PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904
16.Agustus, 2018 artikel mini oleh apayuh komandan operasi wilayah, 03:30 PM | Sejarah Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh.
Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah
melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya
dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April
1873. Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki
Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku
Muhammad Dawod yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah.
Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam
perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus
tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan
mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi
Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang
gerilya
Penulis Belanda MH Skelely Lulofs menuliskan novel biografi
Cut Nyak Dhien: Kisah Perang Ratu Aceh. Mengisahkan perjuangan Cut Nyak
Dhien memimpin perang melawan Belanda. Masyarakat Aceh menyebutnya Prang
Sibi melawan kaphe Ulanda atau perang sabil yang suci melawan kafir
Belanda. Aceh adalah salah satu daerah terakhir yang bisa ditaklukan
Belanda. Kesultanan Aceh yang merdeka saat itu dikenal kuat. Mereka juga
memiliki hubungan diplomatik dengan Amerika, Italia dan Turki. Belanda
yang serakah berusaha menjajah kesultanan Aceh dengan mengirim
kapal-kapal perangnya tahun 1873. Mereka menilai posisi Aceh sangat
strategis untuk berdagang di Selat Malaka yang ramai. Tembakan meriam
Kapal Perang Citadel van Antwerpen membuka Perang Aceh yang panjang dan
berdarah. Perang tahun 1873-1904 tersebut memakan banyak sekali biaya
dan korban di kedua pihak. Di pihak Belanda, 35.000 prajurit tewas.
Sementara 70.000 rakyat Aceh meninggal. Tak kurang dari sejuta orang
terluka selama perang ini. Perlawanan tak pernah benar-benar bisa
dipatahkan sampai tahun 1942 saat Belanda diusir Jepang dari Aceh.
Pasukan Belanda tak pernah mampu menundukkan rakyat Aceh yang keras
seperti baja. Inilah kisah Sang Ratu Perang Aceh:
Cut Nyak Dhien
dilahirkan tahun 1848 dari keluarga terkemuka di Lampadang, Kesultanan
Aceh. Ayahnya Teuku Nanta Seutia adalah seorang ulubalang yang memimpin
beberapa kampung. Cut Nyak Dhien kecil dididik dengan ajaran Islam yang
kuat. Dia dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamngna saat berusia 12 tahun.
Ketika pecah Perang Aceh pertama pecah, tanggal 8 April 1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen. Pasukan di bawah Jenderal Johan Harmen
Rudolf Kohler langsung menyerang Masjid Raya Baiturrahman. Kohler
kemudian membakarnya. Menurutnya, masjid adalah markas para pejuang Aceh
yang harus dimusnahkan. Cut Nyak Dhien sangat marah dengan perbuatan
Belanda itu. Dia berteriak menghujat pembakaran Masjid Baiturahman.
"Wahai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan
sendiri dengan matamu! Masjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah
Subhanahuwata’ala ! Tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah
dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir
yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si
kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak
kafir Belanda?" Kemarahan Cut Nyak Dhien baru reda saat kemudian
suaminya kembali dari medan perang dan mengabarkan Jenderal Kohler tewas
ditembak pejuang Aceh di halaman Masjid Baiturahman.
Pilih suami
yang bisa memerangi Belanda Teuku Umar. Teuku Ibrahim Lamnga selalu
berjuang di garis depan melawan Belanda. Dalam sebuah pertempuran di Gie
Tarum, Ibrahim tewas. Kemarahan Cut Nyak Dhien pada Belanda pun makin
menjadi-jadi. Untuk meneruskan perjuangan dia menikah dengan Teuku Umar.
Awalnya Cut Nyak Din sempat menolak lamaran Umar. Namun saat Umar
menjanjikannya boleh ikut berperang, maka lamaran diterima. Umar pun
janji akan membantu Cut Nyak Din membalas kematian suaminya. Perkawinan
mereka digelar tahun 1880. Saat itu usia Cut Nyak Din 32 tahun,
sementara Umar lebih muda dua tahun. Keduanya pun masih memiliki
hubungan kerabat. Dari Umar Cut Nyak Din memiliki seorang anak yang
diberi nama Cut Gambang. Pernikahan ini menambah semangat Rakyat Aceh.
Keduanya bersama-sama menyerang pos-pos Belanda. Kerugian di pihak
penjajah tak sedikit. Teuku Umar pernah bersiasat, dia pura-pura
menyerah ke pihak Belanda. Dia berlaku benar-benar seperti pengkhianat
hingga rakyat Aceh sangat marah. Sebaliknya, Belanda menjadi sangat
percaya pada Umar. Suatu hari Teuku Umar ditugaskan dalam sebuah misi.
Belanda pun memberinya sejumlah besar senjata, peluru dan uang. Namun
kemudian Umar malah kabur membawa aneka perlengkapan ini dan
membagikannya untuk para pejuang Aceh. Umar pun kembali memimpin
pertempuran melawan Belanda.
Orang syahid tak perlu ditangisi
Marsose Tahun 1896, Teuku Umar memimpin dan memegang seluruh komando
perang Aceh. Dia dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang
Laot. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh
satu komando. Namun dalam sebuah penyergapan di Meulaboh, Teuku Umar
disergap oleh pasukan Belanda. Saat itu dia dan pasukannya tak siap
menerima serangan. Panglima Perang itu tewas dengan dada ditembus peluru
Belanda tangal 11 Februari 1899. Walau berduka, Cut Nyak Dhien tak mau
menangis. Dia memarahi anaknya yang menangisi kepergian ayahnya. "Kita
perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah
syahid," katanya. Cut Nyak Dhien berjanji untuk meneruskan perjuangan
sampai titik darah penghabisan. Meneruskan aksi kedua suaminya yang
terbunuh dalam Prang Sibi. "Selama aku masih hidup kita masih memiliki
kekuatan, perang geriliya ini akan kita teruskan! Demi Allah! Umar
memang telah Syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama!
Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!"
Marsose
Belanda Marsose Perang Aceh benar-benar menguras korban dan biaya di
pihak Belanda. Pasukan reguler Koninklijk Nederlands Indisch Leger
(KNIL). Mereka terpaksa membentuk Korps Marechaussee atau yang disebut
Marsose. Marsose dipilih dari pasukan KNIL yang terbaik. Jago tembak dan
ahli berkelahi dengan pedang dan tangan kosong. Jika pasukan KNIL
terbiasa bertempur dalam unit besar, Marsose bergerak dalam unit kecil
20 orang. Sejarawan militer Petrik Matanasi menulis Marsose
bersenjatakan klewang dan bedil pendek atau karaben. Mereka tak
tergantung angkutan militer dan terbiasa berjalan kaki menembus
pegunungan dan hutan rima di Aceh. Marsose juga tak tergantung pada
jumlah peluru. Mereka lebih memilih bertarung dengan senjata tajam
seperti para pejuang Aceh. Konon inilah cikal bakal pasukan komando
pertama. Namun Marsose juga sangat kejam. Padahal sebagian besar anggota
mereka adalah orang pribumi dari daerah yang telah ditaklukan Belanda
seperti Ambon, Manado, Jawa, Sunda. Marsose menebar teror hingga rakyat
Aceh ketakutan untuk membantu pejuang. Saking kejamnya bahkan sejumlah
orang Belanda juga merinding mendengar kelakuan tentaranya sendiri.
Pasukan elite ini juga yang menyergap dan menewaskan Teuku Umar. Pejuang
wanita Aceh lain Cut Meutia juga tewas saat berhadapan dengan Marsose.
Tak sudi diserahkan pada Belanda Cut Nyak Dien Perlahan-lahan, satu
persatu pejuang Aceh bisa dikalahkan oleh Belanda. Posisi Cut Nyak Dhien
makin terjepit di dalam hutan. Penyakitnya memburuk bahkan membuatnya
hampir buta. Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan
lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Dia meminta Belanda
memperlakukan Cut Nyak Dhien dengan hormat. Belanda kemudian menyerang
markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Saat pasukannya dikalahkan,
Cut Nyak Dhien meludahi Pang laot. Dia bilang lebih baik dadanya ditusuk
rencong hingga tewas daripada harus menyerah pada kafir Belanda.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di
situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Cut
Nyak Dhien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan
Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan. Di
pembuangan dia dipanggil Ibu Perdu karena keahliannya dalam ilmu agama.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang lebih tua
Komentar