Pembahasan Tentang Najis

{FASHAL NAJASAH} 
DISINI MENERANGKAN 
TENTANG SEGALA NAJIS (NAJASAH)

04,muharram 1441H
Pembahasan Najis,fiqh ibadah 
0leh Waled Blang Jruen,
Mahasiswa Pasca Sarjana(IAIN)
Lhokseumawe

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم 
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ النَّجَاسَاتِ وَإِزَالَتِهَا وَهَذَا الْفَصْلُ مَذْكُوْرٌ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ قُبَيْلَ كِتَابِ الصَّلَاةِ
(Fasal) menjelaskan najis dan menghilangkannya. Di dalam sebagian niskhah matan (redaksi), fasal ini disebutkan di alin kitab sebelum “Kitab Shalat”.

وَالنَّجَاسَةُ لُغَةً الشَّيْئُ الْمُسْتَقْذَرُ وَشَرْعًا كُلُّ عَيْنٍ حَرُمَ تَنَاوُلُهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ حَالَةَ الْإِخْتِيَارٍ مَعَ سُهُوْلَةِ التَّمْيِيِزِ لَا لِحُرْمَتِهَا وَلَا لِإسْتِقْذَارِهَا وَلَا لِضَرَرِهَا فِيْ بَدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
Najis secara bahasa adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan. Dan secara syara’ adalah setiap benda yang haram digunakan secara mutlak dalam ke adaan normal beserta mudah untuk dibedakan, bukan karena kemuliannya, menjijikkannya dan bukan karena berbahaya pada badan atau akal.

وَدَخَلَ فِي الْإِطْلَاقِ قَلِيْلُ النَّجَاسَةِ وَكَثِيْرُهَا
Bahasa “mutlak” mencakup najis sedikit dan banyak.

وَخَرَجَ بِالْاِخْتِيَارِ الضَّرُوْرَةُ فَإِنَّهَا تُبِيْحُ تَنَاوُلَ النَّجَاسَةِ
Dengan bahasa “dalam keadaan normal” mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan daru rat memperbolehkan untuk menggunakan najis.Dengan bahasa “mudah dipisahkan” mengecualikan memakan ulat yang mati di dalam keju, buah dan seumpamanya.

وَبِسُهُوْلَةِ التَّمْيِيْزِ أَكْلُ الدُّوْدِ الْمَيِّتِ فِيْ جُبْنٍ وَ فَاكِهَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ
وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ لَا لِحُرْمَتِهَا مَيْتَةُ الْآدَمِيِّ
Dengan ungkapan mushannif “bukan karena kemuliannya” mengecualikan mayatnya anak Adam.

وَبِعَدَمِ الْإِسْتِقْذَارِ الْمَنِيُّ وَنَحْوُهُ
Dengan keterangan “tidak karena menjijikkan” mengecualikan sperma dan seumpamanya.

وَبِنَفْيِ الضَّرَرِ الْحَجَرُ وَالنَّبَاتُ الْمُضِرُّ بِبِدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
Dengan bahasa “tidak karena membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang berbahaya pada badan atau akal.

Maksudnya, semua barang-barang yang dikecualikan tersebut adalah barang-barang yang haram digunakan bukan karena najis tapi karena hal-hal yang telah disebutkan.

Beberapa Macam Jenis Najis

ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ ضَابِطًا لِلنَّجَسِ الْخَارِجِ مِنَ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ بِقَوْلِهِ
Kemudian mushannif menyebutkan batasan najis yang keluar dari qubul (jalur depan) dan dubur (jalur belakang) dengan perkataan musannif,

وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ نَجَسٌ هُوَ صَادِقٌ بِالْخَارِجِ الْمُعْتَادِ كَالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَبِالنَّادِرِ كَالدَّمِّ وَالْقَيْحِ
Setiap benda cair yang keluar dari dua jalan hukumnya adalah najis. Hal ini mencakup benda yang biasa keluar seperti kencing dan berak, dan benda yang jarang keluar seperti darah dan nanah.

إَلَّا الْمَنِيَّ مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ حَيَوَانٍ غَيْرِ كَلْبٍ وَخِنْزِيْرٍ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا مَعَ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ
Kecuali mani (sperma) dari anak Adam atau binatang selain anjing dan babi dan yang peranakan keduanya atau salah satunya hasil perkawinan silang den -gan binatang yang suci.

وَخَرَجَ بِمَائِعٍ الدُّوْدُ وَكُلُّ مُتَصَلِّبٍ لَا تُحِيْلُهُ الْمَعِدَّةُ فَلَيْسَ بِنَجَسٍ بَلْ هُوَ مُتَنَجِسٌ يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ
Dengan bahasa “benda cair”, mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak diproses oleh lambung, maka hukumnya tidak najis, akan tetapi terkena najis yang bisa suci dengan dibasuh.

وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ بِلَفْظِ الْمُضَارِعِ وَإِسْقَاطُ مَائِعٍ
Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “setiap perkara yang akan keluar” dengan menggunakan lafadz fi’il mudlari’ dan membuang lafadz “ma’i’ (benda cair).

Beberapa Cara Mensucikan Najis

وَغَسْلُ جَمِيْعِ الْأَبْوَالِ وَالْأَرْوَاثِ وَلَوْ كَانَا مِنْ مَأْكُوْلِ اللَّحْمِ وَاجِبٌ
Membasuh semua jenis air kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal dimakan dagingnya, hukumnya adalah wajib.

وَكَيْفِيَّةُ غَسْلِ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ مُشَاهَدَةً بِالْعَيْنِ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْعَيْنِيَّةِ تَكُوْنُ بِزَوَالِ عَيْنِهَا وَمُحَاوَلَةِ زَوَالِ أَوْصَافِهَا مِنْ طُعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ
Cara membasuh najis jika ada terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah” adalah dengan menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik rasa, warna, atau baunya.

فَإِنْ بَقِيَ طُعْمُ النَّجَاسَةِ ضَرَّ أَوْ لَوْنٌ أَوْ رِيْحٌ عَسُرَ زَوَالُهُ لَمْ يَضُرَّ
Jika rasanya najis masih ada itu berbahaya (darurat). Atau yang masih ter -sisa adalah warna atau bau yang sulit dihilangkan, maka tidak masalah.

وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ غَيْرَ مُشَاهَدَةٍ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْحُكْمِيَّةِ فَيَكْفِيْ جَرْيُ الْمَاءِ عَلَى الْمُتَنَجِّسِ بِهَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً
Jika najisnya tidak terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmi yah”, maka cukup dengan mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, walaupun hanya satu kali aliran.

Najis Yang Ringan (Mukhafafah)

ثُمَّ اسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنَ الْأَبْوَالِ قَوْلَهُ إِلَّا بَوْلَ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ أَيْ لَمْ يَتَنَاوَلْ مَأْكُوْلًا وَلَا مَشْرُوْبًا عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ فَإِنَّهُ أَيْ بَوْلَ الصَّبِيِّ يَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ
Kemudian dengan bahasa “jenisnya air kencing”, mushannif mengecualikan per -kataan beliau yang berbunyi, “kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah memakan makanan, maksudnya belum pernah mengkonsum -si makanan dan minuman untuk penguat badan. Maka sesungguhnya air kenci -ng anak laki-laki tersebut sudah bisa suci dengan hanya memercikkan air pa -danya.

وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الرَّشِّ سَيَلَانُ الْمَاءِ
Dalam memercikkan air, tidak disyaratkan harus sampai mengalir.

فَإِنْ أَكَلَ الصَّبِيُّ الطَّعَامَ عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ غُسِلَ بَوْلُهُ قَطْعًا
Jika anak kecil laki-laki tersebut telah mengkonsumsi makanan untuk penguat badan, maka air kencingnya harus dibasuh secara pasti.

وَخَرَجَ بِالْصَبِيِّ الصَّبِيَّةُ وَالْخُنْثَى فَتُغْسَلُ مِنْ بَوْلِهِمَا
Dengan bahasa “anak laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan Khuntsa, maka air kencing keduanya harus dibasuh.

وَيُشْتَرَطُ فِيْ غَسْلِ الْمُتَنَجِّسِ وُرُوْدُ الْمَاءِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ قَلِيْلًا فَإِنْ عَكَسَ لَمْ يَطْهُرْ
Di dalam membasuh barang yang terkena najis, disyaratkan airnya yang di datangkan/dialirkan pada barang tersebut jika airnya sedikit. Jika dibalik, maka barang tersebut tidak suci.

أَمَّا الْمَاءُ الْكَثِيْرُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ كَوْنِ الْمُتَنَجِّسِ وَارِدًا أَوْ مَوْرُوْدًا
Sedangkan jika air yang banyak, maka tidak ada bedanya antara barang yang terkena najis yang datang atau didatangi air.

Najis yang di ma'afkan (Maf'u)

وَلَا يُعْفَى عَنْ شَيْئٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ إِلَّا الْيَسِيْرُ مِنَ الدَّمِّ وَالْقَيْحِ فَيُعْفَى عَنْهُمَا فِيْ ثَوْبٍ أَوْ بَدَنٍ وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ مَعَهُمَا
Tidak ada najis yang maafkan (maf'u) kecuali darah dan nanah yang sedikit. Maka keduanya najis yang maafkan (maf'u)di pakaian dan badan, dan shalat yang dilakukan tetap sah walaupun membawa keduanya.

وَ إِلَّا مَاأَيْ شَيْئٌ لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ كَذُبَابٍ وَنَمْلٍ إِذَا وَقَعَ فِيْ الْإِنَاءِ وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لَا يُنَجِّسُهُ
Dan kecuali bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat dan semut, ketika binatang tersebut masuk ke dalam wadah air dan mati di sana. Maka sesungguhnya bangkai binatang tersebut tidak menajiskan wadah air yang dimasukinya.
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِذَا مَاتَ فِي الْإِنَاءِ
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “ketika mati di dalam wadah”.

وَأَفْهَمَ قَوْلُهُ وَقَعَ أَيْ بِنَفْسِهِ أَنَّهُ لَوْ طُرِحَ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ فِيْ الْمَائِعِ ضَرَّ وَهُوَ مَاجَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي الْكَبِيْرِ
Perkataan mushannif “terjatuh sendiri”, memberi pemahaman bahwa sesung guhnya seandainya bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam benda cair, maka berbahaya (darurat-menajiskan). Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat ini di dalam kitab asy Syarh ash Shaghir, namun beliau tidak menyinggung masalah ini di dalam kitab asy Syarh al Kabir.

وَإِذَا كَثُرَتْ مَيْتَةُ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ وَغَيَّرَتْ مَا وَقَعَتْ فِيْهِ نَجَّسَتْهُ
Ketika bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan merubah sifat cairan yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair tersebut.

وَإِذَا نَشَأَتْ هَذِهُ الْمَيْتَةُ مِنَ الْمَائِعِ كَدُوْدِ خَلٍّ وَفَاكِهَةٍ لَمْ تُنَجِّسْهُ قَطْعًا
Ketika bangkai ini muncul dari benda cair seperti ulatnya cukak dan buah-buahan, maka tidak menajiskan cairan tersebut secara pasti.

وَيُسْتَثْنَى مَعَ مَا ذَكَرَهَا مَسَائِلُ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمَبْسُوْطَاتِ سَبَقَ بَعْضُهَا فِيْ كِتَابِ الطَّهَارَةِ
Di samping apa yang telah dijelaskan oleh mushannif, masih ada beberapa permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya, sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab Thaharah”.

Najis yang di beratkan (Mughaladhah)
وَالْحَيَّوَانُ كُلُّهُ طَاهِرٌ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيْرَ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا مَعَ حَيَّوَانٍ طَاهِرٍ
Semua binatang hukumnya suci kecuali anjing dan babi, dan semua peranakan keduanya atau salah satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci.

وَعِبَارَتُهُ تَصْدُقُ بِطَهَارَةِ الدُّوْدِ الْمُتَوَلِّدِ مِنَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ كَذَلِكَ
Ungkapan mushannif ini mencakup terhadap sucinya ulat yang muncul dari najis, dan memang demikinlah hukumnya.

وَالْمَيْتَةُ كُلُّهَا نَجَسَةٌ إِلَّا السَّمَكَ وَالْجَرَادَ وَالْآدَمِيَّ وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ ابْنُ آدَمَ أَيْ مَيْتَةَ كُلٍّ مِنْهَا فَإِنَّهَا طَاهِرَةٌ
Bangkai, semuanya hukumnya adalah najis kecuali bangkai ikan belalang dan anak Adam. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “ibn Adam”, maksudnya bangkai masing-masing barang di atas, maka sesungguhnya hukumnya suci.

وَيَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعَ مَرَّاتٍ بِمَاءٍ طَهُوْرٍ إِحَدَاهُنَّ مَصْحُوْبَةٌ بِالتُّرَابِ الطَّهُوْرِ يَعُمُّ الْمَحَلَّ الْمُتَنَجِّسَ
Wadah yang terkena liur anjing atau babi harus dibasuh tujuh kali dengan menggunakan air suci mensucikan, salah satu basuhan dicampur dengan tanah suci mensucikan yang merata ke seluruh tempat yang terkena najis.

فَإِنْ كَانَ الْمُتَنَجِّسُ بِمَا ذُكِرَ فِيْ مَاءٍ جَارٍ كَدَرٍ كَفَى مُرُوْرُ سَبْعِ جَرَيَاتٍ عَلَيْهِ بِلَا تَعْفِيْرٍ
Jika barang yang terkena najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang keruh, maka cukup mengalirnya air tersebut tujuh kali tanpa harus dicampur dengan debu.

وَإِذَا لَمْ تَزُلْ عَيْنُ النَّجَاسَةِ الْكَلْبِيَّةِ إِلَّا بِسِتِّ غَسَلَاتٍ مَثَلًا حُسِبَتْ كُلُّهَا غَسْلَةً وَاحِدَةً
Ketika benda najis anjing tersebut belum hilang kecuali dengan enam basuhan semisal, maka seluruh basuhan dianggap satu kali basuhan.

وَالْأَرْضُ التُّرَابِيَّةُ لَا يَجِبُ التُّرَابُ فِيْهَا عَلَى الْأَصَحِّ
Tanah yang berdebu -yang terkena najis ini- tidak wajib dengan air campur tanah  -saat membasuhnya- menurut qaul al ashah.

Najis pertengaan (Mutawasithah)

وِيُغْسَلُ مِنْ سَائِرِ أَيْ بَاقِي النَّجَاسَاتِ مَرَّةً وَاحِدَةً وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَّةً تَأْتِيْ عَلَيْهِ وَالثَّلَاثُ وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَالثَّلَاثَةُ بِالتَّاءِ أَفْضَلُ
Untuk najis-najis yang lain, maka cukup dibasuh satu kali yang di alirkan pada najis tersebut. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “marratan (sekali)”. Tiga kali (ats tsalatsu) basuhan adalah lebih utama. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “ats tsalatsatu” dengan menggunakan ta’ diakhirnya.

Air Sisa Basuhan Najis

وَاعْلَمْ أَنَّ غَسَالَةَ النَّجَاسَةِ بَعْدَ طَهَارَةِ الْمَحَلِّ الْمَغْسُوْلِ طَاهِرَةٌ إِنِ انْفَصَلَتْ غَيْرَ مُتَغَيِّرَةٍ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهَا بَعْدَ انْفِصَالِهَا عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مِقْدَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ الْمَغْسُوْلُ مِنَ الْمَاءِ
Ketahuilah sesungguhnya air basuhan najis setelah sucinya tempat yang di basuh, hukumnya adalah suci, jika air tersebut terpisah dari tempat yang dibasuh dalam keadaan tidak berubah dan tidak bertambah ukurannya dari kadar ukuran sebelumnya besertaan menghitung kadar air yang diserap oleh tempat yang dibasuh.

هَذَا إِنْ لَمْ تَبْلُغْ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّ بَلَغَتْهُمَا فَالشَّرْطُ عَدَمُ التَّغَيُّرِ
Hal ini jika air basuhan tersebut tidak mencapai dua qullah. Jika mencapai dua qullah, maka syaratnya adalah tidak berubah

Cuka Menjadi Khamer 
وَلَمَّا فَرَغَ الْمُصَنِّفُ مِمَّا يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ شَرَعَ فِيْمَا يَطْهُرُ بِالْاِسْتِحَالَةِ وَهِىَ انْقِلَابُ الشَّيْئِ مِنْ صِفَةٍ إِلَى صِفَةٍ أُخْرَى فَقَالَ
Setelah mushannif selesai menjelaskan najis yang bisa suci dengan dibasuh, maka beliau berlanjut menjelaskan najis yang suci dengan istihalah, yaitu perubahan sesuatu dari satu sifat ke sifat yang lain. Beliau berkata,
إِذَا تَخَلَّلَتِ الْخَمْرَةُ وَهِيَ الْمُتَّخَذَةُ مِنْ مَاءِ الْعِنَبِ مُحْتَرَمَةً كَانَتِ الْخَمْرَةُ أَمْ لَا وَمَعْنَى تَخَلَّلَتْ صَارَتْ خَلًّا وَكَانَتْ صَيْرُوْرَتُهَا خَلًّا بِنَفْسِهَا طَهُرَتْ
Ketika khamer telah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya suci. Khamer adalah minuman yang terbuat dari air perasan anggur. Baik khamer tersebut dimuliakan ataupun tidak. Makna takhallalat adalah khamer menjadi cuka.

وَكَذَا لَوْ تَخَلَّلَتْ بِنَقْلِهَا مِنْ شَمْسٍ إِلَى ظِلٍّ وَ عَكْسِهِ
Begitu juga hukumnya suci, seandainya ada khamer yang berubah menjadi cuka sebab dipindah dari tempat yang terkena matahari ke tempat yang teduh dan sebaliknya.

وَإِنْ لَمْ تَتَخَلَّلِ الْخَمْرَةُ بِنَفْسِهَا بَلْ تَخَلَّلَتْ بِطَرْحِ شَيْئٍ فِيْهَا لَمْ تَطْهُرْ
Jika khamer berubah menjadi cuka tidak dengan sendirinya, bahkan menjadi cuka dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka khamer tersebut tidak suci.
وَإِذَا طَهُرَتِ الْخَمْرَةُ طَهُرَ دُنُّهَا تَبْعًا لَهَا
Ketika khamer menjadi suci, maka wadahnya pun menjadi suci karena mengikut pada khamernya.

Sumber : Kitab Hasyiah Al Bajury (حاشية الباجوري)
Secara genalogis, “Hasyiyah Al-Bajuri” sebenarnya berasal dari Matan Abu Syuja’ yang penulis buatkan catatannya dalam artikel berjudul “Matan At Taqrib Abu Syuja’'Matan Abu Syuja’ yang sangat terkenal dikalangan Asy-Syafi’iyyah ini memiliki syarah yang juga sangat terkenal dan banyak dipelajari dimasyara kat yang bernama “Fathu Al-Qarib’ karya Ibnu Qasim Al-Ghazzi (w.918 H). Nah, kitab “Fathu Al-Qarib”  kemudian terkenal dengan nama Hasyiyah Al-Bajuri 

Pengarang kitab ini bernama Ibrahim Al-Bajuri atau secara singkat bisa disebut Al-Bajuri. Nama lengkap beliau; Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri Al-Manufi Al-Mishri. Beliau lahir pada tahun 1197 H. Di usia 14 tahun beliau sudah masuk ke Al-Azhar dan belajar di sana. Dengan ketekunannya dalam belajar dan bermulazamah dengan sejumlah syaikh, akhirnya beliu naik sampai ke derajat Syaikhul Azhar Asy-Syarif di zamannya. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Prancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon. Adapun motivasi penulisan hasyiyah ini, hal itu ditulis Al-Bajuri dalam muqaddimah Al-Bajuri melihat Matan Abu Syuja’ adalah mukhtashar yang penuh berkah dan banyak dimanfaatkan. 

Demikian pula syarahnya yang bernama “Fathu Al-ungkapan-ungkapan yang tidak mudah dipahami untuk pelajar pemula. Oleh karena itu, setelah melihat problem  beliau didorong berkali-kali oleh kolega dan ulama sezamannya untuk membuat hasyiyah dengan bahasa yang enak dan mudah dicerna oleh para pemula dan beliaupun tergerak untuk melakukannya. Karena itu lahirlah “Hasyiyah Al-Bajuri”.

Nb:
Kritikan yang membangun dari pembaca sangat di perlukan agar penulisan ini lebih sempurna 

والله أعلمُ بالـصـواب 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah