WAHABI MENURUT ULAMA DAN UMARA
Universitas Islam Dunia,
3 hijjriyah 1442
Kacamata Islam, tentang beribadah
Ditulis 0leh Walid Blang Jruen
Mahasiswa Pascasarjana
A. Pendahuluan
Diskursus tentang Wahhẚbi selalu saja menarik untuk dicermati, dimana pro dan kontra terus berlangsung tiada henti. Isu Wahhẚbi tidak hanya menarik perhatian kalangan intelektual akademisi, tetapi isu ini juga turut menjadi topik dalam kontestasi politik. Bahkan isu Wahhẚbi juga ikut melahirkan diskusi hangat di kalangan atas menengah dan dikalangan awam yang dalam kondisi tertentu berakhir pada perdebatan tanpa ujung, menyikapi isu ini, masyarakat muslim terbelah dalam dua kutub yang saling bertentangan secara diametral. Satu pihak mendukung Wahhẚbi dan pihak lain lainnya menolak.
Wahabi telah menjadiperbincangan hangatdi Aceh menyusul parade Aswaja yang digelarpada 10 September 2015. Ratusan massa yang menamakan dirinya Gerakan Aswaja melakukan demontrasi diBanda Aceh[1]. Salah satu tuntutannya adalah melarang Wahabi berkembang di Aceh. Menurut gerakan ini, Wahabi adalah salah satu aliran sesat yang sangat membahayakan aqidah umat Islam. Massa kebanyakan berasal dari kalangan dayah tradisional[2].
Disini Saya melihat bahwa dalam konteks Aceh, istilah Wahhẚbi dipahami berbeda-beda oleh masyarakat dan ulama. Bahkan di Aceh juga ada sebagian kalangan ulama dan Umara yang menganggap Wahhẚbi sebagai aliran yang menyimpang, sedangkan dalam berbagai literature mereka disebut gerakan pemurnian agama yang bertujuan menghapus shirk, bid’ah dan khurafat.
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pelopor gerakan Wahhẚbi yang muncul di Nejd[3], Saudi Arabiya. Menurut Ahmad Amin, gerakan ini menamakan dirinya sebagai muwẚḥḥidủn, sementara istilah Wahhẚbi adalah julukan dari musuh-musuh mereka yang kemudian juga digunakan oleh orang-orang Eropa. Hal senada dikemukakan Hitti bahwa penamaan Wahhẚbi bukan berasal dari mereka sendiri, tapi dari musuh-musuh mereka[4]
Terkait penamaan Wahhẚb[5],menurut Hafiz Wahbah Zuhayli sebagaimana dikutip Aboebakar Atjeh, istilah Wahhẚbi tidak dikenal di negeri Arab. Nama ini sengaja dimunculkan oleh pihak yang tidak senang dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab[6].Tapi, di buku lainnya, Aboebakar Atjeh justru menyatakan bahwa orang-orang Wahhẚbi merasa bangga dipanggil dengan nama tersebut[7].Dari penjelasan inidapat dikemukakan bahwa pada awalnya penamaan Wahhẚbi memang bukan berasal dari mereka sendiri, namun dalam perkembangan selanjutnya, dengan beberapa alasan, para pengikut ajaran ini juga mulai menggunakan nama Wahhẚbi untuk mengi -dentifikasi kelompok mereka.
Apayus menceritakan[8] Mengenai penamaan Wahhẚbi ini menarik juga kita Uraikan pendapat Muhammad bin Sa’ad Asy -Syuwa’ir ianya menyatakan bahwa nama Wahhẚbiyah pada asalnya adalah nama sebuah gerakan Khawẚrij di Afrika Utara pada abad kedua Hijrah yang dinisbatkan kepada Abdul Wahhab bin Abdurahman bin Rustum [9].Kelompok Wahhẚbi Rustumiyah ini adalah[10]sempalan dari Khawẚrij Ibẚḍiyah yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby yang dikenal dengan kelompok Wahbiyah (bukan Wahhẚbi).Beberapa kalangan yang tidak senang dengan perkembangan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian melabelkan panggilan Wahhẚbi bagi pengikutnya. Para penentang Muhammad bin Abdul Wahhab ini juga mencari fatwa -fatwa yang menyesatkan Wahhẚbi Rustumiyah untuk kemudian disematkan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab[11]. Fatwa-fatwa yang menyesatkan kelompok Wahhẚbi ini ditulis jauh sebelum kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Asy-Syuwa’ir menyebut bahwa fatwa tersebut di antaranya berasal dari kitẚb al-Mihyar al-Mu’ribfỉ Fatawẚ Ahl al-Maghrib yang ditulis Ahmad bin Muhammad al-Wansyarisy (wafat 914H).
Dalam kitab itu, menurut Asy-Syuwa’ir, gerakan Wahhẚbi tidak bisa dianggap hanya sebatas gerakan keagamaan, tapi telah bermetamorfosis menjadi gerakan politik keagamaan.11Amstrong menjelaskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan koalisi dengan Saud untuk mengembalikan Arab kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
Pada awalnya, mereka melakukan gerakan pemurnian di Dir’iyah dan Riyaḍ, kemudian di Nejed. Mereka menghancurkan berhala-berhala dan persembahan serta melarang merokok dan minum anggur. Gerakan ini juga memberlakukan hukum rajm di wilayah kekuasannya. Di bawah pimpinan Saud, gerakan Wahhẚbi bergerak ke luar Nejed. Dalam kurun waktu 60 tahun mereka telah berhasil menguasai seluruh Arabiya, dari Teluk Parsi sampai dengan kota suci Makkah dan Madinah; dan dari Lautan India sampai pegunungan Libanon di Suriah. Wahhẚbi, masih menurut Amstrong saat itu telah menjadi penguasa padang pasir dan menolak mengakui kekuasaan Turki Utsmani di Istambul. Mereka melakukan serbuan ke Mesopotamia dan menghancurkan Karbala sehingga menyebabkan kemarahan dari pihak Turki Utsmani.12 Muhammad bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya pada 1740 M dan mendapat dukungan dari Muhammad bin Saud pada 1744.13 Setelah terjadi kontak antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan Muhammad bin Saud, kemudian gerakan Wahhẚbi melakukan ekspansi militer dari Nejed ke Hijaz serta menguasai Makkah dan Madinah pada 1216 H/1803 M.14 Piscatori menyebut pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Ibnu Saud sebagai persekutuan bersejarah.[12]
Pada 1804 M Wahhẚbi menguasai seluruh Hijaz dan pada 1811 M kekuasaan Wahhẚbi meluas ke Aleppo di Utara Samudera Hindia dan dari Teluk Persia di Timur sampai Laut Merah.16 Kondisi ini tidak bertahan lama, sebab pada abad ke 13 H/19 M, Wahhẚbi dikalahkan oleh Muhammad Ali Pasya dari Mesir yang berada di bawah kekuasaan Utsmani[13]. Pada saat menyerang Wahhẚbi, Muhammad Ali Pasya turut menggunakan jasa perwira -perwira Eropa untuk menyukseskan misinya. [14]Sejak 1227
Walid Blang Jruen Selaku Penulis mengutip perkataan al-Lakhmiy, Dewan fatwa Andalusia dan Afrika Utara yang wafat pada 478H.9 Adapun Muhammad bin Abdul Wahhab yang ingin dikaitkan dengan Wahhẚbi Rustumiyah justru baru lahir pada 1115 H dan wafat pada 1206 H.10
Wahhẚbi menurut Ulama dan Umara di Aceh berbeda beda pandangantentang mereka disini sangat menarik untuk diteliti dalam rangka mencari sebab-sebab munculnya fenomena penolakan organisasi Ulama dan Umara di Aceh tersebut terhadap Wahhẚbi. Penelitian ini mengang kat judul:“Wahhẚbi menurut Ulama dan Umara Aceh terhadap Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Kegamaan di Aceh.”
B. Metode Penelitian
Penelitian ini melakukan kajian tentang persepsi Ulama dan Umara terhadap Wahhẚbi dan implikasinya terhadap kehidupan sosial keagamaan diAceh. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggabungkan penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research) menggunakan pendekatan sosiologi-fenomenologi. Langkah-langkah pengumpulan data dilakuk -an melalui wawancara dan survei literature.
C. Pembahasan dan Hasil Penelitian
1. Orientasi Teologis Ulama dan Umara Aceh berazaskan Islam yang menganut paham Ahlusuunnah Waljamẚ‘ah dengan Mazhab Shafi‘ỉ. Kemudian memperkukuh persaudaraan antara ulama dan umra dan dayah--dayah yang ada di Aceh. Dalam permasalahan bidang fiqh berpegang pada Mazhab Shafi‘ỉ, yang telah dianut oleh masyarakat sejak masa Kerajaan Aceh. Dalam bidang tauḥid secara tegas ulama dan umara menganut paham Ash‘ẚriyah dan Maturidiyah. Sementara dalam taṣawwuf merujuk pada Junaid Baghdadi atau al-Ghazali.
Abu Panton menegaskan bahwa semua ulama dayah di Aceh adalah penganut Madhhab Shafi‘ỉ dalam bidang fiqh dan paham Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah dalam bidang teologi. Penegasan dari Abu Panton ini semakin memperjelas bahwa seluruh ulama dan Umara di Aceh dan juga Ulama Dayah sebagai tempat mereka berhimpun menganut paham Ahlusunnah Waljamẚ‘ah dalam bidang teologi. Secara lebih tegas, Ahlusunnah Waljamẚ‘ah yang dianut Ulama Aceh adalah pemikiran-pemikiran teologi yang merujuk kepada Asy‘ẚriyah dan Maturidiyah.
Dalam pandangan ulama tradisional yang merujuk pada Asy‘ẚriyah, tengku Hasballah Ahli Ilmu Mantiq salah seorang murid tersayang Abu Panton mangatakan bahswa ayat-ayat al-Qur`an yang seolah-olah menyatakan Allah bertubuh harus ditakwilkan. Hal ini sejalan dengan penjelasan ibnu Abbas, bahwa jika terdapat ayat menyatakan Allah bertangan, bermuka atau duduk, maka ayat-ayat tersebut harus ditakwilkan dan ditafsirkan secara majazi dan tidak boleh diyakini menurut makna asal dari kata tersebut.
Ulama dan Umara Aceh Secara organisasi seperti HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) tidak ada kaitan dengan NU (Nahdatul Ulama), namun secara ideologi kedua organisasi ini memiliki kesamaan. Menurut Teungku Faisal Ali, dayah di Aceh semuanya memiliki ideologi yang sama dengan NU Selain itu, HUDA juga masih merawat berbagai tradisi semisal acara kenduri kematian yang dilakukan hari pertama sampai hari ke tujuh, tiga puluh, empat puluh empat sampai dengan hari ke seratus pasca meninggal. Selain menyiapkan makanan, dalam acara ini juga dilakukan pembacaan ayat al-Qur’an dan doa-doa yang diniatkan fahalanya kepada orang yang sudah meninggal.
2. Wahhabi menurut Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
Secara umum, pengetahuan HUDA tentang Wahhẚbi diperoleh dari berbagai referensi yang ditulis kalangan Wahhẚbi atau non Wahhẚbi, baik buku maupun kitab. Hal ini diantaranya dikemuka kan Teungku Bulqaini dan Teungku Ibnu Hajar[15], tetapi mereka tidak menyebutkan secara detail referensi yang dimaksud. Sementa -nra itu Teungku Al Khalidi Yusna selaku Abu Imum Syiek mengaku memperoleh pengetahuan tentang Wahhẚbi dari pembelajarannya sewaktu di dayah Panton Labu dengan Membaca Kitab Kitab mereka seperti Bulughul Maram juga menambah wawasannya dengan wawancarai FPI (Front Pembela Islam) dan mimbar ceramah baik pada acara maulid maupun mimbar khutbah pada hari jum’at. Dia juga mengaku mendapatkan informasi tentang Wahhẚbi dari buku yang ditulis Syaikh Idahram (nama palsu) dan juga buku-buku yang ditulis oleh tokoh Wahhẚbi Indonesia, di antaranya: Abdul Qadir Jawas dan Firanda[16].
Adapun Abu Mustafa Puteh mengaku mendapatkan pengetahuan tentang Wahhẚbi dari Kitẚb Shawẚhid al-ῌaq yang ditulis Shaykh Abu Yusuf An-Nabhani dan Kitẚb Radd ‘Alẚ Wahhẚbiyah yang ditulis Habib Muhammad Alawi di Makkah[17].
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa sebagian Ulama Aceh memperoleh informasi tentang Wahhẚbi dari sumber -sumber yang tidak otoritatif. Dengan kata lain, sumber-sumber rujukan yang digunakan untuk memahami ajaran Wahhẚbi berasal dari tulis an-tulisan yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang dikenal kontra terhadap pemikiran Wahhẚbi. Ulama Aceh mempelajari ajaran Wahhẚbi langsung dari kitẚb yang ditulis oleh tokoh Wahhẚbi sendiri Dengan demikian pengetahuan Ulama Dayah Aceh tentang Wahhẚbi telah permanen sehingga setiap perdgerakan wahabiyah di Aceh akan tercium pergerakannya
Menurut Teungku Bulqaini yang sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Wahhẚbi adalah ideologi sesat dan berbahaya. Wahhẚbi adalah satu ideologi yang sesat sesuai konferensi di Chehnya bahwa Wahhẚbi tidak termasuk dalam firqah yang selamat. Wahhẚbi jelas sesat.
Dalam pemahaman Wahhẚbi Allah duduk di langit ke tujuh, yang mengakui Allah bertempat maka mereka kafir. Mereka Ahli kiblat tapi diluar Ahlusunnah Waljamẚ‘ah. Wahhẚbi orang memper turut nafsu dan mengaku mengikut sahabat. Seperti contoh tawassul, Wahhẚbi melarang tawassul, bukan soal tidak ada qunủt subuh, tapi masalah ‘aqỉdah. Seperti kata Ibnu Taimiyah bahwa Allah turun dari ‘Arash pada sepertiga malam terakhir seperti saya turun dari mimbar. Ini salah karena menyamakan Allah dengan dirinya karena dirinya itu makhluk.Kemudian Wahhẚbi mengatakan orang tua Nabi masuk neraka, ini tidak bisa kami terima. Inilah sebab saya marah kepada Wahhẚbi ujar tgk bulqaini. mereka wahabi mengatakan ikut Sunnah Nabi, tapi mengatakan Imam Syafi‘ỉ bodoh, mereka bilang rujuk kepada al-Qur`an dan Sunnah, bukan level mereka. Mereka mengkafirkan umat Islam. Wahhẚbi tahu tidak bisa diterima didunia Islam maka mereka menyatakan mengikut Mazhab ῌanafỉ. Mereka sebenanrya pengikut Ibnu Taimiyah[18],
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Teungku Bulqaini mendasarkan pendapatnya pada hasil Konferensi Cehchnya yang menyebut Wahhẚbi sebagai kelompok sesat di luar Ahlusunnah Waljamẚ‘ah. Menurut Teungku Bulqaini, Wahhẚbi juga dipersepsikan sebagai pengikut Ibnu Taimiyah yang menye -rupakan Tuhan dengan makhluk (tasybỉhu). Selain dianggap sebagai kelompok Musyabbỉhahu (penganut tasybỉhu), Wahhẚbi juga dipersepsikan sebagai kelompok Mujassimah (tajasimu). Teungku Bulqaini mengemu kan: Kalau tokoh Wahhẚbi di Aceh tidak ada. Cuma orang-orang bodoh yang terpengaruh Wahhẚbi. Kalau kita periksa mungkin agen buntut yang jadi tokoh Wahhẚbi. Wahhẚbi ini licik dan bernaung di bawah ketiak pemerintah, polisi. Pemerintah dan militer tidak sadar. Saya marah ke Wahhẚbi bukan karena pribadi tapi ada alasan. Mereka mau buat Aceh seperti Suriah saya tidak setuju. Mereka mau memurnikan tawhỉd, apanya yang ingin mereka murnikan. Di Aceh itu ada dikirim orang dari Aceh ke Yaman ke Dẚr al-Hadith. Itu pesantren di Lampeunerut itu diback up oleh oknum polisi. Penjelasan ini tampaknya mencoba memberi penegasan bahwa para penganut pemikiran Wahhẚbi di Aceh disebabkan oleh faktor ikut-ikutan tanpa mengetahui secara jelas substansi dari ajaran Wahhẚbi yang mereka amalkan. Selain itu, seperti dipaparkan Teungku Bulqaini, keberadaan Wahhẚbi di Aceh juga mendapat dukungan dari pemerintah setempat sehingga pemikiran tersebut bisa berkembang dengan baik. Dalam mengembangkan pemikirannya di Aceh,
Hal yang sama diantaranya dikemukakan Teungku Faisal Ali Karena kita ber’aqỉdah dengan Asy‘ẚriyah dan Maturidiyah, maka kita memandang teologi Wahhẚbi sesat. Salah satu penyimpangan bahwa Wahhẚbi menganut Mujassimah karena tidak menakwilkan ayat mutasyẚbihat. Kalau kita mengaku Ash‘ẚriyah maka tidak mungkin kita tidak memvonis Wahhẚbi itu sesat. Wahhẚbi juga berpendapat bahwa ajaran ahlusunnah itu salah ini sangatlah menyimpang dengan kita[19]. Kemudian membagi tauhỉd kepada tiga, ini juga tidak ada landasan. Imam mereka adalah Ibnu Taimiyah dan kemudian dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, persepsi hampir serupa juga dikemukakan Teungku Mustafa Husen Woyla, salah seorang pengajar di Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee
Wahhẚbi dalam pendapat penulis Yaitu (Walid Blang Jruen) adalah gerakan pemurnian tauhỉd yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, bukan Muhammad bin Rustum. Menurut (Walid Blang Jruen), ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab merujuk kepada Ibnu Taimiyah. Tetapi Ibnu Taimiyah lebih moderat. yang telah dianggap oleh sebagian kecil Arabiyah bahwa dia ahli Taṣawwuf. Masalah tawassul Ibnu Taimiyah juga tidak terlalu ekstrim. Tauhỉd thalathah Wahhẚbi sama dengan Ibnu Taimiyah. Dalam ‘aqỉdah Wahhẚbi juga bertentangan dengan mayoritas, khususnya ayat mutasyẚbihat. Wahhẚbi memang mengkafirkan semua Syi’ah,Wahhẚbi mengklaim kelompoknya sebagai paling benar Walid Blang Jruen sepakat Wahhẚbi disebut aloran moderat dan sesat. Saya (Walid Blang Jruen) yakin Wahhẚbi berpaham tajasimu karena tidak menakwil kan ayat mutasyẚbihat.
Dalam penjelasannya, Teungku Hasballah (tgksyiek) alumni Dayah Panton Labu murid kesayangan Abu Panton berkesimpulan bahwa Wahhẚbi adalah kelompok sesat yang mengamalkan tauhỉd thalathah seperti halnya Ibnu Taimiyah. Dia juga meyakini Wahhẚbi sebagai penganut Musyabbỉhah karena tidak menakwilkan ayat-ayat mutasyẚbihat[20].
Pendapat sedikit berbeda tentang pemikiran teologi Wahhẚbi disampaikan Abu Mustafa Puteh, pimpinan Dayah Madina -tuddiniyah Darul Huda Paloh Gadeng. Wahhẚbi yaitu ajaran i’tiqad di luar daripada Asy’ari dan Maturidi. Banyak fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab menyalahi Ahlusunnah Waljamẚ‘ah
Contoh: Mereka menolak ta`wỉl. Seperti istiwẚ mereka memahami Allah menetap di‘Arash. Tapi Wahhẚbi bukan Mujassim ah dan bukan Mushabbỉhah karena ketika menasabkan Tuhan mereka tidak mengatakan Tuhan bertubuh. Mungkin ada beberapa masalah dari keyakinan mereka yang sesat. Dalam penjelasannya,Teungku Mustafa Puteh menolak keberadaan Wahhẚbi sebagai penganut Mujassimah dan Mushabbỉhah.
Persepsi ini sedikit berbeda dengan pernyataan Teungku Bulqaini, Teungku Faisal Ali dan Teungku Mustafa Husen Woyla yang menyebut Wahhẚbi sebagai penganut Mujassimah dan Mushab bỉhah. Meskipun Wahhẚbi dianggap sebagai aliran sesat dan berada diluar teologi Ahlusunnah Waljamẚ‘ah, namun secara umum Himpunan Ulama Dayah Aceh tidak mengkafirkan wahabi
Menurut Teungku Bulqaini, meskipun keyakinan Wahhẚbi masuk dalam kategori sesat, namun tidak bisa dikafirkan. Pernya taan senada juga disampaikan Teungku Faisal Ali bahwa selama mereka Wahhẚbi salat, haji, puasa dan mengamalkan ibadah lainnya, maka mereka sebaiknya jangan dikafirkan.
Pendapat serumpun dikemukakan Abu Mustafa Puteh, bahwa keyakinan Allah istiwẚ di ‘Arash dan nuzul Allah kebumi sebagaimana dipahami oleh Wahhẚbi adalah ‘aqỉdah sesat, tapi tidak sampai kepada kafir. Penegasan bahwa Wahhẚbi bukan kafir. Wahhẚbi menyimpang dari pemahaman Ahl as-Sunnah Wal jamẚ‘ah dan menyimpang dari mazhab yang kuat. Wahhẚbi dalam tauhỉd kalau benar menganut keyakinan Ibnu Taimiyah maka mereka sesat. menurut Walid Blang Jruen selaku penulis kita belum bisa mengkafirkan Wahhẚbi sebab tidak ada kitab menyebut mereka kafir. Tidak ada alasan kuat mengkafirkan mereka.
Contoh: penyimpangan Wahhẚbi melarang ziarah kubur, berdoa kepada orang mati.Teungku Muhammad Amin Mahmud mengatakan bahwa penyimpangan Wahhẚbi itu tergantung pada individu orang Wahhẚbi sendiri. Seperti ayat istiwẚ tergantung bagaimana mereka memahami, kalau dipahami Allah duduk itu. Wahhẚbi itu ahli kiblat. Wahhẚbi memiliki pemahaman sesat tapi tidak berarti kafir[21].
Berdasarkan uraian dan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam perspektif teologis, para ulama dayah, baik yang tergabung dalam HUDA maupun pimpinan dayah diluar organi sasi tersebut memiliki perbedaan persepsi dalam menilai Wahẚbi .Sebagian mereka menganggap Wahhẚbi sebagai kelompok sesat, Musyabbỉhah dan Mujassimah, sementara sebagian lainnya mengajukan pendapat berbeda.
Demikian pula terkait status Wahhẚbi sebagai kafir pun menuai perbedaan. Namun secara umum ulama dayah dan HUDA sepakat bahwa Wahhẚbi adalah pengusung teologi yang dianut oleh Ibnu Taimiyah dan berada di luar teologi Ahlusunnah Waljamẚ‘ah versi Asy‘ẚriyah dan Maturidiyah sehingga berbeda dengan pemikiran teologi HUDA khususnya dalam memahami ayat-ayat mutasyẚbihat. HUDA menganggap Wahhẚbi sebagai kelompok yang tidak lagi memakai perantaraan ulama dalam bermazhab. Hal ini seperti disampaikan Teungku Ibnu Hajar salah seorang murid juga sebagai tangan kanan Abu Panton:
“Wahhẚbi adalah kelompok yang tidak memakai lagi peranta raan ulama untuk memahami ayat dan hadith. Mereka memahami ayat dan hadith menurut pikirannya sehingga terjadi penyimpangan. Jadi, Wahhẚbi yang seperti ini bahaya karena menghilangkan peran ulama. Tapi ada juga orang Wahhẚbi yang tidak memiliki ilmu, orang seperti itu harus diajarkan bukan dimusuhi”[22].
Dalam pernyataan diatas, Teungku Ibnu Hajar mencoba menegas kan bahwa dalam memahami ayat dan hadits oleh Wahhẚbi tidak menggunakan perantaraan ulama tetapi menyimpulkan menurut pemikirannya sendiri Menurut Teungku Ibnu Hajar hal inilah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemahamannya Namun demikian, Teungku Ibnu Hajar tidak memberikan contoh secara detail terkait persepsinya tersebut[23].
Teungku Ibnu Hajar mengatakan bahwa orang Aceh yang mengamal kan amalan Wahhẚbi disebabkan karena kekurangan ilmu yang mereka miliki atau akademisi yang pada dasar besignya belum tertanam ilmu agama yang mendalam sehingga para akademisi terlalu dini mengecapkan yang kebetulan ilmu wahabiyah . Terkait penganut pemikiran Wahhẚbi di Aceh,
Menurut HUDA Wahhẚbi sering mempermasalahkan praktik ‘ibadẚh yang sudah menjadi tradisi di dayah sehingga memunculkan penolakan dari masyarakat Aceh. Wahhẚbi diperse psikan sebagai sebuah kelompok yang sering membid‘ahkan dan mensyirikkan amalan orang belajar pesantren atau dayah. Menurut Abu Hasballah (tgk syiek), Wahabbi sering meragukan amalan yang dianggap boleh oleh Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah. Wahhẚbi suka mengharamkan, membid‘ahkan dan mensyirikkan amalan ulama dayah. Hal senada disampaikan Tu Raman murid Abu Hasbalah (tgk syiek )mengatakan bahwa Wahhẚbi suka menyesatkan dan membid‘ahkan tradisi dan amalan Ulama dayah/Pesantren di Aceh[24].
Teungku Nuruzzahri mengatakan salah satu alasan ditolak Wahhẚbi itu tidak bersahabat dengan kearifan lokal yang ada di Aceh. Mereka suka menyebut orang syirik. Wahhẚbi identik dengan Arab Saudi. Di Aceh misalnya sudah ada belajar sifat dua puluh, kemudian masuk Wahhẚbi dengan metode tawhỉd ulủhiyah, rubủbiyah dan asma`wa ṣifat. Hal inilah yang menimbulkan masalah. Wahhẚbi suka membid‘ahkan. Pernyataan senada diutara kan Teungku Mustafa Husen Woyla Wahhẚbi sangat gencar menyebarkan paham sehingga ditolak oleh masyarakat muslim, khususnya di Aceh. Mazhab mayoritas sekarang adalah Asy‘ẚriyah dan Maturidiyah. Wahhẚbi adalah faham minoritas. Gerakan Wahhẚbi adalah gerakan yang terlalu memaksakan kehendak.
Pendapat lainnya dikemukakan Apayus selaku pentolan GAM juga disebut Umara dalam Komisi Peralihan Aceh (KPA) Khusus bidang sejarawan aceh dan islam dunia. Menurutnya dalam bidang fiqh Wahhẚbi melakukan kesalahan dalam memahami hadith. Juga salah dalam memahami wahyu yaitu Alqur’an sehingga mereka menafsirkan Alqur’an menurut pikiran mereka masing masing, ini kesalahan besar dan sesat nyata[25].Sama Seperti halnya Teungku Teungku Ibnu Hajar, pendapat Abu Hasballah (tgk syik) terkait kesalahan memahami hadist yang dilakukan Wahhẚbi juga tidak disertai contoh sehingga sulit diverifikasi.
Pendapat lainnya dikemukakan Bapak Adiyoga selaku Umara di Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara “Mereka Wahhabi menolak pememhaman ahlussunah waljama’ah. Seperti tentang hal ihwal ketika masa nabi tidak di kerjakan maka saat sekarang ini pun tidak boleh dikerjakan seperti kenduri pada orang meninggal, dan menurut Bapak Adiyoga masuknya wahabi via akademisi yang pernah menimba ilmu di arab saudi, karena disana bermacam aliran di universitan universitas di negri tersebut, dan mereka tidak mau menerima pendapat dari imam imam seperti imam syafi’i. Mungkin ada beberapa masalah dari keyakinan mereka yang sesat[26].Keberadaan Wahhẚbi hanya sebagai pembuat masalah bagi generasi Aceh dan mengubah imej anak anak aceh sehingga mereka akan menentang ahlussunah waljama’ah ini yang di takutkan untuk generasi yang akan datang dan menjadi racun bagi jiwa mereka”
Narasumber lainnya, Abi Syafi’i murid dari Abu Mustafa menegaskan bahwa dalam bidang fiqh Wahhẚbi tidak berpegang kepada mazhab tertentu .Keterangan ini serupa dengan pernyataan Teungku Muhammad Amin Mahmud yang mengatakan “Dalam fiqh ‘ibadẚh tidak jelas mereka Wahhẚbi bermazhab apa”[27]
Namun demikian menurut Abi syafi’i perbedaan Wahhẚbi dengan ulama dayah dalam fiqh hanya persoalan khilẚfiyah. Dia tidak berani menyalahkan fiqh yang dianut Wahhẚbi selama ada mazhab yang mereka Wahhẚbi ikuti. Bagi Abi syafi’i, persoalan qunủt subuh atau basmallah dalam al-fẚtihah hanya masalah khilẚfiyah. Kendati demikian, Abi Syafi’i mempersoalkan talfỉq yang dilakukan Wahhẚbi, karena menurutnya ‘ibadẚh dengan talfỉq tidak sah dalam Mazhab Syafi,ỉ.”
Persoalan talfỉq ini juga turut disampaikan oleh beberapa ulama dayah lainnya, di antaranya Teungku Muhammad Yusuf A. Wahhab, Teungku Bulqaini, Tu Raman, dan Teungku Al Khalidi Yusna Mereka berpendapat bahwa kekeliruan Wahhẚbi dalam bidang fiqh adalah melakukan talfỉq mencampur mazhab[28].
Terkait talfỉq yang dilakukan Wahhẚbi, Abu Hasbalah (tgk syiek )mengatakan:
“Mereka talfỉq mazhab. Mereka juga tidak mengakui adanya mazhab, tapi dalam kenyataanya pengakuan itu tidak benar karena mereka juga bermadhhab. Sebenarnya perbedaan mazhab selama tidak talfỉq tidak masalah. Kalau mereka mengaku Mazhab ῌanbali maka ikutlah Mazhab ῌanbali semuanya”.
Dalam penjelasannya, selain mengomentari persoalan talfỉq mazhab, Abu Hasbalah (tgk syiek )mengatakan juga menegaskan bahwa Wahhẚbi sering mengakui tidak bermazhab sementara dalam praktiknya mereka justru mengikut Mazhab. Namun demikian, menurut Abu Hasbalah (tgk syiek )mengatakan perbedaan mazhab yang dianut oleh Wahhẚbi tidak apabila mereka tidak melakukan talfỉq. Dengan kata lain, Wahhẚbi harus konsisten dengan mazhab yang dianutnya dan tidak mencampur mazhab dalam melakukan ‘ibadẚh.
Dari uraian diatas memberi gambaran bahwa dalam persepsi Ulama dan HUDA, Wahhẚbi di satu sisi mengaku tidak bermazhab, tetapi dalam kenyataannya mereka justru bermazhab. Di sisi lain terkadang mereka mengaku bermazhab ῌanbali, tapi dalam praktiknya mereka tidak jelas menganut mazhab tertentu sebab mereka melakukan talfỉq dalam ‘ibadẚh dengan mencampur mazhab. Dengan kata lain, Wahhẚbi dianggap tidak konsisten mengamalkan Mazhab ῌanbali dalam fiqh.
Persepsi lain, sebagai kelompok yang menyerukan Kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah, Wahhẚbi dinilai melakukan kesala han karena tidak menggunakan pendapat ulama dalam memahami ayat dan hadith sehingga pemahaman mereka menyimpang jauh.
Pendapat lainnya disampaikan oleh Abu Bale yaitu Abu pimpinan Dayah Darul Ma’arif Blang Asan Menurutnya[29], Wahhẚbi dimusuhi karena mereka suka membid‘ahkan dan mengkafirkan, Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kemunculan pemikiran Wahhẚbi di Aceh telah menimbulkan keresahan kalang an dayah sehingga melahirkan gejolak sosial. Penolakan terhadap pemikiran Wahhẚbi yang terjadi di Aceh adalah bentuk respons atas sikap Wahhẚbi sendiri yang dianggap suka mengusik kenyama nan tradisi dan amalan ulama dayah. Wahhẚbi dipersepsikan sebagai kelompok yang suka membid‘ahkan, mensyirikkan dan bahkan mengkafirkan amalan orang lain, khususnya tradisi dayah yang telah berlangsung turun-temurun[30]
D. Sejarah muncul Wahhẚbi dalam Islam
Menurut Apayus Komandan Operasi Wilayah (GAM) Gerakan Aceh Merdeka, perkumpulan wahabi ini menamakan dirinya sebagai muwahhidun, sementara istilah Wahhabi adalah julukan dari musuh-musuh mereka yang kemudian juga digunakan oleh orang-orang Eropa. Pelopor gerakan Wahhabi adalah Muhammad bin Abdul Wahhab yang muncul di Nejed, Saudi Arabiya[31]. Hal senada dikemukakan Philip. K Hitti bahwa penamaan Wahhabi bukan berasal dari mereka sendiri, tapi dari musuh-musuh mereka[32]. Terkait penamaan Wahhẚbi, menurut Hafiz Wahbah sebagaimana dikutip Abubakar Atjeh, istilah Wahhabi tidak dikenal di negeri Arab. Nama ini sengaja dimunculkan oleh pihak yang tidak senang dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Tapi, di buku lainnya, Abubakar Atjeh justru menyatakan bahwa orang-orang Wahhabi merasa bangga dipanggil dengan nama tersebut. Dari penjelasan ini dapat dikemu kakan bahwa pada awalnya penamaan Wahhbi memang bukan berasal dari mereka sendiri, namun dalam perkembangan selanjutnya, dengan beberapa alasan, para pengikut ajaran ini juga mulai menggunakan nama Wahhabi untuk mengidentifikasi kelompok mereka. Mengenai penamaan Wahhẚbi ini menarik juga dikemukakan
Pendapat Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwa‟ir. Dia menyatakan bahwa nama Wahhẚbiyah pada asalnya adalah nama sebuah gerakan Khawẚrij Ibẚḍiyah di Afrika Utara pada abad kedua Hijrah yang dinisbahkan kepada Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum. Kelompok Wahhẚbi Rustumiyah ini adalah sempalan dari Khawẚrij Ibẚḍiyah yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby yang dikenal dengan kelompok Wahbiyah bukan Wahhẚbi.Beberapa kalangan yang tidak senang dengan perkembang an dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian melabelkan panggilan Wahhẚbi kepada pengikut gerakannya. Para penentang Muhammad bin Abdul Wahhab ini juga mencari fatwa-fatwa yang menyesatkan Wahhẚbi Rustumiyah untuk kemudian disematkan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab. Fatwa-fatwa yang menyesatkan kelompok Wahhẚbi ini ditulis jauh sebelum kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Asy-Syuwa‟ir menyebut bahwa fatwa tersebut di antaranya berasal dari kitẚb al-Mihyar al-Mu’rib fỉ Fatawẚ Ahl al-Maghrib yang ditulis Ahmad bin Muhammad al- Wansyarisy (wafat 914 H). Dalam kitab itu, menurut Asy-Syuwa’ir, si penulis mengutip perkataan al-Lakhmiy, juru fatwa Andalusia dan Afrika Utara yang wafat pada 478 H.
Adapun Muhammad bin Abdul Wahhab yang ingin dikaitkan dengan Wahhẚbi Rustumiyah justru baru lahir pada 1115 H dan wafat pada 1206 H. Menurut Masyhuri, gerakan Wahhẚbi tidak bisa dianggap hanya sebatas gerakan keagamaan, tapi telah berme tamorfosis menjadi gerakan politik keagamaan. Amstrong menjelas kan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan koalisi dengan Saud untuk mengembalikan Arab kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pada awalnya, mereka melakukan gerakan pemurnian di Dir’iyah dan Riyaḍ, kemudian di Nejd. Mereka menghancurkan berhala-berhala dan persembahan serta melarang merokok dan minum anggur. Gerakan ini juga memberlakukan hukum rajam di wilayah kekuasannya. Dibawah pimpinan Saud, gerakan Wahhẚbi bergerak ke luar Nejd.
Dalam kurun waktu 60 tahun mereka telah berhasil menguasai seluruh Arabiya, dari Teluk Parsi sampai dengan kota suci Makkah dan Madinah dan dari Lautan India sampai pegunu ngan Libanon di Suriah. Wahhẚbi, masih menurut Amstrong saat itu telah menjadi penguasa padang pasir dan menolak mengakui kekuasaan Turki Utsmani di Istambul. Mereka melakukan serbuan ke Mesopotamia dan menghancurkan Karbala sehingga menyebabkan kemarahan dari pihak Turki Utsmani. Muhammad bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya pada 1740 M dan mendapat dukungan dari Muhammad bin Sa’ud pada 1744. Setelah terjadi kontak antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan Muhammad bin Saud, kemu dian gerakan Wahhẚbi melakukan ekspansi militer dari Nejd ke Hijaz serta menguasai Makkah dan Madinah pada 1216 H/1803 M. Piscatori menyebut pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Ibnu Sa’ud sebagai persekutuan bersejarah. Pada 1804 M Wahhẚbi menguasai seluruh Hijaz dan pada 1811 M kekuasaan Wahhẚbi meluas ke Aleppo di Utara Samudera Hindia dan dari Teluk Persia di Timur sampai Laut Merah. Kondisi ini tidak bertahan lama, sebab pada abad ke 13 H/19 M, Wahhẚbi dikalahkan oleh Muhammad Ali Pasya dari Mesir yang berada di bawah kekuasaan Utsmani. Pada saat menyerang Wahhẚbi, Muhammad Ali Pasya turut menggunakan jasa perwira-perwira Eropa untuk menyukseskan misinya. 18 Sejak 1227 H/1812 M, Dinasti Utsmani melarang ajaran Wahhẚbi berkembang di Hijaz. Pemikiran Wahhẚbi baru bangkit kembali pada masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Sa’ud yang mendirikan Kerajaan Saudi Arabiya. Abdul Azizberhasil menduduki Makkah kembali pada 1924 M dan mendirikan Kerajan Saudi Arabiya pada 1932 dengan identitas pemerintahan Islam berbasis syarỉ‘ah yang mengikut pemikiran Ibnu Taimiyah.
2. Orientasi Teologis Wahhabi
Menurut Fazlur Rahman, gerakan Wahhẚbi berada dalam lingkaran teologis ῌanabilah. Pada awalnya mereka hanya berpegang pada al-Qur`an dan Sunnah, tapi dalam perkembangan selanjutnya, menurut Rahman, mereka juga menerima ijmẚ`. Namun demikian, mereka tetap menolak qiyẚs dalam penafsiran al-Qur`an dan Sunnah. Menurut Morodi, konsep teologis yang diinginkan oleh Wahhẚbi adalah penerapan konsepsi monoteisme dengan kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah serta menuntut hak untuk berijtihẚd dan mengutuk siapa saja yang bertaqlỉd[33].
Gibb mengemukakan bahwa gerakan pembaruan Wahhẚbi berdasarkan Mazhab ῌanbali yang ditujukan untuk menghadapi kemunduran tata susila dan kemerosotan agama, khususnya dalam kehidupan suku-suku Arab. Wahhẚbi mengutuk segala bentuk pemujaan kepada orang-orang suci dan melawan segala bentuk bid‘ah dari kalangan sufi dan kemudian juga turut menyerang mahzab-mazhab yang berkompromi dengan bid‘ah.
Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pemimpin gerakan Wahhẚbi, kemunduran umat Islam disebabkan oleh kerusakan tauḥid sehingga pikiran menjadi jumủd. Muhammad bin Abdul Wahhab, seperti dikemukakan oleh Karen Armstrong, adalah seorang pembaruyang menjawab krisis umat dengan mengajak kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah[34], serta menolak dengan tegas yurisprudensi, mistisme dan filsafat abad pertengahan.
Martins menyebut bahwa dalam literatur Wahhẚbi terdapat penyusutan berbagai praktik ritual yang diyakini sebagai bukan bagian dari agama, tetapi oleh sebagian muslim dianggap sebagai bagian dari agama yang mempermudah segalanya.
Menurut Schimmel, Wahhẚbi yang muncul di Saudi Arabiya adalah sebuah kelompok yang menolak segala bentuk bid‘ah dan inovasi dalam agama[35]. Sementara Milton Viors memberi penjelasan bahwa Wahhẚbi adalah kelompok yang mewarisi ortodoksi ketat dari Ibnu Taimiyah, tidak hanya dalam praktik keagamaan tetapi juga dalam perilaku sosial.
Islam yang diterapkan Wahhẚbi adalah murni puritan yang melarang nyanyian, tarian dan rokok dengan alasan merujuk kepada kehidupan umat Islam pada masa Nabi. Dia juga menyebut bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab mengelompokkan beberapa ritual sebagai bagian dari paganisme. Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahhẚbi) mengajak umat Islam untuk membuka kembali pintu ijtihẚd yang telah ditutup sejak hancurnya Baghdad pada 656H. Kelompok ini juga mengajak untuk kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah dan menolak segala perkara yang tidak bersandar kepada kedua sumber tersebut. Mereka juga menyerukan umat Islam agar membersihkan tauḥid dari shirk dan kembali kepada tauḥid yang dipegang oleh Salaf al-Salih muslim generasi pertama serta meninggal kan segala bentuk bid‘ah dan khurẚfat. Terkait sifat-sifat dan nama Allah mereka menetapkan sebagaimana telah tersebut dalam al-Qur`an dan Sunnah tanpa tamthil (memisalkan Allah seperti makhluk), takyif (bertanya tentang hakikat sifat Allah) dan ta`wỉl (memalingkan makna sifat Allah kepada makna lain). Muhammad bin Abdul Wahhab juga menyuarakan kembali kewajiban jihẚd.
3. HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh)
Pasca kemerdekaan Indonesia, umumnya ulama dayah di Aceh bergabung dalam organisasi Perti. Kemudian pada tahun 1960, sebagian besar ulama dayah di Aceh juga bergabung dalam organisasi baru bernama Inshafuddin. Kedua organisasi ini masih bertahan sampai saat ini. Pada perkembangan selanjutnya guna menyikapi kondisi sosial politik di Aceh pasca reformasi 1998, di mana konflik Aceh semakin memuncak, beberapa ulama dayah di Aceh mengagas lahirnya organisasi yang kemudian dikenal dengan HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) yang dipimpin Oleh Abu Panton Tgk H.Ibrahim Bardan. Pada awalnya organisasi ini sebagai wadah bersatunya ulama dayah untuk menyelesaikan konflik Aceh.
Tentang latar belakang berdirinya HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), Teungku Bulqaini mengatakan: Pada saat itu terjadi euforia yang luar biasa dalam tubuh mahasiswa sehingga mahasiswa dan sebagian masyarakat sudah melabel ulama dengan sebutan yang tidak pantas, seperti toke untuk Abu Tumin dan Abu Kuta. Hal ini mereka lakukan karena kedekatan ulama dayah dengan militer, para ulama dianggap membantu militer. Padahal kedekatan ulama dengan militer untuk mengurangi korban dalam konflik. Seandainya ulama tidak mendekati militer kala itu, mungkin korban dari masyaralat akan lebih banyak. Pada saat itu pemerintah juga memanfaatkan ulama, diantaranya melalui Golkar yang ingin menghancurkan kewibawaan ulama. Jadi kami tidak bisa menerima ucapan-ucapan seperti itu dan tidak bisa membiarkan. Sehingga kami bersepakat untuk mendirikan organisasi ulama dayah, walaupun pada saat itu sudah ada organisasi seperti insafuddin dan Perti[36]. Sebab saat itu Insafuddin[37] juga sudah dimanfaatkan oleh pemerintah.
Pada saat itu mahasiswa Aceh juga sepakat penyelesaian Aceh melalui referendum dan secara damai. Sehingga kami juga menginisiasi berdirinya enurut Ulama Aceh juga untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di Aceh. Dalam pernyataan tersebut Teungku Bulqaini menegaskan bahwa berdirinya menurut Ulama Aceh sebagai salah satu wadah untuk menyelesaikan konflik Aceh. Dia juga memberi penegasan bahwa posisi ulama dayah saat itu juga sudah mulai dilecehkan oleh oknum tertentu dengan label-label negatif karena kedekatan mereka dengan pemerintah dan militer. Kondisi tersebut kemudian mendorong beberapa tokoh ulama dayah di Aceh mendirikan HUDA untuk menyelamatkan marwah ulama dayah yang telah dilecehkan tersebut.
Lebih lanjut Teungku Bulqaini mengatakan: HUDA dibentuk untuk mengangkat martabat ulama dayah. HUDA pertama kali digagas oleh RTA (Rabitah Taliban Aceh) dan saya pelopornya karena saya ketua pusat di Banda Aceh dan di kecamatan kota juga ada cabangnya, pada ketika itu Walid Blang Jruen sebagai ketua Umum Dayah Darul Ma’arif Blang Asan juga ikut dalam berbagai rapat baik dalam rapat thaliban maupun HUDA.
Sebelum mendirikan HUDA, Abu Panton menugaskan saya untuk bertemu dengan Abuya Profesor Muhibbuddin Wali dan Syeh Marhaban anakdari Teungku Hasan Krueng Kalee. Saya juga bertemu dengan banyak tokoh Aceh yang ada diJakarta seperti Ismail Hasan Metareuem. Saya bertemu dengan beberapa ulama lain juga seperti SyehAdnan Bakongan dan ulama lain. Jadi semua ulama tersebut sepakat untuk mendirikan HUDA walaupun sebagian mereka sudah menjadi anggota Insafuddin. Dari pengakuan Teungku Bulqaini dapat diketahui bahwa berdirinya HUDA selain untuk kepentingan politik juga dimaksudkan sebagai sebuah upaya menjaga kehormatan ulama dayah di Aceh. Dalam hal ini, Teungku Bulqaini juga memiliki peran besar dalam mendirikan HUDA Gagasan untuk mendirikan HUDA diawali dengan musyawarah ulama seluruh Aceh yang diselenggarakan Dikomplek makam Syiah Kuala. Pada awalnya, setelah mendapat persetujuan Gubernur Aceh saat itu, Syamsuddin Mahmud, agenda musyawarah ini akan dilaksanakan di Asrama Haji, tapi kemudian dihambat oleh pemerintah dan akhirnya dipindah ke area makam Syiah Kuala. Tokoh yang berperan dalam mendirikan HUDA diantaranya: Teungku Bulqaini, Abu Panton, Abu Kasem TB dan Teungku Faisal Ali (Lem Faisal). Nama HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) diberikan oleh Profesor Muhibbuddin Waly, anak dari Abuya Mujaddid Mudawali al-Khalidi. Oleh Muhibbuddin Waly, nama “HUDA” dimaknai sebagai petunjuk yang diambil dari kata bahasa Arab hudẚ. Organisasi HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) menurut Teungku Bulqaini didukung oleh hampir seluruh ulama dayah di Aceh.
3. Perluasan Makna Wahhabi
Berdasarkan kajian penulis, istilah Wahhẚbi yang digunakan di Aceh, khususnya Ulama Dayah Aceh tidak hanya tertuju kepada kelompok Wahhẚbi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, tetapi juga melebar kepada beberapa organisasi kemasy arakatan yang dianggap memiliki kesamaan ideologi dengan Wahhẚbi. Di antara organisasi dimaksud adalah Muhammadiyah. Namun demikian berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa ulama Ulama Dayah Aceh terdapat perbedaan pandangan persepsi terhadap organisasi Muhammadiyah di Aceh.
Menurut Teungku Bulqaini, Muhammadiyah bukan Wahhẚbi, tapi Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah yang bermadhhab Shafi‘ỉ. Menurutnya amalan orang Muhammadiyah banyak yang sama dengan Aswaja (Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah).
Pendapat sedikit berbeda disampaikan Teungku Muham -mad Amin Mahmud bahwa Muhammadiyah bukan Wahhẚbi, tetapi pemahaman Muhammadiyah mirip dengan Wahhẚbi. Terkait ke -miripan amalan Wahhẚbi dengan Muhammadiyah juga ditegaskan Syeh Khalil. Dia mencontohkan amalan Muhammadiyah seperti azan Jumat satu kali, khutbah tidak diulang dan tidak memegang tongkat saat khutbah adalah amalan Wahhẚbi yang juga diamalkan Muhammadiyah. Menurut Syeh Khalil, meskipun Muhammadiyah dicurigai sebagai Wahhẚbi, namun dia tidak berani menuduh demikian dan bahkan menyatakan salut kepadaMuhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah hanya korban dari ideologi Wahhẚbi. Pendapat senada diutarakan Teungku Nuruzzahri. Menurut -nya Muhammadiyah organisasi keagamaan dan dakwah, cuma saja dalam organisasi tersebut mungkin ada Wahhẚbi yang menyusup ke dalamnya.[38]
Sementara menurut Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab , kader Muhammadiyah di Aceh ada yang Wahhẚbi dan ada juga yang bukan. Tidak hanya kepada organisasi semisal Muhammadiyah, perluasan makna Wahhẚbi juga terjadi kepada beberapa lembaga pendidikan. Beberapa lembaga pendidikan dimaksud adalah sejuml ah pesantren dan sekolah yang diyakini menjadi pusat penyebaran pemikiran Wahhẚbi di Aceh. Salah satu lembaga pendidikan yang dicurigai menyebarkan pemikiran Wahhẚbi di Aceh adalah LIPIA dan Pesantren As-Sunnah. Hal ini terungkap di antaranya melalui wawancara penulis dengan Teungku Mustafa Husen Woyla. Menurutnya lembaga LIPIA di Aceh masih soft dan tidak ekstrim. Namun demikian LIPIA diyakini mengajarkan tauhỉd thalathah. Teungku Mustafa Husen Woyla juga menyebut Pesantren As-Sunnah Lampeuneurut[39] sebagai pesantren Wahhẚbi. Informasi senada juga dikemukakan Teungku Bulqaini yang menyatakan Pesantren As-Sunnah Lampeuneurut dan Pesantren Imam Syafi‘ỉ Sibreh sebagai lembaga pendidikan Wahhẚbi.
4. Implikasi dari Persepsi HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh)
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menyebut bahwa pasca tsunami, beberapa kelompok pemikiran yang berasal dari Jawa telah masuk ke Aceh. Mereka kemudian mendirikan gerakan dan institusi pendidikan di Aceh. Menurut Ahmad, faktor ini menjadi salah satu penyebab munculnya perbedaan interpretasi ajaran Islam di Aceh yang dalam kondisi tertentu memunculkan konflik sosial keagamaan dan sosial politik. Kondisi ini juga telah menyebabkan terjadinya kekerasan antara masyarakat Aceh karena perbedaan dalam memahami Islam, khususnya “ketegangan” antara kelompok yang dipersepsikan sebagai Wahhẚbi dengan kelompok Aswaja (Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah) dari kalangan tradisional (dayah)[40].Lebih lanjut, Ahmad menegaskan bahwa persoalan Wahhẚbi di Aceh terlihat memuncak dalam beberapa tahun terakhir pasca terbitnya Fatwa MPU Aceh No. 9 Tahun 2014 yang menyebut Wahhẚbi sebagai aliran sesat[41]. Akibat fatwa ini, masih menurut Ahmad, telah memicu keterlibatan para santri dayah untuk melawan aksi “Wahhẚbisasi” di Aceh. Parade Aswaja berlangsung pada 10 September 2015 yang dihadiri oleh ulama dayah dan ribuan santri seluruh Aceh. Mereka berpawai diKota Banda Aceh dan melakukan pertemuan di makam Syiah Kuala. Dalam pernyataan sikapnya para ulama dayah dan santri ini meminta Pemerintah Aceh untuk menghentikan seluruh aktivitas Salafi- Wahhẚbi di Aceh. Dalam aksinya mereka juga meminta kepada pemerintah untuk menerapkan paham Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah dan Mazhab Shafi’ỉ di Aceh.
Menurut Walid Blang Jruen, Kenapa munculnya Parade Aswaja[42] ini adalah akibat tidak diakomodirnya nilai-nilai ‘ibẚdah oleh pejabat-pejabat di Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Walid Blang Jruen dan Apayus serta rekan rekan Apayus dalam Jajaran GAM Rasyidin, Arsyah, Is Cupe, Percom, Marahet, pernah sampaikan kepada Gubernur agar disampaikan kepada Pak Azman supaya di Masjid Raya itu diletakkan tongkat, siapa yang pegang silakan pegang, yang tidak pegang juga tidak masalah. Tapi tidak ada respons dari gubernur sehingga terjadilah Parade Aswaja. Jadi mereka mengatakan orang dayah melakukan pemaksaan, padahal gubernur yang lamban seperti itu.
Meskipun begitu menurut Walid Blang Jruen Parade Aswaja memiliki alasan-alasan logis dan melibatkan sejumlah ulama dayah, namun secara organisasi, Ulama Dayah Aceh tidak terlibat dalam gerakan massa tersebut. Menurut Walid Blang Jruen kala itu menjabat sebagai ketua Umum Dayah Darul Ma’arif Blang Asan. Ulama Dayah Aceh tidak terlibat dalam Parade Aswaja, meskipun nama organisasi tersebut dicatut oleh panitia parade. Menurutnya Ulama Dayah Aceh tidak memiliki sikap resmi terhadap parade tersebut. Ulama Dayah Aceh beberapa ulama dayah yang terbilang senior juga mengaku tidak mengetahui tentang Parade Aswaja.
Seperti Teungku Muhammad Amin (Tu min )[43], dia mengaku tidak memahami masalah Parade Aswaja yang berlangsung di Banda Aceh. Sama Juga Pengakuan dari Teungku Mustafa Puteh. Dia menyatakan tidak mengetahui tentang Parade Aswaja karena waktu itu dia tidak diberitahukan[44].
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa berkembangnya pemikiran Wahhẚbi di Aceh telah melahirkan keresahan bagi ulama dayah, Hal ini ditandai dengan penolakan dan perlawanan terhadap pemikiran Wahhẚbi yang mereka lakukan melalui pengajian, ceramah-ceramah keagamaan dan gerakan sosial.
Adapun sebab-sebab munculnya penolakan tersebut di antaranya disebabkan oleh sikap para pengembang pemikiran Wahhẚbi yang suka menyalahkan praktik ‘ibadẚh ulama dayah dengan menyebutnya sebagai khurẚfat dan bid‘ah. Beberapa pengembang pemikiran Wahhẚbi di Aceh juga disebut-sebut gemar mensyirikkan amalan ulama dayah yang telah menjadi tradisi turun-temurun.
Di samping itu perlawanan ulama dayah terhadap Wahhẚbi juga dimaksudkan untuk menyelamatkan keyakinan umat. Namun demikian, informasi lainnya menyebut bahwa penolakan terhadap Wahhẚbi dilatari oleh ketakutan akan hilangnya pengaruh ulama dayah dalam kehidupan sosial keagamaan di Aceh. Merujuk pada ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penolakan ulama Aceh terhadap pemikiran Wahhẚbi telah melahirkan berbagai aksi perlawanan dalam kehidupan sosial keagamaan di Aceh. Aksi perlawanan itu sendiri terwujud dalam gerakan sosial yang melibatkan masyarakat Aceh.
Kita lihat pendapat Bruce J. Cohen, Menurutnya: gerakan sosial muncul apabila sekelompok individu melakukan suatu usaha yang terorganisir untuk mengubah atau mempertahankan unsur tertentu dalam masyarakat[45].
Pada umumnya gerakan sosial ini bersifat temporer. Salah satu bentuk gerakan sosial adalah gerakan konservatif yang berusaha mempertahankan kondisi masyarakat agar tidak berubah dan menganggap kondisi yang sedang berlangsung sebagai kondisi “ideal.” Untuk dapat melangsungkan gerakan sosial, masih menurut Cohen, diperlukan dukungan dan loyalitas dari para anggotanya. Untuk memperoleh dukungan ini biasanya dilakukan melalui berbagai bentuk propaganda politik halus.
Kita lihat pendapat Sindung Haryanto mengemukakan bahwa hampir kebanyakan gerakan sosial di dunia memiliki kaitan dengan agama tertentu, di mana gerakan tersebut didorong oleh nilai-nilai teologis yang dihubungkan dengan nilai-nilai ideologis. Dalam hal ini, organisasi keagamaan menjadi pusat gerakan sosial untuk melakukan perubahan dalamkonteks yang lebih luas.
Potensi mobilisasi massa dalam gerakan sosial disebabkan oleh adanya orang-orang dengan keyakinan yang sama dan bersimpati pada kerangka aksi kolektif tertentu yang merupakan sistem keyakinan bersama yang membenarkan dilaksanakannya gerakan sosial. Sementara itu, agama sebagai sebuah sistem keyakinan juga dapat dijadikan sebagai alat pengumpul massa untuk melahirkan gerakan sosial[46].
Berdasarkan penjelasan di atas, secara sosiologis, Parade Aswaja yang digerakkan oleh sebagian ulama dayah di Aceh dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk gerakan sosial konservatif berbasis dayah dalam rangka melakukan penolakan terhadap pemikiran-pemikiran Wahhẚbi.
Gerakan tersebut dilakukan dengan cara mengangkat isu Ahl as-Sunnah Waljamẚ‘ah dan Mazhab Syafi„ỉ sebagai medium yang dapat mengikat massa. Melalui wacana penyeragaman mazhab tersebut juga terdapat upaya dari ulama dayah dan Aceh) untuk melakukan monopoli sosial dalam kehidupan sosial keagamaan di Aceh. Secara sosiologis, monopoli sosial dilakukan oleh kelompok tertutup sebagai sebuah upaya untuk membatasi peran kelompok lain. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok tertutup cenderung berpikiran sempit, tidak toleran dan bermusuhan dengan kelompok yang berbeda dengan pemikiran mereka.102 Seperti terungkap dalam wawancara dengan beberapa ulama dayah, bahwa dalam persepsi mereka, Wahhẚbi adalah pemikiran menyimpang yang harus dilawan.
Demikian pula dengan gagasan penyeragaman mazhab juga menjadi salah satu strategi untuk membatasi peran kelompok Wahhẚbi dalam kehidupan sosial keagamaan di Aceh. Sementara itu, secara psikologis, dikotomi minnẚ (kita) dan minhum (mereka) dalam beragama telah menyebabkan munculnya pemilahan dan pemisahan dunia sosial antar kelompok yang berbeda.[47] Kondisi ini dapat disaksikan sendiri di Aceh dalam kaitannya dengan Wahhẚbi versus ulama dayah, di mana kelompok dayah dan Aceh memosisikan diri sebagai minnẚ (kelompok maenstream) berhadapan dengan Wahhẚbi yang ini terus berlangsung, maka tidak tertutup kemungkinan, di Aceh nantinya akan muncul konflik komunal, antara satu kelompok dengan kelompok lain. Seperti disinggung Huntington, ada saat terjadi redefinisi dari para pihak; “kita dan mereka,” maka ruang konflik pun akan terbuka.
Kondisi ini mempercepat timbulnya sikap saling curiga antar pihak dengan membesar-besarkan perbedaan yang ada sampai kemudian membelah kelompok ke dalam dua kutub; kekuatan kebaikan yang berhadapan secara diametral dengan kekuatan jahat.[48]Dalam konteks Aceh, berdasarkan hasil wawancara sebelumnya, ulama dayah akan mengasosiasikan diri sebagai “kekuatan kebaikan” berhadapan dengan Wahhẚbi sebagai “kekuatan kejahatan.”
D. Penutup
Menurut Ulama Aceh Wahhẚbi adalah gerakan keagamaan yang memiliki pemikiran keagamaan yang menyimpang dan sesat. Dalam teologi, Wahhẚbi diyakini menganut pemikiran-pemikiran keagamaan dari Ibnu Taimiyah. Sebagian ulama Aceh menganggap Wahhẚbi sebagai Mujassimah- Musyabbỉhah sementara sebagian lainnya tidak menganggap demikian.
Dalam pandangan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Wahhẚbi tidak jelas menganut madhhab tertentu dan juga tidak menganut Mazhab ῌanbali secara konsisten. Dalam bidang fiqh, Wahhẚbi dianggap melakukan talfỉq mazhab (percampuran mazhab). HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) memandang Wahhẚbi sebagai kelompok yang suka membid‘ahkan amalan dan tradisi dayah serta mensyirikkan dan bahkan mengkafirkan umat Islam.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan penolakan dari HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) terhadap Wahhẚbi di Aceh. Sebagian ulama dayah diAceh menganggap organisasi Muhammadi yah sebagai organisasi yang sudah terpengaruh dengan Wahhẚbi, sementara sebagian lainnya berpandangan berbeda bahwa Muham madiyah bukan Wahhẚbi. Beberapa lembaga pendidikan di Aceh yang dianggap sebagai penyebar pemikiran Wahhẚbi adalah LIPIA, Pesantren As-Sunnah Lampeuneurut dan Pesantren Imam Syafi‘i Sibreh. Penyebaran pemikiran Wahhẚbi telah menimbulkan pertentan gan dalam kehidupan sosial keagamaan di Aceh.
Pada masa-masa awal pertentangan iniberlangsung melalui diskusi dan perdebatan antar dua kubu. Dalam perkembangan selanjutnya penolakan ulama dayah terhadap Wahhẚbi telah menimbulkan gerakan sosial seperti parade aswaja 2015 perebutan masjid masjid di Aceh dengan Alasan penyeragaman dalam ber Mazhab
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. Memahami Potensi Radikalisme dan Terorisme di Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2016.
A.K, Baihaqi. Ulama dan Madrasah Aceh, dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 1983.
Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Amin, M. & Abdullah dkk. Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.
Armstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi. terj. T. Hermaya. Bandung: Mizan, 2001.
Asmuni, H.M. Yusran. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaruan dalam Dunia Islam Jilid III, cet. 2. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Atjeh, Aboebakar. Ahlus Sunnah Wal Djama’ah Kejakinan dan I’tiqad. Djakarta: Jajasan Baitul Mal, 1969.Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), Djakarta: Tintamas, 1966.
Gibb, H.A.R. Islam dalam Lintasan Sedjarah, terj. Abu Salamah, cet. 2. Djakarta: Bhratara, 1964.
Haryanto, Sindung. Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2016.
Hitti, Philip. K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013.
Huntington, Samuel P. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, cet. 12, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Qalam, 2012.
Kamali, M. Hasyim. Membumikan Sharỉ‘ah, terj. Miki Salman. Jakarta: Noura Books, 2013.
Fachruddin,Fuad Muhammad.Pemikiran Politik Islam, cet.1, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
Hasbi, Amiruddin Muhammad. Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, cet. 1, Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008
Nashiruddin Al-Abani, Muhammad. Shahih Sunan An-Nasa’i, Terj. Zuhdi Fathurrahman, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Sabiq, Saiyid. Fikih Sunnah 2, cet.14, Bandung: Al-Ma‟arif, 1997.
Yusuf Adan, Hasanuddin.Pawai Aswaja, Apa Untung-Ruginya?, Banda Aceh: Opini Serambi Indonesia, 17 September 2015.
Piscatori, James P. Peranan Islam dalam Pembangunan Politik Saudi Arabiya, dalam John L. Esposito (Ed), Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara sedang Berkembang, terj. Wardah Hafidz, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Sagiv, David. Islam Otensitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: LKiS, 1997.
Schimmel, Annemarie. Deciphering The Signs of God; A Phenomenological Approach to Islam. State University of New York Press, 1994.
Viors, Milton. In the Shadow of the Prophet: The Struggle for the Soul of Islam. New
York, Doubleday, 1998.
[2]Dayah bahasa Indonesia pesantren. pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh. Dayah bahasa Arab yaitu Zawiyah yang artinya sudut. Diyakini masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammamad mengajar para sahabat
[3]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Sejarah Islam, 2006, hlm. 269
[4]Philip. K. Hitti, History of The Arab, terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 948.
[5]Hafiz Wahbah adalah penasehat Ibn Saud, pendiri Kerajaan Saudi Arabiya. Diaberkebangsaan Mesir. Lihat: H.C. Amstrong, Jejak Sang Penguasa; Riwayat Hidup Ibn Saud Pendiri Kerajaan Arab Saudi, terj. AtiNurbaiti dkk, (t.tp: Pustaka Firdaus, 1991), cet. 2, hlm. 160.
[6]Aboebakar Atjeh, Salaf Muhji Atsaris Salaf; hlm. 73.
[7]Aboebakar Atjeh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), , 1966, hlm. 95.
[8] Apayus pentolan GAM(Umara) tahun baru hijriyah 1442 alue gamnpoeng 2020
[9]Muhammad bin Sa‟ad Asy-Syuwa‟ir, Sebenarnya Siapakah Wahhẚbi itu?, terj. Umar Prasetyo (Bandung: Toobagus Publishing, 2012), hlm. 21-22.
[10]Muhammad bin Sa‟ad Asy-Syuwa‟ir, Sebenarnya Siapakah Wahhẚbi…,hlm. 88.
[11]Muhammad bin Sa‟ad Asy-Syuwa‟ir, Sebenarnya Siapakah Wahhẚbi…, hlm. 22.
[12]James P. Piscatori, Peranan Islam dalam Pembangunan Politik Saudi Arabiya, dalam John
[13]Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila…, hlm. 316.
[14]L. Stoddard, Dunia Baru Islam)…, hlm. 32.
[15] 2016.Wawancara dengan Tgk.Ibnu Hajar Dayah Malikussaleh,
[16]Wawancara dengan Tgk. Mustafa Husen Woyla (Guru Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee), Banda Aceh, tanggal 24 Mei 2016.
[17] 49Wawancara dengan Tgk. Mustafa Puteh (Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah Darul Huda
[18]Wawancara dengan Tgk. Bulqaini (Sekjen HUDA, Pimpinan Dayah Markaz al-Ishlah al- Aziziyah), di Banda Aceh, tanggal 30 September 2020.
[19]Wawancara dengan Tgk. Faisal Ali (Pimpinan Dayah Mahyal „Ulum al-Aziziyah Sibreh), di Banda Aceh, tanggal 30 Okttober 2020
[20]Wawancara dengan Tgk. Hasballah Murid Kesayangan Abu Panton Aceh tanggal 21 agus 2020.
[20]Wawancara dengan Tgk. Mustafa Puteh (Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah Darul Huda aloh Gadeng), di Paloh Gadeng, tanggal 6 September 2020., tanggal 21 agus 2020.
[21]Wawancara dengan Tgk. Mustafa Puteh (Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah Darul Huda aloh Gadeng), di Paloh Gadeng, tanggal 6 September 2020.
[22]Wawancara dengan Tgk.Hasballah (tgk syiek), di Aceh utara, 30 agus 2020.
[23]Wawancara dengan Tgk. Ibnu Hajar (Dayah malikusaleh), panton Labu, tanggal 15 agus 2020
[24]Wawancara Tu Raman (guru senior Malikussaleh), di panton labu, 15 agus 2020
[25]Wawancara dengana Apayus KPA di lapangan Upacara bayi tanah luas, tanggal 15 Agustus 2020
[26]Wawancara dengan Adiyoga di Warkop M coffe sp rangkaya tanah luas, tanggal 15 Agustus 2020
[27]Wawancara Abi Syafi’i, Aneuk Abu Tanjoeng Ara (Pimpinan Dayah Tanjong Ara ), depan kantor bupati Aceh Utara tanggal 16 Agustus 2020.
[28]Wawancara abu imum syik tgk Al khalidy yusna (Pimpinan Dayah baitussabri), langkahan Aceh Utara tanggal 16 Agustus 2020.
[29]Wawancara Abu bale Aneu (Pimpinan Dayah Darul Ma’arif ), blang asan Aceh Utara tanggal 16 Agustus 2020.
[30]Wawancara Abu bale Aneu (Pimpinan Dayah Darul Ma’arif ), blang asan Aceh Utara tanggal 16 Agustus 2020.
[31] Apayus Komandan Operasi Wilayah (GAM) Gerakan Aceh Merdeka 15 augus 2020
[32]Philip. K. Hitti, History of The Arabs…, hlm. 949.
[33] Gerakan Abdul Aziz al-Saud adalah gerakan Wahhẚbi kedua. Dia mengadakan ekspansi dengan melibatkan lasykar Wahhẚbi. Pada 1913 dia menggabungkan Hassa di bawah kekuasaan Najd diikuti Shamar pada 1921, Hijaz pada 1924 dan mengumumkan Kerajaan baru Arab Saudi dengan falsafah Wahhẚbisme pada 1932. Lihat: Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, terj. Said Jamhuri, cet. 2, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), hlm. 187.
[34]Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 313-314.
[35] Menurut Michel, Wahhẚbi juga bertujuan untuk menghapuskan kenangan umat Islam terhadap para wali. Lihat: Michel Chodkiewicz, Konsep Kesucian dan Wali dalam Islam, dalam Henri Chambert dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, cet. 2, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 27.
[36]Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) didirikan di Candung Bukit Tinggi tujuan mempersatukan kelompok Islam tradisi. Pada walib. Lihat: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, hlm. 241.
[37]Baihaqi A.K, Ulama dan Madrasah Aceh, dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 148.
[38]Wawancara dengan Tgk. Nuruzzahri, (Pimpinan Dayah Ummul Ayman Samalanga), di Samalanga, tanggal 28agustus 2020.
[39]Wawancara dengan Tgk. Mustafa Husen Woyla (Guru Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee),
[40]Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Memahami Potensi Radikalism hlm. 36.
[41]MPU Aceh, “MPU Aceh Larang Pengajian Kelompok Menyimpang,” akses http://mpu.acehprov.go.id/index.php.news/r/2014/08/24/14/mpu-aceh-larang-pengajian-kelompok- menyimpang.html.
[42] Serambi Indonesia, “Massa Aswaja Sesaki Kota,” Serambi Indonesia, 11 September 2015, hlm. 1.
[43]WawancaradenganTgk.Muhammad Amin Mahmud (Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah , tanggal 15 November 2016.
[44]Wawancara dengan Tgk. Mustafa Puteh (Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah Darul Huda
[45]Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, ter. Sahat Simamora, (Jakarta: Rineka Cipta,
[46] Sindung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), cet. 2, hlm. 218.
[47]M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 103.
[48]Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, cet. 12, terj. M. Sadat Ismail, (Jakarta: Qalam, 2012), hlm. 497-498.
Komentar