LARANGAN MEMBUNUH

LARANGAN MEMBUNUH
Universitas Islam Dunia
08, Ssya'ban,1443H
ditulis 0leh Walid Blang Jruen


A.Latar Belakang Masalah
Pembunuhan baik orang dewasa maupun anak merupakan fenomena yang beragam dengan bermacam macam kasus dan karakteristik. Pemberitaan mengenai hal tersebut kemungkinan membangkitkan reaksi emosi yang kuat dalam masyarakat. Beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya pembunuhan selama ini, diantaranya yaitu yang jadi sasaran anak sendiri, tidak mustahil kawan atau teman dijadikan korban (Human Sacrifice), mengontrol jumlah penduduk, menghindari kemelaratan, membatasi jumlah anak baik itu perempuan ataupun laki-laki, menghindari kelahiran cacat, takhayul, menutupi aib dan lain sebagainya.sebenarnya ini hanya program pembunuhan manusia secara langsung atau tidak langsung

Pembunuhan ialah salah satu masalah sosial yang dapat meresahkan masyarakat. Semua masyarakat mempunyai aturan dan undang-undang yang melarang tindakan seperti pembunuhan, penculikan, perbuatan cabul dan lain lain.  

Padahal dalam Alqur'an telah di buat Aturan-aturan atau undang-undang tersebut dibuat agar masyarakat menjadi aman serta damai yang jauh dari masalah-masalah sosial. Jangan saling membunuh maka marilah kita mengamalkan perintah Alqur'an agar tercapai hidup damai dunia dan mendapat syafa'ah  diyaumil masyhar amin yrba...

B.Pembahasan
Pembunuhan adalah tindakan yang dilakukan manusia untuk menghilang kan nyawa, atau hilangnya nyawa manusia akibat tindakan manusia lainnya, baik disengaja atau tidak, baik menggunakan alat atau tidak.
1).Macam – macam pembunuhan :
a.  Pembunuhan Disengaja
  Pembunuhan Disengaja adalah pembunuhan yang dilakukan seseorang dengan suatu alat. Pembunuhan ini biasanya terencana.
b. Pembunuhan Seperti Disengaja
   Pembunuhan seperti disengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang secara sengaja dengan sesuatu yang biasanya tidak akan menyebabkan kematian, tetapi ternyata menyebabkan kematiannya.
c. Pembunuhan tidak Disengaja
Pembunuhan tidak disengaja adalah pembunuhan yang terjadi tanpa menyengaja perbuatan itu dan tanpa menyengaja orang tertentu, atau tanpa ada niat untuk melakukan salah satunya.
(QS 4 – An Nisaa’ : 92)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Tafsir Quran Surat An-Nisa Ayat 92
Tidak ada hak bagi seorang mukmin untuk berbuat melampaui batas kepada saudaranya yang mukmin dan membunuhnya tanpa hak, kecuali kejadian itu terjadi pada dirinya dalam bentuk kesalahan yang tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Barangsiapa mengalami kesalahan tersebut,maka menjadi kewajibannya untuk memerdekakan seorang budak mukmin dan menyerahkan diyat dengan nominal tertentu kepada ahli waris korban,kecuali mereka bersedia menyedekahkannya bagi pelaku dan meamaafkanya.Kemudian apabila korban yang terbunuh berasal dari orang-orang kafir yang memusuhi kaum Mukminin,sedang dia seorang yang beriman kepada allah dan kepada kebenaran yang diturunkanNYa kepada rasulNYA,Muhammad ,maka kewajiabn pelaku pembunuhan adalah memerdekakan seorang budak yang beriman. Dan apabila korban berasal dari kaum yang antara kalian dan mereka terjalin perjanjian dan hubungan politik, maka kewajiban si pembunuh adalah membayar diyat yang diserahkan kepada para keluarga korban dan memerdekakan seorang budak perempuan mukmin.Barangsiapa tidak mampu memerdekakkan seorang budak perempuan mukmin,maka dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut,agar allah berkenan menerima taubat dari nya.Dan allah Maha mengetahui hakikat urusan hamba-hambaNya,juga Maha bijaksana dalam ajaran yang disyariatkanNYa kepada mereka. Bagi seorang mukmin tidak ada hak untuk berbuat melampaui batas kepada saudaranya yang mukmin dan membunuhnya tanpa hak, kecuali kejadian itu terjadi pada dirinya dalam bentuk kesalahan yang tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Barangsiapa mengalami kesalahan tersebut,maka menjadi kewajibannya untuk memerdekakan seorang budak mukmin dan menyerahkan diyat dengan nominal tertentu kepada ahli waris korban,kecuali mereka bersedia menyedekahkannya bagi pelaku dan meamaafkanya.Kemudian apabila korban yang terbunuh berasal dari orang-orang kafir yang memusuhi kaum Mukminin,sedang dia seorang yang beriman kepada allah dan kepada kebenaran yang diturunkanNYa kepada rasulNYA, Muhammad ,maka kewajiabn pelaku pembunuhan adalah memerdekakan seorang budak yang beriman. Dan apabila korban berasal dari kaum yang antara kalian dan mereka terjalin perjanjian dan hubungan politik, maka kewajiban si pembunuh adalah membayar diyat yang diserahkan kepada para keluarga korban dan memerdekakan seorang budak perempuan mukmin.Barangsiapa tidak mampu memerdekakkan seorang budak perempuan mukmin,maka dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut,agar allah berkenan menerima taubat dari nya.Dan allah Maha mengetahui hakikat urusan hamba-hambaNya,juga Maha bijaksana dalam ajaran yang disyariatkanNYa kepada mereka.

Selanjutnya Walid Blang jruen selaku penulis Tafsir ayat ini merincikan sebagaimana Firman Allah SWT “Tidak boleh bagi seorang mukmin membunuh saudaranya yang mukmin dengan jalan apapun.” Sebagaimana terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yangberhak diibadahi) kecuali Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan; jiwa (dibalas) dengan jiwa, orang yang telah menikah yang berzina dan orang yang keluar dari agama meninggalkan jama’ah.”

Kemudian jika terjadi sesuatu di antara tiga alasan tersebut, makatidak boleh individu dari masyarakat membunuhnya. Hal itu hanya boleh dilaksanakan oleh imam atau pihak yang diberi wewenang.  Firman Allah: illaa khatha-an “Kecuali karena tersalah.” Menurut para ahli tafsir, kalimat ini adalah  istitsna’ munqathi’ pengecualian terputus, seperti perkataan sya’ir:  Dari telurnya (burung unta itu) tak pernah pergi jauh dan tak pernah menginjak tanah.  Kecuali karena cuaca dingin yang memaksanya pergi berpindah.

Dan banyak lagi bukti-bukti yang lain. Sebab turunnya ayat ini diperselisihkan. Mujahid dan lain-lain berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan`Iyasy bin Abi Rabi’ah saudara seibu Abu Jahal. Ibunya yaitu Asma’ binti Makhramah. Hal itu karena `Iyasy membunuh al-Harits bin Yazid al-Ghamidi, seorang laki-laki yang penah menyiksanya bersama saudaranya (Abu Jahal) karena masuk Islam. `Iyasy lalu menyembunyikan kemarahan kepada orang itu. Laki-laki (al-Harits) tersebut kemudian masuk Islam dan hijrah, sedangkan`Iyasy tidak mengetahuinya. Ketika hari fat-hu Makkah, dia melihat lalu menyangka bahwa laki-laki (al-Harits) itu masih menganut agamanya, sehingga `Iyasy pun menyerangnya dan membunuhnya. Lalu, Allah menurunkan ayat ini.”

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Ayat ini turun tentang Abud Darda’ yang membunuh seorang laki-laki yang telah mengucapkan kalimat keimanan, di saat ia mengangkat pedangnya dan dia pun menebaskan pedang padanya dan dia telah mengucapkan (kalimat keimanan) itu. Ketika diceritakan kepada Nabi saw, Abud Darda’ berkata: `Dia mengucapkannya hanya untuk melindungi diri.’ Beliau bersabda: `Apakah engkau belah dadanya’ Kisah ini terdapat dalam kitab shahih, tetapi bukan mengenai Abud Darda. Pelaku kisah sebagaimana dalam hadits shahih adalah Usamah bin Zaid

Dan firman-Nya: wa man qatala mu’minan khatha-an fatahriiru raqabatim mu’minatiw wadiyatum musallamatun ilaa aHliHi (“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman, serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya si terbunuh itu”. Ini adalah dua kewajiban untuk pembunuhan karena tersalah, salah satunya adalah kaffarat akibat melakukan dosa besar, sekalipun tersalah. Dan di antara syarat kaffarat adalah memerdekakan budak yang mukmin, tidak boleh yang kafir.

Pendapat Jumhur adalah kapanpun seorang itu muslim, maka dibenarkan memerdekakannya sebagai kaffarat, baik budak yang masih kecil atau yang sudah besar. Imam Ahmad meriwayatkan dari `Abdullah bin `Abdillah, dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia datang membawa seorang budak hitam, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku punya kewajiban memerdekakan budak mukmin. Jika engkau berpendapat dia mukmin, aku akan memerdekakannya, maka Rasulullah saw. bertanya kepada budak itu: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang haq) kecuali Allah” Dia menjawab: “Ya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah” Dia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau beriman dengan kebangkitan setelah mati” Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Merdekakanlah.”Isnad hadits ini shahih, sedangkan ketidaktahuan nama Sahabat ada berpengaruh dalam keshahihannya.
Di dalam kitab al-Mu waththa’ karya Imam Malik serta Musnad asy-Syafi’i dan Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud dan Sunan an-Nasa’i, Mu’awiyah bin al-Hakam bahwa tatkala ia datang membawa budak wanita hitam, Rasulullah berkata kepadanya: “Di mana Allah” Dia menjawab: “Di langit.” Beliau bertanya: “Siapa aku” Dia menjawab: “Engkau Rasulullah saw.” Rasulullah saw. bersabda: “Merdekakanlah dia, karena dia adalah wanita mukminah.”

Firman Allah: wadiyatum muslimatun ilaa aHliHaa “Membayar diyat yang diserabkan kepada keluarganya.” Yaitu kewajiban kedua antara pembunuh terhadap keluarga korban, sebagai ganti atas sesuatu yang hilang dari mereka, yaitu si korban. Diyat ini wajib dibagi lima macam, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penulis kitab Sunan, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. menetapkan untuk diyat denda pembunuhan karena tersalah; 20 ekor anak unta betina yang umurnya masuk dua tahun, 20 ekor anak unta jantan yang urnurnya masuk dua tahun, 20 ekor anak unta betina yang umurnya masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina yang umurnya masuk lima tahun, dan 20 ekor anak unta betina yang umurnya masuk empat tahun ini menurut hadist an-Nasa’i.

At-Tirmidzi berkata: “Kami tidak mengetahuinya secara marfu’ kecuali dari jalan ini. Dan diriwayatkan secara mauquf dari `Abdullah, sebagaimana diriwayatkan pula dari `Ali dan sekelompok Sahabat lainnya.” Satu pendapat mengatakan: “Wajib dibagi menjadi empat macam. Diyat ini hanya wajib atas wali pembunuh, bukan dalam hartanya harta si pembunuh.”

Asy-Syafi’i berkata: “Aku tidak mengetahui ada perbedaan bahwa Rasulullah saw. menetapkan diyat untuk wali. Hal itu lebih banyak dari pada hadits-hadits khusus.” Pandangan yang dikemukakan ini ada dalam banyak hadits. Di antaranya hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Dua wanita Hudzail bertikai. Salah satunya dilempar batu hingga dia dan anak dalam kandungannya meninggal. Mereka lalu mengadukan perkara tersebut kepada Rasulullah saw, lalu beliau memutuskan bahwa diyat janinnya adalah memerdekakan budak laki-laki atau wanita. Sedangkan diyat wanita ditetapkan atas walinya. Ini mengandung pengertian, bahwa hukum tindakan sengaja yang salah adalah sama dengan hukum semata-semata salah dalam pembunuhan dalam kewajiban diyatnya. Akan tetapi dalam hal ini, diyat wajib dibagi tiga karena serupa dengan yang sengaja.

Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dari `Abdullah bin `Umar, ia berkata: “Rasulullah saw. mengutus Khalid bin al-Walid kepada Bani Judzaimah untuk masuk Islam, mereka tidak bisa sempurna mengucapkan: `Kami Islam.’ Mereka hanya mengucapkan: ‘Shabana’ Kami telah keluar dari agama kami, agama kaum kami, lalu Khalid membunuh mereka. Berita itu sampai kepada Nabi, lalu dengan mengangkat kedua tangannya beliau bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid.’ Lalu beliau mengutus `Ali untuk menebus orang-orang yang terbunuh, dan harta-harta mereka yang rusak hancur, hingga tempat minum dan makan anjing mereka.”Dari hadits ini dapat diambil hukum bahwa kesalahan Imam dan para pelaksananya dibebankan kepada Baitul Maal.

Firman-Nya: illaa ay yash-shaddaquu “Kecuali jika mereka bersedekah.” Yaitu wajib memberikan diyat yang diserahkan kepada keluarga korban, kecuali mereka merelakannya, maka hal itu tidak lagi menjadi wajib.

Firman Allah: fa in kaana min qaumn ‘aduwwil lakum wa Huwa mu’minun fa tahriruu raqabatim mu’minatin “Jika ia si terbunuh dari kaum yang memusiuhimu, padahal ia mukmin, makahendaklah si pembunuh memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” Jika si korban adalah seorang muslim, sedangkan walinya adalah kafir harbi, maka tidak berlaku diyat untuk mereka. Kewajiban pembunuh adalah membebaskan budak mukmin dan tidak ada kewajiban lainnya.

Firman-Nya: wa in kaana min qaumim bainakum wa bainaHum miitsaaq“Dan jika ia [si terbunuh dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka dengan kamu. Yaitu jika para wali si korban adalah ahlul dzimmah atau yang memiliki perjanjian damai, maka mereka mendapatkan diyat korban. Jika si korbanmukmin, maka wajib diyat sempurna, begitu juga jika si korban itu kafir menurut sebagian ulama. Pendapat lain mengatakan: “Bagi orang kafir, wajib setengah diyat orang muslim.” Satu pendapat lagi mengatakan 1/3, sebagaimana diuraikan dalam kitab “al-Ahkaam” (karangan Ibnu Katsir). Wajib pula pembunuh memerdekakan seorang budak mukmin. Fa mal lam yajid fashiyaamu syahraini mutataabi’aini “Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia si pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut”. Yaitu tidak boleh berbuka di antara hari-hari itu, harus bersambung terus-menerus. Jika ia berbuka tanpa udzur seperti dari udzur sakit, haid atau nifas, maka harus mulai dari awal. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah safar bepergian, apakah dapat memutuskan puasanya atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

Firman-Nya: taubatam minallaaHi wa kaanallaaHu ‘aliiman hakiiman “Sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana”. Yaitu, taubat pembunuh karena salah, jika tidak mendapatkan budak yang harus dimerdekakan, ia harus puasa 2 bulan berturut-turut. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidak mampu berpuasa, apakah wajib memberi makan 60 orang miskin, seperti dalam kaffarat zhihar, hal ini terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan ya, sebagaimana yang dinashkan (di-sebutkan dalam al-Qur’an tentang kaffarat zhihar. Di sini memang tidak disebutkan, karena tempatnya adalah dalam upaya mengancam, memberikan rasa takut atau memperingatkan, sehingga jika disebut masalah memberi makan, maka tidak sesuai, karena mengandung kemudahan dan keringanan.

Pendapat kedua mengatakan, tidak boleh berpaling kepada memberi makan, seandainya hal itu wajib, niscaya penjelasannya tidak diakhirkan pada waktu dibutuhkan. Wa kaanallaaHu ‘aliiman hakiiman “Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” Tafsimya sudah berlalu berkali-kali. Kemudian, setelah Allah menjelaskan hukum pembunuhan tersalah. Allah pun menjelaskan hukum pembunuhan dengan sengaja, Allah berfirman: wa may yaqtul mu’minam muta’ammidan “Dan barangsiapa yang nembunuh seorang mukmin dengan sengaja.” Ini adalah ancaman keras, orang yang melakukan dosa besar yang mana pada beberapa tempat dalamal-Qur’an diiringi dengan dosa syirik. Allah berfirman dalam Surat al-Furqaan yang artinya: “Dan orang-orang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar.” (Al-Furqaan: 68) Ayat-ayat dan hadits yang mengharamkan pembunuhan banyak sekali, antaranya hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Ibnu Mas’ud ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Hal pertama kali yang akan diadili pada hari Kiamat adalah masalah darah.”
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari `Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin senantiasa dalam keadaan cepat dalam perjalanannya selama belum menumpahkan darah haram. Jika ia menumpahkan darah haram, maka terhentilah (karena lelah dan lemah).”

Dalam hadits lain disebutkan: “Barangsiapa yang membantu pembunuhan seorang muslim sekali pun dengan setengah kalimat, maka pada hari Kiamat ia akan datang dan tercatat di antara matanya orang yang putus asa dari rahmat Allah.” (Sunan Ibnu Majab dalam bab: “Diyat.”
Ibnu `Abbas berpendapat bahwa tidak berlaku taubat bagi pembunuh seorang muslim secara sengaja.
Al-Bukhari berkata, Adam menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, al-Mughirah bin Nu’man, ia berkata, Aku mendengar Ibnu Jubair berkata: “Ulama Kufah berbeda pendapat tentang masalah tesebut, lalu aku pergi menuju Ibnu `Abbas untuk menanyakannya. Beliau menjawab (bahwa) ayat: wa may yaqtul mu’minam muta’ammidan fa jazaa-uHuu jaHannama (“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam,”) adalah ayat yang terakhir turun dan tidak ada lagi yang menasakhnya. Itulah demikian yang diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i

Di antara ulama Salaf yang berpendapat tidak diterimanya taubat yang membunuh dengan sengaja adalah Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Abdullah bin `Umar, Abu Salamah bin `Abdurrahman, `Ubaid bin ‘Umair, al-Hasan, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim yang dinukil oleh Ibnu Hatim.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Idris, ia berkata, aku mendengar Mu’awiyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap dosa pasti diampuni oleh Allah, kecuali seseorang yang mati kafir atau seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” Juga diriwayatkan an-Nasa’i.

Sedangkan pendapat Jumhur ulama Salaf dan khalaf bahwa pembunuh masih memiliki kesempatan taubat antara dia dan Allah. Jika ia taubat kembali kepada Allah ‘, khusyu’, tunduk dan beramal shalih, niscaya Allah akan menggantikan keburukannya dengan kebaikan serta menjadikanh ridha kepadanya, dan ridha terhadap kezhalimannya. Allah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah. Dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan yang benar dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan adzab pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih.” (Al-Furqaan: 68-70)

Ini adalah berita yang tidak dapat dihapus atau dibatalkan dan ayat tersebut adalah ditujukan kepada orang-orang musyrik. Sedang mengarahkan ayat ini pada orang-orang mukmin merupakan hal yang bertentangan dengan zhahirnya. Dan arahan seperti itu memerlukan dalil. Wallahu a’lam.

Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”. (QS. Az-Zumar: 53). Ini berlaku umum untuk semua dosa; kekufuran, kesyirikan, keraguan, kemunafikan, pembunuhan, kefasikan dan lain-lain, maka siapa saja yang dari semua itu, Allah pasti akan menerimanya.

Allah berfirman: innallaaHa laa yaghfiru ay yusyraka biHii wa yaghfiru maa duuna dzaalika limay yasyaa-u (“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni segala dosa yang selain dari [syirik] itu.”) (QS. An-Nisaa’: 48). Ayat ini umum untuk semua dosa selain syirik. Penyebutan hal itu dalam surat yang mulia ini, baik sebelum maupun sesudah ayat ini adalah untuk memperkuat harapan.

Telah tersebut di dalam kitab ash-Shahihain tentang kisah seorang Bani Israil yang membunuh 100 jiwa. Kemudian, ia bertanya kepada seorang alim, apakah ia dapat bertaubat, lalu sang alim berkata: “Siapa yang dapat menghalangi antara engkau dan taubat.” Lalu ia menunjuki kepada sebuah negeri untuk beribadah kepada Allah, lalu ia hijrah ke sana dan meninggal di jalan, lalu dicabut ruhnya oleh Malaikat rahmat. Jika ini berlaku pada Bani Israil, maka untuk umat ini penerimaan taubat lebih utama dan lebih patut. Karena Allah telah meletakkan dari kita beban-beban dan belenggu-belenggu yang dahulu dibebankan atas mereka, serta telah mengutus Nabi kita dengan agama hanifiyyah yang penuh kemudahan. Sedangkan ayat yang mulia ini yaitu firman Allah: wa may yaqtul mu’minam muta’ammidam “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” Abu Hurairah dan Jama’ah Para Salaf berkata: “Ini adalah balasan untuknya (pembunuh seorang mukmin dengan sengaja, jika Allah membalasnya.”

Makna ungkapan ini bahwa, sesungguhnya inilah balasannya jika ia dibalas atasnya. Demikianlah setiap ancaman terhadap satu dosa, akan tetapi terkadang ada amal-amal shalih yang menjadi penghalang sampainya balasan tersebut kepadanya, berdasarkan salah satu di antara dua pendapat golongan penyeimbang dan hati-hati. Dan ini adalah pendapat terbaik yang ada pada bab ancaman.

Seandainya pembunuh itu masuk ke dalam api Neraka -baik menurut pendapat Ibnu `Abbas dan Para pendukungnya yang menyatakan tidak diterima taubatnya, ataupun menurut pendapat Jumhur di mana tidak ada amal shalih yang dapat menyelamatkannya- maka dia tidak kekal selama-selamanya di Neraka. Akan tetapi yang dimaksud khulud (kekalnya) di sini adalah tinggal lama.

Sesungguhnya ada hadits-hadits yang mutawatir bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya akan keluar dari api Neraka, orang yang di dalam hatinya terdapat iman walaupun seberat biji sawi yang paling kecil.” Sedangkan orang yang mati dalam keadaan kafir, maka nash menegaskan bahwa Allah tidak mengampuninya sama sekali. Sedangkan tuntutan korban terhadap pembunuh pada hari Kiamat, itu merupakan salah satu hak manusia dan hal itu tidak dapat gugur dengan sebab taubat. Akan tetapi mesti dikembalikan (hal itu) kepada mereka. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara korban pembunuhan, korban pencurian, korban perampasan, korban pencemaran nama baik dan seluruh hak-hak anak Adam. Karena, sesungguhnya ijma’ mengaitkan bahwa hal tersebut tidak gugur dengan sebab taubat, akan tetapi harus dikembalikan kepada mereka dalam kebenaran taubat. Jika hal itu tidak terlaksana, maka harus ada tuntutan pada hari Kiamat, akan tetapi adanya tuntutan itu tidak berarti adanya pembalasan. Karena bisa jadi pembunuh memiliki amal-amal shalih yang diserahkan kepada korban atau sebagian amalnya. Kemudian masih tersisa pahalanya dan bisa untuk masuk Jannah atau Allah akan menggantikan untuk si korban itu karunia yang dikehendaki-Nya, berupa istana dan kenikmatan Surga serta mengangkat derajatnya, dan lain-lain. Sedangkan untuk pembunuh yang sengaja, berlaku hukum-hukum dunia dan hukum-hukum akhirat. Untuk hukum-hukum dunia diserahkan kepada wali korban. Allah berfirman, “Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telab memberi kekuasaan kepada ahli warisnya.” (QS. Al-Israa’: 33).

Mereka para wali dapat memilih antara membunuh (qishash) atau memaafkannya atau mengambil diyat berat (100 unta) yang dibagi 3 macam umur (30 unta umur empat tahun,30 unta umur lima tahun, dan 40 khalfah) sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab “al-Ahkaam” Ibnu Katsir.

Para Imam berbeda pendapat, apakah ia wajib membayar kaffarat dengan memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin menurut salah satu pendapat terdahulu pada pembahasan tentang kaffarat pembunuhan karena tersalah.

Dalam hal ini ada dua pendapat; Imam Asy-Syafi’i, para pengikutnya dan sekelompok ulama berkata: “Ya wajib. Karena, jika ia wajib kaffarat dalam tersalah, maka mewajibkan kaffarat terhadap pembunuh dengan sengaja lebih tepat.” Sedangkan para pengikut Imam Ahmad dan yang lainnya berkata: “Dosa pembunuh yang sengaja terlalu besar untuk bisa ditebus. Maka tidak berlaku kaffarat padanya, begitu pula sumpah palsu”. Mereka tidak dapat membedakan antara dua bentuk tersebut dan antara shalat yang ditinggalkan dengan sengaja. Karena mereka berkata: “Wajib qadha jika (shalat itu) ditinggalkan dengan sengaja.”

Ulama yang berpendapat wajibnya kaffarat dalam pembunuhan yang disengaja, berdalil dengan riwayat Imam Ahmad dari Watsilah bin al-Asqa’, ia berkata: “Sekelompok Bani Sulaim mendatangi Nabi saw. dan berkata: “Sesungguhnya teman kami telah diwajibkan (masuk Neraka karena membunuh).” Beliau bersabda: “Merdekakanlah seorang budak wanita, niscaya Allah akan menebus setiap satu anggota tubuh budak itu dengan satu anggota tubuhnya dari api Neraka.” (Dan demikian pula riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i).

C.Dasar Hukum Larangan Pembunuhan dan keharamannya
Pembunuhan yang disengaja adalah dosa besar. Karenanya Allah dan Rasulnya melarang dengan tegas perbuatan tersebut Surah Al-Isra: 33
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Allah Swt. melarang membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat agama, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihuin melalui salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, terkecuali karena tiga perkara, yaitu membunuh jiwa diba­las dengan jiwa, penzina muhsan, dan orang yang murtad dari agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah. Firman Allah Swt.:
 وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا
Artinya: Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. telah tersebut di  Al-Isra: 33 di atas

Yakni kekuasaan atas si pembunuh, maka ia boleh memilih antara menghu­kum mati pelakunya atau memaafkannya dengan membayar diat. Dan jika ia menghendaki, boleh memaafkannya secara cuma-cuma tanpa dibebani diat, seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Nabi Saw.

Imam yang sangat alim lagi luas ilmunya yaitu Ibnu Abbas menyim­pulkan dari keumuman makna ayat ini keberkahan Mu'awiyah akan kekuasaan, bahwa Mu'awiyah kelak akan menjadi raja karena dia adalah ahli waris Usman. Sedangkan Khalifah Usman terbunuh secara aniaya.

Pada mulanya Mu'awiyah menuntut kepada Khalifah Ali r.a. agar menyerahkan si pembunuh kepadanya, karena ia akan menghukum qisas pelakunya, mengingat Usman r.a. adalah seorang Umawi. Sedangkan Khalifah Ali menangguh-nangguhkan perkaranya hingga pada akhirnya Ali dapat menangkap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khali­fah Usman. Kemudian Ali r.a. mengabulkan permintaan Mu'awiyah, tetapi dengan syarat hendaknya Mu'awiyah melepaskan negeri Syam kepada Ali; Mu'awiyah menolak permintaan itu sebelum Ali menyerah­kan para pembunuh Usman kepadanya. Dan dalam waktu yang sama Mu'awiyah menolak membaiat Ali dengan didukung oleh penduduk Syam. Lama-kelamaan akhirnya Mu'awiyah berhasil menguasai keadaan dan kekuasaan dipegang olehnya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas yang ia simpulkan dari makna ayat ini. Pendapat ini termasuk salah satu pendapat yang mengherankan, Imam Tabrani meriwayatkan pendapat ini di dalam kitab Mu'jam-nya.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Abu Umair ibnun Nahhas. telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi'ah, dari ibnu Syauzab, dari Mathar Al-Warraq, dari Zahdam Al-Jurmi yang mengatakan, "Ketika kami bergadang di rumah Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata bahwa sesungguhnya ia akan menceritakan kepada kami suatu hadis tanpa rahasia dan tanpa terang-terangan. Bahwa setelah terjadi pembunuhan atas lelaki ini (yakni Usman), ia berkata kepada Ali r.a., 'Turunlah dari jabatanmu. Sekalipun engkau berada di sebuah liang, pastilah Mu'awiyah akan menuntutmu hingga kamu mengundurkan diri.' Tetapi Ali tidak mau menuruti nasihatnya." Ibnu Abbas berkata, "Demi Allah, sungguh Mu'awiyah akan meng­adakan serangan kepadamu, karena Allah Swt. telah berfirman: 'Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh.' (Al-Isra: 33), hingga akhir ayat.” Dan sungguh orang-orang Quraisy akan memperlakukan kamu seperti perlakuan mereka kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi; dan orang-orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi akan memberontak kepada­mu. Karena itu, barang siapa di antara kamu pada hari itu bersifat tidak memihak, selamatlah ia. Dan barang siapa yang bersifat memihak, tidak akan selamat. Kalian bersikap memihak, maka nasib kalian akan binasa.
Hadits Nabi di dalam kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
"لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ"
Artnya: Sesungguhnya lenyaplah dunia ini menurut Allah lebih mudah dari pada membunuh seorang muslim.

Nabi saw. bersabda :
“ Pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka”( H.R Muttafaq ‘alaihi)

D.Had Pembunuhan Had adalah hukuman atau sangksi. Had pembunuhan iru ada berbagai macam :

1). Had untuk pembunuhan disengaja
Had untuk pembunuhan disengaja ini harus dengan membayar denda (kifarat) atau qishash, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun pengrusakan anggota badan seseorang dengan sengaja. Adapun dasar hukum yang berkenaan dengan qishash ini Allah swt. berfirman Surat Al-Baqarah Ayat 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.(Q.S. al-Baqarah : 178)

Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw . Bersabda :
“Barang siapa yang keluarganya dibunuh, maka ia mempunyai dua pilihan : menuntut diyat atau membalasnya (dengan qishash)”

Had untuk pembunuhan seperti disengaja Hukuman atau Sanksi bagi pelaku pembunuhan seperti disengaja tidak menggunakan qishash, tetapi mengharuskan diyat (denda berupa harta). Karena pembunuhan ini pembunuhan seperti disengaja, maka diyatnya diperberat, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
“ Ketahuilah bahwa pembunuhan yang seperti disengaja –yaitu yang menggunakan cambuk dan tongkat- (dendanya) adalah seratus ekor unta diantaranya adalah empat puluh ekor unta yang sedang hamil”

Diayat ini wajib di tanggung oleh ‘aqilah (keluarga) karena adanya syubhat, yaitu tidak disengaja, sehingga menyerupai pembunuhan yang tidak disengaja. Sedangkan kafarat yaitu memerdekakan budak perempuan muslimah. Bila tidak menemukan, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Allah swt. berfirman pada Q.S. an-Nisa : 92, yang artinya :

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepad keluarganya(si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, jika ia (si terbunuuh) dari kaum kefir yang ada perjanjian (amai) antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman”

Kafarat ini dinashkan untuk kasus pembunuhan tidak disengaja, sebagaimana tampak pada ayat yang mulia ini. Tetapi, pendapat tentang wajibnya kafarat atas pembunuhan yang seperti disengaja, bila dilihat dari sisi tidak adanya niat untuk membunuh.

2). Had untuk pembunuhan yang tidak disengaja hukuman atau sanksi bagi pelaku pembunuhan tidak disengaja adalah sebagai berikut :
a). Diwajibkan diyat dan kafarat.
Ini diwajibkan bagi siapa yang membunuh orang mukmin tanpa sengaja atau orang kafir mu’aid (yang sedang dalam masa perjanjian damai), berdasarkan firman Allah swt. : “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepad keluarganya(si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, jika ia (si terbunuuh) dari kaum kefir yang ada perjanjian (amai) antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman” ( Q.S. an-Nisa : 92)
b). Diwajibkan kafarat saja. Ini wajib atas siapa saja yang membunuh seorang mukmin yang tinggal di Negeri kafir, atau ketika memerangi orang-orang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. :
“ jika ia (si terbunuuh) dari kaum kefir yang ada perjanjian (amai) antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman” ( Q.S. an-Nisa : 92)

E.Adapun Hikmah dari diberlakukannya qishash dalam pembunuhan ini antara lain :
a).    Memberikan efek jera kepada menusia agar tidak melakukan kejahatan, atau pun mempermainkan nyawa manusia.
b).    Dengan adanya hukum qishash maka manusia akan merasa takut berbuat jahat kepada orang lain, terutama penganiayaan tubuh dan jiwa manusia. Sebab jika hal ini dilakukannya, pasti hukuman akan diberikan kepadanya.
c).    Hukum qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia.
d).    Timbulnya ketertiban, keamana dan kedamaian dalam mesyarakat, sebagai bukti dari janji Allah dalam Q.S al-Baqarah : 179.
e).    Menunjukan bahwa syariat islam iti luwes dalam menangani masalah. Seolah-olah qishash itu kejam, tetapi apabila dikaji lagi, justru dengan diberlakukannya qishash, keadilan dapat ditegakan dengan merata.

F.Penutup
a. Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan diatas bahwa pembunuhan menurut pandangan islam adalah haram semua itu telah ditetapkan berdasarkan al-Quran dan sunnah. Karena tindakan tersebut dapat menghilangkan nyawa seseorang baik disengaja maupun tidak disengaja.
Pembunuhan yang disengaja adalah dosa besar. Karenanya Allah dan Rasulnya melarang dengan tegas perbuatan tersebut.Syariat larangan membunuh ini mengandung beberapa hikmah, antara lain. a).Manusia tidak semena-mena terhadap harga diri manusia. Sebaliknya, ia akan menghargai keberadaan manusia. b).Manusia akan menempatkan manusia yang lain dalam kedudukan yang tinggi baik dimata hukum maupun dihadapan Allah swt. c).Menjaga dan menyelamatkan jiwa manusia.

b. Saran
Dengan mempelajari materi diatras diharapkan siswa-siswi dapat mengerti hukum dan dosa membunuh. Allah Swt. melarang membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat agama, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihuin melalui salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, terkecuali karena tiga perkara, yaitu membunuh jiwa diba­las dengan jiwa, penzina muhsan, dan orang yang murtad dari agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah