Khitbah dalam Pandangan Islam


MAKALAH
KHITBAH  DALAM PANDANGAN ISLAM, MAHAR YANG DI ANJURKAN DALAM SYARIAT ISLAM

Oleh
Abdillah
NPM ; 2018540573


                                                                    
                                                          
                                                       
       Pembimbing : Dr. Syahrial. Lc.,M.A

Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2017-2018

كلمة كومنتر
بِسْــــــــمِ اللَّــــــــهِ الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 الحمد لله ,من أعطانا النعمته والتوجيهه ورالحمته حتى النتمكن من الإكمال هذه الورقة دون أي العائق
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ والتحيات أن نتدفق دائما على سيد النبي محمد المنشار العظيم. ما سنراه لاحقاً في اليوم القيامة. خالص امتناننا للسيد درز. بدوان ، م. مما أعطانا الفرصة لتجميع هذه الورقة.
نقوم باالتجميع هذه الورقة بالموضوع "خطبة" ، وهو أحد الأشياء التي نعرفها في الزواج. ستناقش هذه الورقة الخطبة بالتفصيل من بعض المراجع التي نحصل عليها. كما نرتب هذه الورقة بلغة بسيطة بحيث يسهل على القراء فهمها.
                             

المؤلف / الكتابة

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………...………………………i
DAFTAR ISI……………………...………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………….......1
      A.  1. Latar Belakang Masalah………….1
            1. Rumusan Masalah…………………..2

BAB.II PEMBAHASAN..……………….....….…….2
      B. 1  Khitbah (Peminangan)……………….3
1.1.Definisi Khitbah(Peminanga......…......3
1.2. Hukum Khitbah………………………….....…..4
1.3. Karakteristik Khitbah…..…….….......……5
1.4. Hukum Memandang Wanita Terpinang..................................................6
              1.5.Syarat Sah Khitbah…………………………………..………............8
1.6.Haram Khitbah……....………...................9
1.7.Pemutusan Pertunangan……............11
1.8. Hikmah Disyariatkan Peminangan.12
      C.2.  MAHAR……………………………….....…12
2.1. Defenisi Mahar…………………...............12
2.2. Di dalam KHI masalah mahr...........12
2.3. Syarat Sah Mahar…...………….... ..  ....12
2.4. Dalil Disyari’atkan Mahar……….... ....12
2.5.Ukurn Mahar Ahli Fuqaha sepakat..26 2.6.Benda yang Layak Dijadikan Mahar.27 2.7.Macam-macam Mahar……………….......27 2.8.Hikmah Disyari’atkan Mahar……........28

BAB III KESIMPUL..         ........…..............29
DAFTAR PUSTAKA ............. ....….............30

                                                          ii

BAB I
Pendahuluan

A.1.Latar Belakang

          Khitbah merupakan pendahuluan transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’. Syari’at Islam menghendaki pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah muncul masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syariat Allah dan sendi-sendi ajaran agama Islam yang lurus.
       Kita ketahui bahwa ketentuan hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup lainnya bahkan segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. berjodoh-jodoh.. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat. Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah dan di wajibkan  mahar . Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan. QS. An-Nisaa’ ayat 1

ياَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ منْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَّ نِسَاءً، وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِه وَ اْلاَرْحَامَ، اِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. النساء
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
                                                                                      1



1. Rumusan Masalah
2.1. Apakah definisi khitbah dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan khitbah  ?

2.2.  Apakah defenisi Mahar dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan
        mahar  ?

2.Tujuan
     Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum islam di  Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe, juga untuk memberikan informasi mengenai Khitbah (meminang) dan Mahar dalam perkawinan  secara lebih merinci.tugas mata kuliah Fiqh Munakahat, tetapi juga untuk memberikan informasi mengenai Khitbah secara lebih merinci tentu sesuai dengan kempuan penulis :
a.      Untuk mengetahui definisi tentang apa itu khithbah.
b.      Menyebutkan hukum-hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
c.      Dapat menyebutkan macam-macam dari pada khithbah.
d.    Memberikan penjelasan tentang anggota tubuh terpinang yang boleh dilihat pada saat meminang, waktu melihat wanita terpinang, empat mata dengan wanita pinangan serta menjelaskan hukum pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang.

BAB II
Pembahasan

B.1.Khitbah (Peminangan)
     1.1.Definisi Khitbah(Peminangan)

        Khitbah atau “peminangan “ berasal dari kata “pinang”, meminang” (kata kerja) . meminang sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa arab disebut “khitbah”. menurut  etimologi meminang atau melamar artinya “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Jadi Khitbah atu peminangan adalah suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita. Atau pula dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam; adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal   1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :
Ø.Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh orang yang mencari    pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.
Ø.Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
 Ø.Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat.

1.2. Hukum Khitbah
  1. Hukum meminang adalah boleh (mubah).Adapun dalil yang memperboleh  kan nya adalah Al,qur’an(QS.A l-Baqarah ayat 235) [1]

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ  وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan tidak ada salahnya bagi kamu tentang apa yang kamu bayangkan (secara sindiran), untuk meminang perempuan (yang kematian suami dan masih dalam idah), atau tentang kamu menyimpan dalam hati (keinginan berkahwin dengan mereka). Allah mengetahui bahawa kamu akan menyebut-nyebut atau mengingati) mereka, (yang demikian itu tidaklah salah), akan tetapi janganlah kamu membuat janji dengan mereka di dalam sulit, selain dari menyebutkan kata-kata (secara sindiran) yang sopan. Dan janganlah kamu menetapkan dengan bersungguh-sungguh (hendak melakukan) akad nikah sebelum habis idah yang ditetapkan itu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu, maka beringat-ingatlah kamu akan kemurkaanNya, dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyabar.

2. Dalil yang lain disebutkan dalam  (QS,Al-Baqarah ayat 236): [2]

لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ

Tidaklah kamu bersalah dan tidaklah kamu menanggung bayaran maskahwin) jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu sentuh (bercampur) dengan mereka atau (sebelum) kamu menetapkan maskahwin untuk mereka. Walaupun demikian, hendaklah kamu memberi "Mut'ah" (pemberian saguhati) kepada mereka (yang diceraikan itu). Iaitu: suami yang senang (hendaklah memberi saguhati itu) menurut ukuran kemampuannya; dan suami yang susah pula menurut ukuran kemampuannya, sebagai pemberian saguhati menurut yang patut, lagi menjadi satu kewajipan atas orang-orang (yang mahu) berbuat kebaikan.

3. Dalil yang lain adalah QS (Al-Baqarah ayat 237) . [3]

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu sentuh (bercampur) dengan mereka, padahal kamu sudah menetapkan kadar maskahwin untuk mereka, maka mereka berhak mendapat separuh dari maskahwin yang telah kamu tetapkan itu, kecuali jika mereka memaafkannya tidak menuntutnya); atau (pihak) yang memegang ikatan nikah itu memaafkannya (memberikan maskahwin itu dengan sepenuhnya). Dan perbuatan kamu bermaaf-maafan (halal menghalalkan) itu lebih hampir kepada taqwa. Dan janganlah pula kamu lupa berbuat baik dan berbudi sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua yang kamu kerjakan”.

1.3. Karakteristik Khitbah
        Di antara hal yang disepakati mayoritas ulama fiqh syariat, dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah. Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah. Masing-masing calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain.
       Bahkan andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari peminang atau telah menerima hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad yang menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.


1.4. Hukum Memandang Wanita Terpinang
       Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah melihatnya” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda :  [4]

أُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ أَحْرى يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
       “Lihatlah ia,sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara Anda berdua”. (maksudnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian)”
       Demikian juga hadis dari Jabir, ia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: [5]

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَاِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَ تَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

       “Jika meminang salah seorang di antar kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah. Jabir berkata :”Kemudian seorang wanita yang semula tersembunyi sehingga aku melihat apa yang menarik bagiku untuk menikahinya, kemudian aq menikahinya.” (HR. Abu Dawud


Referensi/ rujukan
[1]lain adalah QS (Al-Baqarah ayat 235)
[2]lain adalah QS (Al-Baqarah ayat 236)
[3]lain adalah QS (Al-Baqarah ayat 237)
[4]Rasulullah Saw. Bersabda:
[5] (HR. Abu Dawud)
       Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita yang lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing calon-calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan, yakni anak-anak dan keturunanya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan wanita memendang satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.

     (a).Adapun Anggota Tubuh Perempuan Yang Boleh Dilihat:
1.Mayoritas fuqaha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman Allah Swt. : [6]
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
     “Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali apa    yang biasa terlihat darinya” (QS.An-Nur:31)

   2. Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita umumnya di saat bekerja di rumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup. Adapun alasan mereka; Nabi Saw. Tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
4.  Dawud Az-Zahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw. “Lihatlah kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.

1.5.Syarat Sah Khitbah
       Pasal 12 KHI mengatur tentang syarat-syarat untuk meminang seorang wanita  pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang habis masa iddahnya.berikut rincian syarat wanita yang boleh dipinang adalah sebagai berikut : [7]
 1. Halal meminang perempuan yang belum menikah dan tidak sedang dalam iddah baik secara Tasrih / Ta'ridh.
2.Haram meminang perempuan yang telah menikah baik secara Tasrih / Ta'ridh.
3. Haram meminang secara Tasrih perempuan yang sedang iddah ( raj'i,ba in, dan iddah wafat ).
4. Haram meminang secara Ta'ridh perempuan yang sedang iddah raj'i.
5. Halal meminang secara Ta'ridh perempuan yang sedang iddah wafat.
6. Halal meminang secara Ta'ridh perempuan yang sedang iddah ba in.
7. Haram meminang perempuan yang telah menerima pinangan orang lain kecuali diberi izin oleh lelaki yang telah meminangnya.
8.Tidak haram meminang pinangan orang lain yang belum diterima pinangannya dan tidak juga ditolak.
9. Boleh meminang perempuan yang tidak kita ketahui apakah telah dipinang atau belum.
    10. Boleh meminang perempuan yang tidak kita ketahui apakah telah dia terima pinangan orang lain sebelumnya / dia tolak.
1.6  .Haram Khitbah

a).Para fuqaha’ sepakat  Haram mengkhitbah wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah talak raj’i (satu atau dua) atau iddah talak bain (tiga), baik iddahnya dengan sebab talak, fasah (membatalkan akad nikah), atau karena meninggal suaminya. Dan boleh menyindir (kata-kata yang tidak menunjuki secara jelas kepada keinginan untuk menikah) wanita yang menjalani masa iddah bukan karena talak raj’i, contohnya seperti mengatakan “kamu cantik”, dan lainnya.
       Seseorang yang menalak istrinya dengan talak tiga maka tidak diperbolehkan untuk meminang istri tersebut melainkan sudah menikah dengan dengan orang lain (muhallil), dan sudah lalu iddah dengan muhallil tersebut. Dan diharamkan melamar perempuan yang telah dilamar oleh orang lain karena ada Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, Bahwasanya Rasulullah Saw Bersabda : [8]

 b). لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
"Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah  menawar barang yang telah ditawar saudaranya”














Referensi :
[6]  (QS.An-Nur:31)
[7]  Pasal 12 KHI mengatur tentang syarat-syarat untuk meminang dan di dalam Kitab  Kanzu Al- Raghibin syarh Minhaj Imam Nawawi Jilid 3 Hal 213-214 Cet Dar Ihya.
[8]  hadist Abu Hurairah ra,
Di Dalam Riwayat Ibnu Umar Ra, Bahwasanya Bahwasanya Rasulullah Saw Bersabda  : [9]  
 c). نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَايَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
 “ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya  meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.

d).  Dalam kitab Iana I’anatut thalibin jilid 3 hal 264 telah di bicarakan secara rinci tentang masalah khitbah/ peminangan : [10]  

ويسن خطبة بضم الخاء من الولي له أي للنكاح الذي هو العقد بأن تكون قبل إيجابه فلا تندب أخرى من المخاطب قبل قبوله كما صححه في المنهاج بل يستحب تركها خروجا من خلاف من أبطل بها كما صرح به شيخنا وشيخه زكريا رحمهما الله لكن الذي في الروضة وأصلها ندبها.

وتسن خطبة أيضا قبل الخطبة وكذا قبل الإجابة فيبدأ كل بالحمد والثناء على الله تعالى ثم بالصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يوصي بالتقوى ثم يقول في خطبة الخطبة: جئتكم راغبا في كريمتكم أو فتاتكم وإن كان وكيلا: قال: جاءكم موكلي أو جئتكم عنه خاطبا كريمتكم فيخطب الولي أو نائبه كذلك ثم يقول لست بمرغوب عنك.

ويستحب أن يقول قبل العقد أزوجك على ما أمر الله به عز وجل من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان.
فروع يحرم التصريح بخطبة المعتدة من غيره رجعية كانت أو بائنا بطلاق أو فسخ أو موت.
ويجوز التعريض بها في عدة غير رجعية وهو: كأنت جميلة ورب راغب فيك.
ولا يحل خطبة المطلقة منه ثلاثا حتى تتحلل وتنقضي عدة المحلل إن طلق رجعيا وإلا جاز التعريض في عدة المحلل.
ويحرم على عالم بخطبة الغير والإجابة له خطبة على خطبة من جازت خطبته وإن كرهت وقد صرح لفظا بإجابته إلا بإذنه له من غير خوف ولا حياء أو بإعراضه: كأن طال الزمن بعد إجابته ومنه سفره البعيد



1.7.Pemutusan Pertunangan
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut  ajaran Islam, misalnya karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan. Masalah yang sering muncul adalah apabila dalam masa peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas kawin) telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan.
         Fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa masing-masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah pertunangan yang berasal dari masing-masing , bila hadiah itu masih ada wujudnya pada saat pertunangan diputuskan. Hadiah-hadiah yang telah tidak ada wujudnya lagi tidak perlu diganti dengan harganya. Ketentuan itu berlaku, baik yang memutuskan pertunangan adalah pihak laki-laki ataupun pihak perempuan. Alasan pendapat ini ialah karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan adanya janji akan kawin. Maka, apabila janji dimaksud dibatalkan, hadiah-hadiah harus kembali pada asalnya.
        Fuqaha madzhab Syafii berpendapat bahwa pihak peminang berhak menerima kembali hadiah-hadiah yang diberikan, berupa barang apabila masih ada wujudnya, atau ganti harganya apabila sudah tidak ada wujudnya lagi.






[9]  Riwayat Ibnu Umar Ra,
[10]  Narasumber Abu Ibrahim Bardan Pimpinan Pondok Pesantren Dayah Malikussaleh
        panton labu
        Referensi : I’anatut thalibin jilid 3 hal 264

Fuqaha madzhab Maliki memperhatikan pihak mana yang memutuskan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan, hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak laki-laki harus dikembalikan, dalam bentuk barang apabila masih ada wujudnya, atau pengganti harganya apabila sudah rusak, hilang atau musnah. Apabila yang memutuskan adalah pihak laki-laki, ia tidak berhak atas pengembalian hadiah yang pernah diberikan kepada pihak perempuan, meskipun wujud barangnya masih ada pada waktu memutuskan pertunangan terjadi. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibenarkan apabila ada syarat lain antara dua pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat pihak-pihak bersangkutan menentukan lain.

1.8. Hikmah Disyariatkan Peminangan
       Akad nikah merupakan prosesi yang amat agung dan sakral dalam islam karena dengan akad nikah ini menjadikan halalnya hubungan keduanya , dimana sebelumnya diharamkan oleh syara’. Dengan di lakukan peminangan, maka calon suami dan istri akan saling kenal mengenal untuk mendorong ke jenjang pernikahan.

2. MAHAR
2.1 Defenisi Mahar

(a).Mahar dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi.

2.2. Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan pada BAB V Tentang  Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal 38, diantara pasalnya :

Ø. Pasal 30 menjelaskan bahwan calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.
Ø. Pasal 31, penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam.
Ø. Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya. Dst

 (c).Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:
    1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.
    2. Hak rohaniah, deperti melakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan  tidak boleh membahayakan istri.

 (d).Para fuqaha berbeda dalam status mahar: apakah sebagai pengganti pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita atau ia sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah? Al-Bajuri telah mengkompromikan dua pendapat ini yang pada intinya;
1. Orang yang melihat lahirnya mahar sebagai imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan mahar sebagai kompensasi pemanfaatan alat seks wanita tersebut.
2. Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa sang istri bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri.

2.3. Syarat Sah Mahar
Ø           Mahar merupakan barang berharga.
Ø           Barang merupakan barang yang suci dan dapat diambil manfaat.
Ø          Tidak ada kesamaran, sperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang.
Ø           Bukan barang ghasab.
Ø           Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
Ø           Mahar mampu diserahkan.

2.4. Dalil Disyari’atkan Mahar

  (a).Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib.Suami,istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar.Dalil kewajiban mahar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT

    1.  (Surat An-Nisa' Ayat 4). [11]


   “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” 

2.    (Surat An-Nisa' Ayat 5 ):
   “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”

 3 .(Surat An-Nisa' Ayat 6 ):
 4. (Surat An-Nisa' Ayat 7):
   “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.

 5.(Surat An-Nisa' Ayat 8 ):
    Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

 6. (Surat An-Nisa' Ayat 8):
     Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

  7.(Surat An-Nisa' Ayat 9):
     Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.


 8. (Surat An-Nisa' Ayat 10):


     Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

 9. (Surat An-Nisa' Ayat 11):

     Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

10. (Surat An-Nisa' Ayat 12 ):

   “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.

11.(Surat An-Nisa' Ayat 13 ):


   “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”.

12.(Surat An-Nisa' Ayat 14):

   “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan – ketentuan - Nya, niscaya Allah memasuk kannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”.

13.(Surat An-Nisa' Ayat 15 ):

   “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yangmenyaksikannya).
     Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.

   
  14. (Surat An-Nisa' Ayat 16 ):

   “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

 15.(Surat An-Nisa' Ayat 17 ):

   “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

17. (Surat An-Nisa' Ayat 18 ):

   “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mer
     eka (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”.


     
\18. (Surat An-Nisa' Ayat 19 ):

   “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hen dak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepa danya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyu kai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

19. (Surat An-Nisa' Ayat 20 ):


   “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”

20. (Surat An-Nisa' Ayat 21 ):

   “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
     21. (Surat An-Nisa' Ayat 22):

   “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

22. (Surat An-Nisa' Ayat 23 ):

   “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
    23. (Surat An-Nisa' Ayat 24 ):

   “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

23.(Surat An-Nisa' Ayat 25 ):

   “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

    24. (Dalam Surat Lain Surat Al-Ahzab Ayat 49).  [12]
Hasil gambar untuk IMAGE aL AHZAB  ayat 49
   “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.


















Referensi /rujukan :
[11]. Surat An-Nisa' Ayat 4-25. QS.
[12]. Dalam Surat Lain Surat Al-Ahzab Ayat 49. QS.
(b).Penjelasan Makna umum ayat 4 di atas tadi :
     Khithab ayat ini ditujukan untuk suami dan wali perempuan. Allah memerintahkan kepada mereka untuk memberikan mahar kepada wanita/istri sebagai pemberian suka rela. Perintah ini merupakan kewajiban. Dan kalau si istri berbaik hati, memberikan secara ikhlas dari mahar tersebut, baik sebagian atau malah seluruhnya, maka suami/wali boleh memakannya dengan penuh kelahapan dan berharap makanan tersebut akan membawa akibat baik.

(c).Penjelasan dan hikmah Serta mamfaat:
      1.Dalam ayat sebelumnya, diterangkan keharaman kedhaliman terhadap anak yatim yang dinikahi, dengan berbagai bentuk kedhaliman termasuk diantaranya adalah dengan tidak memberikan mahar yang lanyak untuknya.Maka, pada ayat ini Allah menegaskan perintah pemberian mahar untuk istri.
      2.Perintah memberikan mahar tidak hanya tertuju bagi suami yang menikahi perempuan, tetapi juga untuk orang tua. Hal ini karena dalam tradisi Arab jahiliah, anak perempuan itu seperti diperdagangkan. Kalau mau menikahkan, orang tua minta mahar yang mahal agar bisa menguasai harta tersebut. Bahkan tradisi buruk semacam itu masih berlangsung samapai sekarang dibeberapa kalangan masyarakat. Karenanya Islam dengan tegas menghapus tradisi itu, dan mahar dijadikan hak mutlak istri (wanita). Menurut Imam Al-Qurthubi, kewajiban memeberikan mahar kepada isteri, merupakan sesuatu yang telah disepakati para ulama.
     3.Kata نِحْلَةً :walaupun artinya adalah pemberian suka rela. Tapi disini dijadikan sesuatu kewajiban. Penggunaan kata tersebut, dimaksudkan bahwa ketika suami memberikan mahar kepada istri itu harus penuh keikhalasan. Didasari kecintaan dan kesenangan hati untuk memberikan dengan tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun dari pihak manapun.
      4.Secara umum, kita diperintahkan untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Sebagaimana dalam kalam Allah (Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.). Termasuk dalam hal ini adalah apa yang diberikan kepada istri berupa mahar. Meskipun ada hadits ”Sebaik-baik wanita adalah yang paling mudah maharnya” (HR. Ibnu Hibban). Hal Itu bukan berarti pihak laki-laki semena-mena dalam memberikan mahar. Karena hadis ini lebih tertuju kepada pihak perempuan atau walinya untuk tidak mempersulit dan meninggikan mahar yang diinginkan. Sehingga mempersulit terjadinya pernikahan yang mengakitbatkan berbagai kerusakan dimasyarakat. Seperti banyaknya perawan tua, berbagai pelecehan seksual dan kerusakan akhlak pemuda. Maka kewajiban bagi pemerintah atau individu yang mampu untuk memberikan solusi terhadap kendala sulitnya pernikahan.
     5.Mahar adalah hak mutlak istri, suami tidak boleh memintanya. Kalaupun meminjamnya haruslah dengan izin sang Istri. Karena pernikahan itu bukan berarti menghilangkan hak-hak Istri. Walaupun bagi suami istri berhak untuk membuat kelonggaran diantara mereka. Yang penting tidak terjadi kedholiman dalam kelarga. Karenanya, mahar yang diberikan secara hutang (tidak kontan) tetapsudah menjadi hak istri walaupun belum diterima, sehingga kapanpun istri memintanya, suami wajib memberikannya. Menurut Imam Zamakhsyari ”ayat ini untuk memperketat agar suami tidak semena-mena kepada istri, lalu meminta atau memaksa istri untuk memberikan maharnya.”
      6.Seorang istri apabila memberikan maharnya –seluruh atau sebagian- dengan ikhlas tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka suami boleh menerimanya, untuk apa saja, meskipun dalam ayat ini memakai redaksi “makanlah”. Hal karena umumnya orang bekerja apa saja itu untuk  mengisi perut.
     7. هَنِيئًا مَرِيئًا, artinya yang kamu makan itu 100% halal. Allah menyatakan ini karena mungkin orang merasa tidak enak, kurang sreg untuk menggunakan mahar istrinya meskipun si istri memberikannya secara suka rela. Sebagian ahli tafsir menggunakan potongan ayat ini untuk menegaskan bahwa apa yang kita hasilkan dari kerja yang halal akan membawa minimal dua hal, yaitu kalau kita makan merasa tenang, dan membawa kesehatan dan kesejahteraan. Berbeda dengan harta yang haram, walaupun makanannya enak, belum tentu membawa mari`a (manfaat baik untuk tubuh kita), secara fisik maupun non fisik. Non fisik seperti dimudahkan badan untuk beribadah dan berkarya mulia.
     8.Tersirat dalam ayat ini bahwa hukum aslinya mahar itu harus berupa materi, karena bisa diberikan dan dirasakan kemanfaatannya oleh istri. Walaupun para ulama berdasarkan riwayat beberapa hadits membolehkan mahar dengan berupa bacaan atau hafalan Al-Qur`an selama istri rela. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan kondisi seseorang yang kesulitan untuk menikah.
      9.Bolehkah istri meminta kembali mahar yang telah diberikanya kepada suami? Ada perbedaan pendapat, namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa hak dia untuk menarik kembali mahar yang telah diberikannya. Karena kalau dia betul-betul memberkan ikhlas karena Allah, pasti tidak akan meminta lagi. Artinya, kalau meminta kembali itu berarti dia tidak ikhlas. Khalifah Umar bin Khathab menulis untuk seluruh hakim, bahwa ketika wanita memberikan hartanya, baik dengan suka rela atau terpaksa, kemudian  menarik kembali maka dia berhak untuk mengambilnya lagi.

(d).Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. Kepada orang orang yang hendak menikah Telah Diriwayatkan  (HR. Muslim):

اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمَ مِنْ حَدِيْدِ
     “Carilah walaupun cincin besi”.

2.5.Ukuran Mahar
     Ahli Fuqaha sepakat

      bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangan yang sesuai. Tidak ada dalam syara’ atau dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya. Sekalipun ahli fuqaha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyognyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang. Ahli Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak.  Ahli Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku.

2.6.Benda yang Layak Dijadikan Mahar
      Ahli Fuqaha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas, dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi anjing, bangkai, dan khamr dan sejenisnya.

2.7. Macam-macam Mahar  Mahar ada du macam yakni:
      1. Mahar Musamma yang Disebutkan
  Maksudnya adalah mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada   saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar. Mahar musamma di bagi menjadi dua macam :
 1).Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnah.
2).Mahar musamma ghairu mu’ajjal, mahar yang ditanggauhkan/tempo.
Ulama fukaha’  sepakat bahwa dalam pelaksanaan mahar musamma, harus diberikan secara penuh apabila :
a.   Telah bercampur (bersenggama)
b.   Salah satu dari suami isteri meninggal.
Demikian menurut ijma’ para  ahli fuqaha.

2.Mahar Mitsil (mahar yang sama)
    Maksudnya adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan tunggal bapak.

 2.8.Hikmah Disyari’atkan Mahar
1.  Mahar disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. [13]
2.  Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena  maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an  diistilahkan  dengan  nihlah  (pemberian  dengan  penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita.
3.  Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4.  Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya lakilaki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang  terhadap isterinya.[14]







[13] . Mahmud  Yunus,  Hukum  Perkawinan  Dalam  Islam,  Jakarta:  PT  Hidakarya  Agung, 1986, hlm. 83.
[14] . Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari‑Hari, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 674.
BAB. III
PENUTUP
C.KESIMPULAN

Pinangan adalah satu hal yang dianjurkan dalam islam sebelum dilakukan aqad nikah, seorang perempuan bisa dikatakan sangat bahagia saat dirinya dipinang oleh seorang laki-laki yang akan menjadi calon suaminya, begitu juga seorang laki-laki yang sangat ingin meminang seorang perempuan yang ingin dijadikannya sebagai calon isterinya. Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.  Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi. Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada BAB V  Tentang Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal 38, Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya: 1.Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. 2.Hak rohaniah, deperti melakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Amru Mun’im Salim.2008. Panduan Lengkap Nikah. Solo:Daar an-naba’
Al-Qur’an Digital: surat Al-Baqarah ayat 235
Prof.Dr. Syarifudin, Amir.2007.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.Jakarta:kencana prenada media grup
Dr.As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga pedoman berkeluarga dalam islam.Jakarta:  Amzah.
Dr. Nashih, Abdullah ‘Ulwan. 2006. Tata Cara Meminang Dalam Islam. Jakarta: Qisthi Press
DR. M. Ahmad, Sayyid Al-Musayyar. 2008. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah Tangga, Kairo Mesir:Erlangga
DR. Qaradawi, Yusuf. 2007.Halal dan Haram. Jakarta:Jabal.
Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Fuad, Syaikh Shalih. 2009. Untukmu yang akan Menikah dan Telah Menikah.Jakarta Timur  Pustaka Al-Kaustar
Ibn Anas, Imam Malik. 1999. Al-Muwatta’. Jakarta: Rajawali Pers
Prof.Dr.Amir Syarifudin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: kencana prenada media grup, 2007),  hlm.50
Prof.Dr. Ghozali, Abdul Rahman, M.A.2003.Fiqh Munakahat.Jakarta:Kencana
Prof.Dr. Muhammad Azam, Abdul Aziz dan Prof. Dr. Sayyid Hawwas, abdul Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Sabiq, Sayyid. 2003. Fiqh Sunnah Juz 2. Kairo:Darul Fath
Sabbiq, Sayyid. 2008. Fiqh Sunnah Jilid  3. Jakarta:Dar Fath Lil I’lami al-araby.
Nashiruddin, Muhammad Al-Albani. 2006. Shahih Sunnah Nasa’i jilid 2. Jakarta:

[1]Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, hlm.  8.
[3]Slamet Iskandar, Drs., Op-cit, hlm. 45.
[4] Muhammad Abi Zahrah, Al-Ahwal Asy- Syakhshiyah, hlm. 31-32.
[5] Bidayat Al-Mujtahid, juz 2, hlm.  3.
[6]Al-Mughni, juz 6, hlm.  554.
[7] Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm.  103.
[8] Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm.  104.
[9] Dr. Muhammad Abdul Hay, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah fi Az-Zawaj Ath-Thalaq wa Al-Mirats wa Al-Waasyiyah
[10]Koran harian di Mesir 1410 H/1989 M
[11]Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga.(Jakarta: Sinar Grafika Offset) 2010. Hal,95-98.
[12] DRS.H. Imron Abu Amar.Fat-hul Qarib Jilid 2. (Kudus: Menara Kudus)1983.hal;32.
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2 (Jakarta, Balai Pustaka, 1994) 4
[16] Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Bandung: PT.AL Ma’arif, 1981.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah