak sah bermakmum pada seorang wanita dan khuntsa musykil.

(وَيَجُوْزُ أَنْ يَأْتَمَّ الْحُرُّ بِالْعَبْدِ وَالْبَالِغُ بِالْمُرَاهِقِ) أَمَّا الصَّبِيُّ غَيْرُ الْمُمَيِّزُ فَلَا يَصِحُّ الْاِقْتِدَاءُ بِهِ (وَلَاتَصِحُّ قُدْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَةٍ) وَلَا بِخُنْثَى مُشْكِلٍ وَلَا خًنْثَى مُشْكِلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا بِمُشْكِلٍ

Seorang lelaki tidak sah bermakmum pada seorang wanita dan huntsa musykil. Seorang huntsa muskil tidak sah bermakmum pada seorang wanita dan huntsa musykil.

(وَلَاتَصِحُّ قُدْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَةٍ) وَلَا بِخُنْثَى مُشْكِلٍ وَلَا خًنْثَى مُشْكِلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا بِمُشْكِلٍ

Seorang ­qari’, yaitu orang yang benar bacaan Al Fatihahnya, tidak sah bermakmum pada seorag ummi, yaitu orang yang cacat bacaan huruf atau tasydid dari surat Al Fatihah.

(وَلَا قَارِئٌ) وَهُوَ مَنْ يُحْسِنُ الْفَاتِحَةَ أَيْ لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ (بِأُمِّيٍّ) وَهُوَ مَنْ يُخِلُّ بِحَرْفٍ أَوْ تَشْدِيْدَةٍ مِنَ الْفَاتِحَةِ

Syarat-Syarat Berjama’ah

Kemudian mushannif memberi isyarah pada syarat-syarat bermakmum dengan perkataan beliau,

ثُمَّ أَشَارَ الْمُصَنِّفُ لِشُرُوْطِ الْقُدْوَةِ بِقَوْلِهِ

Di tempat manapun di dalam masjid seseorang melakukan shalat mengikuti imam yang berada di dalam masjid, dan ia (yaitu makmum) mengetahui shalatnya imam dengan langsung melihatnya atau melihat sebagian shaf, maka hal tersebut sudah cukup di dalam sahnya bermakmum pada sang imam, selama posisinya tidak mendahului imam.

(وَأَيُّ مَوْضِعٍ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِيْهِ) أَيْ فِي الْمَسْجِدِ (وَهُوَ) أَيِ الْمَأْمُوْمُ (عَالِمٌ بِصَلَاتِهِ) أَيِ الْإِمَامِ بِمُشَاهَدَةِ الْمَأْمُوْمِ لَهُ أَوْ بِمُشَاهَدَةِ بَعْضِ الصَّفِّ (أَجْزَأَهُ) أَيْ كَفَاهُ ذَلِكَ فِيْ صِحَّةِ الْاِقْتِدَاءِ بِهِ (مَا لَمْ يَتَقَدَّمْ عَلَيْهِ)

Jika tumit sang makmum mendahului tumit imam dalam satu arah, maka shalatnya tidak sah.

فَإِنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ بِعَقِبِهِ فِيْ جِهَّتِهِ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ

Tidak masalah jika tumitnya sejajar dengan tumit sang imam

وَلَا تَضُرُّ مُسَاوَاتُهُ لِإِمَامِهِ

Dan disunnahkan sang makmum mundur sedikit di belakang imam. Dan dengan posisi ini, ia tidak dianggap keluar dari shaf sehingga akan menyebabkan ia tidak mendapatkan keutamaan shalat berjama’ah.

وَيُنْدَبُ تَخَلُّفُهُ عَنْ إِمَامِهِ قَلِيْلًا وَلَا يَصِيْرُ بِهَذَا التَّخَلُّفِ مُنْفَرِدًا عَنِ الصَّفِّ حَتَّى لَا يَحُوْزَ فَضِيْلَةَ الْجَمَاعَةِ

Jika seorang imam shalat di dalam masjid sedangkan sang makmum shalat di luar masjid, ketika keadaan sang makmum dekat dengan imam dengan artian jarak diantara keduanya tidak lebih kira-kira dari tiga ratus zira’, dan makmum mengetahui shalat imam, dan di sana tidak ada penghalang, maksudnya di antara imam dan makmum, maka diperbolehkan bermakmum pada imam tersebut.  Jarak tersebut terhitung dari ujung terakhir masjid.

(وَإِنْ صَلَّى) الْإِمَامُ (فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَأْمُوْمٌ خَارِجَ الْمَسْجِدِ) حَالَ كَوْنِهِ (قَرِيْبًا مِنْهُ) أَيِ الْإِمَامِ بِأَنْ لَمْ تَزِدْ مَسَافَةُ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَثِمِائَةِ ذِرَاعٍ تَقْرِيْبًا (وَهُوَ) أَيِ الْمَأْمُوْمُ (عَالِمٌ بِصَلَاتِهِ) أَيِ الْإِمَامِ (وَلَا حَائِلَ هُنَاكَ) أَيْ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ (جَازَ) الْاِقْتِدَاءُ بِهِ وَتُعْتَبَرُ الْمَسَافَةُ الْمَذْكُوْرَةُ مِنْ آخِرِ الْمَسْجِدِ

Jika imam dan makmum berada di selain masjid, adakalanya tanah lapang atau bangunan, maka syaratnya adalah jarak di antara keduanya tidak lebih dari tiga ratus dzira’, dan diantara keduanya tidak terdapat penghalang.

وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ وَالْمَأْمُوْمُ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ إِمَّا فَضَاءٍ أَوْ بِنَاءٍ فَالشَّرْطُ أَنْ لَا يَزِيْدَ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَثَمِائِةِ ذِرَاعٍ وَأَنْ لَايَكُوْنَ بَيْنَهُمَا حَائِلٌ .

QASHAR & JAMA’

(Fashal) menjelaskan qashar dan jama’ shalat.

(فَصْلٌ فِيْ قَصْرِ الصَّلَاةِ وَجَمْعِهَا

Diperbolehkan bagi musafir, yaitu orang yang sedang bepergian untuk mengqashar shalat empat rakaat, bukan yang lainnya yaitu shalat dua rakaat dan tiga rakaat.

(وَيَجُوْزُ لِلْمُسَافِرِ) أَيِ الْمُتَلَبِّسِ بِالسَّفَرِ (قَصْرُ الصَّلَاةِ الرُّبَاعِيَّةِ) لَاغَيْرِهَا مِنْ ثَنَائِيَّةٍ وَثُلَاثِيَّةٍ

Syarat Qashar Shalat

Diperkenankan mengqashar shalat dengan lima syarat.Yang pertama, perjalanan yang dilakukan nya bukan maksiat.  Yaitu mencakup perjalanan wajib seperti untuk melunasi hutang, perjalanan sunnah seperti untuk silaturrahmi dan perjalanan mubah seperti perjalanan untuk berdagang.

وَجَوَازُ قَصْرِ الصَّلَاةِ الرُّبَاعِيَّةِ (بِخَمْسِ شَرَائِطَ) اْلأَوَّلُ (أَنْ يَكُوْنَ سَفَرُهُ) أَيِ الشَّخْصِ (فِيْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ) هُوَ شَامِلٌ لِلْوَاجِبِ كَقَضَاءِ دَيْنٍ وَلِلْمَنْدُوْبِ كَصِلَّةِ الرَّحْمِ وَلِلْمُبَاحِ كَسَفَرِ تِجَارَةٍ

Adapun perjalanan maksiat seperti perjalanan untuk membegal jalan, maka saat melakukan perjalanan ini, seseorang tidak diperkenankan melakukan kemurahan qashar shalat dan jama’. Kedua, jarak perjalanannya mencapai enam belas farsakh secara pasti menurut pendapat al ashah. Dan jarak yang ditempuh saat pulang tidak dihitung.

أَمَّا سَفَرُ الْمَعْصِيَةِ كَسَفَرٍ لِقَطْعِ الطَّرِيْقِ فَلَا يَتَرَخَّصُ فِيْهِ بِقَصْرٍ وَلَا جَمْعٍ (وَ) الثَّانِيْ (أَنْ تَكُوْنَ مَسَافَتُهُ) أَيِ السَّفَرِ (سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا) تَحْدِيْدًا فِيْ الْأَصَحِّ وَلَا تُحْسَبُ مُدَّةُ الرُّجُوْعِ مِنْهَا

Satu farsakh adalah tiga mil. Kalau demikian, maka jumlah seluruh farsakh di atas adalah empat puluh delapan mil. Satu mil adalah empat ribu jangka kaki. Dan satu jangka sama dengan tiga telapak kaki. Yang dikehendaki dengan mil adalah ukuran mil keturuan bani Hasyim. Ketiga, orang yang melakukan qashar adalah orang yang melakukan sholat empat rakaat secara ada’.

وَالْفَرْسَخُ ثَلَاثَةُ أَمْيَالٍ وَحِيْنَئِذٍ فَمَجْمُوْعُ الْفَرَاسِخِ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُوْنَ مَيْلًا وَالْمَيْلُ أَرْبَعَةُ أَلَافِ خَطْوَةٍ وَالْخَطْوَةُ ثَلَاثَةُ أَقْدَامٍ وَالْمُرَادُ بِالْأَمْيَالِ الْهَاشِمِيَّةِ (وَ) الثَّالِثُ (أَنْ يَكُوْنَ) الْقَاصِرُ (مُؤَدِّيًا لِلصَّلَاةِ الرُّبَاعِيَّةِ)

Adapun shalat yang tertinggal saat di rumah, maka tidak diperkenankan diqadha’ secara qashar saat melakukan perjalanan. Sedangkan shalat yang tertinggal diperjalanan, maka boleh diqadha’ dengan diqashar saat melakukan perjalanan, tidak diqadha’ di rumah.

أَمَّا الْفَائِتَةُ حَضَرًا فَلَا تُقْضَى فِيْهِ مَقْصُوْرَةً وَالْفَائِتَةُ فِي السَّفَرِ تُقْضَى فِيْهِ مَقْصُوْرَةً لَا فِي الْحَضَرِ

Ke empat, seorang musafir niat melakukan qashar besertaan takbiratul ihram shalat tersebut. Ke lima, orang yang qashar shalat tidak bermakmum di dalam sebagian shalatnya pada orang muqim, yaitu orang yang melakukan sholat secara sempurna. Pentafsiran seperti ini (orang yang shalat secara sempurnya) agar mencakup pada seorang musafir yang melakukan shalat dengan sempurna.

(وَ) الرَّابِعُ (أَنْ يَنْوِيَ) الْمُسَافِرُ (الْقَصْرَ) لِلصَّلاَةِ (مَعَ الْإِحْرَامِ) بِهَا (وَ) الْخَامِسُ (أَنْ لَا يَأْتَمَّ) فِيْ جُزْءٍ مِنْ صَلاَتِهِ (بِمُقِيْمٍ) أَيْ بِمَنْ يُصَلِّيْ صَلَاةً تَامَّةً لِيَشْمُلَ الْمُسَافِرَ الْمُتِمَّ.

Shalat-Shalat Yang Boleh di Jama’

Boleh Bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh yang mubah oleh menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar, dengan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. Dan ini adalah makna perkataan mushannif, “di waktu manapun yang ia kehendaki”.

(وَيَجُوْزُ لِلْمُسَافِرِ) سَفَرًا طَوِيْلًا مُبَاحًا (أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ) صَلَاتَيِ (الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ) تَقْدِيْمًا وَتَأْخِيْرًا وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ (فِيْ وَقْتِ أَيِّهِمَا شَاءَ

Dan diperbolehkan menjama’ antara shalat Maghrib dan Isya’ dengan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. Dan ini adalah makna ungkapan mushannif, “di waktu manapun yang ia kehendaki”.

وَ) أَنْ يَجْمَعَ (بَيْنَ) صَلَاتَيِ (الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ) تَقْدِيْمًا وَتَأْخِيْرًا وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ (فِيْ وَقْتِ أَيِّهِمَا شَاءَ)

Syarat Jama’ Taqdim

Syarat-syarat jama’ taqdim ada tiga. Yang pertama, di mulai dengan melakukan shalat Dhuhur sebelum shalat Ashar, dan dengan shalat Maghrib sebelum shalat Isya’. Seandainya dia membalik, seperti memulai dengan shalat Ashar sebelum melakukan shalat Dhuhur, maka tidak sah dan dia harus mengulangi shalat Ashar setelah melakukan shalat Dhuhur jika ingin melakukan shalat jama’.

وَشُرُوْطُ جَمْعِ الْتَقْدِيْمِ ثَلاَثَةٌ الْأَوَّلُ أَنْ يَبْدَأَ بِالظُّهْرِ قَبْلَ الْعَصْرِ وَبِالْمَغْرِبِ قَبْلَ الْعِشَاءِ فَلَوْ عَكَسَ كَأَنْ بَدَأَ بِالْعَصْرِ قَبْلَ الظُّهْرِ مَثَلًا لَمْ يَصِحَّ وَيُعْيِدُهَا بَعْدَهَا إِنْ أَرَادَ الْجَمْعَ

Kedua, melakukan niat jama’ di permulaan shalat yang pertama, yaitu membarengkan niat jama’ dengan takbiratul ihramnya.

وَالثَّانِيْ نِيَةُ الْجَمْعِ أَوَّلَ الصَّلَاةِ الْأُوْلَى بِأَنْ تَقْتَرِنَ نِيَةُ الْجَمْعِ بِتَحَرُّمِهَا

Sehingga tidak cukup jika mendahulukan niat jama’ sebelum takbiratul ihram dan mengakhir- kan hingga setelah melakukan salam dari shalat yang pertama. Namun diperkenankan melakukan niat jama’ di pertengahan shalat pertama menu -rut pendapat al adhhar.

فَلَا يَكْفِيْ تَقْدِيْمُهَا عَلَى التَّحْرِيْمِ وَلَا تَأْخِيْرُهَا عَنِ السَّلَامَ مِنَ الْأُوْلَى وَتَجُوْزُ فِيْ أَثْنَائِهَا عَلَى الْأَظْهَرِ

Ke tiga, muwallah (terus menerus) antara pelaksanaan shalat pertama dan shalat yang kedua, dengan arti tidak ada pemisah yang relatif lama di antara keduannya.

وَالثَّالِثُ الْمُوَالَاةُ بَيْنَ الْأُوْلَى وَالثَّانِيَةِ بِأَنْ لَا يَطُوْلَ الْفَصْلُ بَيْنَهُمَا

Jika ada pemisah yang relatif panjang/lama, walaupun sebab udzur seperti tidur, maka wajib menunda pelaksanaan sholat ke dua hingga masuk waktunya.

فَإِنْ طَالَ عُرْفًا وَلَوْ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ وَجَبَ تَأْخِيْرُ الصَّلَاةِ الثَّانِيَةِ إِلَى وَقْتِهَا

Pemisah yang relatif sebentar / pendek tidak berpengaruh di dalam muwallah antara dua shalat tersebut.

وَلَا يَضُرُّ فِي الْمُوَالَاةِ بَيْنَهُمَا فَصْلٌ يَسِيْرٌ عُرْفًا

Syarat Jama’ Ta’khir

Adapun jama’ ta’khir, maka di dalam pelaksanaan nya wajib untuk niat jama’ dan niat tersebut harus dilakukan di dalam waktunya sholat yang pertama.

 

وَأَمَّا جَمْعُ التَّأْخِيْرِ فَيَجِبُ فِيْهِ أَنْ يَكُوْنَ بِنِيَّةِ الْجَمْعِ وَتَكُوْنُ النِّيَّةُ هَذِهِ فِيْ وَقْتِ الْأُوْلَى

Boleh mengakhirkan niat hingga waktu shalat yang pertama masih tersisa masa yang seandainya sholat tersebut dilakukan saat itu niscaya akan menjadi shalat ada’. Di dalam jama’ ta’khir tidak wajib melaksanakan secara tertib, muwallah dan tidak harus niat jama’, menurut pendapat ash shahih di dalam tiga hal ini.

 

وَيَجُوْزُ تَأْخِيْرُهَا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنْ وَقْتِ الْأُوْلَى زَمَنٌ لَوِ ابْتُدِئَتْ فِيْهِ كَانَتْ أَدَاءً وَلَا يَجِبُ فِيْ جَمْعِ التَّأْخِيْرِ تَرْتِيْبٌ وَلَا مُوَالَاةٌ وَلَا نِيَّةُ جَمْعٍ عَلَى الصَّحِيْحِ فِي الثَّلَاثَةِ

Shalat Jama’ Sebab Hujan

Di waktu hujan, bagi orang yang muqim diperkenankan melakukan shalat jama’ antara keduanya, maksudnya antara shalat Dhuhur dan Ashar, dan antara shalat Maghirb dan Isya’, tidak di waktu shalat yang kedua, bahkan di waktu shalat yang pertama dari keduanya, jika air hujan bisa membasahi pakaian bagian teratas dan bagian sandal yang paling bawah, dan juga memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di dalam shalat jama’ taqdim. Disyaratkan pula nyata turun hujan saat melakukan salam dari shalat yang pertama, baik setelah itu hujan terus turun ataupun tidak. Juga disyaratkan harus turun hujan saat melakukan salam dari shalat yang pertama, baik setelah itu hujan terus turun ataupun tidak

(وَيَجُوْزُ لِلْحَاضِرِ) أَيِ الْمُقِيْمِ (فِيْ) وَقْتِ (الْمَطَرِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا) أَيِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَا فِيْ وَقْتِ الثَّانِيَةِ بَلْ (فِيْ وَقْتِ الْأُوْلَى مِنْهُمَا) إِنْ بَلَّ الْمَطَرُ أَعْلَى الثَّوْبِ وَأَسْفَلَ النَّعْلِ وَوُجِدَتِ الشُّرُوْطُ السَّابِقَةُ فِيْ جَمْعِ التَّقْدِيْمِ وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا وُجُوْدُ الْمَطَرِ فِيْ أَوَّلِ الصَّلَاتَيْنِ وَلَا يَكْفِيْ وُجُوْدُهُ فِيْ أَثْنَاءِ الْأُوْلَى مِنْهُمَا وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا وُجُوْدُهُ عِنْدَ السَّلَامِ مِنَ الْأُوْلَى سَوَاءٌ اسْتَمَرَّ الْمَطَرُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْ لاَ

Juga disyaratkan harus turun hujan saat melakukan salam dari shalat yang pertama, baik setelah itu hujan terus turun ataupun tidak.

وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا وُجُوْدُهُ عِنْدَ السَّلَامِ مِنَ الْأُوْلَى سَوَاءٌ اسْتَمَرَّ الْمَطَرُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْ لاَ

Kemurahan melakukan jama’ sebab hujan hanya tertentu bagi orang yang shalat berjama’ah di masjid atau tempat-tempat shalat berjama’ah lainnya yang jaraknya jauh menurut ukuran ‘urf, dan ia merasa berat / kesulitan untuk berangkat ke masjid atau tempat-tempat shalat berjamaah lainnya sebab kehujanan di perjalanannya.


Wallahu a'lam Bissawab

وَتَخْتَصُّ رُخْصَةُ الْجَمْعِ بِالْمَطَرِ بِالْمُصَلِّيْ فِيْ جَمَاعَةٍ بِمَسْجِدٍ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ مَوَاضِعِ الْجَمَاعَةِ بَعِيْدٍ عُرْفًا وَيَتَأَذَّى الذَّاهِبُ لِلْمَسْجِدِ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ مَوَاضِعِ الْجَمَاعَةِ بِالْمَطَرِ فِيْ طَرِيْقِهِ.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah