POLIGAMI MENURUT DALAM PANDANGAN ISLAM
MAKALAH
POLIGAMI MENURUT DALAM
PANDANGAN ISLAM
Memenuhi tugas mata
kuliah hadist tematk
Oleh:
1. Abdillah ; 2018540573
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2017-2018
KATA
PENGANTAR
Kami
Mulai Dengan Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat serta sejahtaera , Taufik dan Hinayahnya sehingga Kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini seacra
bersama sama dalam bentuk kerja kelompok walauaupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat bermamfaat sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi kami dan pemirsa para pembaca .
Harapan
Kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga Kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Kami
menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karna itu kami mengundang /perhatian pembaca untuk memberikan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan .
Terima
kasih kami ucapakan, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif
bagi kita semua sedang belajar Pascasarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Lhokseumawe
DAFTAR ISI
LAMPIRAN……………………………………………………………x
KATA
PENGANTAR………………………………………………….i
DAFTAR
ISI……………………………………………………………ii
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………4
BAB
II PEMBAHASAN……………………………………………….6
A.A. Pengertian Poligami………………………………...7
B. B. Poligami Menurut Syari’at
Islam…….…………......8
C. C. Poligami Menurut Kompilasi Hukum
Islam……...11
BAB
III Penutup……………………………………………………..14
Daftar
Pustaka……………………………………………………..17
BAB I
PENDAHULUAN
Membicarakan
poligami di Indonesia ini se akan akan rasa toleransi sesame perempuan sudah
tidak ada lagi se akan akan poligami ini satu bentuk yang sangat menakutkan
bahkan serasa rasa bagi se orang perempuan yang sudah hilang rasa toleransi
sesame perempuan bahwa poligami ini satu musim pembunuh .
Emansipasi
wanita dan hak asasi manusia mulai merebak di tengah umat. Akibatnya, berbagai
syubhat (kerancuan berpikir) anti poligami pun menjadi konsumsi harian para
istri. Karena itu, tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan
tersulut emosi. Ibarat api dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun
pasti.
Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi. Para
suami dihujat dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya
bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah melakukan dosa besar yang tak
bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika para suami itu berbuat serong, punya
wanita simpanan lain (WSL) yang tak halal baginya alias selingkuh. Reaksi
sebagian istri justru tak sehebat ketika dipoligami. Ini namanya kalau istilah
keren di rumah suami saya di luar milik orang, yang penting jangan kawin lagi
cukup satu istri
Bahkan,
tak sedikit dari mereka yang diam seribu bahasa. Yang penting tidak dimadu!
Itulah sekira letupan hati mereka. Tak heran, bila di antara para suami
“bermasalah” itu lebih memilih berbuat selingkuh daripada poligami. Bisa jadi
karena pengalaman mereka bahwa selingkuh itu “lebih aman” daripada poligami.
Sampai-sampai ada sebuah pelesetan, selingkuh itu “selingan indah keluarga
utuh”.
Padahal
selingkuh itu menjijikkan. Selingkuh adalah zina. Selingkuh diharamkan dalam
agama dan tak selaras dengan fitrah suci manusia. Demikianlah di antara ragam
fakta unik yang terjadi dalam ranah sosial kemasyarakatan kita. Memang aneh, tapi
nyata.
Dalam
makalah ini kami mencoba mengupas apa itu poligami dan apa manfaat poligami
bagi umat manusia, karna kita sebagai umat islam harus yakin semua yang di
ciptakan Allah itu tidak ada yang sia-sia, dari benda-benda yang diciptakan dan
aturan-aturan yang dibuatnya tidak lain itu semua demi kepentingan manusia baik
dalam keseimbangan sosial kemasyarakatan dan keseimbangan alam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata
poligami, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang
berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata
ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau
lebih dari seorang.
Sedangkan pengertian poligami
menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak
memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.
Para ahli membedakan istilah bagi seorang
laki-laki yang beristri lebih dari seorang dengan istilah poligini yang berasal
dari kata polus yang berarti banyak dan gune yang berarti
perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami
disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan
andros berarti lak-laki.
Jadi, kata yang tepat bagi seorang
laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan
adalah poligini bukan poligami. Sedangkan dalam bahasa arab poligami disebut ta’addud
az-zaujat. Bagi kaum pria, pembahasan tentang poligami acap kali menjadi
bunga hati.
B. Poligami Menurut Syari’at Islam
Poligami adalah syariat
Islam yang merupakan sunnah Rasulallah SAW. Dalilnya surah An-Nisa: 3,
artinya:
1
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا )
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
a. Syarat-syarat Poligami Menurut poligami
1. Kemampuan
Melakukan Poligami.
Seorang lelaki yang berpoligami disyaratkan
mesti memiliki kemampuan agar tidak
menyusahkan orang lain.
Poligami bukan perkara yang
mudah kerana ia akan dipertanggung jawab di hari kiamat kelak. Dalil hadist :
مَنْ كَانَتْ لَهُ
امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.
“Barangsiapa
yang mempunyai dua isteri, lalu dia melebihkan seorang daripadanya, maka pada
hari Kiamat dia akan bangkit dalam
keadaan salah satu bahunya miring sebelah.”
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 2494) kitab asy-Syariikah, Muslim (no. 3018) kitab at-Tafsiir, an-Nasa-i (no. 3346) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2068), kitab an-Nikaah.
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[3]. HR. At-Tirmidzi (no. 1128) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 4617),
2
Dalam riwayat lain:
فَمَالَ إِلَى
إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Lalu dia condong kepada salah satu dari
keduanya, maka dia datang pada hari
Kiamat dalam keadaan sisi
tubuhnya condong.”
‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu berucap, “Ya Allah, adapun hatiku, maka aku tidak bisa menguasainya.
Adapun selain hal itu, aku berharap dapat berbuat adil.”
Inilah bentuk keadilan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara isteri-isterinya. Imam Ahmad
meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian
lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami. Terkadang beliau
mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isterinya tanpa
persetubuhan, hingga beliau sampai kepada isterinya yang mendapat giliran pada
hari itu lalu tinggal di sisinya.
Imam al-Bukhari
meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Jika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara
isteri-isterinya; mana di antara mereka yang keluar bagiannya, maka dia keluar
bersama beliau. Dan beliau menjatah untuk tiap-tiap mereka malam dan siang
harinya
3
2. Berlaku Adil
Terhadap Para Isteri Dalam Pembahagian Giliran
dan Nafkah.
Seorang suami wajib
berlaku adil di dalam pembahagian. Jika dia bermalam dengan satu isterinya
semalam atau dua malam atau tiga malam, maka dia mesti bermalam dengan isteri
yang lain selama itu juga. Tidak boleh melebihkan salah satu dari isterinya di
dalam pembahagian.
Tetapi tidak berdosa jika dia lebih mencintai salah satu
isterinya, dan lebih banyak berjimak dengannya sebagaimana firman Allah
bermaksud (An-Nisaa: 129)
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا
كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin) di antara
isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Kerana itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain tergantung-gantung.”
3. Seorang lelaki yang menikah menanggung berbagai
kewajiban terhadap isteri dan anaknya termasuk nafkah. Seorang laki-laki yang
melakukan poligami memikul tambahan kewajiban nafkah dengan sebab
bertambah isterinya.
Nafkah adalah, apa yang diwajibkan untuk isteri dan anak-anak yang
berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan sebainya dan nafkah
bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al-Quran, al-Sunnah dan Ijma’.
1 HR. Abu Dawud (no. 1914) kitab ath-Thalaaq,
Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah.
2.Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
4
4
b. Fungsi Poligami Menurut Syari’at Islam
1.
Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi
mendapat isteri yang mandul. Lebih mulia suami menikah lagi untuk memperoleh
keturunan dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya.
2.
Ada juga kaum lelaki yang kuat syahwatnya tetapi mendapat isteri yang kuarang
sex kerana sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lain. Lebih
baik jika lelaki itu menikah dengan wanita lain yang halal daripada menceraikan
isteri pertama.
3.
Kaum wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang
belum betul-betul sihat selepas melahirkan. boleh berpoligami untuk menyelamatkan
suami dari pada terjerumus ke jurang perzinaan.
4. Selain itu jumlah wanita terbukti lebih
banyak daripada jumlah lelaki, terutama setelah terjadi peperangan yang memakan
banyak korban dari kaum lelaki. Disini terdapat kemaslahatan sosial dan
Toleransi bagi kaum wanita itu sendiri, yaitu untuk bernaung dalam sebuah rumah
tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan merasakan cinta kasih dan pemeliharaan,
serta nikmatnya menjadi seorang ibu.
5
Hal ini dijelaskan dalam majalah Al
mujtama no. 84 tanggal 24/4/1408 H : Bahwa jumlah wanita terus naik sampai pada
perbandingan angka 1:4 di Swedia, 1:5 di Uni soviet ada 1:6 dijepang
pertambahan ini bukan hanya terjadi di Negara-negara Arab, misalnya di sebagian
propensi Cina mencapai 1:10 dan juga di sebagian di negara – negara arab
mencapai angka yang tidak jauh dari itu dan angka ini akan terus naik menjadi 4
kali lipat sebelumnya. Di Afrika negeri muslim sendiri perbandingannya mencapai
1:5 faktor berkurangnya angka leleki karena yang maju di garis depan dalam
menghadapi tantangan maut (perang) yang mengakibatkan lebih banyak wanita di
banding lelaki dan menambah problem negara hingga diketahuilah tidak ada solusi
paling halal dan aman selain ta’addud.
5.Poligami diharapkan agar dapat menghindarkan
perceraian kerana isteri mandul, sakit atau sudah terlalu tua.
6.Terdapat ramainya kaum telaki yang berhijrah
pergi merantau untuk mencari rezeki. Di perantauan, mereka mungkin kesepian
ketika sihat atau pun sakit. Lebih baik berpoligami daripada si suami
mengadakan hubungan secara tidak sah dengan wanita lain.
7.Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang
tidak sah agar keturunan masyarakat terpelihara dan tidak disia-siakan
kehidupannya. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat kemuliaan umat Islam.
Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeda dari anak yang dari pernikahan
yang sah.
6
Jika
gejala ini dibiarkan dan tidak ditangani dengan hati-hati ia akan menghancurkan
umat Islam dan merusak fungsi pernikahan itu sendiri.
8.Untuk memberi perlindungan dan penghormatan
kepada kaum wanita daripada keganasan serta kebuasan nafsu kaum lelaki yang
tidak dapat menahan syahwatnya.
C. Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam
ketentuan
pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX KHI, ternyata
syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga
syarat-syarat formal. Pertama, pasal 55 yang memuat syarat substansial
dari pendapat poligami yang melekat pada seorang suami yaitu terpenuhinya
keadilan yang telah ditetapkan, bunyi dalam pasal 55:
(1).Beristeri
lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2).Syarat
utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
ister-isteri dan anak-anaknya.
(3).Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri
dari seorang.
Syarat
ini adalah inti dari poligami, sebab dari sinilah munculnya ketidak sepakatan
dalam hukum akan adanya poligami.
8
Dan
dipertegas pula didalamnya bahwa apabila keadilan tidak dapat dipenuhi maka
seorang suami dilarang berpoligami. Kedua, pasal 56 yang berbunyi:
(1).Suami
yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2).Pengajuan
permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah
No.9 Tahun 1975.
(3).Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 56 diatas merupakan syarat-syarat
formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai
perlindungan hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia adalah negara hukum
sehingga segala urusan hubungan manusia maka pelaksanaannya harus diketahui
oleh instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama (PA).
Ketiga, pasal 57, yang
berbunyi pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila :
a.
isteri
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
9
b.
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 57 diatas merupakan syarat-syarat
substansial yang melekat pada seorang
isteri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan
logis bagi seorang suami untuk berpoligami. Keempat, pasal 58 yang
berbunyi:
(1).Selain syarat
utama yang disebut pada pasal 55 ayat
(2).maka
untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 UUD No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b.adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(3).Dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau
denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
10
(4) Persetujuan dimaksud pada ayat
(1).huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila
tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun
atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 58 diatas
merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang isteri sebagai respon
terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang melibatkan instansi yang
berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik
dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami. Kelima, pasal 59
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri
lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat
(2).dan
57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.Bunyi
pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam
menghadapi perkara poligami dari isteri yang saling mempertahankan pendapatnya.
11
Dengan
demikian ketentuan poligami dalam KHI tidak bertentangan dengan ruh nash. Namun
menurut hasil penelitian Ratna Batara Minti dan Hindun Anisah, ditemukan
permasalahan dalam praktek pembataan poligami melalui izin poligami. Ternyata
hakim pengadilan di pengadilan tetap mengizinkan suami untuk berpoligami
meskipun isterinya tidak mengizinkan. Dikatakan bahwa pada dasarnya persetujuan
isteri bukanlah sesuatu yang mutlak harus diperoleh. Jika isteri tidak mau
memberikan persetujuannya, namun hakim menemukan isteri tersebut ternyata tidak
mau atau tidak dapat melakukan kewajibannya, maka hakim berhak mengizinkan
suami untuk berpoligami, demi kemashlahatan. Bahkan menurut Mukti Arto, hakim
bisa saja mengabulkan permintaan suami untuk berpoligami, meski tidak ada
alasan apapun, karena isteri telah memberi persetujuannya.
Jakarta pada tanggal 1 April 1975
Presiden Republik Indonesia
Di tandatangan oleh bapak SOEHARTO
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Poligamai adalah perkawinan yang banyak atau lebih dari
seorang, dan poligami itu sendiri adalah adalah syariat
Islam yang merupakan sunnah Rasulallah SAW.
Syarat-syarat Poligami: 1. Kemampuan Melakukan Poligami 2. Berlaku
Adil Terhadap Para Isteri Dalam Pembahagian Giliran dan Nafkah 3. Seorang
lelaki yang menikah menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya
termasuk nafkah. Seorang laki-laki yang melakukan poligami memikul tambahan
kewajiban nafkah dengan sebab bertambah isterinya.
Ternyata
salah satu fungsi poligami itu sendiri justru menguntungkan bagi keseimbangan
kehidupan sosial yang ada di dunia ini dikarnakan tidak berbanding seimbang
dengan kaum peria, yang mana kaum wanita lebih banyak dari kaum peria.
ketentuan
pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX KHI, ternyata
syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga
syarat-syarat formal
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”(QS An-Nisa, ayat ke-3).
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُو
[1]. HR. Asy-Syafi’i dalam Musnadnya.
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[3]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 18).
13
Daftar Pustaka
[1]. HR. Al-Bukhari (no.
2494) kitab asy-Syariikah, Muslim (no. 3018) kitab at-Tafsiir, an-Nasa-i (no.
3346) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2068), kitab an-Nikaah
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[3]. HR. At-Tirmidzi (no. 1128) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no.
1953) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 4617), Malik (no. 1071) kitab ath-Thalaaq,
dan hadits ini dalam riwayat Malik adalah mursal.
[4]. HR. Abu Dawud (no. 1914) kitab ath-Thalaaq, Ibnu Majah (no.
1953) kitab an-Nikaah. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiir al-Qur-aan (I/599):
“Sanadnya bagus.”
[5]. HR. Asy-Syafi’i dalam Musnadnya.
[6]. Tafsiir Ibni Katsir (I/598).
[7]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 18).
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 1141) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi
mengatakan: “Aku tidak mengetahui hadits ini marfu’ kecuali dari hadits Hammam,
dan Hammam adalah perawi tsiqat dan hafizh.” Semua perawinya tsiqat
(terpercaya), an-Nasa-i (no. 3942) kitab ‘Isyratun Nisaa’, Abu Dawud (no. 2133)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1969) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 9740) ad-Darimi
(no. 2206) kitab an-Nikaah.
[9]. HR. Abu Dawud (no. 2135) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya
terdapat ‘Abdur-rahman bin Abiz Zinad, dan ia shaduq tapi ditsiqatkan oleh
sejumlah ahli hadits, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Ahmad (no. 24244).
[10]. HR. Muslim (no. 2445) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Abu
Dawud (no. 2138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1980) kitab an-Nikaah, Ahmad
(no. 24313), ad-Darimi (no. 2208) kitab an-Nikaah.
Komentar