PENJELASAN TENTANG NAJIS "NAJASAH" YANG DI MAAFKAN DAN YANG TIDAK DIMAAFKAN MELINGKUPI NAJIS KHAMAR "MINUMAN KERAS"
- Universitas Islam Dunia
- Dituluis 0leh Walid Blang Jruen
- Seputar fiqh ibadah mengupas permasalahan "NAJASAH"
KATA PENGANTAR
Untaian kata terindah adalah kata mutiara yang terangkai dalam kata Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT, yang maha pemberi hidayah, petunjuk, dan pertolongan kepada siapa pun hambanya yang dikehendaki. Dan telah menjadikan kita sebagai kholifahnya dengan menjadi lebih bermanfaat dari yang lain. Sungguh besar rahmatMu ya Allah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk tentang mengetahui hukum ”NAJASAH”
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rasullah SAW sebanyak daun yang berguguran dan sebanyak tetesan embun di pagi hari. Sanjungan hanya milik suri tauladan terbaik umat sebanyak butiran pasir dibibir pantainya. Semoga kelak kita dapat memperoleh syafaatnya saat dahaga tak tertahankan lagi di hamparan padang yang luas. Besar harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi sebuah pengetahuan baru bagi kita. Amin Ya Rabbal A’lamin
A.PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali seorang Muslim bersinggungan dengan barang-barang yang dianggap oleh fiqih sebagai barang najis, yang apabila barang najis ini mengenai sesuatu yang dikenakannya akan berakibat hukum yang tidak sepele. Batalnya shalat dan menjadi najisnya air yang sebelumnya suci adalah sebagian dari akibat terkenanya barang najis. Sejatinya tidak setiap apa yang terkena najis secara otimatis menjadi najis yang tak termaafkan. Di dalam fiqih madzhab Syafi’i ada beberapa barang najis yang masih bisa dimaafkan dan ada juga yang sama sekali tidak bisa dimaafkan. Dalam fiqih, najis yang bisa dimaafkan dikenal dengan istilah “ma’fu”. Disisni Walid menjelaskan tentang beberapa katagori najis dilihat dari segi bisa dan tidaknya najis itu dimaafkan mari bersama kiti melihat didalam kitab al bajuri tentang permasalahan Najis
B. BAB NAJIS
(Fashal)
menjelaskan najis dan menghilangkan nya. di dalam sebagian redaksi, fasal ini
disebutkan sebelum “Kitab Shalat”. |
(فَصْلٌ)
فِيْ بَيَانِ النَّجَاسَاتِ وَإِزَالَتِهَا وَهَذَا الْفَصْلُ مَذْكُوْرٌ فِيْ
بَعْضِ النُّسَخِ قُبَيْلَ كِتَابِ الصَّلَاةِ |
Najis secara bahasa adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan. Dan secara syara’ adalah setiap benda yang haram digunakan secara mutlak dalam keadaan normal beserta mudah untuk dibedakan, bukan karena kemuliannya, menjijikkannya dan bukan karena berbahaya pada badan atau akal. |
وَالنَّجَاسَةُ لُغَةً الشَّيْئُ الْمُسْتَقْذَرُ وَشَرْعًا كُلُّ عَيْنٍ
حَرُمَ تَنَاوُلُهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ حَالَةَ الْإِخْتِيَارٍ مَعَ سُهُوْلَةِ
التَّمْيِيِزِ لَا لِحُرْمَتِهَا وَلَا لِإسْتِقْذَارِهَا وَلَا لِضَرَرِهَا فِيْ بَدَنٍ أَوْ
عَقْلٍ |
Bahasa “mutlak”
mencakup najis sedikit dan banyak. Dengan bahasa “dalam keadaan normal”
mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan darurat memperbolehkan
untuk menggunakan najis. |
وَدَخَلَ فِي الْإِطْلَاقِ قَلِيْلُ النَّجَاسَةِ وَكَثِيْرُهَا. وَخَرَجَ
بِالْاِخْتِيَارِ الضَّرُوْرَةُ فَإِنَّهَا تُبِيْحُ تَنَاوُلَ النَّجَاسَةِ |
Dengan bahasa“mudah
dipisahkan” mengecua likan memakan ulat yang mati di dalam keju, buah dan
sesamanya. |
وَبِسُهُوْلَةِ
التَّمْيِيْزِ أَكْلُ الدُّوْدِ الْمَيِّتِ فِيْ جُبْنٍ وَ فَاكِهَةٍ وَنَحْوِ
ذَلِكَ |
Dengan ungkapan
mushannif “bukan karena kemuliannya” mengecualikan mayatnya anak Adam. Dengan keterangan
“tidak karena menjijikkan” mengecualikan sperma dan sesamanya. |
وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ لَا لِحُرْمَتِهَا مَيْتَةُ الْآدَمِيِّ. وَبِعَدَمِ الْإِسْتِقْذَارِ
الْمَنِيُّ وَنَحْوُهُ |
Dengan bahasa
“tidak karena membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang ber -bahaya
pada badan atau akal. Maksudnya; semua
barang-barang yang di kecualikan tersebut adalah barang-barang yang haram digunakan bukan
karena najis tapi karena hal-hal yang telah disebutkan. |
وَبِنَفْيِ الضَّرَرِ الْحَجَرُ وَالنَّبَاتُ الْمُضِرُّ بِبِدَنٍ أَوْ
عَقْلٍ |
C. MACAM-MACAM NAJIS
Kemudian mushannif
menyebutkan batasan najis yang keluardari qubul (jalur
depan) dan dubur (jalur belakan)
dengan
perkataan beliau, |
ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ ضَابِطًا لِلنَّجَسِ الْخَارِجِ مِنَ الْقُبُلِ
وَالدُّبُرِ بِقَوْلِهِ |
Setiap benda cair
yang keluar dari dua jalan hukumnya adalah najis. Hal ini mencakup benda yang
biasa keluar seperti kencing dan tanji, dan benda yang jarang keluar seperti
darah dan nanah.
|
(وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ
السَّبِيْلَيْنِ نَجَسٌ) هُوَ صَادِقٌ بِالْخَارِجِ.الْمُعْتَادِكَالْبَوْلِ.وَالْغَائِطِ
وَبِالنَّادِرِ كَالدَّمِّ وَالْقَيْحِ |
Kecuali sperma dari
anak Adam atau binatang selain anjing, babi dan peranakan keduanya atau salah
satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci. |
(إَلَّا
الْمَنِيَّ) مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ حَيَوَانٍ غَيْرِ كَلْبٍ وَخِنْزِيْرٍ وَمَا
تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا مَعَ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ |
Dengan bahasa
“benda cair”, mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak diproses
oleh lambung, maka hukumnya tidak najis, akan tetapi terkena najis yang bisa
suci dengan dibasuh. |
وَخَرَجَ بِمَائِعٍ الدُّوْدُ وَكُلُّ مُتَصَلِّبٍ لَا تُحِيْلُهُ الْمَعِدَّةُ
فَلَيْسَ بِنَجَسٍ بَلْ هُوَ مُتَنَجِسٌ يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ |
Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “setiap perkara yang akan keluar” dengan menggunakan lafadz fi’il mudlari’ dan membuang lafadz “ma’i’ (benda cair) |
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ بِلَفْظِ.الْمُضَارِعِ
وَإِسْقَاطُ مَائِعٍ. |
D. Cara Mensucikan Najis
Membasuh semua
jenis air kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal
dimakan dagingnya, hukumnya adalah wajib. |
(وَغَسْلُ
جَمِيْعِ الْأَبْوَالِ وَالْأَرْوَاثِ) وَلَوْ كَانَا مِنْ مَأْكُوْلِ اللَّحْمِ
(وَاجِبٌ) |
Cara membasuh najis
jika terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah” adalah dengan
menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik rasa, warna,
atau baunya.
|
وَكَيْفِيَّةُ غَسْلِ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ مُشَاهَدَةً بِالْعَيْنِ
وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْعَيْنِيَّةِ تَكُوْنُ بِزَوَالِ عَيْنِهَا
وَمُحَاوَلَةِ زَوَالِ أَوْصَافِهَا مِنْ طُعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ |
Jika rasanya najis
masih ada, maka berbahaya. Atau yang masih tersisa adalah warna atau bau yang
sulit dihilangkan, maka tidak masalah. |
فَإِنْ بَقِيَ طُعْمُ النَّجَاسَةِ ضَرَّ أَوْ لَوْنٌ أَوْ رِيْحٌ عَسُرَ
زَوَالُهُ لَمْ يَضُرَّ |
Jika najisnya tidak
terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmiyah”, maka cukup dengan
mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, walaupun hanya satu
kali aliran. |
وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ غَيْرَ مُشَاهَدَةٍ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ
بِالْحُكْمِيَّةِ فَيَكْفِيْ جَرْيُ الْمَاءِ عَلَى الْمُتَنَجِّسِ بِهَا وَلَوْ
مَرَّةً وَاحِدَةً |
E. Najis Mukhafafah
Kemudian dengan
bahasa “jenisnya air kencing”, mushannif mengecualikan perkataan beliau yang
berbunyi, “kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah
memakan makanan, maksudnya belum pernah mengkonsumsi makanan dan minuman
untuk penguat badan. Maka sesungguhnya air kencing anak laki-laki tersebut
sudah bisa suci dengan hanya - memercikkan air padanya. |
ثُمَّ اسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنَ الْأَبْوَالِ قَوْلَهُ (إِلَّا بَوْلَ
الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ) أَيْ لَمْ يَتَنَاوَلْ
مَأْكُوْلًا وَلَا مَشْرُوْبًا عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ (فَإِنَّهُ) أَيْ
بَوْلَ الصَّبِيِّ (يَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ) |
Dalam memercikkan
air, tidak disyaratkan harus sampai mengalir. |
وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الرَّشِّ سَيَلَانُ الْمَاءِ |
Jika anak kecil
laki-laki tersebut telah mengkon -sumsi makanan untuk penguat badan, maka air
kencingnya harus dibasuh secara pasti. |
فَإِنْ أَكَلَ الصَّبِيُّ الطَّعَامَ عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ غُسِلَ
بَوْلُهُ قَطْعًا |
Dengan bahasa “anak
laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan huntsa, maka
air kencing keduanya harus dibasuh. |
وَخَرَجَ بِالْصَبِيِّ الصَّبِيَّةُ وَالْخُنْثَى فَتُغْسَلُ مِنْ
بَوْلِهِمَا. |
Di dalam membasuh barang yang terkena najis, disyaratkan airnya yang didatangkan/dialirkan pada barang tersebut jika airnya sedikit. Jika dibalik, maka barang tersebut tidak suci. |
وَيُشْتَرَطُ فِيْ غَسْلِ الْمُتَنَجِّسِ وُرُوْدُ الْمَاءِ عَلَيْهِ إِنْ
كَانَ قَلِيْلًا فَإِنْ عَكَسَ لَمْ يَطْهُرْ |
Sedangkan jika air yang banyak, maka tidak ada
bedanya antara barang yang terkena najis yang datang atau didatangi air |
أَمَّا الْمَاءُ الْكَثِيْرُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ كَوْنِ الْمُتَنَجِّسِ
وَارِدًا أَوْ مَوْرُوْدًا |
F. Najis Ma’fu
Tidak ada najis
yang dima’afkan(ma’fu) kecuali darah dan nanah yang sedikit.
Maka keduanya dima’fu di pakaian dan badan, dan shalat yang dilakukan tetap
sah walaupun membawa keduanya. |
(وَلَا
يُعْفَى عَنْ شَيْئٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ إِلَّا الْيَسِيْرُ مِنَ الدَّمِّ
وَالْقَيْحِ) فَيُعْفَى عَنْهُمَا فِيْ ثَوْبٍ أَوْ بَدَنٍ وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ
مَعَهُمَا |
Dan kecuali bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir
seperti lalat dan semut, ketika binatang tersebut masuk ke dalam wadah air
dan mati di sana. Maka sesungguhnya bangkai binatang tersebut tidak menajiskan wadah air yang
dimasukinya.
Dalam
sebagian redaksi menggunakan bahasa “ketika mati di dalam wadah”. |
(وَ)
إِلَّا (مَا) أَيْ شَيْئٌ (لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ) كَذُبَابٍ وَنَمْلٍ
(إِذَا وَقَعَ فِيْ الْإِنَاءِ وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لَا يُنَجِّسُهُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِذَا مَاتَ فِي الْإِنَاءِ |
Perkataan mushannif
“terjatuh sendiri”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya seandai -nya bangkai binatang
yang tidak memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam benda cair, maka
berbahaya (menajiskan). Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat ini di dalam
kitab asy Syarh ash Shaghir, namun beliau tidak menyinggung masalah ini di
dalam kitab asy Syarh al Kabir. |
وَأَفْهَمَ قَوْلُهُ
وَقَعَ أَيْ بِنَفْسِهِ أَنَّهُ لَوْ طُرِحَ مَا لَا نَفْسَ
لَهُ سَائِلَةٌ فِيْ الْمَائِعِ ضَرَّ وَهُوَ مَاجَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيُّ فِي
الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي
الْكَبِيْرِ |
Ketika bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan merubah sifat cairan yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair tersebut. |
وَإِذَا كَثُرَتْ
مَيْتَةُ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ وَغَيَّرَتْ مَا وَقَعَتْ فِيْهِ
نَجَّسَتْهُ |
Ketika bangkai ini muncul dari benda cairseperti ulatnya cukak dan buah-buahan, maka tidak menajiskan cairan tersebut secara pasti. |
وَإِذَا نَشَأَتْ
هَذِهُ الْمَيْتَةُ مِنَ الْمَائِعِ كَدُوْدِ خَلٍّ وَفَاكِهَةٍ لَمْ
تُنَجِّسْهُ قَطْعًا |
Di samping apa yang telah dijelaskan oleh mushannif, masih ada beberapa permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya, sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab Thaharah”. |
وَيُسْتَثْنَى مَعَ
مَا ذَكَرَهَا مَسَائِلُ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمَبْسُوْطَاتِ سَبَقَ بَعْضُهَا
فِيْ كِتَابِ الطَّهَارَةِ |
G. Najis Mughaladhah
Semua binatang
hukumnya suci kecuali anjing, babi, dan peranakan keduanya atau salah satunya
hasil perkawinan dengan binatang yang suci. Ungkapan mushannif ini mencakup terhadap
sucinya ulat yang muncul dari najis, dan memang demikinlah hukumnya |
(وَالْحَيَّوَانُ كُلُّهُ طَاهِرٌ إِلَّا الْكَلْبَ
وَالْخِنْزِيْرَ وَمَا تَوَلَّدَ
مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَ ا) مَعَ
حَيَّوَانٍ طَاهِرٍ . وَعِبَارَتُهُ تَصْدُقُ بِطَهَارَةِ
الدُّوْدِ الْمُتَوَلِّدِ مِنَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ كَذَلِكَ |
Bangkai, semuanya
hukumnya adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan anak Adam. Dalam
sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “ibn Adam”, maksudnya bangkai
masing-masing barang di atas, maka sesungguhnya hukumnya suci. |
(وَالْمَيْتَةُ كُلُّهَا نَجَسَةٌ إِلَّا
السَّمَكَ وَالْجَرَادَ وَالْآدَمِيَّ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ ابْنُ آدَمَ
أَيْ مَيْتَةَ كُلٍّ مِنْهَا فَإِنَّهَا طَاهِرَةٌ |
Wadah yang terkena
liur anjing atau babi, maka harus dibasuh tujuh kali dengan menggunakan air
suci mensucikan, salah satu basuhan dicampur dengan debu suci mensucikan yang
merata ke seluruh tempat yang terkena najis. |
(وَيَغْسِلُ
الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعَ مَرَّاتٍ) بِمَاءٍ
طَهُوْرٍ (إِحَدَاهُنَّ) مَصْحُوْبَةٌ (بِالتُّرَابِ) الطَّهُوْرِ يَعُمُّ
الْمَحَلَّ الْمُتَنَجِّسَ |
Jika barang yang
terkena najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang
keruh, maka cukup mengalirnya air tersebut tujuh kali tanpa harus dicampur dengan debu. |
فَإِنْ كَانَ الْمُتَنَجِّسُ بِمَا ذُكِرَ فِيْ مَاءٍ جَارٍ كَدَرٍ كَفَى
مُرُوْرُ سَبْعِ جَرَيَاتٍ عَلَيْهِ بِلَا تَعْفِيْرٍ |
Ketika benda najis
anjing tersebut belum hilang
kecuali dengan enam basuhan semisal, maka seluruh basuhan dianggap satu kali
basuhan.
|
وَإِذَا لَمْ تَزُلْ عَيْنُ النَّجَاسَةِ الْكَلْبِيَّةِ إِلَّا بِسِتِّ
غَسَلَاتٍ مَثَلًا حُسِبَتْ كُلُّهَا غَسْلَةً وَاحِدَةً |
Tanah yang berdebu -yang terkena najis ini- tidak wajib diberi debu -saat membasuhnya- menurut qaul al ashah. |
وَالْأَرْضُ التُّرَابِيَّةُ لَا يَجِبُ التُّرَابُ فِيْهَا عَلَى
الْأَصَحِّ. |
H. Najis Mutawasithah
Untuk najis-najis yang lain, maka cukup dibasuh satu kali yang di alirkan pada najis tersebut. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “marratan (sekali)”. Tiga kali (ats tsalatsu) basuhan adalah lebih utama. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “ats tsalatsatu” dengan menggunakan ta’ diakhirnya. Air Sisa Basuhan Najis
|
(وِيُغْسَلُ
مِنْ سَائِرِ) أَيْ بَاقِي (النَّجَاسَاتِ مَرَّةً وَاحِدَةً) وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَخِ مَرَّةً (تَأْتِيْ عَلَيْهِ وَالثَّلَاثُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ
وَالثَّلَاثَةُ بِالتَّاءِ (أَفْضَلُ) وَاعْلَمْ أَنَّ غَسَالَةَ النَّجَاسَةِ بَعْدَ طَهَارَةِ الْمَحَلِّ الْمَغْسُوْلِ طَاهِرَةٌ إِنِ انْفَصَلَتْ غَيْرَ مُتَغَيِّرَةٍ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهَا بَعْدَ انْفِصَالِهَا عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مِقْدَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ الْمَغْسُوْلُ مِنَ الْمَاءِ هَذَا إِنْ لَمْ تَبْلُغْ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّ بَلَغَتْهُمَا فَالشَّرْطُ عَدَمُ التَّغَيُّرِ
|
a. قسم لا يعفى عنه في الثوب والماء “Najis yang tidak dimaafkan baik ketika mengenai pakaian maupun ketika mengenai air.” Termasuk najis dalam kategori ini umumnya barang-barang najis yang dikenal secara umum oleh masyarakat. Seperti air kencing, kotoran manusia dan binatang, darah, bangkai dan lain sebagainya. Apabila najis-najis ini mengenai pakaian atau air maka tidak dimaafkan. Pakaiannya menjadi mutanajis dan harus disucikan sebagaimana mestinya. Airnya juga menjadi air mutanajis yang tidak dapat lagi digunakan untuk bersuci atau keperluan lain yang membutuhkan air suci.
b. قسم يعفى عنه فيهما “Najis yang dimaafkan baik ketika mengenai air maupun ketika mengenai pakaian.” Yang masuk dalam kategori ini adalah najis yang sangat kecil sehingga tidak terlihat oleh mata yang normal. Sebagai contoh adalah ketika seseorang buang air kencing dengan tanpa benar-benar melepas pakaiannya bisa jadi ada cipratan dari air kencingnya yang sangat lembut yang tidak terlihat mata mengenai celana atau pakaian lain yang dikenakan. Bila pakaian ini digunakan untuk shalat maka shalatnya dianggap sah karena najis yang mengenai pakaiannya masuk pada kategori najis yang dimaafkan.
c. قسم يعفى عنه في الثوب دون الماء “Najis yang dimaafkan ketika mengenai pakaian namun tidak dimaafkan ketika mengenai air.” Barang najis yang masuk dalam kategori ini adalah darah dalam jumlah yang sedikit. Darah yang sedikit volumenya bila mengenai pakaian maka dimaafkan najisnya. Bila pakaian itu dipakai untuk shalat maka shalatnya masih dianggap sah. Sebaliknya bila darah ini mengenai air tidak bisa dimaafkan najisnya meski volumenya hanya sedikit. Air yang terkena darah ini bila volumenya kurang dari dua qullah dihukumi najis meski tidak ada sifat yang berubah, sedangkan bila volumenya memenuhi dua qullah atau lebih maka dihukumi najis bila ada sifatnya yang berubah. Dengan demikian air yang menjadi najis karena terkena darah yang sedikit ini tidak bisa digunakan untuk bersuci atau keperluan lain yang memerlukan air yang suci. Lalu bagaimana ukuran darah bisa dianggap sedikit atau banyak
d. قسم يعفى عنه في الماء دون الثوب “Najis yang dimaafkan ketika mengenai air namun tidak dimaafkan ketika mengenai pakaian.” Yang termasuk dalam kategori ini adalah bangkai binatang yang tidak memiliki darah pada saat hidupnya. Seperti nyamuk, kecoak, semut, kutu rambut dan lain sebagainya. Bangkai binatang-binatang ini bila mengenai air dimaafkan najisnya. Namun bila mengenai pakaian maka tidak dimaafkan najisnya. Sebagai contoh bila kita melakukan shalat dan melihat di pakaian yang Anda kenakan ada semut yang mati maka shalat kita batal bila tak segera membuang bangkai semut tersebut. Ini karena bangkai binatang yang tak berdarah tidak bisa dimaafkan najisnya bila mengenai pakaian. Masalah ini perlu diketahui oleh setiap muslim mengingat sangat sering bersinggungan dalam kehiduan sehari-hari terlebih memberikan dampak pada sah tidaknya ibadah yang dilakukan.
Wallahu a'lam bissawab
Tulisan ini merupakan ulang kaji studi kitab kuning di Dayah Malikussaleh Panton Labu yang dibimbing oleh beberapa guru besar yang disusun secara sistematika tematik agar mudah bagi pembaca yang muptadi dan untuk menambah wawasan sang penuls di bidang agama khususnya tentag penbahasan najis dan khamar
2.Tgk, Syik (Syech fiqh islam 4 mazhab)
3.Baba zuhd
4.Abu Bale tgk Ridwan
5.Abi don ( Tgk zulkifli)
6.Tgk Ridwan Payabakong
7.Tu Ahmadillah
8.Abi Khusairi(ahli fiqh dan karah 7)
Komentar