MARI MENGENAL HUKUM SHALAT,SYARAT,FARDHU DAN SEGALA KESUNNAHANNYA

 KITAB HUKUM-HUKUM SHALAT

Mari bersama belajar fiqh agar dalam hidup selalu terarah sesuai hukum syaria’ah

Di tulis 0leh walid blang jruen kutipan dari dalam kitab albajuri jilid 1 pengajian rutinitas dikelas IV.B

Yang di asuh 0leh Maha Guru Ayah Hajat (Tgk Ibnu Hajar)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

وَهِيَ لُغَةً الدُّعَاءُ وَشَرْعًا كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكَبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ 

Shalat secara bahasa adalah do’a. Dan secara syara’, sebagaimana yang di sampaikan oleh imam ar Rafi’i, adalah ucapan dan pekerjaan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.

(الصَّلَاُة الْمَفْرُوْضَةُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ الصَّلَوَاتُ الْمَفْرُوْضَاتُ (خَمْسٌ)

Shalat yang difardhukan ada lima. Dalam sebagian redaksi menggunkan bahasa “shalat-shalat yang difardhukan”.

يَجِبُ كُلٌّ مِنْهَا بِأَوَّلِ الْوَقْتِ وُجُوْبًا مُوَسَّعًا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ الْوَقْتِ مَا يَسَعُهَا فَيَضِيْقُ حِيْنَئِذٍ

Masing-masing dari shalat wajib dilaksanakan sebab masuknya awal waktu akan sbg wajib yang diperluas (tidak harus segera dilakukan) hingga waktu yang tersisa hanya cukup digunakan untuk melakukannya, maka saat itu waktunya menjadi sempit (harus segera dilakukan). .

Shalat zuhur

الظُّهْرُ) أَيْ صَلَاتُهُ قَالَ النَّوَوِيُّ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا ظَاهِرَةٌ وَسَطَ النَّهَارِ)

(وَأَوَّلُ وَقْتِهَا زَوَالُ) أَيْ مَيْلُ (الشَّمْسِ) عَنْ وَسَطِ السَّمَاءِ لَا بِالنَّظَرِ لِنَفْسِ الْأَمْرِ بَلْ لِمَا يَظْهَرُ لَنَا

Yaitu shalat Dhuhur. Imam an Nawawi berkata “shalat ini disebut dengan Dhuhur karena sesungguhnya shalat ini nampak jelas di tengah hari.” Awal masuknya waktu shalat Dhuhur adalah saat tergelincirnya, maksudnya bergesernya matahari dari tengah langit, tidak dilihat dari kenyataan nya, namun pada apa yang nampak oleh kita.

وَيُعْرَفُ ذَلِكَ الْمَيْلُ بِتَحَوُّلِ الظِّلِّ إِلَى جِهَةِ الْمَشْرِقِ بَعْدَ تَنَاهِيْ قَصْرِهِ الَّذِيْ هُوَ غَايَةُ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ

Pergeseran tersebut bisa diketahui dengan bergesernya bayang-bayang ke arah timur setelah posisinya tepat di tengah-tengah, yaitu puncak posisi tingginya matahari

(وَآخِرُهُ) أَيْ وَقْتِ الظُّهْرِ (إِذَا صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْئٍ مِثْلَهُ بَعْدَ) أَيْ غَيْرَ(ظِلِّ الزَّوَالِ

Dan batas akhirnya waktu shalat Dhuhur adalah ketika bayang-bayang setiap benda seukuran dengan bendanya tanpa memasukkan bayang-bayang yang nampak saat zawal (gesernya matahari).

وَالظِّلُّ لُغَةً السَّتْرُ تَقُوْلُ أَنَا فِيْ ظِلِّ فُلَانٍ أَيْ سَتْرِهِ

Dhilu secara bahasa adalah penutup/ pelindung, engkau berkata, “aku berada di bawah dhilunya fulan”, maksdnya perlindungannya.

وَلَيْسَ الظِّلُّ عَدَمَ الشَّمْسِ كَمَا قَدْ يُتَوَهَّمُ بَلْ هُوَ أَمْرٌ وُجُوْدِيٌّ يَخْلُقُهُ اللهُ تَعَالَى لِنَفْعِ الْبَدَنِ وَغَيْرِهِ

Bayang-bayang bukan berarti tidak adanya sinar matahari sebagaimana yang di salah fahami, akan tetapi bayang-bayang adalah perkara wujud yang di ciptakan oleh Allah Swt untuk kemanfaatan badan dan selainnya.

Shalat Ashar

وَالْعَصْرُ) أَيْ صَلَاتُهُ وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ لُمَعَاصَرَتِهَا وَقْتَ الْغُرُوْبِ

Dan Ashar, maksudnya shalat Ashar. Disebut dengan shalat Ashar, karena pelaksanaan nya mendekatii waktu terbenamnya matahari

وَقْتِهَا الزِّيَادَةُ عَلَى ظِلِّ الْمِثْلِ).

Permulaan waktunya adalah mulai dari bertambahnya bayangan dari ukuran bendanya.

وَلِلْعَصْرِ خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ أَحَدُهَا وَقْتُ الْفَضِيْلَةِ وَهُوَ فِعْلُهَا أَوَّلَ الْوَقْتِ

Shalat Ashar memiliki lima waktu. Salah satunya adalah waktu fadlilah, yaitu mengerjakan shalat di awal waktu.

وَالثَّانِيْ وَقْتُ الْاِخْتِيَارِ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَآخِرُهُ فِي الْاِخْتِيَارِ إِلَى ظِلِّ الْمِثْلَيْنِ)

Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Waktu ini diisyarahi oleh mushannif dengan ucapan beliau, akhir waktu Ashar di dalam waktu ikhtiyaradalah hingga ukura bayang-bayang dua kali lipat ukuran bendanya.

وَالثَّالِثُ وَقْتُ الْجَوَازِ وَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَفِي الْجَوَازِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ)

Yang ketiga adalah waktu jawaz. Waktu ini diisyarahi oleh mushannif dengan ucapan beliau, dan di dalam waktu jawaz hingga terbenamnya matahari.

وَالرَّابِعُ وَقْتُ جَوَازٍ بِلَا كَرَاهَةٍ وَهُوَ مِنْ مَصِيْرِ الظِّلِّ مِثْلَيْنِ إِلَى الْاِصْفِرَارِ

Yang ke empat adalah waktu jawaz tanpa disertai hukum makruh. Yaitu sejak ukuran bayang-bayang dua kali lipat dari ukuran bendanya hingga waktu ishfirar (remang-remang).

وَالْخَامِسُ وَقْتُ تَحْرِيْمٍ وَهُوَ تَأْخِيْرُهَا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ الْوَقْتِ مَا لَا يَسَعُهَا

Yang ke lima adala waktu tahrim (haram). Yaitu meng-akhirkan pelaksanaan shalat hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan shalat.

Shalat Maghrib

وَالْمَغْرِبُ) أَيْ صَلَاتُهَا وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِفَعْلِهَا وَقْتَ الْغُرُوْبِ

Dan Maghrib, maksudnya shalat Maghrib. Disebut dengan shalat Maghrib karena dikerja -kan saat waktu terbenamnya matahari.

وَوَقْتُهَا وَاحِدٌ وَهُوَ غُرُوْبُ الشَّمْسِ) أَيْ بِجَمَيْعِ قَرْصِهَا وَلَايَضُرُّ بَقَاءُ شُعَاعٍ بَعْدَهُ (وَبِمِقْدَارِ مَا يُؤَذِّنُ) الشَّخْصُ (وَيَتَوَضَأُ) أَوْ يَتَيَمَّمُ (وَيَسْتُرُ الْعَوْرَةُ وَيُقِيْمُ الصَّلَاةَ وَيُصَلِّيْ خَمْسَ رَكَعَاتٍ)

Waktu shalat Maghrib hanya satu. Yaitu terbenamnya matahari, maksudnya seluruh bul atan matahari dan tidak masalah walaupun setelah itu masih terlihat sorotanya, dan kira-kira waktu yang cukup bagi seseorang untuk melakukan adzan, wudhu’ atau tayam mum, menutup aurat, iqamah shalat dan shalat lima rakaat.

وَقَوْلُهُ وَبِمِقْدَارِ إِلَخْ سَاقِطٌ مِنْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ

Perkataan mushannif “وَبِمِقْدَارِ إِلَخْ” terbuang dari sebagian redaksi matan.

فَإِنِ انْقَضَى الْمِقْدَارُ الْمَذْكُوْرُ خَرَجَ وَقْتُهَا هَذَا هُوَ الْقَوْلُ الْجَدِيْدُ

Ketika kadar waktu di atas sudah habis, maka waktu maghrib sudah keluar. Ini adalah pendapat Qaul Jadid.

وَالْقَدِيْمُ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ أَنَّ وَقْتَهَا يَمْتَدُّ إِلَى مَغِيْبِ الشَّفَقِ الْأَحْمَرِ

Sedangkan Qaul Qadim, dan diunggulkan oleh imam an Nawawi, adalah sesungguhnya waktu shalat Maghrib memanjang hingga terbenamnya mega merah.

Shalat Isya’

وَالْعِشَاءُ) بِكَسْرِ الْعَيْنِ مَمْدُوْدًا اسْمٌ لِأَوَّلِ الظُّلَامِ وَسُمِّيَتِ الصَّلَاةُ بِذَلِكَ لِفِعْلِهَا فِيْهِ

Dan shalat Isya’. Isya’ dengan terbaca kasrah huruf ‘ainnya adalah nama bagi permulaan petang. Shalat ini disebut dengan nama tersebut karena dikerjakan pada awal petang.

(وَأَوَّلُ وَقْتِهَا إِذَا غَابَ الشَّفَقُ الْأَحْمَرُ)

Permulaan waktu Isya’ adalah ketika terbe- namnya mega merah.

وَأَمَّا الْبَلَدُ الَّذِيْ لَايَغِيْبُ فِيْهِ الشَّفَقُ فَوَقْتُ الْعِشَاءِ فِيْ حَقِّ أَهْلِهِ أَنْ يَمْضِيَ بَعْدَ الْغُرُوْبِ زَمَنٌ يَغِيْبُ فِيْهِ شَفَقُ أَقْرَبِ الْبِلَادِ إِلَيْهِمْ

Adapun negara yang tidak terbenam mega merahnya, maka waktu Isya’ bagi penduduknya adalah ketika setelah ternggelamnya matahari, sudah melewati masa tenggelamnya megah merah negara yang terdekat pada mereka.

وَلَهَا وَقْتَانِ أَحَدُهُمَا اخْتِيَارٌ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَآخِرُهُ) يَمْتَدُّ (فِيْ الْاِخْتِيَارِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ)

Shalat Isya’ memiliki dua waktu. Salah satunya adalah waktu Ikhtiyar, dan di isyarahkan oleh mushannif dengan ucapan beliau, “akhir waktu ikhtiyar shalat Isya’ adalah memanjang hingga seperti malam yang pertama.

وَالثَّانِيْ جَوَازٌ وَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَفِي الْجَوَازِ إِلَى طُلُوْعِ الْفَجْرِ الثَّانِيْ) أَيِ الصَّادِقِ وَهُوَ الْمُنْتَشِرُ ضَوْؤُهُ مُعْتَرِضًا بِالْأُفُقِ

Yang kedua adalah waktu jawaz. Dan mushannif memberi isyarah tentang waktu ini dengan ucapan beliau, “dan di dalam waktu jawazhingga terbitnya fajar kedua, mak sudnya fajar Shadiq, yaitu fajar yang menyebar dan membentang sinarnya di angkasa.

وَأَمَّا الْفَجْرُ الْكَاذِبُ فَيَطَّلِعُ قَبْلَ ذَلِكَ لَا مُعْتَرِضًا بَلْ مُسْتَطِيْلًا ذَاهِبًا فِي السَّمَاءِ ثُمَّ يَزُوْلُ وَتَعْقِبُهُ ظُلْمَةٌ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ

Adapun fajar Kadzib, maka terbitnya / muncul sebelum fajar Shadiq, tidak membentang akan tetapi memanjang naik ke atas langit, kemudian hilang dan di ikuti oleh kegelapan malam. Dan tidak ada hukum yang terkait dengan fajar ini.

وَذَكَرَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ أَنَّ لِلْعِشَاءِ وَقْتَ كَرَاهَةٍ وَهُوَ مَا بَيْنَ الْفَجْرَيْنِ

Asy Syekh Abu Hamid menjelaskan bahwa se sungguhnya shalat Isya’memiliki waktu Karahah, yaitu waktu di antara dua fajar.

Shalat Subuh

وَالصُّبْحُ) أَيْ صَلَاتُهُ وَهُوَ لُغَةً أَوَّلُ النَّهَارِ وَسُمِّيَتِ الصَّلَاةُ بِذَلِكَ لِفِعْلِهَا فِيْ أَوَّلِهِ

Dan Subuh, maksudnya shalat Subuh. Secara bahasa, Subuh memiliki arti permulaan siang (pagi - beungoeh; Aceh). Disebut demikian karena dikerjakan di permulaan siang (pagi).

وَلَهَا كَالْعَصْرِ خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ أَحَدُهَا وَقْتُ الْفَضِيْلَةُ وَهُوَ أَوَّلُ الْوَقْتُ

Seperti halnya shalat Ashar, shalat Subuh juga memiliki lima waktu. Salah satunya adalah waktu fadlilah. Yaitu awal waktu.

وَالثَّانِيْ وَقْتُ اخْتِيَارٍ وَذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فِيْ قَوْلِهِ (وَأَوَّلُ وَقْتِهَا طُلُوْعُ الْفَجْرِ الثَّانِيْ وَآخِرُهُ فِي الْاِخْتِيَارِ إِلَى الْإِسْفَارِ) وَهُوَ الْإِضَاءَةُ

Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Mushannif menyebutkan didalam ucapan beliau, “awal waktu shalat Subuh adalah mulai terbitnya fajar kedua, dan akhirnya didalam waktu ikhtiyar adalah hingga isfar, yaitu waktu yang sudah terang.

وَالثَّالِثُ وَقْتُ الْجَوَازِ وَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَفِي الْجَوَازِ) أَيْ بِكَرَاهَةٍ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ)

Dan yang ketiga adalah waktu jawaz. Dan mushannif mengisyarahkannya dengan ucapan beliau, “dan didalam waktu jawaz, artinya makruh hukumnya shalat hingga terbitnya matahari.

وَالرَّابِعُ جَوَازٌ بِلَا كَرَاهَةٍ إِلَى طُلُوْعِ الْحُمْرَةِ

Dan yang ke empat adalah waktu jawaz tanpa disertai hukum makruh adalah sampai terbitnya mega merah.

وَالْخَامِسُ وَقْتُ تَحْرِيْمٍ وَهُوَ تَأْخِيْرُهَا إِلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ الْوَقْتِ مَالَايَسَعُهَا

Dan yang ke lima adalah waktu tahrim (haram), yaitu mengakhirkan pelaksanaan shalat hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksana -kan shalat.

SYARAT WAJIB SHALAT

فَصْلٌ) وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:)

(Fashal) syarat wajibnya shalat itu ada tiga perkara:

أَحَدُهَا (الْإِسْلَاُم) فَلَا تَجِبُ الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ

Salah satunya adalah Islam. Maka tidak wajib shalat bagi kafir yang asli

 وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا إِذَا أَسْلَمَ

Dan tidak wajib mengqadha’nya apabila ia masuk Islam.

وَأَمَّا الْمُرْتَدُ فَتَجِبُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَقَضَاؤُهَا إِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ

Dan Adapun orang murtad, maka wajib baginya untuk melakukan shalat dan mengqadhainya ketika ia sudah kembali Islam.

وَ)الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا تَجِبُ عَلَى صَبِيٍّ وَصَبِيَّةٍ

Dan yang kedua adalah baligh. Maka shalat tidak wajib bagi anak kecil laki-laki dan perempuan.

لَكِنْ يُؤْمَرَانِ بِهَا بَعْدَ سَبْعِ سِنِيْنَ إِنْ حَصَلَ التَّميِيْزُ بِهَا وَإِلَّا فَبَعْدَ التَّمْيِيْزِ

Akan tetapi keduanya harus diperintah melaksana kan shalat setelah berusia tujuh tahun jika sudah tamyiz, jika belum maka diperintah setelah tamyiz.

وَيُضْرَبَانِ عَلَى تَرْكِهَا بَعْدَ كَمَالِ عَشْرِ سِنِيْنَ

Dan keduanya harus di pukul sebab meninggalkan shalat setelah berusia sepuluh tahun.

وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا تَجِبُ عَلَى مَجْنُوْنٍ

Yang ketiga adalah memiliki akal sehat. Maka shalat tidak wajib bagi orang gila.

وَقَوْلُهُ (وَهُوَحَدُّ التَّكلِيْفِ) سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ

Perkataan mushannif “akal adalah batasan taklif tuntutan syarat)” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.

Shalat Sunnah

الْمَسْنُوْنَاتُ (وَالصَّلَوَاتُ,الْمَسْنُوْنَةُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ الْمَسْنُوْنَاتُ (خَمْسٌ

Shalat-shalat yang disunnahkan ada lima. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bentuk jama’ yaitu “

الْعِيْدَانِ) أَيْ صَلَاةُ عِيْدِ الْفِطْرِ وَعِيْدِ الْأَضْحَى

Yaitu shalat dua hari raya, maksudnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

وَالْكُسُوْفَانِ) أَيْ صَلَاةُ كُسُوْفِ الشَّمْسِ,وَخُسُوْفِ,الْقَمَرِ(وَالْإِسْتِسْقَاءُ) أَيْ صَلَاتُهُ

Dan shalat dua gerhana, maksudnya gerhana matahari dan gerhana bulan. Dan istisqa’, artinya shalat istisqa’.

Shalat Sunnah Rawatib

وَالسُّنَنُ التَّابِعَةُ لِلْفَرَائِضِ) وَيُعَبَّرُ عَنْهَا أَيْضًا بِالسُّنَةِ الرَّاتِبَةِ وَهِىَ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً

Shalat-shalat sunnah yang menyertai shalat-shalat fardhu, yang juga diungkapkan dengan shalat sunnah ratibah / rawatib, ada tujuh belas raka’at.

رَكْعَتَا الْفَجْرِ وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهُ وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الْعَصْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَثَلَاثٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ)

Dua rakaat fajar, empat rakaat sebelum Dhuhur dan dua rakaat setelahnya, empat rakaat sebelum Ashar, dua rakaat setelah Maghrib, dan tiga rakaat setelah Isya’ yang digunakan untuk shalat witir satu rakaatnya.

Shalat Witir

. الْوَاحِدَةُ هِيَ أَقَلُّ الْوِتْرِ وَأَكْثَرُهُ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَوَقْتُهُ بَعْدَ صَلَاةٍ الْعِشَاءِ وَطُلُوْعِ الْفَجْرِ

Satu rakaat adalah minimal shalat witir. Dan maksimal shalat witir adalah sebelas rakaat. Waktu shalat witir adalah di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar

فَلَوْ أَوْتَرَ قَبْلَ الْعِشَاءِ عَمْدًا أَوْ سَهْوًا لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ وَالرَّاتِبُ الْمُؤَكَّدُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ عَشْرُ رَكَعَاتٍ

Sehigga, jikalau ada seseorang melakukan shalat witir sebelum shalat Isya’, baik sengaja atau lupa, maka shalat yang dilakukan tidak dianggap.Shalat rawatib yang muakad (sangat dianjurkan) dari semua shalat sunnah di atas sepuluh rakaat.

رَكْعَتَانِ قَبْلَ الصُّبْحِ وَرَكْعَتَانِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْعِشَاءِ

Yaitu dua rakaat sebelum Subuh, dua rakaat sebelum dan setelah Dhuhur, dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah shalat Isya’.  

Shalat Sunnah Selain Rawatib

وَثَلَاثُ نَوَافِلَ مُؤَكَّدَاتٌ) غَيْرُ تَابِعَةٍ لِلْفَرَائِضِ

Dan tiga shalat sunnah muakkad yang tidak mengikut pada shalat-shalat farldu.

أَحَدُهَا (صَلَاةُ اللَّيْلِ) وَالنَّفْلُ الْمُطْلَقُ فِي اللَّيْلِ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ الْمُطْلَقِ فِي النَّهَارِ وَالنَّفْلُ وَسَطَ اللَّيْلِ أَفْضَلُ ثُمَّ آخِرَهُ أَفْضَلُ وَهَذَا لِمَنْ قَسَّمَ اللَّيِلَ أَثْلَاثًا

Salah satunya adalah shalat malam. Shalat sunnah mutlak di malam hari itu lebih utama dari pada shalat sunnah di siang hari. Shalat sunnah mutlak di tengah malam adalah yang paling utama. Kemudian di akhir malam yang lebih utama. Hal ini bagi orang yang membagi waktu malam menjadi tiga bagian.

وَ) الثَّانِيْ (صَلَاةُ,الضُّحَى) وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ وَأَكْثَرُهَا اثْنَتَا عَشَرَةَ رَكْعَةً

وَوَقْتُهَا مِنِ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ إِلَى زَوَالِهَا كَمَا قَالَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ

Yang kedua shalat Dhuha. Minimal shalat Dhuha adalah dua rakaat. Dan paling maksimal adalah dua belas rakaat. Waktu shalat Dhuha mulai dari naiknya matahari kira-kira setin ggi satu tombak- hingga terge -lincirnya matahari, sebagaimana yang di sampai kan im am  Nawawi dalam kitab at Tahqiq dan Syarh al Muhadzab.

وَ) الثَّالِثُ (صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ) وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَجُمْلَتُهَا خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ

Yang ke tiga adalah shalat tarawih. Yaitu shalat dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salaman di setiap malam di bulan Ramadhan. Dan jumlah nya sebanyak lima tarwihat.

وَيَنْوِي الشَّخْصُ فِيْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ مِنْهَا سُنَّةُ التَّرَاوِيْحِ أَوْ قِيَامُ رَمَضَانَ

وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ تَصِحَّ

Di setiap pelaksanaan dua rakaat dari shalat tarawih, seseorang melakukan niat “sunnah tarawih” atau “qiyam Ramadhan (menghidupkan bulan Ramadhan)”. Dan seandainya ad a seseorang melakukan shalat tarawih empat rakaat sekaligus dengan satu kali salam, maka shalat yang ia lakukan tidak sah.

وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ تَصِحَّ

Dan seandainya ada seseorang melakukan shalat tarawih empat rakaat sekaligus dengan satu kali salaman, maka shalat yang ia lakukan tidak sah. 

وَوَقْتُهَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوْعِ الْفَجْرِ

Waktu shalat tarawih adalah di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar.

Bab Syarat-Syarat Shalat

(فَصْلٌ وَشَرَائِطُ الصَّلَاةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ)

(Fashal) syarat-syarat shalat sebelum melaku -kannya ada lima perkara.

وَالشُّرُوْطُ جَمْعُ شَرْطٍ وَهُوَ لُغَةً الْعَلَامَةُ وَشَرْعًا مَا تَتَوَقَّفُ صِحَّةُ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ جُزْأً مِنْهَا وَخَرَجَ بِهَذَا الْقَيِّدِ الرُّكْنُ فَإِنَّهُ جُزْءٌ مِنَ الصَّلَاةِ

Lafadz “asy syuruth” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “syarth”. Dan syarat secara bahasa adalah bermakna tanda. Dan secara syara’ adalah sesuatu yang menentukan sahnya shalat, namun bukan termasuk sebagian dari shalat. Dengan qayid ini, maka mengecualikan rukun. Karena sesungguhnya rukun adalah sebagian dari shalat.

Suci dari Hadas

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ (طَهَارَةُ الْأَعْضَاءِ مِنَ الْحَدَثِ) الْأَصْغَرِ وَالْأَكْبَرِ عِنْدَ الْقُدْرَةِ أَمَّا فَاقِدُ الطَّهُوْرَيْنِ فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ مَعَ وُجُوْبِ الْإِعَادَةِ عَلَيْهِ. أَمَّا فَاقِدُ الطَّهُوْرَيْنِ فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ مَعَ وُجُوْبِ الْإِعَادَةِعَلَيْهِ (وَ) طَهَارَةُ (النَّجَسِ) الَّذِيْ لَا يُعْفَى عَنْهُ فِيْ ثَوْبٍ وَبَدَنٍ وَمَكَاٍن وَسَيَذْكُرُ الْمُصَنِّفُ هَذَا الْأَخِيْرَ قَرِيْبًا

Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats kecil dan besar ketika mampu melakukan. Adapun faqidut thohurain (tidak menemukan dua alt bersuci yaitu air dan debu), maka hukum shalatnya sah namun wajib baginya untuk mengulanginya -ketika sudah mampu bersuci-. Dan suci dari najis yang tidak dima’fu pada pakaian, badan dan tempat. Mushannif akan menjelaskan yang terakhir ini (suci tempat) sebentar lagi .

Tempat Yang Suci

وَ) الثَّالِثُ (الْوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ) فَلَا تَصِحُّ صَلَاةُ شَخْصٍ يُلَاقِيْ بَعْضُ بَدَنِهِ أَوْ لِبَاسِهِ نَجَاسَةٌ فِيْ قِيَامٍ أَوْ قُعُوْدٍ أَوْ رُكُوْعٍ أَوْ سُجُوْدٍ

Syarat ke tiga adalah berdiri diatas tempat yang suci. Maka tidak sah shalatnya seseorang yang sebagian badan atau pakaiannya bertemu najis saat berdiri, duduk, ruku’, atau sujud. 

Masuk Waktu Shalat

 الرَّابِعُ (الْعِلْمُ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ) أَوْ ظَنِّ دُخُوْلِهِ بِالْإِجْتِهَاد فَلَوْ صَلَّى بِغَيْرِ ذَلِكَ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَإِنْ صَادَفَ الْوَقْتَ

Syarat ke empat dalah mengetahui masuknya waktu atau menyangka masuk waktu berdasar kan dengan ijtihad. Maka jikalau ada seseorang yang melakukan shalat tanpa semua itu, maka shalatnya tidak sah, walaupun tepat waktunya.

Menghadap Kiblat

وَ) الْخَامِسُ (اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةُ) أَيِ الْكَعْبَةِ. سُمِّيَتْ قِبْلَةً لِأَنَّ الْمُصَلِّيَ يُقَابِلُهَا وَكَعْبَةً لِارْتِفَاعِهَا

Syarat ke lima adalah menghadap kiblat, maksudnya Ka’bah. Ka’bah disebut kiblat karena sesungguh nya seseorang yang melakukan shalat menghadap padanya. Dan disebut dengan Ka’bah, karena ketin ggiannya.

. وَاسْتِقْبَالُهَا بِالصَّدْرِ شَرْطٌ لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ. وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ. (وَيَجُوْزُ- تَرْكُ) اسْتِقْبَالِ (الْقِبْلَةِ) فِي الصَّلَاةِ فِيْ حَالَتَيْنِ,فِيْ شِدَّةِ الْخَوْفِ) فِيْ قِتَالٍ مُبَاحٍ فَرْضًا كَانَتِ الصَّلَاةُ أَوْ نَفْلًا

Menghadap kiblat dengan dada adalah syarat bagi orang yang mampu melaksanakannya. Dan mushan nif mengecualikan dari hal ini yang beliau jelaskan dengan perkataan beliau di bawah ini: diperboleh kan tidak menghadap kiblat saat melaksanakan shalat di dalam dua keadaan Yaitu saat syiddatul khauf (keadaan genting) ketika melakukan perang yang diperkenankan, baik shalat fardlu ataupun sunnah

فِيْ شِدَّةِ الْخَوْفِ) فِيْ قِتَالٍ مُبَاحٍ فَرْضًا كَانَتِ الصَّلَاةُ أَوْ نَفْلًا, وَفِي,النَّافِلَةِ,فِي,السَّفَرعَلَى,الرَّاحِلَةِ)

فَلِلْمُسَافِرِ سَفَرًا مُبَاحًا وَلَوْ قَصِيْرًا التَّنَفُّلُ صَوْبَ مَقْصِدِهِ

Yaitu saat syiddatul khauf (keadaan genting) ketika melakukan perang yang diperkenan kan, baik shalat fardlu ataupun sunnah. Dan juga bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan yang diperbolehkan walaupun jaraknya dekat, maka diperkenankan melaksana kan shalat sunnah menghadap ke arah tujuannya-walaupun tidak menghadap kiblat-.

وَرَاكِبُ الدَّابَةِ لَايَجِبُ عَلَيْهِ وَضْعُ جَبْهَتِهِ عَلَى سَرْجِهَا مَثَلًا بَلْ يُوْمِئُ بِرُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ وَيَكُوْنُ سُجُوْدُهُ أَخْفَضَ مِنْ رَكُوْعِهِ

Dan bagi musafir yang naik kendaraan, maka tidak wajib baginya untuk meletakkan keningnya di atas pelana semisal, akan tetapi ia diperkenan -kan memberi isyarah saat ruku’ dan sujudnya. Namun sujudnya harus lebih rendah dari pada isyarah untuk ruku’nya.

وَأَمَّا الْمَاشِيْ فَيُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ وَيَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ فِيْهِمَا وَلَا يَمْشِيْ إِلَّا فِيْ قِيَامِهِ وَتَشَهُّدِهِ

Adapun musafir yang berjalan kaki, maka ia harus menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, menghadap kiblat saat melakukan keduanya, dan tidak berjalan kecuali saat berdiri dan tasyahud. 

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَاب


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah