MENGENAL NAJIS DAN CARA MEMBERSIHKANNYA
MARI BERSAMA BELAJAR KITAB FIQH AL BAJURI TENTANG NAJIS (NAJASAH) DAN CARA MEMBERSIHKANNYA, AGAR DALAM KITA MELAKUKAN IBADAH SESUAI TUNTUTAN SYARI'AH DAN SEMUA AMAL IBDAH YANG KITA LAKUKAN BERADA DALAM KEADAAN SUCI DAN BERSIH
النَّظافةُ تدعو إلى الإيمانِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
BAB NAJIS (NAJASAH)
فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ النَّجَاسَاتِ وَإِزَالَتِهَا وَهَذَا الْفَصْلُ
مَذْكُوْرٌ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ قُبَيْلَ كِتَابِ الصَّلَاةِ)
(Fashal) menjelaskan najis dan menghilangkan nya. Di
dalam sebagian redaksi, fasal ini disebutkan sebelum “Kitab Shalat”.
وَالنَّجَاسَةُ لُغَةً الشَّيْئُ الْمُسْتَقْذَرُ وَشَرْعًا كُلُّ عَيْنٍ
حَرُمَ تَنَاوُلُهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ.حَالَةَ الْإِخْتِيَارٍ مَعَ سُهُوْلَةِ
التَّمْيِيِزِلَا لِحُرْمَتِهَا وَلَا لِإسْتِقْذَارِهَا وَلَا لِضَرَرِهَا فِيْ
بَدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
Najis
secara bahasa adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan. Dan secara syara’
adalah setiap benda yang haram digunakan secara mutlak dalam keadaan normal
beserta mudah untuk dibedakan, bukan karena kemuliannya, menjijikkannya dan
bukan karena berbahaya pada badan atau akal
وَدَخَلَ فِي
الْإِطْلَاقِ قَلِيْلُ النَّجَاسَةِ وَكَثِيْرُهَاوَخَرَجَ بِالْاِخْتِيَارِ
الضَّرُوْرَةُ فَإِنَّهَا تُبِيْحُ تَنَاوُلَ النَّجَاسَةِ
Bahasa
“mutlak” mencakup najis sedikit dan banyak. Dengan bahasa “dalam keadaan normal”
mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan darurat
memperbolehkan untuk menggunakan najis.
وَبِسُهُوْلَةِ
التَّمْيِيْزِ أَكْلُ الدُّوْدِ الْمَيِّتِ.فِيْ.جُبْنٍ.وَفَاكِهَةٍ وَنَحْوِ
ذَلِكَ وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ لَا لِحُرْمَتِهَا مَيْتَةُ الْآدَمِيِّ
Dengan
bahasa“mudah dipisahkan” mengecua likan memakan ulat yang mati di dalam keju,
buah dan sesamanya. Dengan ungkapan mushanif “bukan karena kemuliannya”
mengecualikan mayat anak Adam.
وَبِعَدَمِ
الْإِسْتِقْذَارِ الْمَنِيُّ وَنَحْوُهُ وَبِنَفْيِ الضَّرَرِ الْحَجَرُ
وَالنَّبَاتُ الْمُضِرُّ بِبِدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
Dengan
keterangan “tidak karena menjijikkan” mengecualikan sperma dan sesamanya. Dengan
bahasa “tidak karena membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang ber
-bahaya pada badan atau akal.
Macam-Macam Najis
ثُمَّ ذَكَرَ
الْمُصَنِّفُ ضَابِطًا لِلنَّجَسِ الْخَارِجِ مِنَ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ
بِقَوْلِهِ
Kemudian
mushannif menyebutkan batasan najis yangkeluardari qubul (jalur depan) dan
dubur (jalur belakang) dengan perkataan
beliau,
(وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ نَجَسٌ)
هُوَ صَادِقٌ بِالْخَارِجِ.الْمُعْتَادِكَالْبَوْلِ.وَالْغَائِطِ وَبِالنَّادِرِ
كَالدَّمِّ وَالْقَيْحِ
Setiap benda cair
yang keluar dari dua jalan hukumnya adalah najis. Hal ini mencakup benda yang
biasa keluar seperti kencing dan tanji, dan benda yang jarang keluar seperti
darah dan nanah.
إَلَّا الْمَنِيَّ)
مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ حَيَوَانٍ غَيْرِ كَلْبٍ وَخِنْزِيْرٍ وَمَا تَوَلَّدَ
مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا مَعَ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ )
Kecuali sperma dari
anak Adam atau binatang selain anjing, babi dan peranakan keduanya atau salah
satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci
وَخَرَجَ بِمَائِعٍ
الدُّوْدُ وَكُلُّ مُتَصَلِّبٍ.لَاتُحِيْلُهُ.الْمَعِدَّةُفَلَيْسَ
بِنَجَسٍ.بَلْ.هُوَمُتَنَجِسٌ يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ
Dengan
bahasa “benda cair”, mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak
diproses oleh lambung, maka hukumnya tidak najis, akan tetapi terkena najis
yang bisa suci dengan dibasuh.
وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَخِ وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ بِلَفْظِ.الْمُضَارِعِ وَإِسْقَاطُ مَائِعٍ
Dalam
sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “setiap perkara yang akan keluar”
dengan menggunakan lafadz fi’il mudlari’ dan membuang lafadz “ma’i’ (benda
cair).
Cara
Mensucikan Najis
(وَغَسْلُ جَمِيْعِ الْأَبْوَالِ وَالْأَرْوَاثِ)
وَلَوْ كَانَا مِنْ مَأْكُوْلِ اللَّحْمِ (وَاجِبٌ)
Membasuh semua jenis
air kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal dimakan
dagingnya, hukumnya adalah wajib.
وَكَيْفِيَّةُ
غَسْلِ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ مُشَاهَدَةً بِالْعَيْنِ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ
بِالْعَيْنِيَّةِ تَكُوْنُ بِزَوَالِ عَيْنِهَا وَمُحَاوَلَةِ زَوَالِ
أَوْصَافِهَا مِنْ طُعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ
Cara
membasuh najis jika terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah”
adalah dengan menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik
rasa, warna, atau baunya.
فَإِنْ بَقِيَ طُعْمُ النَّجَاسَةِ ضَرَّ أَوْ لَوْنٌ أَوْ رِيْحٌ عَسُرَ
زَوَالُهُ لَمْ يَضُرَّ
Jika
rasanya najis masih ada, maka berbahaya. Atau yang masih tersisa adalah warna
atau bau yang sulit dihilangkan, maka tidak masalah.
وَإِنْ كَانَتِ
النَّجَاسَةُ غَيْرَ مُشَاهَدَةٍ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْحُكْمِيَّةِ
فَيَكْفِيْ جَرْيُ الْمَاءِ عَلَى الْمُتَنَجِّسِ بِهَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً
Jika najisnya tidak terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmiyah”, maka cukup dengan mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, walaupun hanya satu kali aliran.
Najis Mukhafafah
ثُمَّ اسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنَ الْأَبْوَالِ قَوْلَهُ (إِلَّا بَوْلَ
الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ) أَيْ لَمْ يَتَنَاوَلْ مَأْكُوْلًا
وَلَا مَشْرُوْبًا عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ (فَإِنَّهُ) أَيْ بَوْلَ الصَّبِيِّ
(يَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ)
Kemudian
dengan bahasa “jenisnya air kencing”, mushannif mengecualikan perkataan beliau
yang berbunyi, “kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah
memakan makanan, maksudnya belum pernah mengkonsumsi makanan dan minuman untuk
penguat badan. Maka sesungguhnya air kencing anak laki-laki tersebut sudah bisa
suci dengan hanya-memer cikkan air padanya.
وَلَا يُشْتَرَطُ
فِي الرَّشِّ سَيَلَانُ الْمَاءِ فَإِنْ أَكَلَ الصَّبِيُّ الطَّعَامَ عَلَى
جِهَّةِ التَّغَذِّيِ غُسِلَ بَوْلُهُ قَطْعًا
Dalam
memercikkan air, tidak disyaratkan harus sampai mengalir. Maka Jika anak kecil
laki-laki tersebut telah mengkon -sumsi makanan untuk penguat badan, maka air
kencingnya harus dibasuh secara pasti.
وَخَرَجَ
بِالْصَبِيِّ الصَّبِيَّةُ وَالْخُنْثَى فَتُغْسَلُ مِنْ بَوْلِهِمَا
Dengan
bahasa “anak laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan huntsa, maka
air kencing keduanya harus dibasuh.
وَيُشْتَرَطُ فِيْ
غَسْلِ الْمُتَنَجِّسِ وُرُوْدُ الْمَاءِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ قَلِيْلًا فَإِنْ
عَكَسَ لَمْ يَطْهُرْ .
Di
dalam membasuh barang yang terkena najis, disyaratkan airnya yang
didatangkan/dialirkan pada barang tersebut jika airnya sedikit. Jika dibalik,
maka barang tersebut tidak suci.
أَمَّا الْمَاءُ
الْكَثِيْرُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ كَوْنِ الْمُتَنَجِّسِ وَارِدًا أَوْ مَوْرُوْدًا
Adapun air yang banyak, maka tidak ada bedanya antara barang yang terkena najis
yang datang atau didatangi air.
Najis dimaafkan
(Ma’fu)
(وَلَا يُعْفَى عَنْ شَيْئٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ إِلَّا
الْيَسِيْرُ مِنَ الدَّمِّ وَالْقَيْحِ) فَيُعْفَى عَنْهُمَا فِيْ ثَوْبٍ أَوْ
بَدَنٍ وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ مَعَهُمَا
Dan tidak
ada najis yang dima’afkan(ma’fu) kecuali darah dan nanah yang sedikit. Maka
keduanya dima’fu di pakaian dan badan, dan shalat yang dilakukan tetap sah
walaupun membawa keduanya.
(وَ) إِلَّا (مَا) أَيْ شَيْئٌ (لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ) كَذُبَابٍ وَنَمْلٍ
(إِذَا وَقَعَ فِيْ الْإِنَاءِ وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لَا يُنَجِّسُهُ)
Dan
kecuali bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat
dan semut, ketika binatang tersebut masuk ke dalam wadah air dan mati di sana.
Maka sesungguhnya bangkai binatang
tersebut tidak menajiskan wadah air yang dimasukinya.
وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَخِ إِذَا مَاتَ فِي الْإِنَاءِ. وَأَفْهَمَ قَوْلُهُ وَقَعَ أَيْ
بِنَفْسِهِ أَنَّهُ لَوْ طُرِحَ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ فِيْ الْمَائِعِ
ضَرَّ وَهُوَ مَاجَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَلَمْ
يَتَعَرَّضْ لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي الْكَبِيْرِ
Dalam
sebagian redaksi menggunakan bahasa “ketika mati di dalam wadah”. Dan Perkataan
mushannif “terjatuh sendiri”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya seandai -nya
bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam
benda cair, maka berbahaya (menajiskan). Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat
ini di dalam kitab asy Syarh ash Shaghir, namun beliau tidak menyinggung
masalah ini di dalam kitab asy Syarh al Kabir.
وَإِذَا كَثُرَتْ
مَيْتَةُ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ وَغَيَّرَتْ مَا وَقَعَتْ فِيْهِ
نَجَّسَتْهُ
Dan apabila bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan
merubah sifat cairan yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair
tersebut.
وَإِذَا نَشَأَتْ
هَذِهُ الْمَيْتَةُ مِنَ الْمَائِعِ كَدُوْدِ خَلٍّ وَفَاكِهَةٍ لَمْ تُنَجِّسْهُ
قَطْعًا
Ketika
bangkai ini muncul dari benda cairseperti ulatnya cukak dan buah-buahan, maka
tidak menajiskan cairan tersebut secara pasti.
وَيُسْتَثْنَى مَعَ
مَا ذَكَرَهَا مَسَائِلُ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمَبْسُوْطَاتِ سَبَقَ بَعْضُهَا فِيْ
كِتَابِ الطَّهَارَةِ
Di
samping apa yang telah dijelaskan oleh mushannif, masih ada beberapa
permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang
diperluas keterangannya, sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab
Thaharah”.
Najis yang diberatkan
(Mughaladhah)
وَالْحَيَّوَانُ
كُلُّهُ طَاهِرٌ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيْرَ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ
مِنْ أَحَدِهِمَا) مَعَ حَيَّوَانٍ طَاهِرٍ)
Semua
binatang hukumnya suci kecuali anjing, babi, dan peranakan keduanya atau salah
satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci.
وَعِبَارَتُهُ تَصْدُقُ بِطَهَارَةِ الدُّوْدِ الْمُتَوَلِّدِ مِنَ
النَّجَاسَةِ وَهُوَ كَذَلِكَ
Ungkapan
mushannif ini mencakup terhadap sucinya ulat yang muncul dari najis, dan memang
demikinlah hukumnya.
وَالْمَيْتَةُ
كُلُّهَا نَجَسَةٌ إِلَّا السَّمَكَ وَالْجَرَادَ وَالْآدَمِيَّ) وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَخِ ابْنُ آدَمَ أَيْ مَيْتَةَ كُلٍّ مِنْهَا فَإِنَّهَا طَاهِرَةٌ)
Bangkai,
semuanya hukumnya adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan anak Adam.
Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “ibn Adam”, maksudnya bangkai
masing-masing barang di atas, maka sesungguhnya hukumnya suci.
وَيَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعَ
مَرَّاتٍ) بِمَاءٍ طَهُوْرٍ (إِحَدَاهُنَّ) مَصْحُوْبَةٌ (بِالتُّرَابِ)
الطَّهُوْرِ يَعُمُّ الْمَحَلَّ الْمُتَنَجِّسَ
Wadah
yang terkena liur anjing atau babi, maka harus dibasuh tujuh kali dengan
menggunakan air suci mensucikan, salah satu basuhan dicampur dengan debu suci
mensucikan yang merata ke seluruh tempat yang terkena najis.
فَإِنْ كَانَ
الْمُتَنَجِّسُ بِمَا ذُكِرَ فِيْ مَاءٍ جَارٍ كَدَرٍ كَفَى مُرُوْرُ سَبْعِ
جَرَيَاتٍ عَلَيْهِ بِلَا تَعْفِيْرٍ
Maka jika
barang yang terkena najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang keruh, maka
cukup mengalirnya air tersebut tujuh kali tanpa harus dicampur dengan debu.
وَإِذَا لَمْ تَزُلْ عَيْنُ النَّجَاسَةِ الْكَلْبِيَّةِ إِلَّا بِسِتِّ غَسَلَاتٍ
مَثَلًا حُسِبَتْ كُلُّهَا غَسْلَةً وَاحِدَةً
Dan apabila najis anjing tersebut belum hilang عَيْنُ dengan enam basuhan semisal,
maka seluruh basuhan dianggap satu kali basuhan.
وَالْأَرْضُ التُّرَابِيَّةُ لَا يَجِبُ التُّرَابُ فِيْهَا عَلَى الْأَصَحِّ
Tanah yang berdebu -yang terkena najis ini- tidak wajib diberi debu -saat membasuhnya- menurut qaul al ashah.
Najis Mutawasithah
(وِيُغْسَلُ مِنْ سَائِرِ) أَيْ بَاقِي (النَّجَاسَاتِ
مَرَّةً وَاحِدَةً) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَّةً (تَأْتِيْ عَلَيْهِ
وَالثَّلَاثُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَالثَّلَاثَةُ بِالتَّاءِ (أَفْضَلُ)
Untuk
najis-najis yang lain, maka cukup dibasuh satu kali yang di alirkan pada najis
tersebut. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “marratan (sekali)”. Tiga
kali (ats tsalatsu) basuhan adalah lebih utama. Dalam sebagian redaksi
menggunakan bahasa “ats tsalatsatu” dengan menggunakan ta’ diakhirnya.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَاب
Komentar