Mengenal Perbedaan Hadist Qudsi dengan Al-Quran

Dayah Malikussaleh
Oleh ; Waled Blang Jruen
18,Hijjriyah 1439, 2018




KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim...
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-NYA, Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah  sederhana ini dengan judul “Perbedaan , Hadis Qudsi dengan  Al-Qur’an Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata pelajaran “Ulumul Qur’an”. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan artikel mini ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini.
Akhir kata saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah meridhai segala usaha kita.Amiiiin


Pendahuluan

Qudsi, dari kata al-qudus, artinya mulia dan agung karena kesuciannya. Maka maksud dari qudsi secara bahasa maknanya Allah Ta’ala mensucikannya. Adapun makna hadits qudsi secara istilah. Hadist Qudsi adalah hadist yang maknanya diriwayatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, sementara redaksinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah yang membedakan antara hadis qudsi dengan al-Quran. Dimana al-Quran adalah kalam Allah, yang redaksi berikut maknanya dari Allah ta’ala. Namun perbedaan keduanya bukan hanya ini saja, ada empat belas macam  perbedaan antara keduanya yang dijelaskan oleh Saiyid ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani, ayahanda dari Abuya Saiyid Muhammad al-Maliki Rahimahullah.

1. Hadist qudsi tidak mengandung nilai mu’jiz (dianggab sebagai mukjizat) karena itu Allah SWT tidak menjadikan membaca hadist Qudsi sebagai ibadah, sedangkan Al-Quran mengandung nilai mu’jiz dan membacanya dianggab sebagai ibadah.

 2. Orang yang sedang berhadast kecil tidak dilarang (tidak haram) menyentuh hadist qudsi, namun haram menyentuh Al-quran.

 3. Orang yang sedang berjunub (berhadast besar) tidak haram membaca hadist Qudsi tetapi haram membaca Al-Quran.

 4. adist Qudsi boleh diriwayatkan maknanya saja (al-riwayah bi al-ma’na) bagi orang yang paham dan mampu meriwayatkannya dengan lafadz yang tidak mengubah makna, sedangkan untuk  Al-Quran tidak boleh.

  5.Hadist Qudsi tidak boleh dibaca di dalam shalat, bahkan membatalkan  shalat, sebaliknya dengan al-quran.

 6. Hadits Qudsi tidak dinamakan sebagai Al-Quran.

 7. Orang yang membaca hadist Qudsi tidak diberikan pahala yang sama seperti orang yang membaca Al-Quran, namun masih diberikan pahala membaca bagian dari ilmu syar`iyah saja.

 8. Hadist Qudsi tidak ada larangan menjualnya dan juga dimakruhkan secara ittifaq ulama, bahkan boleh, sedangkan Al-Quran ada khilafiyah para ulama tentang hukum menjualnya.

 9. Bagian dari hadist Qudsi tidak dinamakan ayat dan surat secara ittifaq ulama.

 10.Kedudukan dadist Qudsi adalah zhanny, karena hadist Qudsi diriwayatkan secara ahad, maka orang yang ingkar terhadap hadist Qudsi tidak dianggab kafir berbeda dengan Al-Quran yang qath'i dan kufur orang yang mengingkarinya.

 11.Hadist Qudsi kebanyakan maknyanya mengandung nasehat-nasehat dan kalam hikmah bukan hukum, berbeda dengan Al-Quran yang juga banyak berisi hukum-hukum.

 12.Hadist Qudsi dinisbahkan kepada Allah secara insya' karena Allah SWT yang mengucapkannya, dan dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW secara ikhbar (menyampaikan) karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang menyampaikannya dari Allah SWT, berbeda dengan Al-Quran yang tidak di nisbahkan dan diidhafahkan kepada selain Allah SWT.

  13.Makna hadist Qudsi berasal dari Allah SWT secara mutlak yang diwahyukan melalui ilham atau mimpi atau juga melalui malaikat, sedangkan lafadznya berasal dari nabi Muhammad SAW ataupun dari malaikat, sedangkan Al-Quran, lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT yang disampaikan melalui wahyu yang nyata melalui malaikat.

 14.Hadist Qudsi diwahyukan oleh Allah SWT melalui ilham dan mimpi dan dituang kedalam relungan hati Rasulullah dan juga melalui lisan malaikat, sedangkan Al-Quran tidak diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW kecuali melalui perantara malaikat.


Makna hadits Qudsi

 Artinya mulia dan agung karena kesuciannya. Maka maksud dari qudsi secara bahasa maknanya Allah Ta’ala mensucikannya1. Adapun makna hadits qudsi secara istilah,

ما رواه النبي صلّى الله عليه وسلّم عن ربه – تعالى -، ويسمى أيضاً (الحديث الرباني والحديث الإلهي

“Hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dari Allah Ta’ala, dan disebut juga hadits rabbani dan hadits ilahi.
Lafal dan Makna Hadits Qudsi dari Allah?

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai lafal dan makna hadits Qudsi, apakah dinisbatkan kepada Allah. Sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya dari Allah sedangkan lafalnya dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. ;

والحديث القدسي ينسب إلى الله تعالى معنىً لا لفظاً، ولذلك لا يتعبد بتلاوة لفظه، ولا يقرأ في الصلاة،

“Hadits qudsi maknanya dinisbatkan kepada Allah namun tidak dengan lafalnya. Oleh karena itu membaca lafalnya tidak dianggap sebagai ibadah dan tidak dibaca dalam shalat.
هو الذي يرويه النبي صلّى الله عليه وسلم، على أنه من كلام الله تعالى، فالرسول ناقل لهذا الكلام، راو له ولكن بلفظ من عنده هو، يتبدى ذلك صريحا فيما ينقل الرواة في آخر سند الحديث. قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: قال الله تعالى، أو قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عزّ وجل»

“Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dianggap sebagai firman Allah, yang dinukil oleh Rasulullah namun dengan lafal dari beliau. Ini nampak jelas dari apa yang dinukil pada akhir sanadnya. Biasanya seperti ini, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman…” atau “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, dari yang ia riwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.

Sebagian ulama berpendapat bahwa lafal dan maknanya dari Allah, mereka mengatakan tentang hadits qudsi,

المسندة إلى الله تعالى بأن جعلت من كلامه سبحانه ولم يقصد إلى الإعجاز

“Hadits yang bersambung sanadnya hingga Allah Ta’ala, dan ia dianggap sebagai firman Allah, namun tidak dimaksudkan untuk memiliki i’jaz (keistimewaan seperti Al Qur’an)

Namun perbedaan dalam masalah ini sama sekali tidak mengurangi keabsahan hadits qudsi sebagai dalil dan sumber hukum agama, selama ia adalah hadits yang memenuhi persyaratan hadits yang maqbul. Bentuk dan Contoh Hadits Qudsi ;

Pertama, hadits yang di akhir sanadnya disebutkan:

قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عزّ وجل

“Rasulullah shallallahu’alaihi w asallam bersabda, dari yang ia riwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla…”

Kedua, hadits yang di akhir sanadnya disebutkan:

قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: قال الله تعالى

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Ta’ala berfirman’ …” atau semisalnya.

Di antara contoh hadits qudsi adalah hadits berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً “

“Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku ada bersamanya jika ia senantiasa ingat Aku. Jika ia ingat Aku sendirian, maka Aku pun akan ingat ia sendirian. Jika ia ingat Aku dalam sekumpulan orang, Aku akan ingat dia dalam kumpulan yang lebih baik dari itu (Malaikat). Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta, jika ia mendekat kepadaku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya berlari” (HR. Bukhari no.7405).


Daftar pustaka / Referensi ;

Kitab Majmu’ Fatwa wa al-Rasail, Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani, cet. Dar al-Kutub al-‘Alamiyah 1971, halaman 222

Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Muassasah Ar-Risalah: Mesir, 1404H), hlm. 19.

Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Muassasah Al-Halaby: Kairo, t.th.), hlm . 147-148.

M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, (Dar Al-Arshad: Beirut, t.t.), hlm. 10.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), hlm . 854.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah