Kafarah Menurut Pendapat Walid Blang Jruen
Kafarah Menurut Pendapat Walid Blang Jruen
Study dalam beberapa kitab masyhur fiqh as syafi’iyah
Univesitas Islam Dunia, 29 sya’ban 1442
Ditulis 0leh Walid Blang Jruen
Alumni Pasvcasarjana IAIN
Lhokseumawe
A.Pendahuluan
Salah satu hal yang biasa dilakukan oleh keluarga orang yang meninggal adalah membayar fidiyah shalat yang ditinggalkan simayat semasa hidupnya yang belum sempat diqadha, dengan harapan semoga Allah memberi keringanan atas shalat yang ia tinggalkan. Saat ini legalitas hukum kafarat shalat banyak dipertanyakan bahkan ada pihak yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan sama sekali. Pembayaran fidiyah shalat tersebut biasanya disertakan dengan fidyah dan kafarah yang lain seperti puasa, telat qadha puasa, sumpah dan lain lain.
B.Pembahasan
Berdasarkan
pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafii seseorang yang meninggal sedangkan ada
shalat yang belum ia qadha maka tidak ada qadha dan demikian juga tidak ada
fidiyah. Pendapat dalam mazhab lain yang juga diikuti oleh sebagian para ulama
Mazhab Syafii, shalat tersebut diqadha oleh para keluarga mayit. Pendapat ini
berlandaskan kepada hadits Imam Bukhari dan imam hadist yang lain. Pendapat ini
juga diikuti oleh beberapa kalangan ulama dari mazhab Syafii, bahkan Imam
as-Subky mengerjakan shalat tersebut untuk para kerabat beliau yang telah
meninggal dunia.
Berkenaan
dengan pendapat ini Imam al-Qalyuby memberikan komentar, bahwa sebagian
kalangan guru-guru beliau mengatakan bahwa ini amalan untuk diri sendiri maka
dibolehkan mengikuti pendapat tersebut karena pendapat tersebut adalah muqabil
dari pendapat Ashah.
Menurut
pendapat yang lain, terhadap shalat yang tertinggal tersebut bisa digantikan
dengan makanan dengan ukuran satu mudd (1 mudd = 864 gram persatu kali shalat.,
berdasarkan penelitian Walid Blang Jruen, (Tgk. Abdillah.SE.,MH.) Alumni Dayah
Malikussaleh Panton Labu Imam Sulaiman al-Kurdy mengatakan bahwa al-Khawarizmy
pernah mengatakan bahwa; saya melihat didaerah khurasan para ulama dari
kalangan Mazhab Syafii yang berfatwa dengan pendapat ini. Dalam satu hadist
Rasulullah bersabda:
ما الميت في القبر إلا كالغريق المتعوث ينتظر دعوة تلحقه من
أب أو أم أو أخ أو صديق فإذا لحقته كانت أحب إليه من الدنيا و ما فيها
Artinya: Tiada dari mayat dalam
kubur kecuali bagaikan orang yang tenggelam yan meminta tolong, ia menunggu doa
dari ayah, ibu, saudara dan kawannya. Maka apabila datang doa baginya hal
tersebut lebih ia cintai daripada dunia dan isinya (H.R. Imam Bayhaqi)
Alasan dengan Memberi fidiyah shalat untuk orang yang telah meninggal hanyalah berharap semoga Allah ta`la dengan sifat kemurahanNya yang agung akan diberikan keringanan kepada orang meninggal tersebut.
Ashah: istilah yang digunakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj untuk menandakan satu pendapat kuat yang dikeluarkan oleh Ashabil Wujuh yang memiliki muqabil yang juga kuat dalilnya.(lihat Muqaddimah syarah Minhaj)
C.Kitab Minhaj al-Thalibin
Kitab
berbentuk mukhtashar, ringkasan dari kitab berjudul al-Muharrar karya Imam Abu
Qasim al-Rafi’i, muharrir mazhab Syafi’i sebelum Imam Nawawi. Kitab al-Muharrar
ini dalam pandangan Imam Nawawi disanjung sebagai berikut:
وأتقن مختصر المحرر للإمام أبي
القاسم الرافعي رحمه الله تعالى ذي التحقيقات وهو كثير الفوائد عمدة في تحقيق
المذهب معتمد للمفتي وغيره من أولى الرغبات وقد التزم مصنفه رحمه الله أن ينص على
ما صححه معظم الأصحاب ووفى بما التزمه وهو من أهم أو أهم المطلوبات
Kitab fikih mazhab Syafi’i yang
berbentuk ringkasan paling mutqin adalah kitab al-Muharrar karya Ilmiyah Imam
Abu Qasim al-Rafi’i RA yang paling bagus penelitiannya, banyak fawaid faidah
dan keilmuannya, menjadi tumpuan untuk mengetahui hal tahqiq mazhab penelitian
tentang pendapat yang dipegang dalam mazhab, pegangan bagi mufti dan orang lain
yang memiliki keinginan mengkaji.
Dalam penyusunan kitab al-Muharrar, Imam
al-Rafi’i RA berkomitmen untuk menuliskan pendapat-pendapat yang disahihkan
oleh mayoritas Ashhab (ulama mujtahid dalam mazhab Syafi’i. Beliau al-Rafi’i
benar-benar serius dengan komitmennya. Kitab al-Muharrar ini merupakan kitab
penting untuk dikaji.
Akan tetapi, dalam pandangan Imam Nawawi ukuran kitab al-Muharrar masih terhitung tebal sehingga sulit untuk dihafalkan kecuali oleh pelajar yang benar-benar serius. Oleh karena itu, Imam Nawawi berminat membuat versi ringkasan dari al-Muharrar (yang sebenarnya sudah berstatus ringkasan) yang ketebalannya kira-kira setengah dari al-Muharrar agar mudah dihafalkan. Pada faktanya, Imam Nawawi tidak hanya meringkas kitab al-Muharrar, melainkan juga memberikan nafais al-mustajadat tambahan kajian baru yang berharga, catatan-catatan penjelas beberapa masalah yang pada al-Muharrar tidak dijelaskan atau koreksi terhadap yang disebutkan dalam al-Muharrar berbeda dengan pendapat yang dipilih dalam mazhab Syafi’i, penggantian kata-kata yang gharib ganjil, tidak familiar, penggantian kata-kata yang berpotensi memberikan kesan keliru, penjelasan tentang masalah yang memiliki dua qaul, dua wajh, dua thariq, atau lebih, penjelasan tentang nash, penjelasan tentang tingkatan-tingkatan masalah khilafiyah, dan beberapa koreksi terhadap beberapa pendapat al-Rafi’i.
D.Beberapa
Istilah Penting dalam Kitab Minhaj al-Thalibin
Dalam Kitab Minhaj al-Thalibin Imam
Nawawi kemudian membuat rumus-rumus tertentu dalam kitab Minhaj al-Thalibin
sebagai berikut:
Pertama:
istilah Qaul, Qaulani, atau Aqwal, yaitu
ijtihad yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i tanpa membedakan apakah qaul imam
Syafi’i itu qaul qadim, jadid, manshush maupun mukharraj. Maksudnya, para
peneliti (muharrir) mazhab Syafi’i (dalam hal ini adalah Imam Nawawi) menemukan
bahwa dalam satu masalah ada dua pendapat atau lebih, yang semua pendapat itu dinisbahkan
kepada Imam Syafi’i dianggap sebagai pendapat Imam Syafi’i. Lalu di antara qaul
(pendapat) itu, manakah pendapat yang lebih kuat dianggap sebagai pendapat Imam
Syafi’i sebagai berikut Contohnya:
وَأَمَّا الْمَيْتَاتُ، فَكُلُّهَا نَجِسَةٌ، إِلَّا
السَّمَكَ وَالْجَرَادَ، فَإِنَّهُمَا طَاهِرَانِ بِالْإِجْمَاعِ، وَإِلَّا
الْآدَمِيَّ، فَإِنَّهُ طَاهِرٌ عَلَى الْأَظْهَرِ
Diriwayatkan bahwa ada dua pendapat Imam
Syafi’i tentang hukum bangkai (mayat) manusia. Pendapat pertama adalah najis,
sedangkan pendapat kedua adalah tidak najis. Dua pendapat ini sama-sama diklaim
sebagai pendapat Imam Syafi’i. Imam Nawawi kemudian meneliti dengan ketat.
Kemudian menyimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat untuk dinisbahkan sebagai
pendapatnya Imam Syafi’i adalah pendapat kedua, yakni bahwa hukum mayat manusia
adalah suci.
Dalam penelitiannya terhadap pendapat
Imam Syafi’i, Imam Nawawi mengklasifikasikan nya kepada dua tingkatan, yaitu
tingkatan kuatnya perbedaan dan tingkatan lemahnya perbedaan. Kalau masalah
yang diteliti itu khilafnya kuat, maka untuk pendapat yang lebih diunggulkan
untuk dinisbahkan kepada Imam Syafi’i diistilahkan dengan الأظهر.
Sebaliknya, kalau masalah yang diteliti itu khilafnya lemah, maka untuk
pendapat yang lebih diunggulkan untuk dinisbahkan kepada Imam Syafi’i
diistilahkan dengan المشهور.
Apa maksud khilafnya kuat atau lemah, maksudnya
adalah bahwa peneliti dalam hal ini adalah Imam Nawawi menemukan dalam satu
masalah ada dua riwayat misalnya yang kedua-duanya diklaim berasal dari Imam
Syafi’i. Apabila sulit dalam menentukan status kedua riwayat tersebut, maka
disebut khilafnya kuat. Kalau tidak terlalu sulit menentukan status kedua
riwayat tersebut, maka disebut khilafnya lemah.
Walid selaku Penulis memberikan sedikit gambaran
khilaf yang kuat saja sebagai berikut:
Ada masalah tentang hukum bolehkan
bersuci menggunakan air yang telah dimasuki oleh batang kayu yang harum atau
mengeluarkan bau yang harum Apakah air tersebut masih layak disebut air mutlaq,
atau disebut sebagai air Mukhallid telah bercampur sesuatu. Imam Nawawi pun
meneliti apakah ada riwayat pendapat Imam Syafi’i dalam masalah ini. Ternyata
dalam kasus ini ada dua riwayat ijtihad Imam Syafi’i yang keduanya ikhtilaf kontradiktif
yang tajam. Al-Buwaithi salah seorang murid senior Imam Syafi’i di Mesir yang
menggantikan beliau sebagai pengasuh majelis ilmu Imam Syafi’i sepeninggal setelah
wafatnya Imam syafi’i mengatakan bahwa ijtihad Imam Syafi’i dalam hal ini
adalah hukumnya tidak boleh, karena air dalam kondisi ini sifatnya sama seperti
ketika air ini bercampur dengan za’farani (saffran).
Namun, al-Muzani juga murid senior Imam
Syafi’i setelah Al-Buwaithi, pengarang kitab mukhtashar Al-Muzani yang juga
berisi banyak riwayat pendapat Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad Imam
Syafi’i dalam hal ini adalah hukumnya boleh, karena perubahan aroma air itu
disebabkan karena mujawirah (kedekatan lokasi) sebagaimana jika air tersebut
berubah baunya karena ada bangkai didekatnya yang tidak sampai bercampur dengan
air. Kedua riwayat ini saling kontradiktif.
Status khilafnya kuat karena
kedua-duanya diriwayatkan dari dua orang murid senior Imam Syafi’i yang status
keduanya pun sama. Kedua-duanya pun murid yang sangat dekat dengan Imam
Syafi’i, dan pendapat-pendapat ijtihad Imam Syafi’i pun dinilai sangat kuat dan
valid kalau berasal dari mereka. Namun, secara logika tidak mungkin ada dua
ijtihad yang kontradiktif, melainkan mesti ada salah satu yang lebih dikuatkan
dan diunggulkan.
Penelitian Imam an Nawawi menyimpulkan bahwa pendapat ijtihad
Imam Syafi’i yang kuat adalah pendapat yang membolehkan sesuai riwayat
al-Muzani setelah meneliti dengan panjang dan sulit mengingat kuatnya ikhtilaf.
Pendapat Imam Syafi’i dalam masalah ini
disebut dengan Qaul. Jadi di sini adalah
dua Qaul.
Pendapat yang kemudian dianggap lebih kuat sebagai pendapat ijtihad Imam Syafi’i inilah yang diistilahkan dengan al-Azhhar / الأظهر. Kuat atau lemahnya khilaf tentu saja subyektif Imam Nawawi, tetapi beliau adalah peneliti yang sangat hebat dan tekun sehingga semestinya kita terima.
Kedua:
Istilah Wajh, Wajhaini, atau Awjuh,
yaitu ijtihad mujtahid mazhab diistilahkan juga dengan ashhab al-wujuh dari kalangan mazhab Syafi’i berdasarkan kaidah ushul mazhab Imam Syafi’i.
Maksudnya, para peneliti (muharrir) mazhab Syafi’i dalam hal ini adalah Imam
Nawawi menemukan bahwa dalam satu masalah ada dua pendapat atau lebih, yang
semua pendapat itu merupakan hasil ijtihad mujtahid mazhab Syafi’i. Lalu di
antara wajh pendapat itu, manakah pendapat yang lebih kuat dianggap memenuhi
kriteria ushul mazhab Syafi’i, atau yang lebih sesuai dengan ushul mazhab
Syafi’I sebagi berikut Gambarannya:
وَالْمُسْتَعْمَلُ الَّذِي لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ،
لَا يُزِيلُ النَّجَسَ عَلَى الصَّحِيحِ
Artinya: Dan air yang telah di pakai
tidak bias menghilangkan hadis, tidak menghilangkan najis berdasarkan pendapat
ashah
Bagaimana pendapat yang lebih sesuai
dengan ushul mazhab Syafi’i tentang air musta’mal yang tidak sah hukumnya
dipakai untuk mengangkat hadas, apakah bisa dipakai untuk menghilangkan najis,
Dalam masalah ini ditemukan dua pendapat yang berasal dari ijtihad mujtahid
mazhab Syafi’i.
Pendapat pertama, bahwa air musta’mal
yang tidak sah hukumnya dipakai untuk mengangkat hadas, bisa dan sah dipakai
untuk menghilangkan najis. Pendapat kedua, bahwa air musta’mal yang tidak sah
hukumnya dipakai untuk mengangkat hadas, tidak bisa dan tidak sah dipakai untuk
menghilangkan najis. Imam Nawawi kemudian meneliti dengan ketat.
Kemudian menyimpulkan bahwa pendapat
yang lebih sesuai dengan ushul mazhab Syafi’i adalah pendapat kedua, yakni
bahwa air musta’mal yang tidak sah hukumnya dipakai untuk mengangkat hadas,
tidak bisa dan tidak sah dipakai untuk menghilangkan najis. Dalam penelitiannya
terhadap ijtihad mujtahid mazhab Syafi’i, Imam Nawawi mengklasifikasikannya
kepada dua tingkatan, yaitu tingkatan kuatnya perbedaan dan tingkatan lemahnya
perbedaan. Kalau masalah yang diteliti itu khilafnya kuat, maka untuk pendapat
yang lebih diunggulkan untuk dinisbahkan sebagai pendapat yang lebih sesuai
dengan ushul mazhab Syafi’i diistilahkan dengan الأصح. Sebaliknya, kalau masalah yang diteliti itu khilafnya
lemah, maka untuk pendapat yang lebih diunggulkan untuk dinisbahkan sebagai
pendapat yang lebih sesuai dengan ushul mazhab Syafi’i diistilahkan dengan الصحيح.
Pendapat para ulama mujtahid mazhab Syafi’i ini bukanlah pendapat atau ijtihad pribadi Imam Syafi’i, melainkan murni ijtihad ulama mujtahid mazhab Syafi’i, tetapi sesuai dengan kaidah ushul mazhab Imam Syafi’i.
Ketiga:
Istilah Thariq, Thariqaini, atau Thuruq,
yaitu variasi riwayat ulama mujtahid mazhab Syafi’i terkait klaim pendapat
terkuat menurut madzhab Syafi’i. Maksudnya, Imam Nawawi dalam penelitiannya
terhadap hukum sebuah masalah menemukan beberapa variasi riwayat ulama mujtahid
mazhab Syafi’i terkait hukumnya. Misalnya, dalam satu masalah menurut satu thuruq
diriwayatkan memili dua qaul atau dua wajh, sementara menurut thuruq yang lain
diriwayatkan hanya terdapat satu qaul atau satu wajh saja. Riwayat yang terkuat
untuk diklaim sebagai pendapat terkuat menurut mazhab Syafi’i disebut dengan
istilah المذهب.
Sebagi berikut
Gambarannya :
وَأَمَّا الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ،
فَطَاهِرٌ، وَلَيْسَ بِطَهُورٍ عَلَى الْمَذْهَبِ
Dalam masalah hukum air musta’mal,
hukumnya suci, tetapi apakah mensucikan digunakan untuk bersuci Terhadap hukum masalah ini, Imam Nawawi menemukan
dua variasi riwayat (thuruq) dari ulama mujtahid mazhab Syafi’i. Thuruq pertama, bahwa hukum air musta’mal ada
dua qaul yaitu hukumnya suci dan mensucikan, qaul kedua hukumnya suci dan tidak
mensucikan. Sementara thuruq kedua, hanya satu qaul yaitu, bahwa hukum air
musta’mal adalah suci, tetapi tidak mensucikan. Kedua thuruq ini mengklaim
bahwa riwayatnya lah yang terkuat menurut mazhab Syafi’i.
Imam Nawawi kemudian meneliti secara mendalam, kemudian menegaskan bahwa riwayat yang terkuat dan sesuai menurut mazhab Syafi’i adalah thuruq yang kedua, yaitu bahwa hukum air musta’mal adalah suci, tetapi tidak mensucikan. Istilah bagi thariq yang kedua ini adalah al-madzhab, artinya menurut pendapat terkuat bahwa dalam internal mazhab Syafi’i hanya ada satu qaul.
Keempat:
Istilah Nash¸ yaitu teks pendapat Imam
Syafi’i sendiri yang terdapat dalam kitab-kitab yang diriwayatkan dari beliau,
seperti kitab al-Umm, al-Imla’, dan lain-lain atau kitab-kitab muridnya seperti
mukhtashar al-Buwaithi, mukhtashar al-Muzani, riwayat Rabi’ al-Muradi, dan
lain-lain. Termasuk juga dalam hal ini teks pendapat Imam Syafi’i yang
menjelaskan tentang pendapat yang lemah dalam sebuah masalah (wajh yang
dhaif/lemah).
Istilah nash juga mengindikasikan adanya pendapat pengikut mazhab yang lain. Berkaitan dengan istilah nash ini, juga dimunculkan istilah qaul mukharraj, yaitu pendapat yang berasal dari analogi terhadap pendapat Imam Syafi’i terhadap sebuah hukum, karena adanya keserupaan (seperti konsep qiyas dalam ushul fikih). Wajh yang dhaif dan Qaul Mukharraj ini biasanya adalah lawan dari Nash.
Kelima:
Istilah Qadim dan Jadid. Dua istilah ini
sudah akrab di kalangan pengkaji dan ahli ilmu. Istilah Qadim maksudnya adalah
pendapat Imam Syafi’i yang Qadim (Qaul Qadim), dan istilah Jadid adalah
pendapat Imam Syafi’i yang Jadid (Qaul Jadid). Qaul Qadim adalah pendapat Imam
Syafi’i saat beliau masih di Iraq dan sebelum hijrah ke Mesir. Qaul Jadid adalah
pendapat Imam Syafi’i saat beliau sudah hijrah ke Mesir.
Dalam kitab Minhaj al-Thalibin ini, apabila Imam Nawawi menyebutkan bahwa hukum masalah A adalah B sesuai Qadim, artinya kebalikannya adalah sesuai Qaul Jadid, begitu pula sebaliknya.
Keenam:
Istilah Waqila Kaza. Terkadang Imam Nawawi menyebutkan bahwa hukum suatu
masalah dengan embel-embel Waqila Kaza
وقيل: كذا
, maka bermakna bahwa itu adalah wajh
yang lemah. Lawan atau kebalikan (khilaf)nya adalah al-Ashah الأصح atau al-Shahih الصحيح.
Ketujuh:
Istilah Wafi Qaulin Kaza. Terkadang Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa hukum suatu masalah dengan embel-embel wa fi Qaulin Kadza وفي قول كذا, maka bermakna bahwa pendapat yang kuat berbeda dengannya. Imam Nawawi selain meringkas kitab al-Muharrar Imam al-Rafi’i, juga menambahkan beberapa pembahasan masalah yang menurut beliau semestinya memang harus dibahas. Beberapa tambahan pembahasan tersebut beliau awali dengan kalimat Qultu قلت dan diakhiri dengan kalimat wallahu a’lam والله أعلم .
Jadi, sebenarnya kitab Minhaj
al-Thalibin ini bukanlah murni ringkasan kitab al-Muharrar, tetapi juga
mengandung unsur penjelasan (syarh) terhadapnya, sebagaimana perkataan Imam
Nawawi:
وأرجو إن تم هذا المختصر أن يكون في معنى الشرح للمحرر
Aku berharap bahwa jika ringkasan ini sudah tuntas maka hasilnya bermakna sebagai syarh/penjelasan bagi kitab al-Muharrar.
E.Nash untuk kafarah shalat
1. Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 244 Cet. Haramain
(تنبيه) من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه، وفي قول أنها تفعل عنه - أوصى بها أم لا ما حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه.
(فائدة) من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية. وفي قول - كجمع مجتهدين - أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه. ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه، كالصوم.
وفي وجه - عليه كثيرون من أصحابنا - أنه يطعم عن كل صلاة مدا.
وقال المحب الطبري: يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة.
وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة، أن للانسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله.اهــ.
وقوله: لم تقض ولم تفد عنه وعند الامام أبي حنيفة رضي الله عنه: تفدى عنه إذا أوصى بها ولا تقضى عنه.
ونص عبارة الدر مع الاصل: ولو مات وعليه صلوات فائتة، وأوصى بالكفارة، يعطى لكل صلاة نصف صاع من بر كالفطرة، وكذا حكم الوتر والصوم.وإنما يعطى من ثلث ماله، ولو لم يترك مالا يستقرض وارثه نصف صاع مثلا ويدفعه للفقير ثم يدفعه الفقير للوارث، ثم وثم حتى يتم.ولو قضاها وارثه بأمره لم يجز لانها عبادة بدنية.اهــ.
2. Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 244 Cet. Haramain
(فائدة) من مات وعليه صلاة، فلا قضاء، ولا فدية.
وفي قول - كجمع مجتهدين - أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا وفعل به السبكي عن بعض أقاربه ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي - إن خلف تركه - أن يصلي عنه كالصوم.وفي وجه - عليه كثيرون من أصحابنا - أنه يطعم عن كل صلاة مدا.
(قوله: من مات وعليه صلاة) أي أو اعتكاف.(وقوله: فلا قضاء ولا فدية) أي لعدم ورودهما. ويستثنى من منع الصلاة والاعتكاف عن الميت، ركعتا الطواف، فإنهما يصحان من الاجير، تبعا للحج. وما لو نذر أن يعتكف صائما فإن البغوي قال في التهذيب: إن قلنا لا يفرد الصوم عن الاعتكاف - أي وهو الاصح - وقلنا يصوم الولي: فهذا يعتكف عنه صائما، وإن كانت النيابة لا تجزئ في الاعتكاف.(قوله: وفي قول كجمع مجتهدين) أي وفي قول عندنا تبعا لجمع مجتهدين.
وعبارة فتح الجواد: ففيها - أي الصلاة - قول لجمع مجتهدين أنها تقضي عنه، لخبر البخاري وغيره، ومن ثم إلخ، فلعل الكاف - الداخلة على لفظ جمع - زيدت من النساخ.(وقوله: أنها) أي الصلاة تقضي عنه.وفي قول أيضا: أن الاعتكاف بفعل عنه.(قوله: لخبر البخاري وغيره) في التحفة: لخبر فيه لكنه معلول.(قوله: ومن ثم اختاره) أي ومن أجل ورود خبر فيه، اختار القول بالقضاء جمع من أئمتنا.(قوله: وفعل به) أي عمل بهذا القول، وهو قضاء الصلاة.وفي حواشي المحلى للقليوبي: قال بعض مشايخنا: وهذا من عمل الشخص لنفسه، فيجوز تقليده، لانه من مقابل الاصح.اهـــ.
(قوله: وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا إلخ) قال الكردي: قال الخوارزمي: ورأيت بخراسان من يفتي به من بعض أصحابنا.وعن البويطي أن الشافعي قال: في الاعتكاف يعتكف عنه وليه. وفي رواية يطعم عنه وليه. وإذا قلنا الاطعام في الاعتكاف: فالقدر المقابل بالمد: اعتكاف يوم بليلته، هكذا حكاه الامام عن رواية شيخه وأصلها: وهو مشكل - فإن اعتكاف لحظة عبادة تامة، وإن قيس على الصوم فالليل ثم خارج عن الاعتبار.اهــ.بتصرف.
3. Tuhfatul Muhtaj jilid 3 hal 482 Cet. Dar Fikr
(ولو مات وعليه صلاة أو اعتكاف لم يفعل عنه ولا فدية) تجزئ عنه لعدم ورود ذلك (وفي الاعتكاف قول) إنه يفعل عنه كالصوم (والله أعلم) وفي الصلاة أيضا قول: إنها تفعل عنه أوصى بها أم لا حكاه العبادي عن الشافعي وغيره عن إسحاق وعطاء لخبر فيه لكنه معلول بل نقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي أي: إن خلف تركة أن يصلي عنه كالصوم ووجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا واختار جمع من محققي المتأخرين الأول وفعل به السبكي عن بعض أقاربه وبما تقرر يعلم أن نقل جمع شافعية وغيرهم الإجماع على المنع المراد به إجماع الأكثر وقد تفعل هي والاعتكاف عن ميت كركعتي الطواف فإنها تفعل عنه تبعا للحج وكما لو نذر أن يعتكف صائما فمات فيعتكف الولي أو ما دونه عنه صائما.
(قوله أنها تفعل) أي: جاز للولي ولغيره بإذنه أن يفعلها عن الميت (قوله حكاه العبادي عن الشافعي إلخ) واختاره ابن دقيق العيد والسبكي ومال إلى ترجيحه ابن أبي عصرون وغيره ونقل الأذرعي عن شرح التنبيه للمحب الطبري أنه يصل للميت ثواب كل عبادة تفعل عنه واجبة كانت أو متطوعا عنه انتهى وكتب الحنفية ناصة على أن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صوما أو صدقة وفي شرح المختار لمؤلفه منهم مذهب أهل السنة والجماعة أن للإنسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله وعليه فلا يبعد أنه له الصلاة وغيرها عنه وصح في البخاري عن ابن عمر - رضي الله تعالى عنهما - أنه أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلي عنها والظاهر أنه لا يقوله إلا توقيفا إيعاب.
(قوله أن يصلي إلخ) يظهر أن المراد بنفسه أو مأذونه بأجرة أو متبرعا وأن المراد بالولي هنا مطلق القريب نظير ما مر في الصوم فليراجع.
(قوله ووجه إلخ) عطف على قوله قول إلخ أي: وجه قائل بأنه يجوز للولي أن يطعم إلخ وقياس ما مر في الصوم عن شيخنا وغيره أن للأجنبي ولو من غير إذن الولي الإطعام من ماله عن الميت.
(قوله الأول) أي: أن الصلاة تفعل عنه ع ش وكردي.
(قوله وفعل به السبكي إلخ) عبارته في الإيعاب قال ابن أبي عصرون ليس في الحديث ولا القياس ما يمنع وصول ثواب الصلاة للميت وروي فيها أخبار غير مشهورة واستظهر السبكي ما قاله لحديث مرسل «من بر الوالدين أن تصلي لهما مع صلاتك» قيل تدعو لهما ولا مانع من حمله على ظاهره قال ومات لي قريب عليه خمس صلوات ففعلتها عنه قياسا على الصوم اهـ.
(قوله عن بعض أقاربه) عبارة شيخنا في أمه اهـ.
4. Fiqh Islam wa Adillatuhu Wahbah Az Zhuhayli
إسقاط الصلاة والصوم وغيرهما عن المريض العاجز الذي مات :
قال الحنفية : إذا مات المريض الذي عجز في الحياة عن الصلاة بالإيماء برأسه، لا يلزمه الإيصاء بها، وإن قلت.
وكذا المسافر والمريض إن أفطرا في الصوم، وماتا قبل الإقامة والصحة، فلا يلزمهما الإيصاء به. لكن تكون الوصية مستحبة بفدية الصلاة والصيام ونحوها.
ومن مات وعليه صلوات فائتة بغير عذر بأن كان يقدر على أدائها ولو بالإيماء، فيلزمه الإيصاء بالكفارة عنها، وإلا فلا يلزمه وإن قلّت بأن كانت دون ست صلوات، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «فإن لم يستطع فالله أحق بقبول العذر منه» .
وكذلك من أفطر في رمضان ولو بغير عذر، يلزمه الوصية بفدية ما عليه بما قدر عليه، ويبقى في ذمته، ويخرجه عنه وليه من ثلث تركته. وللولي التبرع بالفدية إن لم يوص أو لم يترك مالاً.
ومقدار الكفارة عن الصلاة ومنها الوتر عند الحنفية، والصوم: أن يعطى لكل صلاة وصوم يوم نصف صاع من بُرّ (ربع مد دمشقي من غير تكريم، بل قدر مَسْحة)، كفطرة الصيام لكل من الصلاة والصوم على حدة، وتقدر بـ 1087,5غم.
وتؤخذ الكفارة وفدية الصوم: من ثلث مال المتوفى. فإن لم يكن له مال يستقرض وارثه نصف صاع مثلاً، ويهبه للفقير، ثم يهبه الفقير لولي الميت ويقبضه، ثم يدفعه الولي للفقير، فيسقط من الصلاة والصوم بقدره ، وهكذا حتى يتم إسقاط ما كان عليه من صلاة وصوم.
لكن يلاحظ أن مثل هذه الحيلة غير مقبولة؛ لأن الصلاة عبادة بدنية، ولا تسقطها شكليات فارغة وطقوس جوفاء.
ويجوز إعطاء فدية صلوات لواحد جملة، بخلاف كفارة اليمين، كما يجوز إعطاء الفقير أقل من نصف صاع. ولا يصح للمرء في حال حياته أن يفدي عن صلاته في مرضه، فلا فدية في الصلاة حال الحياة بخلاف الصوم فإنه يجوز بل تجب الفدية عنه. ولا يجوز للورثة قضاء الصلاة عن الميت بأمره؛ لأن الصلاة عبادة بدنية شخصية، بخلاف الحج فإنه يقبل النيابة.
5. Hasyiah Qalyuby `ala Syarah Mahally jilid 2 hal 86 Cet. Dar Fikr
قوله: (وفي الاعتكاف قول) وفي الصلاة قول أيضا وفيها وجه أنه يطعم عنه لكل صلاة مد قال بعض مشايخنا: وهذا من عمل الشخص لنفسه فيجوز
تقليده لأنه من مقابل الأصح نعم يصلي أجيرا لحج ركعتي الطواف
F.Tanbih:
Adapun bila memberi fidiyah dengan
keyakinan pasti akan menutupi shalat yang ditinggalkan didunia maka ini adalah
pemahanan yang salah, apalagi bila ada keyakinan boleh saja kita meninggalkan
shalat asalkan pada waktu meninggal shalat tersebut diganti dengan fidiyah
berupa makanan pokok ini sangatlah besar kesalahannya.
G.Kesimpulan
Mengenai fidiyah shalat dalam mazhab
Syafii, menurut pendapat yang kuat tidak dianjurkan tetapi menurut pendapat
yang lain, shalat tersebut boleh digantikan dengan membayar fidiyah berupa
makanan pokok sebanyak 1 mudd (864 gram), walaupun ini adalah pendapat dhaif
namun boleh diamalkan. Maka dalam hal ini masyarat yang ingin mengamalkan
pendapat dhaif tersebut maka boleh saja sebagai usaha untuk menolong mayat,
semoga Allah memberikan keringanan kepada mayat tersebut dan bagi pihak yang
tidak ingin membayar fidiyah maka juga tidak mengapa dan tentu saja dengan
tidak menyalahkan orang-orang yang ingin membayar fidiyah.
Footnot:
1. Dayah Malikussaleh Panton Labu
2. Dayah Mudi Mesra Samalanga
3. Nahdatul Ulum Bayu
4. Dayah Darul Ma’arif Blang Asan
Referensi:
1.
Ibnu
Hajar al-Haitamy,Tuhfatul Muhtaj jilid 3 hal 482 Cet. Dar Fikr
2.
Hasyiah
Qalyuby `ala Syarah Mahally jilid 2 hal 86 Cet. Dar Fikr
3.
Sayyid
Abi Bakr Syatha, Fathul` Muin dan Hasyiah i`anatuth Thalibin jilid 2 hal 244
Cet. Haramain
4.
Syeikh
Abdul Hamid asy-Syarwany, Hasyiah Syarwany jilid 3 hal 482 Cet. Dar Fikr
5.
Wahbah
az Zuhayli Fiqh Islam wa Adillatuh. Cet Dar fikr
6.
Sayyid
Abi Bakr Syatha, Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 244
Cet. Haramain
Komentar