Warisan
KETETAPAN WARISAN MENURUT
KETETAPAN WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESI
NAMA: ABDILLAH
NIM: 20185405
GMAIL: tgkbeudibias@gmail.com
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Mayoritas Penduduk Indonesia Umat Islam Sehingga Ummat Islam Berkesempatan
peluang besar bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam
dan berhukum dengan hukum Islam. Namun
idealisme serta harapan ini bukanlah hal yang mudah seperti kita membalikkan
tangan, tapi butuh perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam
rangka merealisasikannya.
Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak
bersyukur, walaupun sampai saat ini hukum yang masih berlaku di Indonesia
adalah hukum konvensional alias bukan hukum Islam, namun ada beberapa
aspek-aspek kehidupan yang masih menerapkan hukum Islam. Di antaranya hal-hal
yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah
pembagian harta waris, sebagaimana yang banyak kita kenal dengan Istilah
“Kompilasi Hukum Islam (KHI)”.Dan sebagaimana kita ketahui bersama, KHI ini
banyak digunakan sebagai acuan ataupun dalil bagi Pengadilan Agama. Hukum Waris
Islam merupakan hukum yang harus kita jaga, semestinya sebagai umat Islam kita
harus mempelajari hukum waris dari Agama kita.Salah satunya adalah dari
Kompilasi Hukum Islam tersebut.Karena didalamnya kita dapat melihat nilai-nilai
Islam yang wajib untuk kita pelajari.
B.PEMBAHASAN
Kompilasi Hukum Islam Lahir Pada akhir dekade 1980-an
terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan
perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama,
pada tanggal 25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan
buku Kompilasi Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991,
mendapat legalisasi pemerintah dalam
bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh
instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu
dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.
Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Dengan lahirnya undang-undang ini, persoalan mengenai kewenangan atau kompetensi dan hukum acara Peradilan Agama menjadi berakhir meskipun dalam batas-batas tertentu masih dapat dipersoalkan. Kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang No.3 Tahun 2006 telah mengokohkan Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan. Secara hukum kedudukannya sudah tidak persoalkan lagi namun di sisi lain ia tidak mempunyai hukum materil atau hukum terapan unikatif. Untuk mengatasi persoalan ini, Kompilasi Hukum Islam hadir sebagai hukum positif yang diperlukan untuk landasan rujukan setiap Peradilan Agama.
C. Hukum Kewarisan
dalam Kompilasi Hukum Islam Orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus
tunduk pada ketentuan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Hal ini
didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang:
1. Perkawinan.
2. Waris.
3. Wasiat
4. Hibah.
5. Wakaf.
6. Zakat.
7. Infaq.
8. Shadaqah.
9. Ekonomi
syariah
Di dalam penjelasan Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa
bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan
atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing
ahli waris. Terdapat pembaruan yang cukup
menonjol dalam kompilasi hukum Islam, terutama jika dibandingkan dengan sistem
kewarisan yang dikembangkan oleh Ahlussunnah.
Cerminan
asas bilateral dalam kompilasi hukum Islam adalah pasal 174 ayat 2 yang
berbunyi : Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan
hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Kalimat pendek dalam pasal ini mengakhiri polemik panjang tentang apakah anak
perempuan dapat menghijab (menghalangi) sau\dara pewaris atau tidak. Sistem
kewarisan yang dikembangkan Ahlussunnah menegaskan bahwa hanya anak laki-laki
saja yang dapat menghijab saudara pewaris. Konsekuensi berikutnya dari
diterimanya asas bilateral adalah dikenalnya pranata pembagian tempat
(plaatsvervulling) dalam Kompilasi Hukum Islam. Ada perbedaan yang sangat
menonjol antar kedudukan cucu ( ahli waris dalam garis lurus ke bawah ) dari
anak laki-laki dan cucu dari anak
perempuan. Dua jenis cucu ini tidak mungkin mewaris bersama-sama, sebab
cucu dari anak laki-laki menghijab cucu dari anak perempuan. Cucu dari anak
laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris dzawil faraid atau ashabah, sedangkan
cucu dari anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris dzawil arham.
Ketentuannya adalah ahli waris dzawil arham baru mewaris apabila tidak ada ahli
waris dzawil faraid atau ashabah.
D.KETETAPAN WARISAN MENURUT KOMPILASI
HUKUM ISLAM
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI Hukum Islam
adalah hukum yang dibangun
berdasarkan pemahaman manusia berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara
universal dan relevan
pada setiap zaman kehidupan
manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung
dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaran-Nya
tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua
makhluk hidup.
Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara
muamalah, hakim pengadilan agama berpedoman kepada kitab fikih yang berasal
dari madzhab Syafi'i, yang penggunaannya
dapat dipastikan tergantung
pada kemampuan hakim-hakim pengadilan agama yang bersangkutan dalam
memahami secara utuh dan menyeluruh
kitab-kitab fikih tersebut.
Dampaknya
tidak menutup kemungkinan timbul
suatu putusan yang
berbeda-beda, walaupun perkara- perkara yang diajukan kepadanya
sama. Untuk itu, karena itulah pemerintah berupaya membuat hukum materiil
berupa hukum Islam yang berbentuk kodifikasi yang menjadi dasar nantinya
dijadikan landasan bersama dalam mengadili, sehingga tidak menimbulkan
disparitas perbedaan putusan.Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab
fikih sebagai referensi hukum materiil
di pengadilan agama melalui
Surat Edaran Kepala
Biro Pengadilan Agama RI.No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1985.
Hal ini dilakukan karena
hukum Islam yang
berlaku di tengah-tengah
masyarakat ternyata tidak
tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda- beda. Akan tetapi
penetapan kitab-kitab fikih
tersebut juga di anggap oleh pemerintah tidak menjamin kepastian
dan kesatuan hukum
di pengadilan agama.
Muncul persoalam krusial yang
berkenaan dengan tidak
adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum
terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang
mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk
menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia. Hal
ini disebabkan tidak
tersedianya kitab materi
hukum Islam yang sama.
Secara material memang
telah ditetapkan 13 kitab
yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang
kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan
persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim. Berbicara masalah
sejarah KHI tidak terlepas dari pengadilan Agama, karena
pengadilan agama merupakan lembaga sosial yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memutuskan perkara yang diajukan oleh orang yang merasa dirugikan haknya
oleh orang lain kepadanya (Pasal 49 Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama). Bustanul Arifin adalah
seorang tokoh yang
tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan
berikut:
1. Untuk
berlakunya hukum Islam di
Indonesia, antara lain harus ada hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2. Persepsi
yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan perdebatan
Ketidakseragaman
dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu),
3. Tadak
mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan
4. Akibat
kepanjangannya adalah tidak mampu
menggunakan jalan- jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.[1]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan
Surat Keputusan Bersama ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama
No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut
Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang
meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Kerja keras dari
anggota Tim, ulama-ulama, dan
cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindak
lanjuti dengan keluarnya
Instruksi Presiden Nomor 1Tahun 1991kepada menteri
Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan.
Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991
tanggal 22 Juli 1991. Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawir Sadzali,
MA
Seluruh
instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh
Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang tersebut. semenjak itu ide ini menggelinding dan
mendapat sambutan hangat dari berbagai
pihak. Kemunculan KHI di Indonesia
dapat dicatat sebagai sebuah
prestasi besar yang dicapai umat
Islam.
Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan Agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu, fikih yang selama ini tidak positif telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam di Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa Indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2] Dalam tulisannnya yang lain Bustanul Arifin mengemukakan lebih jelas mengenai ide kompilasi hukum Islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun MA membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama.
E. Pengertian
Waris
Dalam
sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab yang
artinya mewarisi.[3]
Jika dikaitkan dengan
kondisi yang berkembang di
masyarakat Indonesia, istilah
waris dapat diartikan
sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.[4] Hukum yang mengatur pembagian
harta warisan yang
ditinggalkan oleh ahli
waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima
dari peninggalan setiap
ahli waris yang berhak
menerimanya.[5]
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi
warisan yaitu perpindahan berbagai hak
dan kewajiban tentang kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.Selain kata
waris tersebut, kita juga
menemukan istilah lain yang berhubungan
dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Al-Warist,
adalah orang yang termasuk ahli waris yang
berhak menerima warisan.
2. Muwaris,
adalah orang mewarisi harta bendanya
(orang yang meninggal) baik secara hakiki
maupun hukmi karena
adanya penetapan pengadilan.
3. Al-Iris,
adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris yang berhak setelah diambil untuk kewajiban, diantaranya pengurusan jenazah, melunasi
hutang dan menunaikan wasiat.
4. Warasah,
yaitu harta warisan yang diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah,
seperti dalam Pasal 171huruf d KHI, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.[6]
F. Pewaris dan Ahli Waris
1. Tentang
pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b: “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan
ahli waris dan harta peninggalan.” Dari redaksi di
atas tampak bahwa
untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah
telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum. Hal ini sebagaimana
telah ditentukan oleh ulama tentang
syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain
meninggalnya pewaris baik secara
hakiki, hukum atau takdir. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris
juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris serta memiliki harta
peninggalan.
2. Kriteria ahli waris tercantum di
dalam Undang-undang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c yang
bunyi “Ahli waris
ialah orang yang
pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris” Dari Pasal 174, 181, 182 dan 185 KHI
dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri
atas :
a. Ahli waris
laki-laki, ialah ayah,
anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman, kakek dan suami.
b. waris
perempuan, yaitu ibu, anak
perempuan, saudara perempuan,
nenek dan isteri.
c. Ahli waris
yang dimungkinkan sebagai ahli waris
pengganti adalah cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.
Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI,
dapat disimpulkan syarat-syarat
sebagai ahli waris adalah; mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Tentang beragama Islam
bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas
atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan
bagi bayi yang
baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya.”Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah
seseorang yang dinyatakan mempunyai
hubungan kekerabatan baik hubungan darah
(nasab), hubungan sebab semenda
atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang
mewarisi seperti yang disebutkan di dalam pasal 173 KHI. Meskipun demikian
tidak secara otomatis setiap anggota keluarga
dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun
kriteria dalam pasal 173 KHI
telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si
mati dan ada juga hubunganya lebih jauh dengan si mayit. Didalam hal ini, para
ahli waris harus mengingat
urutannya masing-masing, dan
didalam urut-urutan penerimaan harta
warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada yang dekat
hubunga dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli waris karena
dari kelompok dzawil arham yaitu
orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli
waris utama.
d. Ahli
waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang
hubungan kekeluargaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka sebab
nasab menunjukkan hubungan
kekeluargaan antara pewaris
dengan ahli waris.
e. Ahli
waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena sebab tertentu,
yaitu :
1. Al
mushaharah yaitu perkawinan yang sah
2. Memerdekakan hamba sahaya (al wila’) atau karena adanya perjanjian tolong menolong.
G. Syarat dan Rukun Waris
Pada
dasarnya persoalan waris mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan
sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli
warisnya. Dan di dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta
warisan berpindah dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak
pewaris atau ahli waris.[7]
Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat
dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Dalam
KHI, ketentuan tentang kewarisan
diatur dalam Buku II, yang terdiri dari 23 pasal, dari Pasal 171
sampai dengan Pasal 193. Dalam berbagai ketentuan tersebut terdapat beberapa
hal yang tidak ada didalam fiqih klasik, tetapi ada dalam KHI, maupun ketentuan
yang seharusnya ada, tetapi tidak
dicantumkan dalam KHI. Adapun beberapa
ketentuan yang dimaksud diantaranya:
a. Besarnya
bagian laki-laki dan perempuan tetap dipertahankan sesuai dalil Al-Qur’an,
yaitu bagian laki-laki dua kali bahagian
perempuan;
b. Adanya
prinsip musyawarah dalam pembagian warisan (Pasal 183), bahwa para ahli dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya
c. Pembagian
waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik.
Pasal
189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa
lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar yang harus
dipertahankan dan dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya tetap dipegang oleh seorang
ahli waris saja. Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi
di dalam pembagian
harta warisan, Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Di
dalam hal ini
penulis menemukan tiga
syarat warisan yang
telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah :
1. Meninggalnya
seseorang (pewaris) baik secara haqiqi, hukmy,(misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya
ahli waris yang hidup secara haqiqi pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh
ahli waris diketahui secara pasti bagian-bagian
masing- masing.[8]
H. Adapun
rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun waris
dalam hukum kewarisan Islam ada tiga macam orang yang diwarisi harta
peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya muwaris benar-benart elah
meninggal dunia. Kematian seorang
muwaris itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1). Mati
Haqiqi (mati sejati). Mati haqiqi atau mati sejati adalah matinya muwaris yang
diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut
disaksikan oleh orang
banyak dengan panca
indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang nyata
dan jelas.
2). Mati
Hukmiy (mati menurut putusan hakim atau yuridis). Mati Hukmiy atau
mati menurut putusan Hakim
atau yuridis adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar
putusan hakim karena adanya beberapa
pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyakan
sudah meninggal meskipun
terdapat kemungkinan muwaris masih hidup.
3). Mati
Taqdiry (mati menurut dugaan) Mati taqdiri atau mati menurut
dugaan adalah sebuah
kematian muwaris berdasar dugaan
keras. Misalnya, dugaan
seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa
minum racun. Ketika bayinya lahir
dalam keadaan mati,
maka dengan dugaan
keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.[9]
I. Kekerabatan
baik hubungan darah (nasab), hubungan
sebab semenda atau
perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya
adalah pada saat
meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan
(al-haml). Terdapat juga syarat
lain yang harus dipenuhi, yaitu antara muwaris dan ahli waris tidak ada
halangan saling mewarisi. Al Mauruts atau al-miras, yaitu harta benda yang
menjadi warisan atau peninggalan simati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan
pelaksanaan wasiat.
J. Mengenai
Ahli Waris
Di
dalam Komplikasi Hukum Islam dapat diketahui, ada tiga macam ahli waris, yaitu
:
1. Dzawil
Furud,
2. Ashabah,
3. Mawali.
Sebagai
ahli waris dzawil furud disebutkan dalam Pasal 192 KHI. Kata dzawil furud
berarti mempunyai bagian. Dengan kata lain mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan di
dalam syariat, antara lain bagian :
1. ayah
2. ibu
3. anak
perempuan
4. janda atau
duda.
Anak
laki-laki tidak termasuk ke dalam ahli waris dzawil furud, tetapi masuk katagori ahli waris yang kedua,
yaitu ahli waris ashabah yang di dalam Kompilasi Hukum
Islam disebut oleh
Pasal 193. Ahli
waris ini mendapat bagian sejumlah sisa harta warisan,
setelah bagian para ahli waris dzawil furud diperhitungkan. Ahli waris ashabah
terdiri tidak kurang dari 19 macam, namun yang sering terjadi adalah :
1. Anak
laki-laki atau anak perempuan bersama anak laki-laki.
2. Cucu
laki-laki atau cucu perempuan bersama cucu laki-laki.
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara
laki-laki kandung atau saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki
kandung
6. Saudara laki-laki
seayah atau saudara
perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
Mengenai macam ahli waris ketiga
yaitu mawali atau
ahli waris pengganti. Kompilasi Hukum Islam menentukannya dalam
Pasal 185;
1. Ahli waris
yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris,maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka
yang tersebut dalam Pasal 173.
2. Bagian
dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.[10]
Secara
garis besar golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan kedalam 3 (tiga)
golongan, yaitu :
Ahli
waris menurut Al-Qur‟an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut
dzu fara’idh, yang terdiri atas :[11]
a) Dalam
garis ke bawah :
1). Anak perempuan;
2). Anak perempuan dari anak laki-laki
(Q.S. IV : 11).
b) Dalam
garis ke atas :
1)
Ayah;
2)
Ibu kakek dari garis ayah;
3)
Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. IV : 11).
c) Dalam
garis ke samping :
1)
Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah;
2)
Saudara perempuan tiri dari garis ayah; (Q.S. IV :176)
3)
Saudara lelaki tiri dari garis ibu; (Q.S. IV : 12)
4) Saudara perempuan tiri dari garis ibu. (Q.S. IV : 12)
d) Duda
e) Janda.
Dalam (Q.S. IV : 12) Ahli waris yang ditarik
dari garis ayah disebut ashabah, yang terdiri atas Ashabah binafsihi dan
ashabah bilghairi :[12]
a) Ashabah binafsihi
yaitu ashabah-ashabah yang berhak
mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut :
1). Anak
laki-laki;
2). Cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya masih
terus laki-laki;
3) Ayah;
4) Kakek
dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus dari pihak
ayah;
5) Saudara
laki-laki sekandung;
6) Saudara
laki-laki seayah;
7) Anak
Saudara laki-laki sekandung;
8) Anak
Saudara laki-laki seayah;
9) Paman
yang sekandung dengan ayah;
10) Paman yang seayah dengan ayah;
11) Anak laki-laki Paman yang
sekandung dengan ayah;
12) Anak laki-laki Paman yang
seayah dengan ayah.
b). Ashabah
bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita yang
menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk
dalam ashabah bilghairi ini adalah sebagai berikut :
1). Anak
perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki;
2). Saudara
perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki.
c). Ashabah ma’al
ghairi yakni saudara
perempuan yang mewaris bersama keturunan dari pewaris,
mereka itu adalah :
1) Saudara
perempuan sekandung, dan
2) Saudara perempuan seayah.
K. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzawill
arham.
Hazairin
dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral” memberikan perincian mengenai dzawil arham, yaitu : “semua orang yang bukan dzawil fara’id dan bukan
ashabah, umumnya terdiri atas orang yang termasuk anggota-anggota keluarga
patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau
anggota-anggota keluarga pihak ayah dan ibu.”[13]
Macam-macam
ahli waris jika ditinjau dari jenis kelaminnya, maka ahli waris terbagi menjadi
dua golongan yaitu, ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Para ahli waris perempuan
dan laki-laki jika semua masih hidup
jumlahnya ada 25 orang. Sepuluh ahli waris perempuan dan lima belas orang ahli
waris laki-lakiJika ahli waris laki-laki semuanya ada,
maka urut-urutannya adalah
sebagai berikut[14] :
1) Anak
2) Cucu
3) Ayah
4) Kakek
5) Saudara
Kandung
6) Saudara
seayah
7) Saudara
seibu
8) Anak
laki-laki saudara kandung
9) Anak
laki-laki saudara seayah
10) Paman kandung
11) Paman seayah
12) Anak paman kandung
13) Anak paman seayah
14) Suami
15) Orang yang memerdekakan dengan hak wala.
Jika ahli waris perempuan semuanya ada urutannya
sebagai berikut :
1) Anak
2) Cucu
3) Ibu
4) Ibu dari
ibu
5) Ibu dari
ayah
6) Saudara
kandung
7) Saudara
seayah
8) Saudara
seibu
9) Ibu
10) Orang yang memerdekakan dengan hak wala.
Ahli
waris diatas jika semuanya ada
(masih hidup dan tidak ada halangan)
maka yang mendapatkan warisan hanya lima orang yaitu :
a. Anak
perempuan
b. Cucu
perempuan dari anak laki-laki
c. Ibu
d. Istri
e. Saudara
perempuan sekandung
Apabila
seluruh ahli waris yang berjumlah 25orang
(laki-laki dan perempuan) semua ada, maka hanya 5 orang saja
yang berhak mendapat bagian, mereka adalah[15] :
a) Suami atau
istri
b) Anak
laki-laki
c) Anak
perempuan
d) Bapak
e) Ibu
L.
Sebab- sebab Yang Dapat Menghalangi Waris
Dalam
perjalanan perkembangan hukum Islam di
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
lahir setelah eksistensi Peradilan Agama
diakui dengan hadirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab himpunan atau
rangkaian kitab fikih
serta bahan-bahan lainnya
yang merupakan hukum materiil Pengadilan Agama dalam menyelesaikan masalah
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dalam bab II tentang ahli waris,
pasal173 huruf a dan b berbicara tentang penghalang kewarisan yang
berbunyi” Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim
yang telah mempunyai hukum tetap”, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat terhadap
pewaris;
b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
Dalam huruf a diatur tentang terhalangnya seseorang
untuk menjadi ahli waris yang pada dasarnya berupa kejahatan terhadap pewaris
yaitu membunuh, mencoba membunuh, dan menganiaya berat. Adapun halangan lainnya
seperti yang sudah disepakati
fuqaha yaitu perbedaan
agama tidak dikemukakan secara jelas dalam pasal ini.
Namun, KHI hanya menegaskan indikator untuk mengatakan bahwa seseorang itu
harus beragama Islam,17.[16] sebagaimana dalam pasal 172 berikut ini:
“Ahli waris dipandang
beragama Islam apabila
diketahui dari Kartu Identitas atau
pengakuan atau amalan
atau kesaksian, sedangkan
bagi bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”Percobaan
pembunuhan dan penganiayaan berat
sebagai bentuk tindak pidana tampaknya
baik dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah tidak
memberi pengaturan secara tegas bahwa tindakan tersebut dapat menghalangi
seseorang ahli waris untuk
mendapatkan warisan.
Percobaan
pembunuhan dan penganiayaan
berat kepada pewaris sebagai penghalang kewarisan merupakan hal baru yang tidak
ditemukan dalam dua sumber hukum tersebut. Sebagaimana dalam uraian terdahulu
dijelaskan bahwa walaupun fuqaha masih
berselisih pendapat mengenai
jenis pembunuhan yang menjadi
penghalang kewarisan namun pada
dasarnya mereka bersepakat
bahwa pembunuhan adalah perbuatan
yang menghalangi seseorang untuk
mendapat haknya sebagai ahli waris dari pewaris yang menjadi korbannya.
Pada masa lahirnya
pendapat para fuqaha
tersebut, belum ditemukan usaha atau cara untuk
memberikan pertolongan kepada korban yang sedang sekarat akibat
perbuatan seseorang yang ingin membunuhnya.
Sehingga bisa dipahami mengapa perdebatan fuqaha
pada masa itu hanya seputar jenis atau macam dari pembunuhan yang bisa menjadi
penghalang kewarisan. Akibat pesatnya perkembangan teknologi, alat-alat canggih yang menunjang ilmu kedokteran mulai
bermunculan dan hal tersebut mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan
dalam tindakan penyelematan
korban dan memberikan peluang besar untukkesembuhan korban. Berdasarkan
kenyata’an muncul istilah percobaan pembunuhan. Istilah ini muncul karena
perbuatan yang sudah direncanakan sejak awal oleh pelaku, gagal akibat suatu
hal yang menyebabkan niatnya untuk membunuh tidak terlaksana dengan sempurna. Usaha percobaan berarti suatu perbuatan yang menjadi bagian
dari serangkaian perbuatan yang apabila tidak terganggu akan dapat berakibat
dilakukannya kejahatan yang lebih besar.[17]
Para ulama tidak banyak berbicara tentang percobaan
melakukan tindak pembunuhan karena perbuatan
ini termasuk jarimah ta’zir yang banyak berubah sesuai ruang dan waktu,
kebiasaan, serta karakter suatu masyarakat.[18] Selain
itu, dengan adanya aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir
dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Karena hukuman had dan kifarat hanya
dikenakan atas jarimah-jarimah atau perbuatan yang dilarang oleh syara dan ditentukan
hukumannya oleh Tuhan
yang tertentu benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai)
sesuatu perbuatan yang dilarang hanya
dijatuhi hukuman ta’zir
dan percobaan itu sendiri
dianggap maksiat yakni
kejahatan yang telah
selesai juga, meskipun
merupakan satu bagian saja di
antara bagian-bagian lain yang membentuk kejahatan yang tidak selesai, selama
satu bagian itu sendiri dilarang[19].
M. Masalah-Masalah Dalam Pembagian Harta
Waris
1.Masalah
‘Aul; ‘Aul secara istilah adalah bertambahnya jumlah ash-habul furudh yang menyebabkan hak waris yang didapatkan para ahli
waris berkurang. Hal ini terjadi jika
jumlah ash-habul furudh sangat banyak dan ada sebagian dari mereka yang tidak
mendapatkan warisan karena telah habis dibagikan untuk sebagian mereka. Apabila
hal ini terjadi, maka yang dilakukan dalam pembagian waris menambahkan asal
masalah, sehingga warisan itu mencukupi dan dapat dibagikan untuk seluruh
ash-habul furud. Dengan demikian, bagian seluruh ahli waris akan dikurangi,
namun tidak ada ahli waris yang tidak mendapatkan bagian. Masalah ‘aul tidak
pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan juga pada
zaman Abu Bakar r.a. Akan
tetapi baru terjadi pertama pada
zaman Al-Faruq, Umar Ibnu Khathab r.a.
2. Raad
Raad
adalah kebalikan dari ‘aul, yaitu mengembalikan sisa dari harta warisa setelah
bagian tetap kepada ash-habul
furudh secara proporsional apabila tidak ada ‘ashabah. Raad
tidak terjadi dalam suatu keadaan, kecuali apabila terwujud tiga syarat
berikut:
a. Adanya ashabul furudh
b. Tidak adanya ‘ashabah
c. Adanya sisa harta waris
Jika dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus radd tidak akan terjadi. Raad dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan sisa harta waris yang ada. Hal ini disebabkan oleh kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi kekerabatan sababiyah yaitu karena sebab adanya ikatan tali pernikahan. Kekerabatan ini akan putus hanya dengan adanya kematian.
Contoh penyelesaian masalah rad :
Seseorang
meninggal dunia meninggalkan ahli waris ibu, dan seorang anak perempuan. Harta warisannya sebesar
Rp12.000.000. Maka penyelesaiannya sebagai berikut dalam tabel;
Ahli waris |
Bagian |
AM |
Harta warisan |
Penerimaan |
|
|
|
12.000.000 |
|
Istri 1/6 |
1 |
6 |
1/4x12.000.000 |
3.000.000 |
Satu Anak Pr |
1/2 |
3 |
3/4x12.000.000 |
9.000.000 |
Jumlah |
|
|
|
12000000 |
Catatan : Dari enam
dikurang (di raad) menjadi empat (Asal Masalah).
3. Anak Dalam Kandungan
Syarat
bahwa ahli waris itu berhak menerima warisan yaitu apabila ia hidup pada saat berlangsungnya kematian pewaris, maka
bayi dalam kandungan juga
berhak mendapat warisan
dari kerabat yang
meninggal. Janin yang masih dalam kandungan adalah subjek hukum, maka ia
berhak menerima warisan sebagaimana ahli waris yang lain, dengan syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Sudah
berwujud didalam rahim di kala pewaris meninggal dunia, meskipun masih
berbentuk embrio.
b. Dilahirkan
dalam keadaan hidup. Seperti sabda Nabi saw, apabila bayi yang dilahirkan itu
menangis keras maka ia boleh mewarisi
(HR Abu Daud).
4.
Kewarisan Orang yang Hilang (Mafqud)
Orang
hilang adalah orang yang tidak pernah diketahui lagi kabarnya, apakah dia masih
hidup atau sudah meninggal. Mengenai hatra waris orang yang hilang ini dibagi
menjadi dua. Pertama, orang lain yang mewarisi harta orang yang hilang, dan
kedua orang hilang yang mewarisi dari orang lain.
Beberapa
cara untuk penyelesaian pembagian harta warisan yang ahli warisnya ada yang
mafqud, yaitu:
a. Dikerjakan
dahulu beberapa bagian mereka
masing-masing sekiranya si mafqud dianggap masih hidup,
b. Dikerjakan lagi beberapa bagian mereka
masing-masing sekiranya si mafqud dianggap sudah mati,
c. Dan dari
dua cara penyelesaian tersebut maka
para ahli waris diberikan bagian yang terkecil dari dua
perkiraan. Sisanya ditahan untuk si mafqud, sampai persoalannya menjadi jelas,
baik melalui vonis pengadilan, maupun karena kadaluwarsa masa
tunggu.Contoh Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris
istri, ibu, saudara kandung. Harta warisannya sebesar Rp 36.000.000.
1) Bila si mafqud dianggap telah masih hidup lihat
tabel
Ahli waris |
Bagian |
AM |
Harta warisan |
Penerimaan |
|
|
12 |
36000000 |
|
Istri |
1/4 |
3 |
3/12x36.000.00 |
9.000.000 |
Ibu |
|
1/3 |
4/12x36.000.000 |
12.000.000 |
Saudara kandung sisa |
(12-7) |
5 |
5/12x36.000.000 |
15.000.000 |
Jumlah |
|
|
|
36.000.000 |
2) Bila si mafqud diperkirakan sudah mati lihat
tabel
Ahli waris |
Bagian |
AM |
Harta warisan |
Penerimaan |
|
|
12 |
|
36000000 |
Istri |
1/4 |
3 |
3/12x36.000.00 |
9000000 |
Ibu |
1/3+radd |
9 |
9/12x36.000.000 |
27000000 |
Jumlah |
|
|
|
36000000 |
Sesuai
dengan ketentuan bahwa bagian yang diberikan kepada para ahli waris ialah bagian yang terkecil
dari dua perkiraan si mafqud masih
hidup atau sudah
meninggal, maka bagian
yang diberikan kepada
istri adalah Rp 9.000.000 dan yang diberikan kepada ibu adalah Rp
12.000.000. Sedangkan sisanya Rp 15.000.000
ditahan untuk si mafqud
sampai jelas persoalannya.
5. Mati Serentak (mati beruntun)
Mati
serentak atau mati bersama adalah
orang-orang yang saling mewarisi sekaligus meninggal, tidak
diketahui siapa diantara mereka ayng meninggal terlebih dahulu, dan saipa yang
belakangan. Misalnya orang yang mempunyai
hubungan kewarisan tenggelam
bersama dalam kecelakaan kapal.
-
Contoh penyelesaian :
Seorang suami
istri mati bersamaan
dengan meninggalkan masing- masing Rp40.000.000 dan meninggalkan
ahli waris masing-masing seorang anak laki-laki.
Menurut
pendapat pertama :
a. Anak laki-laki dari suami menerima Rp
40.000.000 secara ashabah.
b. Anak laki-laki dari istri menerima Rp40.000.000
secara ashabah juga.
Sedangkan
suami tidak dapat mewarisi harta peninggalan siistri dan istri juga tidak dapat
mewarisi harta peninggalan suami. Menurut
Menurut
Pendapat kedua :
a.
Suami
mewarisi 1/4 bagian
dari harta peninggalan
istri, yakni
Rp10.000.000.
b.
Istri
mewarisi 1/8 bagian
dari harta peninggalan
suami, yakni
Rp5.000.000.
c. Harta,peninggalansuami,seluruhnyaRp,40.000.000-Rp5.000.000+Rp10.000.000=
Rp45.000.000
d. Harta,peninggalan,istri,seluruhnya,Rp40.000.000-Rp10.000.000+Rp5.000.000=
Rp35.000.000
Dengan
demikian anak laki-laki suami mendapat Rp 45.000.000
Anak
laki-laki istri mendapat Rp35.000.000
6. Kewarisan Khunsta Musykil
Orang yang
mempunyai dua alat kelamin
laki-laki dan perempuan atau sama
sekali tidak memiliki
kedua-duanya disebut khunsta.
Dalam redaksi lain, khunsta adalah seseorang yang diragukan apakah ia laki-laki atau perempuan, karena ia
mempunyai dua jenis kelamin (penis dan vagina) atau ia tidak mempunyai sama
sekali jenis kelamin. Dalam sebagian besar kasus, jenis
kelamin seseorang dapat
menentukan bagian warisan
yang diterimanya. Dari seluruh orang yang berhak sebagai ahli waris,
maka ada tujuh macam orang
yang ada kemungkinan
berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah[20]
a. anak
b. cucu
c. saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
d. anak saudara atau keponakan (kandung atau
sebapak)
e. paman (kandung atau sebapak)
f. anak paman atau sepupu (kandung atau
sebapak)
g. mu’tiq (orang yang pernah membebaskan si
mayit)
Selain
ketujuh macam orang itu, tidak
mungkin berstatus sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau
isteri tidak mungkin khuntsa karena
salah satu syarat timbulnya perkawinan adalah terjadi antara seorang laki- laki
dan seorang perempuan yang sudah jelas jenis kelaminnya.Untuk Khuntsa menurut
pendapat yang paling rajih hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah
yang paling sedikit
di antara dua keadaannya, keadaan
bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa
harta waris yang menjadi haknya
dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu
di antara ahli waris, atau sampai
Khuntsa itu meninggal
hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya. Makna pemberian hak Khuntsa dengan bagian
paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawaris mu’amalah bil adhar yaitu
jika Khuntsa dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak
waris wanita, dan bila dinilai sebagai
laki-laki dan bagiannya ternyata lebih
sedikit, maka divonis sebagai laki-laki.
Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan
haknya, maka diputuskan bahwa Khuntsa tidak mendapatkan hak waris. Bahkan dalam
mazhab Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris
gugur haknya dikarenakan Khuntsa dalam
salah satu dari
dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita),maka gugurlah hak
warisnya.
- Contoh pembagian warisan khunsta musykil:
Seseorang meninggal
dunia meninggalkan ahli waris anak laki-laki dan anak khunsta. Harta warisannya sebesar
Rp12.000.000. Maka penyelesaian
masalahnya adalah sebagai berikut:
Apabila
khunsta itu dihukumkan laki-laki, maka
anak laki-laki mendapat 1/2 bagain. Anak khunsta
mendapat 1/2 bagian. Apabila anak khunsta itu dihukumkan perempuan, maka
anak laki-laki mendapatkan 2/3 bagian. Dan anak khunsta mendapat 1/3 bagian.
Jika terdapat hal semacam ini, maka
warisan itu hanya boleh
diberikan kepada masing-masing
ahli waris dengan jumlah bagian yang paling sedikit lihat Tabel:
Ahli waris |
Bagian |
AM |
Harta pusaka/ warisan |
Penerimaan |
|
|
6 |
12.000.000 |
|
Anak Laki-laki |
1/2 |
3 |
3/6x12.000.000 |
6.000.000 |
Anak Khunsa |
1/3 |
2 |
2/6x12.000.000 |
4.000.000 |
Jumlah |
|
|
|
12.000.000 |
Sisa
yang 1/6 atau Rp2.000.000 ditahan
untuk sementara, sehingga dapat
dihukumkan apabila khunsta itu laki-laki atau perempuan.
N.PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kompilasi
hukum Islam merupakan hukum Islam yang dijadikan atau diadopsi kedelam hukum
positif Indonesia.Hal ini tentunya terjadi karena mayoritas penduduk Indonesia
adalah Muslim sehigga menjadikan hukum Islam sangat bagus untuk dimasukkan ke
dalam hokum positif Indonesia. Juga sebenarnya hukum Islam jauh lebih baik dari
pada hukum-hukum yang lain. Selain itu hukum Islam juga sangat cocok dengan
kepribadian bangsa Indonesia.
B. SARAN
Demikian
makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca
yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan saran kritik konstruktif kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
footnote
[1]. Zainuddin Ali, Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta Sinar Grafika, 2006, halaman 98
DAFTAR ISI
1. Tim
Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2011)
Cet 3, hlm. 51-57
2. H. Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 2010) hal 78
3. Amir
Syaifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 2008, halaman.;222
4. H.
A. Djadzuli, Fikih Jinayat:
Upaya Menang gulangi
Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada,
1997), hal 21.
5. Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat
Peradilan Pidana dan
Perbandingan Hukum , (Bandung: CV. Armico, 1984), hal 70.
6. Makhrus
Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Jogjakarta: TERAS, 2009), hal42/43
7. H.M.
Asywadie Syukur, Studi Perbandingan Tentang Beberapa Macam Kejahatan dalam KUHP
dan Fikih Islam, 1990, hal 62
8. Zainuddin
Ali, Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta Sinar Grafika, 2006, halaman
98
9. Ahmad Warsom
Al-Munawir, Kamus Arab
Indonesia Pustaka Progesif , halaman. 16
10. Ahmad Warsom
Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia , Yogyakarta : Pustaka Progesif,1997,
hlm. 1655
11. Muslih
Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Cet, ke-
I,1997, hlm. 6.
12. Ah.
Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet. Ke-4,2000,
hlm 355
13. Arsumi
A. Rahman, et al, Ilmu Fiqh 3, Jakarta IAIN Jakarta, 1986, Cet ke 2, hlm. 1
14. Muhammad
Ali Ash Abuni, al Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhani’ al Kitab wa
Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema
Insane Press, 1995, hlm. 33
15. Eman
Suparman, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005, halaman. 17-18
16. Ali
Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, halaman. 27
17 Hazairin.TT,
Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Tintamas, halaman;15
18. Amir
Syaifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 2008, halaman.;222
19 H. Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 2010) hal 78
20 Soedjono
Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,(Bandung:,
1984), halaman 70.
21 H. A.
Djadzuli, Fikih Jinayat:Upaya Menang gulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta:,
1997), halaman 21.
22. Makhrus
Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Jogjakarta: TERAS, 2009), hal42-43
23. Fachtur
Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al Ma’rif, 1981. hal 488
Komentar