PENENTUAN WAlI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN PERSPEKTIF FIQH SYAFI’IYAH WALI NIKAH

 

PENETUAN BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN PERSPEKTIF FIQH SYAFI’IYAH WALI NIKAH

NAMA:ABDILLAH

NIM;2018540573

GMAIL;tgkbeudibias@gmail.com

ABSTRAK

            Perwalian dalam perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena keberadaan seorang wali sangat  menentukan  sah  tidaknya    perkawinan.  Walidalam perkawinan  ini  dibagi  menjadi  dua  macam  yaitu  wali  nasab  dan  wali hakim. Perwalian  atau  wali  dalam  perkawinan  ini  tidak  dapat  dipisahkan  dengan masalah nasab atau keturunan, karena dengan perkawinan yang sah bertujuan untuk menjaga nasab  dengan  baik,  teratur  dan  tidak  akan  terputus.  Masalah  perwalian  ini  berarti  juga membicarakan mengenai anak sah dan anak tidak sah. Ketentuan mengenai anak sah telah  diatur  oleh  Undang-undang  Perkawinan  maupun  KHI, juga Fiqh syafi'iyah,  yang  nantinyaakan  berpengaruh  terhadap  proses  penentuan  status  wali  nikah bagi  anak  atau  calon  mempelai  perempuan yang dimana KUA memiliki wewenang   terhadap   permasalahan   tersebut.  

            Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih dalam lagi, dengan rumusan masalah sebagai berikut:(1) Bagaimana pelaksanaan penentuan wali nikah bagi anak perempuan dari hasil luar nikah di KUA Kecamatan  Tanah Pasir. Apa metode  yang digunakan  dalam penentuan  wali  nikah bagi anak  perempuan dari  hasil luar  nikah oleh Kepala KUA Kecamatan Tanah Pasir, Tahun 2020 pengumpulan data  dilakukan  dengan  cara  wawancara  kepada Kepala  KUA Kecamatan Tanah Pasir,  dan  modin. Secara  umum  penelitian  ini  menggunakan  pendekatan yuridis normatif dengan  tujuan  untuk  mengetahui  hukum  positif  yang  mengatur  perwaliann bagi  calon  mempelai  perempuan  yang  merupakan  anak  zina, dan sejauh mana penerapan fiqh munakahat dalam  sistem  perkawinan  nasional..

            (1) Penentuan wali  nikah  bagi  anak  perempuan dari hasil luar nikah oleh Kepala KUA KecamatanTanah Pasir, diawali meneliti berkas-berkas  atau  data  dari  calon  mempelai  perempuan  dengan  data  yang  akan  menjadi wali dari calon mempelai perempuan tersebut, maka  akan  dilakukan  musyawarah  di  antara  kedua  belah pihak,yaitu   pihak KUA dengan pihak   calon   mempelai,jika   perlu   ia  akan membicarakan  masalah  tersebut  secara  terpisah  antara  wali  atau  orang  tua  dengan calon  mempelai  perempuanJika  memang  benar  bahwa  calon  mempelai  perempuan tersebut   adalah   anak   yang   terlahir   dari   sebuah   hubungan yang  belum terikat perkawinan yang  sah,  maka  sebelum  menentukan  wali  nikah,  kepala  KUA  akan memberikan  penjelasan  mengenai  ketentuan  anak  sah  dan  anak  tidak  sah  jika dikaitkan  dengan  status  wali  nikah,  bagaimana  menurut  fiqh  dan  bagaimana  pula menurut  undang-undang  dan KHI.  Dari  penjelasan  tersebut  kemudian  ia  akan menawarkan  opsi  kepada  para  pihak  untuk  memilih  penetapan  wali  nikah  menurut undang-undang yang berarti tetap menggunakan wali naṣab atau menurut fiqh yang beralih ke wali hakim,

            (2)  Dalam penentuan  wali  nikah  bagi  anak  perempuan  dari  hasil luar  nikah, metode KUA  Kecamatan Susukan, merujuk pada Kompilasi Hukum Islam No.D/ED/PW01/03/1992 tentan “Ketentuan Adam Wali Nikah”yang berdasarkan kitab Al-Muhażżab sebagai  dasar.Terlepas dari  itu, cara  yang  dilakukan  Kepala  KUA Tanah Pasir dengan  mendahulukan  musyawarah dengan para pihak sudah tepat, karena ia lebih mengutamakan kesadaran hati nurani dari para pihak, tanpa memaksa dalam menetapkan status wali nikah tersebut.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakanag Masalah.

Kementerian Agama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan kedudukanya dikecamatan secara otomatis KUA adalah ujung tombak Kementrian Agama dalam membina kehidupan beragama di masyarakat. Dan karena hal itulah KUA menjadi kebutuhan bagi setiap daerah.[1] Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga pencatatan pernikahan, dan juga membidangi bidang-bidang lainya, seperti zakat, pembinaan haji, pemberdayaan wakaf, pembinaan tilawatil qur’an dan sejenisnya. Peran tersebut menegaskan bahwa KUA adalah instansi Kementrian Agama yang banyak berkaitan langsung dengan pembinaan masyarakat dibidang keagamaan. Pencatatan  pernikahan  dan  hal-hal  yang  terkait denganya  merupakan tugas pokok dari Kantor Urusan Agama Kecamatan termasuk perwalian.[2]Dalam pelaksanaan  penentuan  wali  nikah  bagi  perempuan  yang  lahir  kurang  dari  6 bulan,  tepatnya di KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, yang  menjadi lokasi penelitian saya menggunakan Wali hakim. Ketentuan ini  menggunakan  dasar  fiqih  munakahat,  yaitu  apabila  anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka status kewalian berpindah kepada wali hakim Ketentuan ini berdasarkan Firman Allah Al- qur,an, surat Al-ahqaf ayat 15

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ  وَعَلَىٰ  وَالِدَيَّ  وَأَنْ  أَعْمَلَ صَالِحًا  تَرْضَاه وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Terjemah Arti: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).Mengandungnya sampai menyapih nya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Qs. Al-ahqaf, 46:15)[3]  Dan dalam  surat Al-Luqman ayat : 14

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.Hanya kepada Aku kembalimu. (QS. Luqman, 31:14 ).4[4]  

 

Kedua  ayat  tersebut,  oleh  Ibnu  Abbas  dan  disepakati  para  ulama.  Di tafsirkan  bahwa,  ayat  pertama  menunjukan  tenggang  waktu  mengandung  dan menyampih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa  menyapihnya setelah  bayi di susukan  secara sempurna membutuhkan  waktu 2 tahun  atau 24 bulan. Berarti  bayi  membutuhkan  waktu  30-24  bulan = 6 bulan  di  dalam kandungan.[5]Dalam Tafsir Ibnu Katsir  kedua ayat ini di jadikan dalil oleh Ali bin Abi Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan  cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat tersebut disetujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.[6] Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6  (enam) bulan tidak bisa dihubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, Walaupun dalam  ikatan perkawinan yang sah. Ia  hanya memiliki   hubungan  nasab  kepada  ibu  dan keluarga ibunya. Undang-  undang  Nomor  1  tahun  1974 mengatur tentang asal usul anak dalam Pasal 42, 43 dan 44. Selengkap nya akan dikutip di bawah ini:

Pasal 42: - “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”

Pasal 43: 1“Anak yang  lahir  di  luar  perkawinan  hanya  mempunyai  hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.” 2.“KedudukanAnak  tersebut  ayat  (1)  di  atas  selanjutnya  akan  diatur dalam Peratu ran Pemerintah.”

Pasal 44:1. “Seorang  suami  dapat  menyangkal  sah  anak  yang  dilahirkan  oleh  istrinya bilamana  ia  dapat  membuktikan  bahwa  istrinya  telah  berzina  dan  anak  itu akibat dari perzinahan tersebut.”2.“Pengadilan memberikan keputusan  tentang sah/tidaknya anak  atas permintaan yang bersangkutan.”7 

Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang  sah,  meskipun  jarak  antara pernikahan dan  kelahiran anak  kurang  dari batas  minimal  usia  kandungan,  jadi Selama bayi yang di kandung itu lahir dari ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang  tidak  mengatur  batas  minimal  usia  kandungan,  baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. Dalam kompilasi ukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. Pasal 99 :Anak yang sah adalah “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Pasal 100:1. “Anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  hanya  mempunyai  hubungan  nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Pasal 101:“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkal nya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.”[7]Pasal 102:Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak merinci batas minimal dan maksimal  usia  bayi  dalam  kandungan  sebagai  dasar  suami  untuk  menyangkal sahnya anak yang di lahirkan istrinya.

 (1)“suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan  ke  pengadilan  Agama  dalam  jangka  waktu  180  hari sesudah  putusnya  perkawinan  atau  setelah  suami  itu  mengetahui  bahwa istrinya  melahirkan  anak  dan  berada  di  tempat  yang  memungkinkan  dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.”“Pengingkaran yang  di  ajukan  sesudah  lampau  waktu  tidak  dapat  diterima”.Batasan  180  hari  atau  6  bulan  di  atas  ternyata  tidak  menjelaskan  batas minimal  usia  kandungan,  demikian  juga  360  hari  bukan  menunjuk  batas maksimal  usia bayi  dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas  waktu untuk mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama.” Karena perbedaan dalam menentukan asal usul anak, maka berbeda pula dalam  penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Di dalam  praktiknya, KUA kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, yang menjadi lokasi  penelitian ini, menggunakan wali hakim. Kasus semacam ini di  KUA Kecamatan Tanah Pasir telah terjadi, Bulan Januari sampai Oktober 2010, terdapat beberapa kasus pernikahan seperti ini, dan emuanya  menggunakan  wali hakim.  Dengan mengguna kan ketentuan  seperti ini akan berimplikasi pada status anak  tersebut.  Di  satu  sisi  anak  tersebut  diakui  oleh  Negara  sebagai anak sah, Karena dalam  menentukan  asal  usul- anak,  menggunakan  Undang-  Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dan anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah. Akan tetapi dalam hal praktik perkawinan, KUA Kecamatan Tanah Pasir menggunakan wali hakim, padahal menurut Undang-undang anak tersebut adalah sebagai anak sah.  Ketentuan semacam ini akan menimbulkan  permasalahan dikemudian hari, tentang kejelasan status anak tersebut. Karena terdapat standar ganda dalam penentuan  asal-usul anak  yaitu menggunakan UU Perkawinan dan fiqih munakahat. Di dalam  Undang  undang  perkawinan  Nomor 1 Tahun  1974,  pasal  42, dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a).disebutkan bahwa:“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau  akibat dari perkawinan yang sah.” Disini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, maka  menggunakan  wali nasab, karena  di dalam Undang- undang perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal tentang usia kandungan. Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahandi bawah Departemen Agama sekarang  Kementerian Agama, seharunya berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam. Karena sejak ditetapkan pada tahun 1991 dan dilaksanakan oleh Menteri Agama, menetapkan seluruh instansi. Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang  terkait.  Agar  menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dibidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Sebagaimana dimaksud dalam diktum, pertama Instruksi  Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan Oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.[8] Dan tujuan Utama  di rumuskannya  Kompilasi  Hukum  Islam,  adalah menyiapkan pedoman (unifikasi) Hakim peradilan Agama dan menjadi hukum  Islam  positif  yang  wajib  di  patuhi  oleh  seluruh  bangsa  Indonesia  yang beragama.[9]

B.  Pembahasan

Untuk mendeskripsikan Penentuan wali nikah Terhadap perempuan yang lahir kurang dari enam bulan, di KUA kecamatan Tanah Pasir  Kabupaten Aceh Utara Untuk menganalisis dasar hukum yang digunakan, oleh KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara dalam eksistensinya penentuan  wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah bagi KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara  Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam hal Analisis Terhadap penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan perspektif fiqih syafi’iyah di KUA kecamatan Tanah Pasir  Kabupaten Aceh Utara , penetapan Wali dalam lingkungan kerja kantor Kua Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara agar masyarakat tidak terkatung katung dalam penetuan wali terhadap perempuan atau anak anak mereka yang berada dalam lingkungan KUA tanah Pasir agar dapat tercapai tujuan pemerintah dan anjuran agama dan bermamfaat bagi masyarakat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal juga perlu memperhatikan Terhadap Eksistensi penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA kecamatan Tanah Pasir  Kabupaten Aceh Utara. Dalam hal tersebut cukup penting untuk diberi perhatian.

Sebagai tambahan informasi bagi administrasi dan manajemen akamdemik yang berhubungan dengan Upaya Analisis Terhadap Eksistensi penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Dan untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana cara penetuan wali nikah yang berada di lingkungan KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara

C. Telaah pustaka

Tela’ah terdahulu ada beberapa kajian di luar Aceh yang sudah dibahas dalam beberapa Tesis, ini Khususnya yang berkaitan tentang masalah perwalian.  Abdul Ghufran (2104035), dalam tesis Fakultas Syariah IAIN Walisongo yang  berjudul:  Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang  Wali Nikah  Bagi  Janda  diBawah  Umur”. Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa:   pendapat Imam al-Syafi'i yang mengharuskan adanya wali  dalam pernikahan walaupun wali peganti sangat relevan dengan realitas kehidupan masa kini. Jika dibolehkan nikah tanpa wali, maka sebelum nikah orang akan berani mengadakan hubungan badan sebelum nikah karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat mudah

Kita melihat kebelakang sedikit Inayatul  Bararah  (042111026)  dalam  tesis  Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang berjudul:  “Studi  Analisis  Terhadap  pelaksanaan, perkawinan dengan Wali Hakim, di Karenakan Pengantin Wanita lahir Kurang dai 6 Bulan Setelah  Perkawinan  Orang  Tuanya  (Studi  Kasus di  KUA  kec  talung  Klaten).” Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa: pelaksanaan Wali Hakim di KUA Kec.  Talung  Kab.  Klaten  sudah  sesuai  dengan  syariat  Islam  dan  sesuai  dengan Undang-undang, penelitian Tesis ini hanya sampai pada pelaksanaan wali hakim secara  umum,  apa  penyebab masyarakat mengajukan pernikahan dengan wali hakim,  bagaimana  peran  KUA  dalam  menghadapi  pengajuan  wali  hakim  dari masyarakat. dan bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di tinjau dari perspektif beberapa pendapat ulama, penelitian ini belum membahas penentuan  wali  bagi  anak  perempuan  yang  lahir  kurang  dari  6 bulan di KUA setempat dan menganalisisnya dari Undang -Undang  Perkawinan  dan KHI.

Nur Shihah Ulya (2100106), dalam tesis Fakultas Syari'ah  IAIN Walisongo   yang  berjudul: Praktek Perwakilan Perwalian Dalam Akad Pernikahan Di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.” yang menghasilkan kesimpulan bahwa: Praktek akad pernikahan yang terjadi di wilayah kecamatan Mranggen   terdapat  perbedaan  dalam   hal  pelaksanaan  prosesinya,  yaitu: Wali dari pihak mempelai calon istri melakukan ijab qabul dengan calon suami tidak  secara  langsung  dalam  arti  menggunakan  jasa  wakil  dalam  akad  nikah tersebut dengan cara mewakilkan kepada orang yang dianggap lebih cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti Kiyai (ulama') atau kepada petugas PPN dari Kantor  Urusan  Agama  karena  dianggap  sudah  terbiasa  melakukan  akad  nikah. Setelah  mewakilkan  perwaliannya  tersebut,  wali  meninggalkan  majelis  akad nikah sehingga dia tidak dikatakan hadir dalam majelis akad nikah tersebut.

         Tela’ah terdahulu Zakyyah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Ar-Raniry .Nasab Anak Luar Kawin Menurut” [10]Hifzhu Nasl” Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 Consangunity Of A Child Born Out Of Wedlock In The Concept Of ”Hifzhu Nasl”

.D  Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Dalam uraian Penetuan Wali Nikah Bagi Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan Perspektif Fiqh Syafi’iyah  maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut menetapkan hubungan perdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ayah biologisnya antara lain:

a.      Kehamilan merupakan suatu peristiwa hukum yang memiliki akibat timbulnya hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak, ibu, dan bapak.

b.      Hubungan anak dengan seorang lakilaki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan Jurnal isi.indd 211 10/28/2016 9:31:11 AM  212 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214 darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

c.      Tidak tepat dan tidak adil jika hukum hanya menetapkan hubungan anak dengan ibunya saja dan membebaskan laki-laki yang menyebabkan kehamilan dari tanggung jawabnya.

d.      Hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian yang adil terhadap status seorang anak yang di luar perkawinan dan hak-hak yang ada padanya.

E.  Adapun hukum dan Akibatnya

Akibat hukum yang timbul dari Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang lahir di luar perkawinan seharusnya hanya bernasab kepada ibu dan tidak bernasab kepada ayah biologisnya, namun ayah biologis dapat dibebankan kewajiban untuk memenuhi hak anak yang lahir di luar perkawinan dengan catatan hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang seperti tes DNA.

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 bertentangan dengan teori hifzhu nasl,namun jika hubungan perdata yang dimaksud hanya kewajiban timbal balikterbatas pada hal pemberian nafkah maka putusan ini sangat tepat dan sesuaidengan teori hifzhu nafs dalam maqᾱṣid al-syar’iyyah, karena menjaga jiwa anak (ḥifẓu nafs) dari keterpurukan dan kesengsaraan merupakan kemaslahatan alḍarῡriyyah yang harus dijaga

Penentuan Wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulam perspektif fiqh syafi’iyah[11] Wali merupakan satu dari lima rukun nikah. Wali sendiri ialah sebutan untuk pihak lelaki dalam keluarga atau lainnya yang bertugas mengawasi keadaan atau kondisi seorang perempuan, khususnya dalam bab nikah.

: الولاية في اللغة: تأتي بمعنى المحبة والنصرة. …والولاية في الشرع: هي تنفيذ القول على الغير، والإشراف على شؤونه

“Perwalian secara bahasa bermakna cinta atau pertolongan…perwalian secara syariat ialah menyerahkan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas keadaannya” Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, menjelaskannya sebagai berikut:[12]

 وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم

Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.”

Dari penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Sujak itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah:

1.      Ayah

2.      Kakek. Kakek yang dimaksud dalam hal ini ialah kakek dari pihak ayah.

3.      Saudara lelaki kandung. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah dan ibu. Ia bisa merupakan kakak maupun adik.

4.      Saudara lelaki seayah. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah namun beda ibu.

5.      Paman. Paman yang dimaksud di sini ialah saudara lelaki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (jawa: pak de), ataupun lebih muda (jawa: pak lik), dengan memprioritaskan yang paling tertua diantara mereka.

6.      Anak lelaki paman dari pihak ayah. Jika ternyata keenam pihak keluarga  di atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali ialah wali hakim. Syarat Wali dan Saksi Tidak sembarang orang bisa menjadi wali dan saksi dalam pernikahan.

 

F.   Ada beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.

Dikutip pula dari Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb:

ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة

“Wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan: islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil”.

Dari pemaparan di atas, bisa kita pahami bahwa wali dan dua orang saksi dalam pernikahan harus memiliki lima persyaratan sebagai berikut:[13]

Pertama:   Islam. Seorang wali ataupun saksi nikah harus beragama islam. Dengan demikian apabila wali tersebut kafir, maka pernikahan tidak akan sah, kecuali dalam beberapa kasus yang akan diterangkan di tempat terpisah.

Kedua, : baligh. Arti mendasar wali ialah seseorang yang dipasrahi urusan orang lain, yang dalam hal ini adalah perempuan yang akan menikah. Adalah tidak mungkin menyerahkan urusan tersebut pada anak yang masih kecil dan belum baligh. Oleh karena itu syariat mewajibkan wali dan dua orang saksi dalam pernikahan haruslah orang yang sudah baligh

Ketiga:      berakal. Berakal di sini pengertiannya sama seperti kriteria “berakal” dalam bab lainnya semisal bab shalat.

Keempat: lelaki. Dengan persyaratan ini, maka pernikahan dianggap tidak sah apabila wali atau saksi adalah perempuan atau seorang waria yang berkelamin ganda.

Kelima:     Adil. Adil yang dimaksud di sini ialah sifat seorang muslim yang menjaga diri dan martabatnya. Kebalikan dari adil ialah fasiq. Demikian, semoga bermanfaat.

G. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan beberapa bab diatas, maka selanjutnya penulis akan    memberikan  kesimpulan sebagai  jawaban tentang permasalahan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kec  Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Adapun kesimpulan  yang  dapat  diambil  dari  apa  yang  telah penulis paparkan di atas sebagai berikut:

1.      Di KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara praktek  Pelaksanaan  penentuan  wali  nikah  bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan,   yaitu dengan cara memeriksa akta  kelahiran  calon  mempelai  wanita  dengan  buku  nikah  orangtuanya, kemudian  dihitung  untuk  mengetahui  asal  usul  anak  tersebut,  apabila kemudian di ketahui kelahiranya kurang dari 6 bulan, maka Eksistensi pernikahannya tidak bisa  menggunakan wali nasab. Karena   anak   tersebut hanya mempunyai  nasab  dengan  ibunya  saja,  dan  apabila  akan  melaksanakan pernikahankah  harus  menggunakan  wali  hakim,  apabila dari pihak wali merasa keberatan dengan  ketetentuan  ini,  maka mereka disuruh menikahkan  anaknya  sendiri,  dan  dari  pihak  KUA  hanya  mencatat  saja, karena di KUA kecamatan Tanah Pasir menggunakan  dasar  fiqh munakahat sebagai acuan.  Jadi  dapat  disimpulkan  bahwa  pelaksanaan  penentuan  wali  nikah bagi perempuan  yang lahir  kurang dari 6  bulan,  di KUA Kecamatan  Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara . Tidak mempunyai dasar hukum  yang kuat, karena tidak ada Undang undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang akan  menikah  dan  kelahiranya kurang  dari  6  bulan.  Dan  sampai saat ini Kementerian  Agama  juga  belum  memberikan  petujuk  tentang  masalah penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.  Asal- usal anak sudah diatur   dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 tentang  perkawinan  dalam  pasal  tersebut  dinyatakan  bahwa anak  sah  adalah  anak  yang  lahir  dalam  atau  sebagai  akibat  perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a). Kompilasi Hukum Islam.

2. Dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara  dalam Eksistensi pelaksanaan penentuan  wali  nikah  bagi  perempuan  yang  lahir  kurang  dari  6  bulan, adalah menggunakan dasar hukum fiqih munakahat yang mengambil dasar hukum dari Kitab Al-Muhadzdzab Juz II Halaman  130. Dengan menggunakan ketentuan  fiqih   KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara telah melanggar Undang-undang   yaitu Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,   karena didalam kedua Undang-undang tersebut sudah  diatur  tentang  asal usul anak, dan  seharusnya KUA  Kecamatan  Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara sebagai lembaga Negara di bawah   Kementerian Agama. Yang  tugas pokonya  mencatat  perkawinan  dalam  menjalankan  tugas tugasnya  harus berpedoman kepada peraturan perundang-undngan yang berlaku.

H. Saran-Saran

Adapun saran dari penulis ialah:

1. Kepada Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Tanah Pasir dalam menjalankan tugas-tugasnya, seharusnya berpedoman kepada perudang-undangan  yang berlaku.  Agar  tidak  menimbulkan  permasalahan  di  kemudian  hari  dan sebaikanya    dihindari    mengambil    suatu    masalah    yang    sudah    ada ketentuanya  dalam  peraturan  perundang  undangan  yang  berlaku,  karena seharusnya  yang dipakai adalah perundang undangan  yang berlaku.  yaitu Undang  undang  Perkawinan  No  1  Tahun  1974  dan  Kompilasi  Hukum Islam (KHI).

2.  Kepada  Pemerintah. Khusunya Kementerian Agama pusat yang membawahi   Kantor Urusan  Agama,   agar   memberikan   peraturan   dan petunjuk  yang tegas dan khusus tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Agar dapat dilaksanakan oleh  Kantor Urusan agama  dan  mensosialisaikan  kepada  Kantor  Urusan Agama  di  seluruh   Indoneseia. Dan   dalam   menjalankankan   tugasnya Kantor  Urusan  Agama  harus  berpedoman  kepada  peraturan  perundang undangan yang berlaku. Dan memberikan sanksi yang tegas kepada KUA apabila dalam   menjalankan tugas-tugasnya tidak berpedoman   kepada perundang-undangan yang berlaku.

 

J.  Penutup

Akhir kata Syuk’ran hamdan lillah  penulis  ucapkan  sebagai ungkapan rasa syukur karena telah menyelesaikan proposal tesis ini. Meskipun telah berupaya secara optimal, penulis meyakini masih ada kekurangan  dan kelemahan  dalam  proposal tesis ini  dari berbagai  sisi.  Walaupun  demikian penulis berdo’a dan berharap semoga  proposal tesis ini  bermanfaat  bagi  penulis  khususnya dan  para  pembaca  pada  umumnya  dan  semoga  skripsi  ini  dapat  menambah ilmu pengetahuan kita. Atas saran dan kritik yang konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan proposal tesis ini,  penulis  ucapkan  terima  kasih  kepada  semua  pihak  yang  telah membantu. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Daftar Pustaka

1.                  Kementrian Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Indonesia,Jakarta :Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah, 2010, hlm.  I

 

2          Ibid  hlm iv

3          Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Depok : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504

 

4          Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412

5.         Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 224

 

6.         Shafiyurihman  Al-Mabaruk  Furi,  Shahih  Tafsir  Ibun  Kasir,  Bogor  :  Pustaka  Ibnu  Kasir, 2006, hlm. 317-318

 

7          Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18

8          Departemen  Agama RI,  Kompilasi  Hukum  Islam,   Jakarta :  Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 2000, hlm. 51

 

9.         Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7

10        Ahmad Rofq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gama Media, 2001 , hlm. 25

11.       Burhan, Ashofa, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2004 hlm 20-21

 

12.       Beni Ahmad Saebani,Metode Penelitian Hukum,Bandung: Pustaka Setia, 2008 hlm 58

 

13.       Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998, hlm. 91

 

14.       Ibid hlm. 91

15.       Sudarwan  Danim,  Menjadi  Peneliti  Kualitatif,  Bandung  :  CV.  Pustaka  Setia,  2002,  hlm.130

 

16.       Burhan, Ashofa OP cit, hlm. 59

17.       Suharsimi Arikunto,  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta : RinekaCipta, 1999, hlm. 206.

 

18.       Mustofa Bisri, OP. Cit  , hlm. 31

19.       Suharsimi Arikunto,   Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 1990, hlm. 353

20.       Nawawi,  Hadari, 2004. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta



[1].Kementrian Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Teladan Se-Indonesia, Jakarta:Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah, 2010, hlm.  i

[2].Ibid  hlm iv

[3] Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, jakarta : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504

[4] .Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412

[5].Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rj Grafindo Persada, 1995, hlm.224

[6].Shafiyurihman  ,  Shahih  Tafsir  Ibun  Kasir,  Bogor  Pustaka  Ibnu  Kasir, 2006, hlm2006, hlm. 317

[7] .Departemen  Agama RI,  Kompilasi  Hukum  Islam,   Jakarta :  Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 2000, hlm. 51

[8] .Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7

[9].Ahmad Rafq, Pembaharuan Hukum Islam Indonesia, Jkt : Gama Media, 2001 , hlm. 25

[10].Syeikh Abdur Rauf, Kopelma Darussalam Banda Aceh 23373 E-Mail: Zh Isika37@Yahoo.Com .An Analysis Of The Constitutional Court’s Decision Number 46/Puu-Viii/2010 Naskah Diterima: 11 Juni 2015; Revisi: 5 Agustus 2016; Disetuju

[11] Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 60

[12] Imam Abu Suja’ Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah