METODE TAYAMMUM BERDASARKAN FQIH SYAFI'IYAH


BERSUCI DENGAN TAYAMMUM

diTulis 0leh Walid Blang Jruen seputar Thaharah 

yaitu bersuci dengan debu (Tanah) pengajian rutin di dayah Malikussaleh


PENDAHULUAN 

Isla agama  sangat  menganjurkan kepada Ummatnya untuk  selalu menjaga kebersihan baik kebersihan dirinya maupun kebersihan sekitarnya. Juga menjaga kebersihan lahir maupun batin. Menjaga kebersihan lahir/ luar dapat dilakukan dengan berbagai cara,akan tetapi untuk membersihkan batin dari hadas hanya dapat dilakukan sesuai dengan apa yang telah digariskanTuhan melalui Nabi-Nya. Ketika seseorang hendak berhubungan dengan Tuhannya harusdalam keadaan bersih baik bersih lahirnya dari segala macam najis maupun bersih batin atau jiwanya dari hadas baikhadas yang besar maupun hadas kecil.Menghilangkan hadas besar adalah dengan cara mandi atau tayam mum, sedangkan untuk menghilangkan hadas kecil adalah dengan berwudlu atau tayammum. Kesemuanya telah diatur tentang tatacara pelaksanaannya, syarat rukunnya, maupun segala hal yang berkaitan dengannya.disini kita akan membahas masalah bersuci dengan tayammum  


              التَّيَمُّمِ فِي (فَصْلٌ)

      (Fashal) Pada Fshal ini menjelaskan      tentang tayammum.

وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ تَقْدِيْمُ هَذَا الْفَصْلِ عَلَى الَّذِيْ قَبْلَهُ

 

 

Dalam sebagian redaksi matan,  mendahul ukan fasal ini dari pada fasal    sebelumnya.

وَالتَّيَمُّمُ لُغَةً الْقَصْدُ وَشَرْعًا إِيْصَالُ تُرَابٍ طَهُوْر لِلْوَجْهِ وَالْيَدَّيْنِ بَدَلًا عَنْ وُضُوْءٍ أَوْ غُسْلٍ أَوْ غَسْلِ عُضْوٍ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ

 

Tayammum secara bahasa ber makna  menye ngaja. Dan secara  syara adalah mendatangkan debu suci mensucikan  pada   wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudlu, mandi atau  membasuh anggota dengan syarat-syarat tertentu. 

 

Syarat-syarat tayammum ada lima perkara  .Dalam sebagian  redaksi  matan  menggunakan bahasakhamsu khishalin  (lima hal).

(وَشَرَائِطُ التَّيَمُّمِ خَمْسَةُ  أَشْيَاءَ:) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ خَمْسُ خِصَالٍ

Salah satunya adalah ada udzur sebab  bepergian atau sakit.

أَحَدُهَا (وُجُوْدُ الْعُذْرِ بِسَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ

Yang kedua adalah masuk waktu shalat . Maka tidak sah tayammun untuk shalat   yang dilakukan sebelum masuk waktunya  

وَ) الثَّانِيْ (دُخُوْلُ وَقْتِ الصَّلَاةِ) فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ لَهَا قَبْلَ دُخُوْلِ وَقْتِهَ

 

Yang ketiga adalah mencari air setelah masuknya waktu shalat, baik diri sendiri atau orang lain yang telah ia beri izin. Maka ia harus mencari air di tempatnya dan teman-teman

 

(وَ) الثَّالِثُ (طَلَبُ الْمَاءِ) بَعْدَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَنْ أَذِنَ لَهُ فِيْ طَلَبِهِ فَيَطْلُبُ الْمَاءَ مِنْ رَحْلِهِ وَرُفْقَتِهِ

Jika ia sendirian, maka cukup melihat  ke kanan kirinya dari ke empat arah, jika   ia  berada di dataran yang rata.

فَإِنْ كَانَ مُنْفَرِدًا نَظَرَ حَوَالَيْهِ مِنَ الْجِهَاتِ الْأَرْبَعِ إِنْ كَانَ بِمُسْتَوٍ مِنَ الْأَرْضِ

Jika ia berada di tempat yang naik turun, maka harus berkeliling ke tempat yang  terjangkau oleh pandangan matanya.

فَإِنْ كَانَ فِيْهَا ارْتِفَاعٌ  وَانْخِفَاضٌ تَرَدَّدَ قَدْرَ نَظَرِهِ

Dan yang ke empat adalah sulit  (terkendala) menggunakan air.

(وَ) الرَّابِعُ (تَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِهِ) أَيِ الْمَاءِ

Dengan gambaran jika menggunakan air, ia khawatir akan kehilangan nyawa atau  fungsi anggota badan.

بِأَنْ يَخَافَ مِنِ اسْتِعْمَالِ  الْمَاءِ عَلَى ذَهَابِ نَفْسٍ أَوْ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ

Termasuk udzur adalah seandainya di  dekatnya ada air, namun jika  mengambilnya, ia khawatir pada dirinya   dari binatang buas atau musuh, atau  khawatir hartanya akan diambil oleh  pencuri atau orang yang ghasab.

وَيَدْخُلُ فِي الْعُذْرِ مَا لَوْ كَانَ بِقُرْبِهِ مَاءٌ وَخَافَ لَوْ قَصَدَهُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ سَبُعٍ أَوْ عَدُوٍّ أَوْ عَلَى مَالِهِ مِنْ سَارِقٍ أَوْ غَاصِبٍ

Di dalam sebagian redaksi matan, tepat di dalam syarat ini, di temukan tambahan setelah syarat sulit menggunakan air, yaitu membutuhkan air setelah berhasil  mendapatkannya.

وَيُوْجَدُ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ  الْمَتْنِ فِيْ هَذَا الشَّرْطِ  زِيَادَةٌ بَعْدَ تَعَذُّرِ اسْتِعْمَالِهِ وَهِيَ (وَإِعْوَازُهُ بَعْدَ الطَّلَبِ).

Yang kelima adalah debu suci, maksudnya  debu suci mensucikan dan tidak basah

(وَ) الْخَامِسُ (التُّرَابُ الطَّاهِرُ) أَيِ الطَّهُوْرُ غَيْرُ الْمَنْدِيِّ

Debu suci mencakup debu hasil ghasab  dan debu kuburan yang tidak digali.

وَيَصْدُقُ الطَّاهِرُ  بِالْمَغْصُوْبِ وَتُرَابِ  مَقْبَرَةٍ لَمْ تُنْبَشْ

Di dalam sebagian redaksi matan,  ditemukan tambahan di dalam syarat ini  , yaitu debu yang memiliki ghubarun . Sehingga, jika debu tersebut tercampur   oleh gamping atau pasir, maka tidak   diperbolehkan.

وَيُوْجَدُ فِيْ بَعْضِ الْنَسْخِ زِيَادَةٌ فِيْ هَذَا الشَّرْطِ وَهِيَ (الَّذِيْ لَهُ غُبَارٌ فَإِنْ خَالَطَهُ جَصٌّ أَوْ رَمْلٍ لَمْ يَجُزْ)

Dan ini sesuai dengan pendapat imam an  Nawawi didalam kitab Syarh  Muhadzdzab  dan at Tashhih. 

وَهَذَا مُوَافِقٌ لِمَا قَالَهُ  النَّوَاوِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَالتَّصْحِيْحِ

Akan tetapi di dalam kitab ar Raudlah dan al Fatawa, beliau memperbolehkan hal itu. 

لَكِنَّهُ فِي الرَّوْضَةِ      وَالْفَتَاوَى جَوَّزَ ذَلِكَ

Dan juga sah melakukan tayammum dengan pasir yang ada ghubar-nya. 

وَيَصِحُّ التَّيَمُّمُ أَيْضًا  بَرَمَلٍ فِيْهِ غُبَارٌ

Dengan ungkapan mushannif debu, menge cualikan selain debu seperti gamping dan remukan genteng. 

وَخَرَجَ بِقَوْلِ الْمُصَنِّفِ  التُّرَابُ غَيْرُهُ كَنَوْرَةٍ  وَسَحَاقَةِ خَزَفٍ

Dikecualikan dengan debu yang suci yaitu debu najis. 

وَخَرَجَ بِالطَّاهِرِ النَّجَسُ

Adapun debu mustamal, maka tidak syah  digunakan tayammum.

وَأَمَّا التُّرَابُ الْمُسْتَعْمَلُ فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ بِهِ

Fardhu-Fardhu Tayamum

Dan Fardhunya tayammum ada empat  perkara. 

(وَفَرَائِضُهُ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:)

 

 

Salah satunya adalah niat. Dalam sebagian  redaksi matan, menggunakan bahasa  empat pekerjaan, yaitu niat fardhu. 

أَحَدُهَا (النِّيَّةُ) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ أَرْبَعُ خِصَالٍ  نِيَّةُ الْفَرْضِ

 

Jika orang yang melakukan tayammum  niat fardlu dan sunnah, maka dia  diperkenankan melakukan keduanya. 

فَإِنْ نَوَى الْمُتَيَمِّمُ الْفَرْضَ وَالنَّفْلَ اسْتَبَاحَهُمَا

 

Atau niat fardhu saja, maka di samping fardhu tersebut, ia juga diperkenankan melakukan ibadah sunnah dan shalat jenazah. Atau niat sunnah saja, maka ia tidak diperkenankan melakukan fardhu besertaan dengan ibadah sunnah, begitu juga seandainya ia niat shalat saja. 

أَوِ الْفَرْضَ فَقَطْ اسْتَبَاحَ  مَعَهُ النَّفْلَ وَصَلَاةَ  الْجَنَائِزِ أَيْضًا أَوِ النَّفْلَ  فَقَطْ لَمْ يَسْتَبِحْ مَعَهُ  الْفَرْضَ وَكَذَا لَوْ نَوَى الصَّلَاةَ

 

Dan wajib membarengkan niat tayammum  dengan memindah debu pada wajah dan  kedua tangan, dan melanggengkan niat  hinggah mengusap sebagian wajah. 

وَيَجِبُ قَرْنُ نِيَّةِ التَّيَمُّمِ بِنَقْلِ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَّيْنِ وَاسْتِدَامَةِ هَذِهِ النِّيَّةِ إِلَى مَسْحِ شَيْئٍ مِنَ الْوَجْهِ

 

Seandainya dia hadats setelah memindah debu, maka tidak diperkenankan mengusap dengan debu tersebut, akan tetapi harus   memindah / mengambil debu yang lain. 

وَلَوْ أَحْدَثَ بَعْدَ نَقْلِ  التُّرَابِ لَمْ يَمْسَحْ بِذَلِكَ  التُّرَابِ بَلْ يَنْقُلُ غَيْرَهُ

 

Rukun yang kedua dan ketiga adalah  mengusap wajah dan mengusap kedua  tangan beserta kedua siku. 

(وَ) الثَّانِيْ وَالثَّالِثُ (مَسْحُ الْوَجْهِ وَمَسْحُ الْيَدَّيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ)

 

Dalam sebagian redaksi  matan  menggunakan   bahasa hingga kedua siku. 

وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ  إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ

 

Mengusap kedua bagian ini (wajah & kedua tangan) dengan dua pukulan pada debu. 

وَيَكُوْنُ مَسْحُهُمَا  بِضَرْبَتَيْنِ

 

Seandainya ia meletakkan tangannya ke debu yang lembut kemudian ada debu yang menempel pada tangannya tanpa memukulkantangan, maka sudah dianggap  cukup. 

وَلَوْ وَضَعَ يَدَّهُ عَلَى  تُرَابٍ نَاعِمٍ فَعَلَقَ بِهَا  تُرَابٌ مِنْ غَيْرِ ضَرْبٍ  كَفَى

 

Rukun yang ke empat adalah tertib. Maka wajib mendahulukan mengusap wajah sebelum mengusap kedua tangan, baik tayammum untuk hadats kecil ataupun hadats besar. 

(وَ) الرَّابِعُ (التَّرْتِيْبُ)  فَيَجِبُ تَقْدِيْمُ مَسْحِ الْوَجْهِ  عَلَى مَسْحِ الْيَدَّيْنِ سَوَاءٌ  تَيَمَّمَ عَنْ حَدَثٍ أَصْغَرَ أَوْ  أَكْبَرَ

 

Dan seandainya ia meninggalkan tertib, maka tayammumnya tidak sah. 

وَلَوْ تَرَكَ التَّرْتِيْبَ لَمْ  يَصِحَّ

 

Adapun mengambil debu untuk mengusap  wajah dan kedua tangan, maka tidak disyaratkan harus tertib. 

وَأَمَّا أَخْذُ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَّيْنِ فَلَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ تَرْتِيْبٍ

 

Dan seandainya ia memukulkan tangan  satu kali ke debu dan mengusap wajahnya dengan tangan kanan, dan mengusap tangan kanannya dengan tangan kirinya, maka hal itu diperkenankan.

وَلَوْ ضَرَبَ بِيَدِّهِ دَفْعَةً عَلَى تُرَابٍ وَمَسَحَ بِيَمِيْنِهِ  وَجْهَهُ وَبِيَسَارِهِ.

Kesunahan-Kesunahan Tayamum

Kesunahan tayammum ada tiga perkara. Dalam sebagian redaksi matan, menggunkan bahasa tiga khishal. 

(وَسُنَنُهُ) أَيِ التَّيَمُّمِ (ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ ثَلَاثُ خِصَالٍ

Yaitu membaca basmalah, mendahulukan bagian kanan dari kedua tangan sebelum bagian kiri dari keduanya, dan mendahulukan wajah bagian atas sebelum wajah bagian bawah. 

(التَّسْمِيَّةُ وَتَقْدِيْمُ الْيُمْنَى)  مِنَ الْيَدَّيْنِ (عَلَى  الْيُسْرَى) مِنْهُمَا وَتَقْدِيْمُ  أَعْلَى الْوَجْهِ عَلَى أَسْفَلِهِ

Dan muwallath. Maknanya telah dijelaskan di dalam bab wudhu 

(وَالْمُوَالَّاةُ) وَسَبَقَ  مَعْنَاهَا فِي الْوُضُوْءِ

Masih ada beberapa kesunahan-kesunahan tayammum yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya. 

وَبَقِيَ لِلتَّيَمُّمِ سُنَنٌ أُخْرَى  مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ

Di antaranya adalah orang yang tayammum sunnah melepas cincinnya saat memukul debu pertama. Sedangkan untuk pukulan yang kedua, maka wajib melepas cincin.

مِنْهَا نَزْعُ المُتَيَمِّمِ خَاتَمَهُ  فِي الضَّرْبَةِ الْأُوْلَى أَمَّا  الثَّانِيَةُ فَيَجِبُ نَزْعُ الْخَاتَمِ فِيْهَا.

Sesuatu Hal yang Membatalkan Tayamum

Hal-hal yang membatalkan tayammum ada tiga perkara. 

(وَالَّذِيْ يُبْطِلُ التَّيَمُّمَ  ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:)

Salah satunya adalah setiap perkara yang membatalkan wudlu. Dan telah dijelaskan di dalam bab Sebab-Sebab Hadats. 

أَحَدُهَا كُلُّ (مَا أَبْطَلَ  الْوُضُوْءَ) وَسَبَقَ بَيَانُهُ  فِيْ أَسْبَابِ الْحَدَثِ

Sehingga, ketika seseorang dalam keadaan bertayammum kemudian hadats, maka tayam -mumnya batal. 

فَمَتَى كَانَ مُتَيَمِّمًا ثُمَّ  أَحْدَثَ بَطَلَ تَيَمُّمُهُ

Yang ke dua adalah melihat air di selain waktu shalat. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa wujudnya air. 

(وَ) الثَّانِيْ (رُؤْيَةُ الْمَاءِ)  وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وُجُوْدُ  الْمَاءِ (فِيْ غَيْرِ وَقْتِ  الصَّلَاةِ)

Sehingga, barang siapa melakukan tayammum karena tidak ada air kemudian ia melihat atau menyangka ada air sebelum melakukan shalat, maka tayammumnya batal. 

فَمَنْ تَيَمَّمَ لِفَقْدِ الْمَاءِ ثُمَّ  رَأَى الْمَاءَ أَوْ تَوَهَّمَهُ  قَبْلَ  دُخُوْلِهِ فِي الصَّلَاةِ  بَطَلَ تَيَمُّمُهُ

Sehingga, jika ia melihat air saat melakukan shalat, dan shalat yang dilakukan termasuk shalat yang tidak gugur kewajibannya dengan tayammum -tetap wajib qadha- seperti shalatnya orang muqim, maka seketika itu shalatnya batal.  

فَإِنْ رَآهُ بَعْدَ دُخُوْلِهِ فِيْهَا  وَكَانَتِ الصَّلّاةُ مِمَّا  لَايَسْقُطُ فَرْضُهَا بِالتَّيَمُّمِ  كَصَلَاةِ مُقِيْمٍ بَطَلَتْ فِي  الْحَالِ

Atau termasuk shalat yang sudah gugur  kewajibannya dengan tayammum seperti  sholatnya seorang musafir, maka shalatnya tidak batal, baik shalat fardlu ataupun sunh. 

أَوْ مِمَّا يَسْقُطُ فَرْضُهَا بِالتَّيَمُّمِ كَصَلَاةِ مُسَافِرٍ  فَلَا تَبْطُلُ فَرْضًا كَانَتِ  الصَّلاَةُ أَوْ نَفْلًا

Jika seseorang melakukan tayammum  karena sakit atau sesamanya, kemudian ia  melihat air, maka melihat air  tidaklah  berpengaruh apa-apa, bahkan tayammum nya tetap sah. 

وَإِنْ كَانَ تَيَمُّمُ الشَّخْصِ لِمَرَضٍ وَنَحْوِهِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ فَلَا أَثَرَ لِرُؤْيَتِهِ بَلْ  تَيَمُّمُهُ بَاقٍ بِحَالِهِ

Yang ketiga adalah murtad. Murtad  adalah  memutus Islam.

(وَ) الثَّالِثُ (الرِّدَّةُ) وَهِيَ قَطْعُ الْإِسْلَامِ

Orang yang Memakai Perban (Shahib Jabair )

Ketika secara syara tercegah untuk  menggunakan air pada anggota badan , maka jika pada anggota tersebut tidak  terdapat penutup, maka bagi dia wajib  melakukan tayammum dan membasuh  anggota yang sehat, dan tidak ada  kewajiban tertib antara keduanya  (tayammum & membasuh yang sehat) bagi  orang yang junub.

وَإِذَا امْتَنَعَ شَرْعًا اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيْ عُضْوٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَاتِرٌ وَجَبَ عَلَيْهِ التَّيَمُّمُ وَغَسْلُ الصَّحِيْحِ وَلَا تَرْتِيْبَ بَيْنَهُمُا لِلْجُنُبِ

 

Adapun orang yang hadats kecil, maka dia  boleh melakukan tayammum ketika sudah  waktunya membasuh anggota yang saki.

 

أَمَّا الْمُحْدِثُ فَإِنَّمَا يَتَيَمَّمُ وَقْتَ دُخُوْلِ غَسْلِ الْعُضْوِ الْعَلْيِلِ

 

Jika ada penghalang (satir/balutan) pada  anggota yang sakit, maka hukumnya  dijelaskan di dalam perkataan mushannif  di  bawah ini. 

فَإِنْ كَانَ عَلَى الْعُضْوِ سَاتِرٌ فَحُكْمُهُ مَذْكُوْرٌ فِيْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ

 

 

Orang yang memakai jabair (perban),

jabair adalah bentuk kalimat jamanya  lafad jabirah, yaitu kayu atau bambu yang  dipasang dan diikatkan pada anggota yang  luka / retak agar supaya bersatu kembali / sembuh, maka ia wajib mengusap perbannya dengan air jika tidak memungkinkan untuk melepasnya karena khawatir terjadi bahaya yang telah dijelaskan di depan. 

(وَصَاحِبُ الْجَبَائِرِ) جَمْعُ جَبِيْرَةٍ بِفَتْحِ الْجِيْمِ وَهِيَ أَخْشَابٌ أَوْ قَصْبٌ تُسَوَّى وَتُشَدُّ عَلَى مَوْضِعِ الْكَسْرِ لِيَلْتَحِمَ (يَمْسَحُ عَلَيْهَا) بِالْمَاءِ إِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ نَزْعُهَا لِخَوْفِ ضَرَرٍ مِمَّا سَبَقَ

 

Dan orang yang memakai perban harus melakukan tayammum di wajah dan kedua tangan seperti yang telah dijelaskan. 

(وَيَتَيَمَّمُ)صَاحِبُ الْجَبَائِرِ  فِيْ وَجْهِهِ وَيَدَّيْهِ كَمَا سَبَقَ

 

Ia harus melakukan shalat dan tidak wajib  mengulangi -ketika sudah sembuh-, jika ia  memasang perbannya dalam keadaan suci dan diletakkan pada selain aggota tayammum.

(وَيُصَلِّيْ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ  إِنْ كَانَ وَضْعُهَا) أَيِ  الْجَبَائِرِ (عَلَى طُهْرٍ)  وَكَانَتْ فِيْ غَيْرِ أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ

 

Jika tidak demikian, maka ia wajib mengulangi shalatnya -ketika sudah sembuh-. Dan ini adalah pendapat yang disampaikan imam an Nawawi di dalam kitab ar Raudhah. 

وَإِلَّا أَعَادَ وَهَذَا مَاقَالَهُ  النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ

 

Akan tetapi di dalam kitab al Majmu,  beliau berpendapat bahwa sesungguhnya  kemutlakan,yang disampaikan jumhur  (mayoritas ulama) menetapkan bahwa  tidak ada perbedaan, maksudnya antara  posisi perban yang berada pada anggota  tayammum dan selainnya. 

لَكِنَّهُ قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ إِنَّ إِطْلَاقَ الْجُمْهُوْرِ يَقْتَضِيْ عَدَمَ الْفَرْقِ أَيْ بَيْنَ أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ وَغَيْرِهَا.

 

Perban disyaratkan harus tidak  menutup anggota yang sehat  kecuali anggota sehat  yang  memang harus tertutup guna   memperkuat perban tersebut. 

وَيُشْتَرَطُ فِي الْجَبِيْرَةِ أَنْ  لَا تَأْخُذَ مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَّا مَا لَا بُدَّ مِنْهُ لِلْاِسْتِمْسَاكِ

 

Lushuq[1], ishabah[2], murham[3] dan sesama nya yang terdapat pada luka hukumnya sama dengan jabirah.

وَاللَّصُوْقُ وَالْعِصَابَةُ  وَالْمَرْهَمُ وَنَحْوُهَا عَلَى  الْجُرْحِ كَالْجَبِيْرَةِ

Yang Boleh Dilakukan dengan Tayamum

Sesorang harus melakukan tayammum setiap hendak melakukan satu ibadah fardlu dan ibadah nadzar.[4] Sehingga ia tidak diperkenankan melakukan dua shalat fardlu, dua thawaf, shalat dan thowaf, shalat Jumat dan khutbahnya hanya dengan satu kali tayammum.

(وَيَتَيَمَّمُ لِكُلِّ فَرِيْضَةٍ) وَمَنْذُوْرَةٍ فَلَا يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاتَيِ فَرْضٍ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ وَلَا بَيْنَ طَوَافَيْنِ وَلَا بَيْنَ صَلَاةٍ وَطَوَافٍ وَلَا بَيْنَ جُمُعَةٍ وَخُطْبَتِهَا

 

 

 

Ketika seorang wanita melakukan tayammum guna melayani sang suami, maka bagi dia diperkenankan melakukan pelayanan berulang kali dan melakukan sholat dengan tayammum tersebut. 

 

وَلِلْمَرْأَةِ إِذَا تَيَمَّمَتْ لِتَمْكِيْنِ الْحَلِيْلِ أَنْ تَفْعَلَهُ مِرَارًا وَتَجْمَعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ بِذَلِكَ التَّيَمُّمِ

 

Perkataan mushannif dengan satu tayammum, seseorang diperkenankan melakukan ibadah-ibadah sunnah yang ia kehendaki tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.

وَقَوْلُهُ (وَيُصَلِّي بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ مَاشَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ) سَاقِطٌ مِنْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ.


1] Sesuatu yang ditempelkan pada luka baik berupa kain, kapas atau sesamanya.

[2] Sesuatu yang diikatkan pada luka baik berupa tali atau sesamanya.

[3] Obat yang ditabutkan ke luka.

[4] Shalat, thowaf da khutbah Jumat saja

 Pengajian rutinitas yang di asuh  0leh syaikhuna yang mulia tgk syik


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah