PENENTUAN WAlI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN PERSPEKTIF FIQH SYAFI’IYAH WALI NIKAH
PENETUAN BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN PERSPEKTIF FIQH SYAFI’IYAH WALI NIKAH
NAMA:ABDILLAH
NIM;2018540573
GMAIL;tgkbeudibias@gmail.com
ABSTRAK
Perwalian
dalam perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena keberadaan
seorang wali sangat menentukan sah
tidaknya perkawinan. Walidalam perkawinan ini
dibagi menjadi dua
macam yaitu wali
nasab dan wali hakim. Perwalian atau wali dalam
perkawinan ini tidak
dapat dipisahkan dengan masalah nasab atau keturunan, karena
dengan perkawinan yang sah bertujuan untuk menjaga nasab dengan
baik, teratur dan
tidak akan terputus.
Masalah perwalian ini
berarti juga membicarakan
mengenai anak sah dan anak tidak sah. Ketentuan mengenai anak sah telah diatur
oleh Undang-undang Perkawinan
maupun KHI, juga Fiqh
syafi'iyah, yang nantinyaakan
berpengaruh terhadap proses
penentuan status wali
nikah bagi anak atau calon
mempelai perempuan yang dimana KUA
memiliki wewenang terhadap permasalahan tersebut.
Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian lebih dalam lagi, dengan rumusan masalah
sebagai berikut:(1) Bagaimana pelaksanaan penentuan wali nikah bagi anak
perempuan dari hasil luar nikah di KUA Kecamatan Tanah Pasir. Apa metode yang digunakan dalam penentuan wali
nikah bagi anak perempuan
dari hasil luar nikah oleh Kepala KUA Kecamatan Tanah Pasir,
Tahun 2020 pengumpulan data
dilakukan dengan cara
wawancara kepada Kepala KUA Kecamatan Tanah Pasir, dan
modin. Secara umum penelitian
ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan tujuan
untuk mengetahui hukum
positif yang mengatur
perwaliann bagi calon mempelai
perempuan yang merupakan
anak zina, dan sejauh mana
penerapan fiqh munakahat dalam
sistem perkawinan nasional..
(1)
Penentuan wali nikah bagi
anak perempuan dari hasil luar
nikah oleh Kepala KUA KecamatanTanah Pasir, diawali meneliti berkas-berkas atau data
dari calon mempelai
perempuan dengan data
yang akan menjadi wali dari calon mempelai perempuan
tersebut, maka akan dilakukan
musyawarah di antara
kedua belah pihak,yaitu pihak KUA dengan pihak calon
mempelai,jika perlu ia akan
membicarakan masalah tersebut
secara terpisah antara
wali atau orang
tua dengan calon mempelai
perempuanJika memang benar
bahwa calon mempelai
perempuan tersebut adalah anak
yang terlahir dari
sebuah hubungan yang belum terikat perkawinan yang sah,
maka sebelum menentukan
wali nikah, kepala
KUA akan memberikan penjelasan
mengenai ketentuan anak
sah dan anak
tidak sah jika dikaitkan dengan
status wali nikah,
bagaimana menurut fiqh
dan bagaimana pula menurut
undang-undang dan KHI. Dari
penjelasan tersebut kemudian
ia akan menawarkan opsi
kepada para pihak
untuk memilih penetapan
wali nikah menurut undang-undang yang berarti tetap
menggunakan wali naṣab atau menurut fiqh yang beralih ke wali hakim,
(2) Dalam penentuan wali nikah bagi anak perempuan dari hasil luar nikah, metode KUA Kecamatan Susukan, merujuk pada Kompilasi Hukum Islam No.D/ED/PW01/03/1992 tentan “Ketentuan Adam Wali Nikah”yang berdasarkan kitab Al-Muhażżab sebagai dasar.Terlepas dari itu, cara yang dilakukan Kepala KUA Tanah Pasir dengan mendahulukan musyawarah dengan para pihak sudah tepat, karena ia lebih mengutamakan kesadaran hati nurani dari para pihak, tanpa memaksa dalam menetapkan status wali nikah tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakanag Masalah.
Kementerian
Agama yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat. Dengan kedudukanya dikecamatan secara otomatis KUA adalah
ujung tombak Kementrian Agama dalam
membina kehidupan beragama di
masyarakat. Dan karena hal itulah
KUA menjadi
kebutuhan bagi setiap daerah.[1] Kantor
Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga
pencatatan pernikahan, dan juga membidangi bidang-bidang
lainya, seperti zakat, pembinaan haji,
pemberdayaan wakaf, pembinaan tilawatil
qur’an dan sejenisnya. Peran tersebut
menegaskan bahwa KUA adalah
instansi Kementrian Agama yang banyak
berkaitan langsung dengan pembinaan
masyarakat dibidang keagamaan. Pencatatan pernikahan dan hal-hal yang terkait
denganya merupakan
tugas pokok dari Kantor
Urusan Agama Kecamatan termasuk perwalian.[2]Dalam
pelaksanaan penentuan
wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, tepatnya
di KUA
Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, yang menjadi lokasi penelitian saya menggunakan Wali hakim. Ketentuan ini menggunakan
dasar fiqih munakahat, yaitu apabila anak
perempuan lahir
kurang dari 6 bulan, maka
status kewalian berpindah kepada wali hakim Ketentuan ini berdasarkan Firman
Allah Al- qur,an, surat Al-ahqaf ayat 15
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ
ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً
قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ
عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ
وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاه وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Terjemah Arti: Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).Mengandungnya sampai
menyapih nya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya
sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri". (Qs. Al-ahqaf,
46:15)[3] Dan dalam surat Al-Luqman
ayat :
14
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada
kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua orang tuamu.Hanya kepada Aku kembalimu. (QS. Luqman, 31:14
).4[4]
Kedua
ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama. Di
tafsirkan bahwa, ayat pertama
menunjukan tenggang waktu mengandung dan
menyampih adalah 30 bulan.
Ayat kedua
menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi
di susukan secara
sempurna membutuhkan waktu 2
tahun
atau 24 bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan
= 6
bulan
di dalam
kandungan.[5]Dalam Tafsir
Ibnu Katsir kedua
ayat ini
di jadikan
dalil oleh Ali bin Abi Thalib RA, batas minimal
waktu hamil adalah 6 bulan,
dan itu
merupakan cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan
valid. Pendapat tersebut disetujui oleh Usman bin Affan RA,
dan beberapa
sahabat lainya.[6]
Oleh karena itu apabila
bayi lahir
kurang dari 6 (enam)
bulan tidak bisa dihubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, Walaupun dalam ikatan
perkawinan yang sah. Ia hanya
memiliki hubungan nasab kepada ibu dan
keluarga ibunya. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974
mengatur tentang asal usul anak
dalam Pasal 42, 43
dan 44.
Selengkap nya akan dikutip di bawah
ini:
Pasal 42: - “Anak
sah adalah
anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan
yang sah.”
Pasal 43: 1“Anak
yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
2.“KedudukanAnak tersebut
ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur
dalam Peratu ran Pemerintah.”
Pasal 44:1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.”2.“Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan yang bersangkutan.”7
Memperhatikan pasal 42
tersebut, di dalamnya memberi toleransi
hukum kepada anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah, meskipun
jarak antara
pernikahan dan kelahiran
anak
kurang dari
batas
minimal usia kandungan, jadi Selama
bayi yang
di kandung
itu lahir
dari ibunya
dalam ikatan perkawinan yang sah, maka
anak tersebut
adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam
pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya.
Dalam kompilasi ukum Islam ditegaskan dan
dirinci, apa yang diatur dalam
Undang-undang perkawinan. Pasal 99 :Anak yang
sah adalah
“Anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah.” Pasal 100:1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga
ibunya.”Pasal 101:“Seorang suami yang mengingkari
sahnya anak, sedang istri tidak
menyangkal nya, dapat meneguhkan pengingkaranya
dengan li’an.”[7]Pasal
102:Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga tidak
merinci batas minimal dan maksimal
usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal
sahnya anak yang di
lahirkan istrinya.
(1)“suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.”“Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat diterima”.Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama.” Karena perbedaan dalam menentukan asal usul anak, maka berbeda pula dalam penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Di dalam praktiknya, KUA kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, yang menjadi lokasi penelitian ini, menggunakan wali hakim. Kasus semacam ini di KUA Kecamatan Tanah Pasir telah terjadi, Bulan Januari sampai Oktober 2010, terdapat beberapa kasus pernikahan seperti ini, dan emuanya menggunakan wali hakim. Dengan mengguna kan ketentuan seperti ini akan berimplikasi pada status anak tersebut. Di satu sisi anak tersebut diakui oleh Negara sebagai anak sah, Karena dalam menentukan asal usul- anak, menggunakan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dan anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah. Akan tetapi dalam hal praktik perkawinan, KUA Kecamatan Tanah Pasir menggunakan wali hakim, padahal menurut Undang-undang anak tersebut adalah sebagai anak sah. Ketentuan semacam ini akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari, tentang kejelasan status anak tersebut. Karena terdapat standar ganda dalam penentuan asal-usul anak yaitu menggunakan UU Perkawinan dan fiqih munakahat. Di dalam Undang undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 42, dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a).disebutkan bahwa:“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah.” Disini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali nasab, karena di dalam Undang- undang perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal tentang usia kandungan. Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahandi bawah Departemen Agama sekarang Kementerian Agama, seharunya berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam. Karena sejak ditetapkan pada tahun 1991 dan dilaksanakan oleh Menteri Agama, menetapkan seluruh instansi. Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait. Agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dibidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Sebagaimana dimaksud dalam diktum, pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan Oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.[8] Dan tujuan Utama di rumuskannya Kompilasi Hukum Islam, adalah menyiapkan pedoman (unifikasi) Hakim peradilan Agama dan menjadi hukum Islam positif yang wajib di patuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama.[9]
B. Pembahasan
Untuk
mendeskripsikan Penentuan wali nikah
Terhadap perempuan yang lahir kurang
dari enam
bulan, di KUA kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara Untuk menganalisis
dasar hukum yang digunakan, oleh
KUA Kecamatan
Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara dalam
eksistensinya penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari
enam bulan
Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah
bagi KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh
Utara Penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan
pertimbangan dan
masukan
dalam hal Analisis Terhadap penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari
6 bulan
perspektif fiqih syafi’iyah di KUA kecamatan
Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara
, penetapan Wali dalam lingkungan kerja kantor Kua Kecamatan Tanah Pasir
Kabupaten Aceh Utara agar masyarakat tidak
terkatung katung dalam penetuan wali terhadap perempuan atau anak anak mereka
yang berada dalam lingkungan KUA tanah Pasir agar dapat
tercapai tujuan pemerintah dan anjuran agama dan bermamfaat bagi
masyarakat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal juga perlu memperhatikan Terhadap
Eksistensi penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari
6 bulan
di KUA
kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Dalam hal tersebut cukup penting
untuk diberi perhatian.
Sebagai tambahan informasi bagi administrasi dan manajemen akamdemik yang berhubungan dengan Upaya Analisis Terhadap Eksistensi penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Dan untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana cara penetuan wali nikah yang berada di lingkungan KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara
C. Telaah pustaka
Tela’ah
terdahulu ada beberapa kajian
di luar Aceh yang sudah dibahas dalam
beberapa Tesis, ini Khususnya yang
berkaitan tentang masalah perwalian.
Abdul Ghufran (2104035), dalam
tesis Fakultas Syariah IAIN
Walisongo yang berjudul: ”Pendapat
Imam Al-Syafi'i
Tentang Wali Nikah Bagi Janda diBawah Umur”.
Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa: pendapat
Imam al-Syafi'i
yang mengharuskan
adanya wali dalam pernikahan walaupun wali peganti sangat relevan
dengan realitas kehidupan masa kini.
Jika dibolehkan
nikah tanpa wali, maka
sebelum nikah orang akan berani
mengadakan hubungan badan sebelum nikah karena
orang itu akan beranggapan nikah itu sangat mudah
Kita melihat kebelakang sedikit Inayatul Bararah (042111026) dalam tesis
Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo yang berjudul:
“Studi Analisis Terhadap pelaksanaan,
perkawinan dengan Wali Hakim,
di Karenakan
Pengantin Wanita lahir Kurang dai
6 Bulan
Setelah Perkawinan Orang
Tuanya (Studi Kasus
di
KUA kec talung Klaten).” Yang menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa: pelaksanaan Wali Hakim di KUA
Kec. Talung Kab. Klaten
sudah sesuai dengan syariat Islam dan sesuai dengan
Undang-undang, penelitian Tesis ini hanya
sampai pada pelaksanaan wali hakim
secara umum, apa penyebab masyarakat
mengajukan pernikahan dengan wali hakim,
bagaimana peran KUA dalam menghadapi pengajuan wali hakim dari
masyarakat. dan bagi anak
perempuan yang lahir kurang dari
6 bulan,
di tinjau
dari perspektif beberapa pendapat
ulama, penelitian ini belum membahas
penentuan wali bagi anak perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan di
KUA setempat dan menganalisisnya dari Undang
-Undang Perkawinan dan KHI.
Nur
Shihah Ulya (2100106), dalam tesis
Fakultas Syari'ah IAIN
Walisongo yang berjudul: “Praktek
Perwakilan Perwalian Dalam Akad Pernikahan
Di Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak.” yang menghasilkan
kesimpulan bahwa: Praktek akad
pernikahan yang terjadi di wilayah
kecamatan Mranggen terdapat perbedaan dalam hal pelaksanaan prosesinya, yaitu: Wali
dari pihak
mempelai calon istri melakukan ijab
qabul dengan calon suami tidak
secara langsung dalam arti menggunakan jasa wakil dalam akad nikah
tersebut dengan cara mewakilkan
kepada orang yang dianggap lebih
cakap untuk melakukan perbuatan
hukum seperti Kiyai (ulama') atau
kepada petugas PPN dari Kantor
Urusan Agama karena dianggap sudah terbiasa melakukan akad nikah.
Setelah mewakilkan perwaliannya
tersebut, wali meninggalkan majelis akad nikah
sehingga dia tidak dikatakan hadir
dalam majelis akad nikah tersebut.
Tela’ah terdahulu Zakyyah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Ar-Raniry .Nasab Anak Luar Kawin Menurut” [10]Hifzhu Nasl” Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 Consangunity Of A Child Born Out Of Wedlock In The Concept Of ”Hifzhu Nasl”
.D Adapun yang menjadi dasar
pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Dalam uraian Penetuan Wali Nikah Bagi
Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan Perspektif Fiqh Syafi’iyah maka hasilnya
dapat disimpulkan sebagai berikut menetapkan hubungan perdata anak yang
dilahirkan di luar perkawinan dengan ayah biologisnya antara lain:
a. Kehamilan
merupakan suatu peristiwa hukum yang memiliki akibat timbulnya hak dan
kewajiban secara timbal balik antara anak, ibu, dan bapak.
b. Hubungan
anak dengan seorang lakilaki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya
hubungan Jurnal isi.indd 211 10/28/2016 9:31:11 AM 212 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus
2016: 195 - 214 darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
c. Tidak tepat
dan tidak adil jika hukum hanya menetapkan hubungan anak dengan ibunya saja dan
membebaskan laki-laki yang menyebabkan kehamilan dari tanggung jawabnya.
d. Hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian yang adil terhadap status seorang anak yang di luar perkawinan dan hak-hak yang ada padanya.
E. Adapun hukum dan Akibatnya
Akibat hukum yang timbul dari Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010
terkait Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang lahir di
luar perkawinan seharusnya hanya bernasab kepada ibu dan tidak bernasab kepada
ayah biologisnya, namun ayah biologis dapat dibebankan kewajiban untuk memenuhi
hak anak yang lahir di luar perkawinan dengan catatan hubungan darah antara
anak dengan ayah biologisnya dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan yang
berkembang sekarang seperti tes DNA.
Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 bertentangan dengan teori
hifzhu nasl,namun jika hubungan perdata yang dimaksud hanya kewajiban timbal balikterbatas
pada hal pemberian nafkah maka putusan ini sangat tepat dan sesuaidengan teori
hifzhu nafs dalam maqᾱṣid al-syar’iyyah, karena menjaga jiwa anak (ḥifẓu nafs) dari
keterpurukan dan kesengsaraan merupakan kemaslahatan alḍarῡriyyah yang harus dijaga
Penentuan
Wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulam perspektif fiqh
syafi’iyah[11] Wali merupakan satu
dari lima rukun nikah. Wali sendiri ialah sebutan untuk pihak lelaki dalam
keluarga atau lainnya yang bertugas mengawasi keadaan atau kondisi seorang
perempuan, khususnya dalam bab nikah.
: الولاية في اللغة: تأتي بمعنى المحبة والنصرة. …والولاية في الشرع: هي تنفيذ
القول على الغير، والإشراف على شؤونه
“Perwalian secara
bahasa bermakna cinta atau pertolongan…perwalian secara syariat ialah
menyerahkan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas keadaannya” Mengenai
siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, menjelaskannya sebagai berikut:[12]
وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن
الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت
العصبات ف…الحاكم “
Wali paling utama ialah
ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara
lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki
saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak
ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.”
Dari
penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali adalah para
pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan
Abu Sujak itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah.
Urutannya adalah:
1.
Ayah
2.
Kakek. Kakek yang dimaksud dalam hal
ini ialah kakek dari pihak ayah.
3.
Saudara lelaki kandung. Yakni saudara
lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah dan ibu. Ia bisa merupakan kakak
maupun adik.
4.
Saudara lelaki seayah. Yakni saudara
lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah namun beda ibu.
5.
Paman. Paman yang dimaksud di sini
ialah saudara lelaki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (jawa: pak de),
ataupun lebih muda (jawa: pak lik), dengan memprioritaskan yang paling tertua
diantara mereka.
6.
Anak lelaki paman dari pihak ayah.
Jika ternyata keenam pihak keluarga di
atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali ialah wali hakim.
Syarat Wali dan Saksi Tidak sembarang orang bisa menjadi wali dan saksi dalam
pernikahan.
F. Ada
beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.
Dikutip pula dari Imam
Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb:
ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام
والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة
“Wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan: islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil”.
Dari
pemaparan di atas, bisa kita pahami bahwa wali dan dua orang saksi dalam
pernikahan harus memiliki lima persyaratan sebagai berikut:[13]
Pertama:
Islam. Seorang wali ataupun saksi nikah
harus beragama islam. Dengan demikian apabila wali tersebut kafir, maka
pernikahan tidak akan sah, kecuali dalam beberapa kasus yang akan diterangkan
di tempat terpisah.
Kedua,
: baligh. Arti mendasar wali ialah seseorang yang dipasrahi urusan orang lain,
yang dalam hal ini adalah perempuan yang akan menikah. Adalah tidak mungkin
menyerahkan urusan tersebut pada anak yang masih kecil dan belum baligh. Oleh
karena itu syariat mewajibkan wali dan dua orang saksi dalam pernikahan
haruslah orang yang sudah baligh
Ketiga:
berakal. Berakal di sini
pengertiannya sama seperti kriteria “berakal” dalam bab lainnya semisal bab
shalat.
Keempat:
lelaki. Dengan persyaratan ini, maka pernikahan dianggap tidak sah apabila wali
atau saksi adalah perempuan atau seorang waria yang berkelamin ganda.
Kelima: Adil. Adil yang dimaksud di sini ialah sifat seorang muslim yang menjaga diri dan martabatnya. Kebalikan dari adil ialah fasiq. Demikian, semoga bermanfaat.
G.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan beberapa bab diatas, maka
selanjutnya penulis akan
memberikan kesimpulan
sebagai jawaban tentang permasalahan penentuan
wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kec Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Adapun kesimpulan yang
dapat diambil dari
apa yang telah penulis paparkan di atas sebagai
berikut:
1.
Di KUA Kecamatan Tanah
Pasir Kabupaten Aceh Utara praktek Pelaksanaan
penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran
calon mempelai wanita
dengan buku nikah
orangtuanya, kemudian
dihitung untuk mengetahui
asal usul anak
tersebut, apabila kemudian di
ketahui kelahiranya kurang dari 6 bulan, maka Eksistensi pernikahannya tidak
bisa menggunakan wali nasab. Karena anak
tersebut hanya mempunyai nasab dengan
ibunya saja, dan
apabila akan melaksanakan pernikahankah harus
menggunakan wali hakim,
apabila dari pihak wali merasa keberatan dengan ketetentuan
ini, maka mereka disuruh
menikahkan anaknya sendiri,
dan dari pihak
KUA hanya mencatat
saja, karena di KUA kecamatan Tanah Pasir menggunakan dasar fiqh munakahat sebagai acuan. Jadi
dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan penentuan wali
nikah bagi perempuan yang
lahir kurang dari 6 bulan,
di KUA Kecamatan Tanah
Pasir Kabupaten Aceh Utara . Tidak mempunyai
dasar hukum yang kuat, karena tidak ada
Undang undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang akan menikah
dan kelahiranya kurang dari 6 bulan.
Dan sampai saat ini
Kementerian Agama juga
belum memberikan petujuk
tentang masalah penentuan wali bagi
anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.
Asal- usal anak sudah diatur
dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa anak sah
adalah anak yang
lahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga
terdapat dalam pasal 99 (a). Kompilasi Hukum Islam.
2. Dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara dalam Eksistensi pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, adalah menggunakan dasar hukum fiqih munakahat yang mengambil dasar hukum dari Kitab Al-Muhadzdzab Juz II Halaman 130. Dengan menggunakan ketentuan fiqih KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara telah melanggar Undang-undang yaitu Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karena didalam kedua Undang-undang tersebut sudah diatur tentang asal usul anak, dan seharusnya KUA Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara sebagai lembaga Negara di bawah Kementerian Agama. Yang tugas pokonya mencatat perkawinan dalam menjalankan tugas tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undngan yang berlaku.
H. Saran-Saran
Adapun saran dari penulis ialah:
1. Kepada Kantor Urusan Agama
(KUA) Kec. Tanah Pasir dalam menjalankan tugas-tugasnya, seharusnya berpedoman
kepada perudang-undangan yang
berlaku. Agar tidak
menimbulkan permasalahan di
kemudian hari dan sebaikanya dihindari
mengambil suatu masalah
yang sudah ada ketentuanya dalam
peraturan perundang undangan
yang berlaku, karena seharusnya yang dipakai adalah perundang undangan yang berlaku.
yaitu Undang undang Perkawinan
No 1 Tahun
1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
2. Kepada
Pemerintah. Khusunya Kementerian Agama pusat yang membawahi Kantor Urusan Agama,
agar memberikan peraturan
dan petunjuk yang tegas dan
khusus tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan. Agar dapat dilaksanakan oleh Kantor Urusan agama dan
mensosialisaikan kepada Kantor
Urusan Agama di seluruh
Indoneseia. Dan dalam menjalankankan tugasnya Kantor Urusan
Agama harus berpedoman
kepada peraturan perundang undangan yang berlaku. Dan
memberikan sanksi yang tegas kepada KUA apabila dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak
berpedoman kepada perundang-undangan
yang berlaku.
J. Penutup
Akhir kata Syuk’ran hamdan lillah penulis
ucapkan sebagai ungkapan rasa
syukur karena telah menyelesaikan proposal tesis ini. Meskipun telah berupaya
secara optimal, penulis meyakini masih ada kekurangan dan kelemahan
dalam proposal tesis ini dari berbagai
sisi. Walaupun demikian penulis berdo’a dan berharap
semoga proposal tesis ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan
para pembaca pada
umumnya dan semoga
skripsi ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita. Atas saran dan
kritik yang konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan proposal tesis
ini, penulis ucapkan
terima kasih kepada
semua pihak yang
telah membantu. Wallahu a’lam
bish shawab.
Daftar Pustaka
1.
Kementrian Agama
RI, Profil Kantor Urusan Agama Indonesia,Jakarta :Direktorat Urusan Agama Islam
dan Pembinaan syariah, 2010, hlm. I
2 Ibid
hlm iv
3 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Depok : Cahaya Qurani, 2008, hlm
504
4 Departeman
Agama RI, Ibid, hlm. 412
5. Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
224
6. Shafiyurihman Al-Mabaruk
Furi, Shahih Tafsir
Ibun Kasir, Bogor
: Pustaka Ibnu
Kasir, 2006, hlm. 317-318
7 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,
Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18
8 Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta : Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 2000, hlm. 51
9. Kompilasi
Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7
10 Ahmad
Rofq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gama Media, 2001 , hlm.
25
11. Burhan,
Ashofa, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2004 hlm 20-21
12. Beni Ahmad
Saebani,Metode Penelitian Hukum,Bandung: Pustaka Setia, 2008 hlm 58
13. Saifuddin
Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998, hlm. 91
14. Ibid hlm.
91
15. Sudarwan Danim,
Menjadi Peneliti Kualitatif,
Bandung : CV.
Pustaka Setia, 2002,
hlm.130
16. Burhan,
Ashofa OP cit, hlm. 59
17. Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, Yogyakarta : RinekaCipta, 1999, hlm. 206.
18. Mustofa
Bisri, OP. Cit , hlm. 31
19. Suharsimi
Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta
: Rineka Cipta, 1990, hlm. 353
20. Nawawi, Hadari, 2004. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
[1].Kementrian
Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Teladan Se-Indonesia, Jakarta:Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah, 2010, hlm. i
[2].Ibid hlm iv
[3]
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf
Al-Quran, jakarta : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504
[4]
.Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412
[5].Ahmad
Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rj Grafindo Persada, 1995, hlm.224
[6].Shafiyurihman
, Shahih Tafsir
Ibun Kasir, Bogor
Pustaka Ibnu Kasir, 2006, hlm2006, hlm. 317
[7] .Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta : Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 2000, hlm. 51
[8] .Kompilasi
Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7
[9].Ahmad
Rafq, Pembaharuan Hukum Islam Indonesia, Jkt : Gama Media, 2001 , hlm. 25
[10].Syeikh Abdur Rauf, Kopelma Darussalam Banda Aceh 23373
E-Mail: Zh Isika37@Yahoo.Com .An Analysis Of The Constitutional Court’s
Decision Number 46/Puu-Viii/2010 Naskah Diterima: 11 Juni 2015; Revisi: 5
Agustus 2016; Disetuju
[11] Mustafa al-Khin dan
Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i
(Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 60
[12]
Imam Abu Suja’ Matan
al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31,
[13] Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/84172/syarat-dan-urutan-yang-berhak-jadi-wali-nikah
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id
Komentar