Wali Nikah Menurut Pendapat Empat Madzhab
|
Abstract:
Marriage is sunnatullah for all living things in this world. Marriage is carried out by humans Status of Waliin Marria Study perspective Malikiyah,Syâfi’îyah, Hanafîyah, and Hanabilah the Practices in Indonesia. The existence ofIslam is to bring virtuous value and one of which is marriege. Marriege is virtuous value with emergency characteristic that is to preserve honor and descendantand the one who can protect them is the wali. Ulamas have different opinion on this wali issue. Not only the opinions that are diverse but also the practises in various Muslim countries, including Indonesia. Both Ulamas share the same opinion on a wali must be an adult and mentally conscious Muslim.The diffference is Syâfi’îyah ulama persist that a wali must be male and objective while hanafiyah ulama allows a fâsiq and women to be a wali.
Keywords: Marriage guardian according to the four schools of thought
Abstrak:
Perkawinan
merupakan sunnatullah bagi
semua makhluk hidup
di dunia ini.
Perkawinan dilakukan oleh manusia. Kedudukan Wali dalam Pernikahan
dan Studi Pendapat
Malikiyah Syâfi’îyah, Hanafiyah, dan hanabilah, Praktiknya di Indonesia.
Islam hadir membawa kemaslahatan, salah satunya adalah pernikahan.
Pernikahan merupakan kemaslahatan
yang bersifat dharuri
yakni untuk memelihara
kehormatan dan keturunan.
Jika kemaslahatan ini
tidak terpelihara maka
akan menimbulkan kerusakan.
Salah satu hal
yang dapat menjaga
kehormatan dan keturunan
adalah wali. Para
ulama memiliki pemahaman berbeda mengenai wali. Bukan hanya
perbedaan pendapat di masing-masing ulama, namun juga prakteknya di berbagai
negara muslim, termasuk indonesia. Persamaan pendapat antara kedua ulama
tersebut adalah wali harus seorang islam, dewasa dan berakal, sedangkan
perbedaannya menurut ulama Syâfi’îyah wali harus laki-laki dan adil sementara
ulama hanafiyah membolehkan seorang fasik dan wanita menjadi wali.
Kata Kunci: wali nikah menurut empat madzhab
A.Pendahuluan
Perkawinan merupakan
sunnatullah bagi semua
makhluk hidup di
dunia ini. Per-kawinan
dilakukan oleh manusia,
hewan, bahkan oleh
tumbuh-tumbuhan dalam rangka untuk me menuhi kebutuhan biologisnya dan
meneruskan keturunan. Manusia
sebagai makhluk ciptaan
Allah Swt. yang
memiliki kemuliaan dan
kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lainnya,
karena itu Allah
Swt. dan Rasul-Nya telah menetapkan aturan-aturan tentang
perkawinan demi untuk
memelihara kemaslahatan bagi
manusia itu sendiri.
Kemaslahatan yang
diciptakan dari lembaga
perkawinan adalah salah
satu ke-maslahatan yang bersifat
dharûri, yaitu untuk memelihara kehormatan dan keturunan. Jika
kemaslahatan ini tidak
ter pelihara akan
menimbulkan ke rusakan
dalam tatanan kehidupan
manusia yang pada
gilirannya tidak ada perbedaan
manusia dengan hewan, dan ini menempatkan posisi manusia sama dengan hewan
yakni kawin semaunya.
Suatu perkawinan
dianggap sah atau
mem punyai kekuatan
hukum jika pe-laksanaan perkawinan itu dilakukan sesuai
dengan ketentuan atau peraturan yang telah di
tetapkan oleh Sang Pembuat Hukum yaitu Allah Swt.
dan Rasul-Nya. Ketentuan-ketentuan perkawinan dalam hukum
Islam sudah diatur dalm
Alquran dan Hadis[1].
Namun demikian
ayat-ayat Alquran ada
yang qath‘î al-dilâlah (penunjukan lafaz atas maknanya pasti) dan
ada yang dzannî al-dilâlah (penunjukan lafaz atas maknanya tidak pasti). Begitu pula
dengan hadis, ada yang qath‘î al-wurud (pasti datangnya
dari Rasull Saw.)
dan ada yang
dzanni al-wurud (masih dugaan
keras berasal dari Rasul Saw.)[2]
Dalam suatu perkawinan
dianggap sah apabila
telah memenuhi syarat
dan rukun perkawinan
yang telah ditentukan
dalam hukum Islam. Adapun yang
menjadi rukun yang harus dipenuhi dalam perkawinan yaitu: Ada calon
mempelai laki-laki, ada
calon mempelai perempuan,
ada wali dari
pihak perempuan, ada
dua orang saksi,
dan ada akad
(ijab dan qabul).Fukaha
(ahli ilmu fikih)
berbeda pen-dapat dalam masalah
kedudukan wali dalam perkawinan.
Sebagian ulama
menyatakan wali sebagai
rukun perkawinan (ulama
Syâfi’îyah) dan sebagaian
lagi menyatakan wali sebagai syarat tetapi tidak mutlak,
karena dalam hal tertentu
wali tidak dibutuhkan.
Perbedaan ini disebabkan
karena dalil-dalil yang mereka pergunakan
sebagai alasan, baik yang mewajibkan maupun yang menidakan wali dalam perkawinan bersifat
dzannî al-dhalaâlah (masih
mengandung beberapa kemungkinan).
Selain itu Hadis-Hadis yang mereka pergunakan masih diperselisihkan tentang
keabsahannya (dzannî al-wurûd).
Penduduk Indonesia
sebagian besar adalah
umat Islam, karena
itu hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia harus
tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Hukum
Islam yang masuk
ke Indonesia merupakan hasil ijtihad para ulama dan dari
sekian banyak ijtihad ulama, ijtihad Ulama Syâfi’îyah yang banyak diikuti.
Dengan kata lain mazhab Syafi’i
merupakan mazhab yang
di anut oleh
mayoritas umat Islam
di Indonesia.
Mengingat
terjadi perbedaan pendapat tentang kedudukan wali dalam perkawinan Islam, maka
dalam tulisan ini akan dibahas dua perbedaan dari sekian banyak pendapat
mengenai masalah wali
dalam perkawin-an yaitu
pendapat Ulama Syâfi’îyah
dan Ulama Hanafiyah,
serta kenyataannya di
Indonesia. Hal ini
karena pada umum-nya
umat Islam di
Indonesia menganut mazhab
Syâfi’îyah.
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas maka tulisan ini memuat materi masalah
kedudukan hukum wali
dalam perkawinan yang dikemukakan
oleh ulama Syâfi’îyah dan ulama
Hanafiyah serta dalam
prakteknya bagi umat Islam di
Indonesia.
Secara
spesifik, perwalian, dalam literaturfiqh islam disebut dengan al-walayah
(al-wilayah), Secara etimologis,
al-walayah memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan
pertolongan (al-nashrah), seperti dalam penggalan ayat, “wa man yatwallallaha
wa rasulahu” dan kata “ba’dhuhum awliya’u ba’dhin”.
Adapun
yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum
islam), seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli ialah “kekuasaan/otoritas
(yanga dimiliki)” seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan
sendiri tanpa harus bergantung (terikat) pada izin orang lain.
Dalam
Ayat 9 At-Taubah, berarti kekuasaan/otoritas (as-sulthah wal-qudrah), seperti
dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mepunyai kekuasaan. Hakikat dari
al-walayah (al-wilayah) adalah tawalliy al-amr (mengurus/menguasai sesuatu).
Atas dasar pengertian semantik, kata wali dapat dipahami alasan hukum Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya. Hal ini karena ayah adalah orang yang paling dekat, siap menolong, serta mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah, dan seterusnya.
B.Pembahasan
Pengertian Wali dalam IslamSebelum penulis
membicarakan masalah wali dalam perkawinan perlu dikemukakan
pengertian perwalian. Adapun
penger tian perwalian dalam istilah
fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan
oleh agama kepada
seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.[3]
Mengenai perwalian ini mayoritas ulama membagi wali
menjadi tiga macam, perwalian atas
barang, perwalian atas
orang, dan perwalian
atas barang dan
orang secara bersama-sama.[4]
Dari
uraian-uraian tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa
orang yang diberi kekuasaan atas sesuatu
disebut wali. Dari beberapa macam
perwalian di atas
yang akan dikupas, yaitu “segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “wali” dimempunyai banyak makna, antara lain:
1. Orang yang
menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta
hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2. Pengasuh
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki).
3. Orang saleh
(suci), penyebar agama.
4. Kepala pemerintah, dan sebagainya.
C.Pandangan Hanafiyah tentang wali
Sebagaimana diketahui bahwa mazhab Hanafiyah menyandarkan pada rasionalitas dalam membuat keputusan hukumnya. Hal ini terlihat ketika mereka berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan, bukan rukun perkawinan. Ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah terdiri atas ijab dan qabul. Status wali menjadi syarat sahnya perkawinan khusus anak kecil, baik perempuan maupun laki-laki, orang gila (majnun perempuan/laki-laki) meskipun orang dewasa. Adapun orang dewasa yang sudah baligh, baik janda maupun gadis tidak berada dalam kekuasaan wali, cukuplah kedua mempelai tersebut dengan akad nikah (ijab/qabul) dengan syarat keduanya kafaah
Rasionalitas tentang wali dalam pandangan Hanafiyah didasarkan bahwa akad nikah sama dengan akad jual-beli. Oleh karena itu, syaratnya cukup dengan ijab dan qabul. Selain itu, secara istidhlal, Hanafiyah berpandangan bahwa Al-Qur’an ataupun hadits yang dijadikan hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan isyarat bahwa wali tersebut sebagai rukun nikah.
Dalam mazhab Hanafiyah, landasan Al-Qur'an dan hadis yang
dijadikan sebagai dasar pijakan tidak perlunya wali adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 230
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui."
2.
Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 232
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ
مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ
وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
3.
Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 234
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."
Adapun
hadits-hadits Nabi SAW, yang dijadikan sebagai dasar tidak diperlukannya wali
dalam mazhab Hanafiyah, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh jama'ah, kecuali Bukhari dan Ibnu 'Abbas ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw.: Artinya: “Janda-janda lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya, sedang gadis dimintai izinnya. Izinnya adalah diamnya.”
2. Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Artinya: “Wali tidak mempunyai urusan mengenai wanita tsaib, dan yatimah diminta pendapatnya dan diamnya adalah pengakuannya.”
3. Hadits yang datang mengenai pernikahan Nabi dengan Ummi Salamah. Ketika Nabi mengutus wakilnya untuk meminang kepadanya langsung, Unmi Salamah berkata, "Tidak ada seorang pun diantara wali saya yang hadir, bersabda Rasulullah SAW.: Artinya: "Tidak ada seorang pun diantara walimu yang tidak suka, baik ia hadir, maupun ia tidak hadir”.
Oleh karena itu, dalam mazhab Hanafiyah, posisi wali itu tidak mutlak dan kalaupun ada, hanya diperuntukkan kepada wanita yang masih gadis (belum dewasa). Bahkan, dalam tulisan Abu Zahrah yang dikutip Jawad Mughniyah, disebutkan: Mazhab Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, orang yang dipilihnya itu se-kufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Akan tetapi, apabila dia memilih seorang laki-laki yang tidak se-kufu dengannya, walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mistil, qadhi boleh diminta untuk membatalkan akadnya apabila mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.
Meskipun status wali dalam mazhab Hanafiyah seperti itu, mazhab Hanafi memilki urutan perwalian: “... urutan pertama perwalian itu berada di tangan anak laki-laki wanita yang akan menikah, sekalipun anak laki-laki itu hasil zina. Kemudian, berturut-turut cucu laki-laki (dari pihak anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya.”
D.Pandangan
Malikiyah tentang wali
Imam Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa "Tidak terjadi pernikahan, kecuali dengan wali. Wali adalah syarat sahnya pernikahan sebagaimana riwayat hadits Asyhab". Atas pemikiran Malik, para pengikut Imam Malik atau dikenal dengan Malikiyah, lebih tegas berpendapat,"Wali adalah rukun dari sebagian rukun nikah, tidak sah akad nikah tanpa adanya wali". Dasar keharusan wali dalam nikah dalam mazhab Maliki dan mazhab yang sepakat terhadap wali sebagai syarat sahnya pernikahan adalah surat Al-Baqarah ayat 232 dan 221. sebagaimana dijelaskan di atas.
Adapun hadits yang sudah masyhur yang dijadikan sebagai dasar keharusan wali dalam pernikahan adalah: Hadits Nabi SAW. lain yang dijadikan dasar hukum wali bagi mazhab Maliki ataupun mazhab yang menyetujuinya, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Artinya: " Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil".
Berdasarkan
pemahaman tersebut, mazhab Maliki berpendapat, jika wanita baligh dan berakal
sehat itu masih gadis, hak menikahkan dirinya ada pada wali. Akan tetapi, jika
janda, hak itu ada pada keduanya. Wali tidak boleh menikahkan wanita janda itu
tanpa persetujuannya. Sebaliknya, wanita itu pun tidak boleh menikahkan dirinya
tanpa restu sang wali. Sekalipun demikian, pengucapan akad adalah hak wali.
Akad
yang diucapkan hanya sekali, walaupun akad itu memerlukan persetujuannya. Lebih
jelas lagi, diuraikan oleh Aj-Juzairi tentang urutan wali dalam mazhab Maliki,
terutama kewenangan khusus wali mujbir sebagai berikut urutan wali dalam
pernikahan sebagai berikut wali mujbir adalah:
1. Bapak dan penerima wasiat dari ayah dengan
ucapan: kamu adalah wasiatku untuk menikahkan anakku dan seterusnya;
2. Kakek;
3. Penguasa (malik) karena ia memiliki kekuasaan umum.”
E.Pandangan
Syafi’iyah tentang wali
Mazhab Syafi’iyah, dalam hal ini diwakili oleh Imam Taqiuddin Abi Bakar ibn Muhammad Al-Husaini Al-Husyna Ad-Dimsyiqi Asy-Syafi’i dalam kitabnya Kifayatu Al-Akhyar fi Gayah Al-Ikhtisyar, dijelaskan bahwa “Wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.” Dasar wali yang digunakan dalam mazhab Syafi’iyah sebagai berikut: QS. Al-Baqarah ayat 232, Artinya: “...Maka jangan kamu menghalangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya...”
Ayat
diatas, diturunkan kepada Mu’qil ibn Yasar ketika menolak untuk menikahkan
saudara perempuannya yang ditalak oleh suaminya. Demikian pula, tulisan
As-Son’ani menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Mu’qil ibn
Yasar yang menolak menikahkan saudara perempuannya yang ditalak raj’i oleh
suaminya. Menurut Imam Syafi’i. Ayat ini jelas sekali menunjukkan status wali
sebagai hal yang wajib dalam pernikahan.
1. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban:
Artinya: “ Tidak ada nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil
dan tidak nikah selain seperti itu, maka nikahnya batil.”
2. Landasan ketiga dari mazhab Syafi’iyah adalah qaul Syafi’i: Artinya: “Tidak sah akad nikah, kecuali dengan wali laki-laki dan jika terjadi akad nikah seorang perempuan maka akadnya batal.”
Secara
umum, ulama Syafi’iyah membedakan wali menjadi wali menjadi tiga, yaitu wali
dekat (aqrab), wali jauh (ab’ad), dan wali hakim. Bagi imam Asy-Syafi’i, pihak
yang berhak menjadi wali adalah ayah dan keluarga pihak laki-laki.
Adapun
urutan wali pernikahan adalah salah
satu elemen yang penting dalam akad pernikahan adalah wali yang merupakan satu
rukun akad nikah. Dalam akad nikah, seorang wanita harus diwakili oleh seorang
wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا
كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)
Dalam
kesempatan ini, kami pihak lbm.mudimesra.com akan menyajikan penjelasan tentang
urutan tertib wali pernikahan.
Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah.[5]
Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita bikr (wanita yang belum pernah di jimak dalam pernikahan yang sah). Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.[6]
Ketika
keduanya tidak ada (tidak ada secara hissi atau secara syar`i) maka hak
perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah
yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut:[7]
1.
Saudara laki-laki seibu sebapak
2.
Saudara laki-laki se bapak
3.
Anak saudara laki-laki se ibu sebapak
4.
Anak saudara laki-laki sebapak.
5.
Paman seibu sebapak
6.
Paman sebapak
7.
Anak paman se ibu sebapak
8. Anak paman sebapak.
Perwalian
dengan kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan
wali nasab.
Selanjutnya apabila wali nasab tidak ada (baik tidak ada pada hissi maupun tidak ada dalam pandangan syara`) maka berpindah kepada wali dengan sebab wila`. Wila` merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tiq). Selanjutnya bila maula mu`tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada `ashabah maula mu`tiq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.[8]
Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita adalah KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada. [9]
Hal
ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ
لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya:“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)
Perwalian
sulthan/hakim hanya terjadi dalam kondisi sebagai berikut:
1. Tidak ada wali sama sekali.
2. Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah
(± 86 km) dan pada tempat tersebut tidak ada wakil dari wali aqrab.
3. Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.
4. Tidak diketahui keberadaan wali aqrab dan
belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan
apabila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal, maka hak
perwalian berpindah kepada wali ab’ad.
5. Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan
wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki
yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang
juga sekufu. Keengganan wali aqrab untuk menikahkan tersebut harus berdasarkan
ketetapan hakim, dimana hakim telah memanggil wali dan dan kedua calon mempelai
kemudian hakim memerintahkan kepada wali untuk menikahkan mempelai wanita
tetapi wali tersebut enggan menikahkannya. Maka pada saat demikian hakim boleh
menikahkannya segera dengan laki-laki yang sekufu. Namun apabila hakim
memerintahkan kembali sampai tiga kali dan wali aqrab menolak menikahkan wanita
tersebut sampai tiga kali, maka wali tersebut di hukumi fasek apabila amalan
taatnya tidak lebih besar dan hak perwalian wanita tersebut berpindah kepada
wali ab`ad.
6. Wali sedang melakukan ihram.
7. Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada) maka yang menjadi wali adalah hakim.
Secara umum ketentuan (dhabit) kondisi yang menyebabkan hakim menjadi wali nikah adalah “Apabila hak wali masih berada pada wali aqrab tetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak perwalian berpindah ke di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”.[11]
Hal-hal
yang menghilangkan hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak,
gila, fasik , hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar)
karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad.[12]
Apabila tidak diperdapatkan wali yang telah di sebutkan di atas, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam.
F.Muhakkam
tidak berhak menjadi wali nikah kecuali
1. Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab
(atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada
wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam
tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang
memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua
calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.
2. Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid.[13]
Dalam
qaul qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hak perwalian saudara kandung dan
saudara sebapak adalah sama (sejajar), karena wali nikah ditentukan berdasarkan
nasab laki-laki.
Adapun dalam qaul jadid, Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa saudara kandung lebih berhak untuk menjadi wali perkawinan atas saudara sebapak; karena mereka lebih berhak mendapatkan ‘ashabat (harta waris sisa) dalam pembagian harta pusaka. Urutan wali terakhir dalam mazhab Syafi’i adalah sulthan (hakim). Sebagaimana hadits Nabi SAW., yang menyebutkan: artinya: “Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”
G.Pandangan
Hanbali tentang wali
Mazhab Hanbaliyah dalam memandang wali, pada dasarnya sama dengan mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah. Ketiga mazhab tersebut berpendapat bahwa wali itu sangat penting (dharuri) dalam pernikahan. Adapun pengambilan dalil mazhab Hanbaliyah, termasuk kelompok ulama Jumhur, tentang keharusan adanya wali berdasarkan Al-Qur’an adalah:
1.
Q.S An-Nur [24]: 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."
2.
Q.S Al-Baqarah [2]: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya:"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Landasan
normatif (hadits) tentang wali yang digunakan dalam mazhab Hanbali, meskipun
sama dengan mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah, tetapi berbeda redaksi haditsnya,
sebagai berikut:
1. Artinya: “Dari Abu Burdah ibn Musa dari bapaknya berkata, Rasulullah SAW. Bersabda, ‘ Tidak ada nikah, kecuali dengan wali’.” (H.R. Ahmad dan empat Imam hadits dan telah disahihkan oleh Ibnu Madini, dan Ibnu Hiban)
2. Artinya: “Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Nabi bersabda, ‘Siapa saja yang menikah tanpa seizin walinya, pernikahan itu batal (diucapkan tiga kali)’.” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.: Artinya: “Sesungguhnya nikah tanpa wali adalah batil.”
Berdasarkan landasan tersebut, mazhab Hanbaliyah menetapkan bahwa wali itu wajib dan harus ada dalam pernikahan. Ia menjadi rukun diantara rukun-rukun nikah. Pernikahan tanpa wali adalah tidak sah baik kepada orang yang sudah dewasa atau belum dewasa. Adapun susunan wali dalam mazhab Hanbaliyah, sebagai berikut, bapak, penerima wasiat bapak jika meninggal, hakim (sulthan) ketika diperlukan; mereka adalah para wali mujbir (yang memaksa); seterusnya wali akrab seperti dalam waris.
Posisi wali mujbir berlaku kepada orang yang belum dewasa, baik gadis maupun janda, dan usianya dibawah 9 tahun. Adapun apabila usianya 9 tahun dan ia janda, wali tidak memilki hak untuk memaksa, tetapi hanya meminta izinnya. Hak memaksa (ijbar) berlaku kepada gadis yang sudah dewasa, baik sehat maupun gila maka bapak berhak menikahkan tanpa harus ada izin dari keduanya, kecuali pasangan (calon) ada cacat maka berlaku hak hiyar untuk membatalkan perkawinan tersebut.
H.Persamaan
dan perbedaan empat mazhab fiqh dalam masalah wali #
1.Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah sepakat keharusan adanya wali, baik gadis maupun janda, baik dewasa atau belum dewasa. Sedangkan, Hanafiyah berpandangan bahwa keharusan adanya wali hanya untuk gadis yang belum dewasa (shagirah) dan yang dewasa tetapi gila (kabirah mazjunah). Adapun bagi yang dewasa dan berakal sehat,baik gadis maupun janda, mereka mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri kepada orang yang dikehendaki.
2.Syafi’iyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa wali mujbir itu bapak dan kakek. Berbeda dengan Malikiyah, wali mujbir iyu bapak saja.
3.Syafi’iyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa wali ghairu mujbir itu bapak dan kakek. Berbeda dengan Malikiyah, yang berpendapat bahwa wali ghairu mujbir adalah anak laki-laki meskipun (anak hasil zina). Sedangkan Hanafiyah wali ghairu mujbir adalah anak laki-laki saja.
4.Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan Hanafiyah sepakat bahwa wali ab’ad dan wali hakim tidak boleh menikahkan ketika ada wali aqrab. Berbeda dengan Malikiyah bahwa urutan antara wali-wali nikah itu mandub (sunnah).
5.Syafi’iyaha,
Hanbaliyah, dan Malikiyah sepakat bahwa wali harus laki-laki, tidak sah wali
perempuan. Hanafiyah berpendapat bahwa wali perempuan boleh ketika tidak ada
wali laki-laki.
6.Semua mazhab sepakat bahwa wali nikah bisa diwakilkan atau diganti.
7.Mazhab Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan Malikiyah sepakat mewajibkan wali sebagai rukun nikah berdasarkan surat Al-Baqarah Ayat 232 dan hadits dari Aisyah. Adapun Hanafiyah menolak dasar tersebut karena terdapat kedhaifan hadits dan konteks ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan adanya wali
I.Penutup
Penulis mendapatkan kesimpulan bahwasanya hak ijbar wali dalam fiqih Indonesia (baca,KHI)dan Fikih Empat Mazhab berbeda. Kalau dalam KHI tidak ada ketarangan yang jelas menerangkan adanya hak ijbar wali dalam perkawinan bagi pihak wali. Hanya saja wali menjadi rukun dalam perkawinan. Jadi untuk untuk masalah wali tersebut ijbar atau bukan ijbar, tidak diperdebatkan dalam masalah wali nikah. Hanya saja kalau memang ada ijbar dari ayah kepada anaknya secara penuh yang harus menikah, maka hak ijbar wali ini tidak diperbolehkan, karena dalam KHI sendiri perkawinan itu harus tidak unsur paksaanya. Sedangkan Fikih Empat mazhab berpendapat hak ijbar wali diperbolehkan bagi siapa saja, baik itu anak kecil, gadis, baligh, atau perawan. Kecuali bagi janda tidak ada hakijbar wali, apabila sudah memenuhui syarat-syaratnya.
Persamaan dan perbedaan dalam masalah hak ijbar wali yang ada pada KHI dan Fikih Empat Mazhab adalah keduanya sama-sama tidak ada dalil atau dasar mengenai hak ijbar wali. Sedangkan perbedaanya dalam KHI itu tidak diperbolehkan adanya hak ijbar dan fikih Empat Mazhab adalah diperbolehkannya hak ijbar wali. Kecuali janda terjadi perselisihan
Daftar pustaka
abdullah,
Abdul Gani, Pengantar KHI dalam Tata
Hukum Indonesia, Jakarta:
Gema Insani Pres,
1994.
Basyir, Ahmad
Azhar, Hukum Perkawinan
Islam, Jogjakarta: Fak. Hukum UII, 1977
Dawud, Abu,
Sunan Abi Dawud,
Bairut: Dar al-Fiqr, 2003.
Hamdani,
al-, Risalah Nikah, terjemah: Agus Salim,
Jakarta: Pustaka Amani,
1989
Husayn,
al-, Taqiy al-Din, Kifayah al-Ahyar Fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar, Indonesia:
Darul Ihya, tt.
Husen, Ibrahim,
Fiqh Perbandingan dalam
Masalah Nikah Thalak
dan Rujuk, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971
Muchtar, Kamal,
Azas-azas Hukum Islam
Tentang Perkawinan, Jogjakarta:
Tiga A, 1974.
Muhy al-Dîn,
Muhammad, al-Ahwal al-Shahshiyyah, Bayrut: Maktabah Alamiyah,
2007.Muslim, Imam, Shahih
Muslim, Semarang: Thaha
Putra, tt.
Peraturan Pemerintah
RI Nomor 9
tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-
178| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011undang Nomor
1 tahun 1974
tentang perkawinan
Ramulyo, Idris,
Tinjauan Beberapa Pasal
tentang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Jakarta:
Indo Hilco, 1986
Shan’ani, al-,
Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, tt.Syafi’i,
Imam, al-Umm, Mesir: Maktabah
al-Halabi, tt.
Syairazi, al-,
Abi Ishak, al-Muhaddzab
Fi Fiqhi Imam Al-Syafi’I,
Semarang: Thaha Putra
t.t.Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Zahrah,
Abû, al-Ahwal al-Syahshiyah, Bairut: Darul
Fikri al-Arabi, 1957.
Zuhaylî, Wahbah,
al-Fiqh al-Islami wa
‘Adillatuhu, Syiria: Dar
al-Fikr, 20
Komentar