Cara Bertaubat Dari Harta Haram

 BERTAUBAT DARI HARTA HARAM

Uang Haram Sebaiknya Diapakan Harta Haram Berubah Menjadi Halal Cara Mensucikan Uang         Haram Cara Menghalalkan Uang Haram Hukum Membeli Barang Dengan Uang Haram

Dayah Nahdatul 'ulum 
Oleh : Tgk. Abdillah.SE.,MA
Cara Bertaubat Dari Harta Haram


A. PENDAHULUAN

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa doakan kepada Rasul Kita  Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan AL keluarga dan sahabat Beliau sekalian nya.

Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Kita tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.

ALASAN SUATU HARTA DIHARAMKAN?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:

1.Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya),semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.

2.Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.

Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]

Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara memberi, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya. Sahabat Anas ibnu Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.

Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan. Sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
Artinya:
“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.”

Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
Artinya:
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya.” 

Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi. Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor). 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: [al-A’raf/7: 157]

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Artinya:
“Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.

Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba   (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

Artinya : 
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah pada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakan (apa yang diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan terjadi perang dahsyat dari Allah dan RosulNya dan jika kamu bertaubat maka bagi kamu pokok harta kamu, kamu tidak dianiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi / dirugikan.

Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal. Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibnu Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:

فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
Artinya:
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku"? 

Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya.Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya. Penjelasan ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:

لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
Atinya:
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.

Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dan hasil usaha mereka. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.” Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:

تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
Artinya:
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”

Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.

B.CARA TAUBAT DARI HARTA HARAM

Salah satu fitnah yang banyak terjadi saat ini adalah banyaknya harta syubhat dan bahkan haram. Banyak orang yang menjadi kaya dari hasil berjudi, menjadi bandar narkotika, korupsi dll. Namun hidayah Allah bisa datang kapan saja. Kadang kala seorang yang telah mengumpulkan harta benda dengan jalan yang haram, datang hidayah sehingga ia menyesali sikapnya dan ingin bertaubat. Tak sedikit yang bingung mau di bawa ke mana hartanya tersebut.

Pertanyaan:

Bagaimana cara taubat dari harta haram?
Bagaimanakah hukumnya shadaqah dengan harta haram?
Bolehkan kita menerima shadaqah dari orang kaya yang hartanya dari hasil harta haram?


Jawaban:

Seseorang yang memiliki harta haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau wakilnya. Apabila pemiliknya sudah meninggal dunia, maka diberikan kepada ahli warisnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut wajib diserahkan kepada qadhi (baitul maal) yang adil untuk dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum yang dibolehkan syar’i, seperti membangun mesjid atau lainnya, bila tidak ada kebutuhan maslahah umum maka di serahkan kepada faqir miskin. Namun jika qadhi tersebut bukan orang yang adil maka dengan menyerahkan kepada seorang alim dan adil yang ada di daerah tersebut. Apabila juga tidak mungkin, maka langsung di tasharuf sendiri kepada maslahah umum. Bila di serahkan kepada faqir miskin maka si faqir tersebut halal menggunakan harta tersebut serta tidak di katakan ia telah memakai harta haram.

Syarat shadaqah dan tabaru’ lainnya adalah harus harta milik sendiri. Maka karena harta haram tidak menjadi milik yang sah, maka shadaqah dengan harta haram juga tidak sah.

Sedangkan menerimanya bila kita telah meyakini bahwa harta yang ia berikan kepada kita berasal dari hasil usaha haram maka haram bagi kita menerimanya. Sedangkan bila tidak bisa di pastikan bahwa harta yang di berikan berasal dari harta haram di karenakan ia juga memiliki usaha yang halal, maka boleh menerimanya namun yang wara` adalah jangan menerimanya.

Nash kitab Mu’tabarah ;

1. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz.VII, hal.293;
لِأَنَّ مَا حَرُمَ أَخْذُهُ لِحَقِّ الْغَيْرِ إذَا أخذه وجب رده إلى مالكه كالمغصوب وان هلك عنده وجب عليه الجزاء لانه مال حرام أخذه لحق الغير فصمنه بالبدل كمال الآدمى

2. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz. IX, hal. 351
قال الغزالي إذا كان معه مال حرام وأراد التوبة والبراءة منه فان كان له مالك معين وجب صرفه إليه أو إلى وكيله فان كان ميتا وجب دفعه إلى وارثه وان كان لمالك لا يعرفه ويئس من معرفته فينبغي أن يصرفه في مصالح المسلمين العامة كالقناطر والربط والمساجد ومصالح طريق مكة ونحو ذلك مما يشترك المسلمون فيه والا فيتصدق به علي فقير أو فقراء وينبغي أن يتولى ذلك القاضى ان كان عفيفا فان لم يكن عفيفا لم يجز التسليم إليه فان سلمه إليه صار المسلم ضامنا بل ينبغى أن يحكم رجلا من أهل البلد دينا عالما فان التحكم أولى من الانفراد فان عجز عن ذلك تولاه بنفسه فان المقصود هو الصرف إلى هذه الجهة وإذا دفعه إلى الفقير لا يكون حراما على الفقير بل يكون حلالا طيبا وله أن يتصدق به على نفسه وعياله إذا كان فقيرا لان عياله إذا كانوا فقراء فالوصف موجود فيهم بل هم أولى من يتصدق عليه وله هو ان يأخذ منه قدر حاجته لانه أيضا فقير وهذا الذى قاله الغزالي في هذا الفرع ذكره آخرون من الاصحاب وهو كما قالوه ونقله الغزالي أيضا عن معاوية بن أبى سفيان وغيره من السلف عن احمد بن حنبل والحارث المحاسبي وغيرهما من أهل الورع لانه لا يجوز اتلاف هذا المال ورميه في البحر فلم يبق إلا صرفه في مصالح المسلمين والله سبحانه وتعالى أعلم

3. Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 158:
مسألة : ب ش) : وقعت في يده أموال حرام ومظالم وأراد التوبة منها ، فطريقه أن يرد جميع ذلك على أربابه على الفور ، فإن لم يعرف مالكه ولم ييأس من معرفته وجب عليه أن يتعرفه ويجتهد في ذلك ، ويعرفه ندباً ، ويقصد رده عليه مهما وجده أو وارثه ، ولم يأثم بإمساكه إذا لم يجد قاضياً أميناً كما هو الغالب في هذه الأزمنة اهـ. إذ القاضي غير الأمين من جملة ولاة الجور ، وإن أيس من معرفة مالكه بأن يبعد عادة وجوده صار من جملة أموال بيت المال ، كوديعة ومغصوب أيس من معرفة أربابهما ، وتركة من لا يعرف له وارث ، وحينئذ يصرف الكل لمصالح المسلمين الأهم فالأهم ، كبناء مسجد حيث لم يكن أعم منه ، فإن كان من هو تحت يده فقيراً أخذ قدر حاجته لنفسه وعياله الفقراء كما في التحفة وغيرها ، زاد ش : نعم قال الغزالي إن أنفق على نفسه ضيق أو الفقراء وسع أو عياله توسط حيث جاز الصرف للكل ، ولا يطعم غنياً إلا إن كان ببرية ولم يجد شيئاً ، ولا يكتري منه مركوباً إلا إن خاف الانقطاع في سفره اهـ. وذكر نحو هذا في ك وزاد ولمستحقه أخذه ممن هو تحت يده ظفراً ، ولغيره أخذه ليعطيه به للمستحق ، ويجب على من أخذ الحرام من نحو المكاسين والظلمة التصريح بأنه إنما أخذه للرد على ملاكه ، لئلا يسوء اعتقاد الناس فيه ، خصوصاً إن كان عالماً أو قاضياً أو شاهداً

4. Fatawi Kubra al-Fiqhiyyah, Juz. III, hal. 97;
وسئل عن مغصوب تحقق جهل مالكه هل هو حرام محض أو شبهة وهل يحل التصرف فيه كاللقطة أو كغيرها؟
فأجاب بقوله لا يحل التصرف فيه ما دام مالكه مرجو الوجود بل يوضع عند قاض أمين إن وجد وإلا فعالم كذلك فإن أيس من معرفة مالكه صار من جملة أموال بيت المال كما في شرح المهذب فإنه قال ما ملخصه من معه مال حرام وأيس من معرفة مالكه وليس له وارث فينبغي أن يصرفه في المصالح العامة كالقناطر والمساجد وإلا فيتصدق به على فقير أو فقراء. ويتولى صرفه القاضي إن كان عفيفا وإلا حرم التسليم إليه وضمنه المسلم بل ينبغي أن يحكم رجلا من أهل البلد دينا عالما فإن فقد تولاه بنفسه وأخذ الفقير للمدفوع إليه حلال طيب وله أن يتصدق به على نفسه وعياله إن كانوا فقراء والوصف موجود فيهم بل هم أولى من يتصدق عليهم وله أن يأخذ منه قدر حاجته لأنه أيضا فقير كذا ذكره الأصحاب ونقل عن معاوية وأحمد والحارث المحاسبي وغيرهم من أهل الورع لأنه لا يجوز إتلاف المال ولا رميه في البحر فلم يبق إلا مصالح المسلمين ا هـ وقد سبقه إليه الغزالي في الإحياء وغيره هذا في الحرام المحض كما تقرر أما ما لم يتحقق فيه ذلك فهو شبهة والاشتراء منه مكروه وإن غلب الحرام كما في شرح المهذب وقال الغزالي حرام قيل يستثنى من الأول ما قاله الشيخ عز الدين من أنه لو اختلط ثوب مباح بنحو ألف ثوب مغصوب فيجب الجزم تحريم الشراء لأن المباح مغمور تافه بالنسبة إلى الحرام ويؤيده قولهم في باب الصيد لو اختلط حمام مملوك غيرمحصور بحمام مباح محصور حرم الاصطياد منه ا هـ

5. Fatawi al-Khalily, Juz. I, hal. 115:
سئل) في رجل عنده مال حرام، أو من شبهة، فهل يجب عليه الحج، وإذا حج منه، هل يصح حجه ويسقط عنه فرض الإسلام، وهل إذا تصدق منه يثاب، وهل تجب فيه الزكاة؟
أجاب) اعلم وفقك الله تعالى أن المال الحرام يجب رده على مالكه وكل ما مر عليه زمن يكون آثما ببقائه عنده، فلا يطالب من عنده المال الحرام لا بحج، ولا غيره، ولا زكاة مال، ولا زكاة بدن؛ لأنه فقير حيث لم يكن عنده غيره، وأما المال الذي من شبهة، فإن كان المراد به شبهة الحرام، كأن قال بحله عالم، وبحرمته آخر، فإن قلد القائل بالحرمة، فقد علم حكمه، وإن قلد القائل بالحل جرت فيه سائر الأحكام كوجوب الحج والزكاة، وغير ذلك؛ لأنه مال مملوك وإن كان الورع تركه، وإن كان المراد بالشبهة بحيث لا يقطع بحله، كأخذ من مال ممن أكثر ماله حرام، ومال من يبيع الخمر، ومن يتعاطى الحرام، فهذا الورع تركه، ولكن يجوز أخذه، وأكله، والتعامل مع مالكه، وتجري فيه الأحكام الشرعية من وجوب الزكاة فيه، والحج والعمرة والفطرة وغير ذلك، ومع ذلك من حج من مال حرام، أو شبهة صح حجه وعمرته ووقع عن فرض الإسلام؛ لأن الحج لا تعلق له بالمال أصلا، وإنما تعلقه بالبدن والأعمال؛ لأن الإحرام والطواف والسعي، والوقوف بعرفة، ورمي الجمار، والحلق والتقصير، وجميع الأقوال التي في الحج سنة، نعم لو وجب عليه دم من دماء الحج واشترى دما بعين المال الحرام لم يجزه، وبقي الدم في ذمته، فإن اشتراه في ذمته، ثم دفع المال الحرام لم تبرأ ذمته، ولكن الدم يجزيه عن الدم الواجب، ولا شك أن المال الحرام لا يجوز التصدق به؛ لأنه يجب رده على مالكه، بل نقل بعض العلماء أنه لو اعتقد أنه يثاب بالمال الحرام، وتصدق به أنه يكفر، نعم قد يقال: فيه نوع سرور بدخوله على المتصدق عليه، ولكن هذا لا يقاوم إثم ترك الواجب، ولا تجب فيه زكاة، ولا تستحب؛ لما علم من وجوب رده على مالكه؛ لأن الزكاة تتعلق ببعض المال، ويصح ستر العورة به في الصلاة، وتصح الصلاة وإن كان لابسه آثما بلبسه؛ لأن أفعال الصلاة، وأقوالها خارجة عن اللباس. نعم الإمام أحمد رضي الله عنه لا تصح العبادة عنده بالحرام لشدة ورعه، والله أعلم

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah