HUKUM DAN TATA CARA BERHAJI-UMRAH BAGI PEREMPUAN

HUKUM DAN TATA CARA BERHAJI-UMRAH 
BAGI PEREMPUAN 

Universitas Islam Dunia, ditulis;
0leh Walid Blang Jruen dipandu oleh 
Abi syamsyuddin selaku ketua IPAU
Kajian fiqh Haji Terhadap Perempuan
di Bale IPAU 12 Rabiul awal 1417 H
  السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد
Segala puji semua hak milikm Allah Shalawat dan salam di atas kemuliaan panghulu segala ummat yaitu Nabi besar Muhammad sallalahu alaihi wassalam

A.Tata cara haji dan umrah bagi Perempuan
Disini kita akan membahas tentang kajian fiqh hiji dan hukumnya terhadap perempuan terdapat banyak sekali perbedaan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan bentuk pembebanan hukum (taklif) dan tata-cara pelaksanaannya. Al-Suyuthi (w. 911 H), salah seorang ulama Syafl'iyyah menginventarisir kasus-kasus hukum yang dikhususkan untuk wanita tidak kurang dari 120 kasus, yang tersebar dalam beberapa bagian fiqh.[1]Perbedaan ini bukanlah bentuk diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, sebagaimana yang dipahami oleh kalangan yang anti terhadap Islam. Tetapi perbedaan ini timbul karena sistem ajaran Islam yang sangat melindungi hak dan martabat wanita. Bukti nyata dalam hal ini adalah perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tradisi-tradisi masyarakat Arab semasa Jahiliyah yang merendahkan martabat wanita, akan tetapi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam yang mengangkat harkat dan martabat mereka oleh karena itu perbedaan bentuk taklif dan tata-cara pelaksanaannya merupakan salah satu sisi yang bertujuan melindungi serta menjaga harkat dan martabat wanita.

B.Pembahasan
Pembahasan sepuatar fiqh ibadah Haji  dalam kaitannya dengan haji/umrah merupakan salah satu ibadah yang pada sebagian bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaannya membedakan antara laki-laki dan wanita. berikut ini akan menguraikan cara pelaksanaan haji/umrah khusus untuk wanita, dengan merujuk kepada beberapa literatur fiqh Syafiiyyah. Bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaan haji/umrah khusus untuk wanita  sebagai berikut:

1.Harus didampingi oleh mahram/suami, atau beberapa wanita terpercaya. Ini merupakan salah satu syarat kesanggupan (istitha'ah) bagi wanita, di mana istitha'ah itu tak lain adalah salah satu syarat wajib haji/umrah. Artinya, jika syarat ini tidak terpenuhi maka seseorang wanita tidak wajib menunaikan haji/umrah, karena dianggap tidak memiliki kesanggupan. Meski demikian, jika seseorang wanita merasa yakin terhadap keamanannya melaksanakan haji atau umrah sendirinya tanpa pendampingan, maka dibolehkan melaksanakannya jika haji/umrah itu fardhu. Tetapi pelaksanaan ini tidak bersifat wajib. hanya saja dibolehkan (jawaz) .[2]

2.Harus mendapatkan izin suami bagi yang mempunyai suami, karena melayani (khidmah) suami sifatnya segera. Sedangkan kewajiban haji/umrah sifatnya bisa diundurkan pelaksanaannya (tarakhi).[3] 
Jika seorang isteri melakukan ihram tanpa izin suaminya, maka boleh bagi sang suami memaksanya ber-tahallul, dan terhadap isteri wajib ber-tahallul, baik haji/umrah itu wajib atau sunnat.Seandainya isteri bersikeras tidak mau ber-tahallul, padahal keadaannya memungkinkan ber-tahallul, lantas suami menggau linya , maka dalam hal ini isteri tersebutlah yang berdosa, sedangkan suaminya tidak berdosa.[4]

3.Jika sedang ber-`iddah karena meninggal (mati) suami maka haram terhadap wanita berangkat menunaikan haji/umrah, jika pada saat meninggal (mati) suaminya ia belum masuk ke dalam ihram.

4.Adapun jika terdahulu ihramnya atas meninggal suami, maka boleh baginya berangkat menunaikannya.[5]

5.Jika seorang wanita, telah diceraikan dan sedang ber-`iddah, maka boleh bagi mantan suami melarangnya menunaikan haji/umrah agar menyelesaikan ‘iddah-nya terlebih dahulu.Seandainya wanita itu bersikeras pergi haji/umrah, maka dalam hal ini tidak boleh bagi mantan suami memaksanya ber-tahallul jika ‘iddah yang sedang dijalani merupakan ‘iddah dari talak ba-in. Sebaliknya, jika ‘iddah itu raj'i, dan mantan suami pun me-ruju' di dalam masa ‘iddah-nya, maka setelah ruju' dibolehkan bagi suami memaksanya ber-tahallul.[6]

C.Disunnahkan
Disunnahkan bagi wanita sebelum masuk ke dalam ihram menggunakan inai pada dua telapak Langan sampai kepada pergelangannya demikian pula disunnatkan menggunakan sedikit inai pada wajah agar menutupi warna kulitnya. Adapun bila sesudah ihram maka dimakruhkan menggunakan inai.[7] 

D.Dimakruhkan
Dimakruhkan terhadap mereka mengucap talbiyyah dengan suara yang keras. Tetapi cukup dengan ukuran mendengar oleh dirinya sendiri.[8] 

E.Diharamkan 
Diharamkan terhadap mereka menutup muka di dalam ihram, sama halnya seperti menutup kepala bagi laki-laki. Adapun selain muka, maka wajib ditutupi. 
Dibolehkan terhadap mereka mengulurkan kain dari kepala ke muka dengan cara merenggangkannya dari muka dengan kayu atau lainnya, meskipun hal dilakukan bukan karena suatu kebutuhan. Hukum ini bisa saja berubah menjadi wajib jika diyakini timbulnya fitnah dengan sebab membiarkan muka dalam keadaan terbuka.[9] 

Dibolehkan terhadap mereka di dalam ihram memakai pakaian yang meliputi badan (muhith), kecuali sarung tangan (quffaz). Meskipun demikian, jika ingin menutupi telapak tangannya, maka dibolehkan dengan cara membalut kain yang lain di atasnya.[10] 

Tidak disunnahkan terhadap mereka pada saat thawaf mengusap Hajar Aswad (istilam). Demikian juga tidak disunnahkan mengecup, dan meletakkan dahi kepadanya, kecuali dilakukan tiga hal tersebut pada saat sunyi area thawaf dari kaum laki-laki.

Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan thawaf dengan mendekat kepada ka'bah, kecuali pada saat sunyi area thawaf dari kaum laki-laki.[11] 

Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan iththiba'.[12] dan lari-lari kecil (raml) dalam thawaf. Kedua perbuatan ini bisa saja berubah menjadi haram jika dilakukan dengan tujuan menyerupai laki-laki. [13] 

Tidak disunnahkan terhadap mereka lari-lari kecil dalam sa'i, tetapi cukup bagi mereka berjalan seperti biasanya saja. [14] 

F.Disunnahkan 
Disunnatkan terhadap mereka dalam pelaksanaan wuquf untuk ber-wuquf  dipinggiran (mauqif) tempat wuquf. Artinya, kepada mereka tidak dianjurkan ber-wuquf pada tempat yang dianjurkan berwuquf terhadap laki-laki, yakni pada batu besar tempat wuqufnya Rasulullah SAW. Demikian juga tidak dianjurkan berwuquf pads tempat yang berdesak-desakan dengan laki-laki.[15] 

1.Disunnahkan terhadap mereka jika memungkinkan, agar berangkat ke Mina sebelum terbit fajar untuk melempar jamrah 'aqabah pada hari ke-10 zulhijjah, karena menghindari dari berdesak-desakan. [16] 

2.Disunnahkan bagi mereka perempuan jika ingin menyembelih kurban atau hadiah untuk mewakilkan penyembelihannya kepada laki-laki. [17] 

3.Tidak disunnatkan terhadap mereka mencukur rambut ketika ber-tahallul, tetapi cukup dengan menggunting saja.[18] 

4.Tidak diwajibkan thawaf wida' terhadap mereka, jika saat ingin meninggalkan Makkah mereka dalam keadaan haid atau nifas, tetapi disunnatkan berdiri pada pintu masjid al-haram, dan memanjatkan doa yang telah ditentukan.[19] 

Jika datang haid atau nifas sebelum melakukan thawaf rukun (thawaf ifadhah), dan tidak memungkinkan menetap di Makkah untuk menunggu datangnya suci, maka kepada wanita seperti ini diberikan dua jalan keluar, yaitu: pertama, langsung berangkat dari Makkah tanpa melakukan thawaf, lantas ketika telah sampai pada satu tempat yang sukar untuk kembali lagi ke Makkah darinya, maka mereka ber-tahallul di sini, sama seperti orang yang tertawan. Sedangkan thawaf tetap wajib dalam tanggungannya. Kedua, melakukan thawaf dalam kondisi haid atau nifas dengan cara ber-taqlid kepada Abu Hanifah atau Ahmad ibn Hanbal, yang berpendapat boleh bagi wanita seperti ini melakukan thawaf, dengan resiko menanggung dosa serta wajib menyembelih satu unta. Berdasarkan pendapat ini, maka terlepaslah zimmah wanita ini dari kewajiban thawaf.[20]

G.Kesimpulan
Kesimpulan bahwa pengkhususan tata cara pelaksanaan haji/umrah terhadap kaum wanita dengan berbagai bentuk, bertujuan untuk menjaga dan melindungi mereka dari berbagai bentuk gangguan dan ketidak-nyamanan mereka di dalam melakukan ibadah. Hal ini terlihat jelas dari alasan-alasan hukum yang terdapat di dalam setiap rincian di atas. Alasan-alasan hukum yang dapat kita ambil intisarinya dari uraian tersebut selalu berorientasi kepada pemberian rasa aman terhadap Perempuan berupa fisik, harta, dan kehormatan mereka. Dengan demikian, pembedaan tata cara ini merupakan bentuk perhatian khusus dari syara' dalam menjaga dan melindungi harkat dan martabat perempuan

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Wallahu A’lamubishawab Barakallahu fiikum wa jazakumullah khairan khatsir

NB: Bila ada yang salah tulis atau keliru mengatur kata bisa diperbaikikembali sesuai fiqh syafi'iyah oleh penulis 

Referensi / rujukan:
Al-Mahalli. Jalal al-Din. Karz al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin, Jld. II Cet. 1, Kairo: Dar Ihya' al-Kutub at-`Arabiyyah, 1923;
Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-'Umrah, Cet. V, Makkah: Maktabah al-Imdadi ah 2003;
Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-'Abbas, Nihayah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. III, Beirut: Dar al-Fikr, 2004;
Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazha'ir fi al-Furu', Cet. H, Jeddah: al-Haramain, 1960;
Ibrahim al-Bajuri, Hasyryah al-Bajuri 'ala Syarh ibn Qasim al-Ghazi 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, Jeddah: al-Haramain, t.t;
Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. IV, Beirut: Dar al-Filer, t.t.

Kepustakaan:
[1] Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhairfi al-Furu', Cet. II, (Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 151-152
[2] Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah at-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, J1d. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 24-25
[3] Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-`Abbas, Nihayah al-Muhlaj bi Syarh al-Minhaj, Jid. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 251
[4] A]-Ramli, Nihayah..., hlm. 368
[5] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn Qasim al-Ghiri 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, (Jeddah: al-Haramain, U), hlm. 177
[6] Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-ldhah fi Manasik al-Haj wa al-'Umrah, Cet. V, (Makkah: Maktabah at-lmdadiyyah. 2003), hlm. 51
[7] A]-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 129
[8] AI-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 144
[9] AI-Nawawi. Kitab al-ldhah..., hlm. 152
[10] ibn Hajar at-Haytami, Tuhfah..., hlm. 165
[11] Ibn Hajar al-Haytami,Tuhfah...,hlm. 84. Lihat juga, Al-Nawawi, Kitab al-Idhah...,hlm. 236
[12] Iththiba' adalah menjadikan bagian tengah kain rida' atau kain penutup badan berada dibawah bahu kanan, tepatnya dibawah ketiak kanan, dan membiarkan bagian atas bahu kanan dalam keadaan terbuka. Sedangkan dues ujung kain tersebut ditempatkan di stns bahu kiri. Lihat, Al-Nawawi, Kitab al-Idhah.... hlm. 207
[13] Al-Ramli, Nihayah..., hlm. 287
[14] A1-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 260
[15] Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 283
[16] Al-Mahalli, Jalal al-Din, Karz al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin, Jid. 11, Cet. 1, (Kairo: Dar lhya' al-Kutub al-`Arabiyyah, 1923), hlm. 116
[17] A I-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 331
[18] Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 348
[19] AI-Nawawi, Kitab al-dhah..., hlm. 405-407
[20] Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 74-75

Sumber: Abu Bale Panton Labu
Ibrahim Bardan 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah