TEORI HUKUM JUAL BELI (BAI'U)
TEORI HUKUM JUAL BELI (BAI'U)
A. Pengertian Jual Beli
Jual
beli dalam istilah fiqh disebut
dengan al-bai’u yang
berarti menjual, menganti dan
menakar sesuatu dengan
sesuatu yang lain[1]. Kata albai’u
dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawanya, yaitu kata
assira’u (beli). Dengan demikian kata Al-Bai’u berarti kata jual dan sekaligus
juga berarti kata beli [2]. Jual
beli secara bahasa
artinya memindahkan hak
milik terhad ap benda dengan akad
saling mengant[3] .Jual beli adalah tukar menukar satu harta dengan hartayang
lain melalui jalan suka sama suka. Pada msyarakat primitif, jual beli biasanya
dilakukan dengan tukar menukar barang
(harta), tidak dengan
uang pada masyarakat
pada umumnya, mereka umpamanya,
menukarkan rotan (hasil
hutan) dengan pakaian, garam
dan sebaginya yang
menjadi keperluan pokok
mereka sehari-hari[4].Dari bebe rapa defenisi di atas dapat difahami
bahwa inti jual beliadalah perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempun yai nilai secara suka rela
diantara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak
lain menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah ditetapakan syara’
dan disepa kati.[5 Aspek yang terpenting dalam berekonomi kehidupan sosial masyarakat adalah
menyangkut masalah jual
beli, mengenai jual
beli itu sendiri pengertianya
adalah tukar menukar
satu harta dengan
harta yang lainya melalui
jalan suka sama
suka. Atau pertukaran
harta atas dasar saling
rela, yaitu memindahkan
hak milikkepda seseorang
dengan ganti rugi yang dapat
dibenarkan [6]
B.Sumber Hukum Jual Beli
Hukum
Islam adalah hukum yang lengkap dan sempurna,
kesempurnaan sebagai ajaran kerohanian telah dibuktikan dengan
seperangkat aturan-aturan untuk
mengatur kehidupan, termasuk
didalam nya mencip takan hubungan ekonomi dengan baik
sesuai dengan ajaran Islam. Islam
membenarkan adanya jual beli, dasar hukum jual beli adalah Al'qur’an Sunnah Rasul dan Ijma’ dan qias. Landasan Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 :
Artinya: “Dan Allah SWT menghalalkan
jual beli dan mengharomkan riba”[7].
Ulama telah bersepakat bahwa jual-beli
di perbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan
atau barang milik orang
lain yang di
butuhkanya itu, harus
diganti dengan barang lainya yang sesuai.[8].
Para
ulama fiqh bahwa jual beli hukumnya
mubah (boleh), namun Menurut imam asy-syatibi (ahli fiqih madzhab Imam
Maliki) hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.Seperti dikemukakanya, bila suatu waktu terjadi suatu
ikhtisar, yaitu penimbunan barang, sehingga
persediaan atau stok hilang
dari pasar dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu
maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan
harga pasar sebelum terjadi pelonjakan hargabarang itu[9].
Mengenai hak
dan kewajiban yang
akan dihubungkan hanyalah hukum Islam
dan hukum barat. Dalam sisitem hukum
Islam kewajiban lebih diutamak an
dari hak, sedang
dalam hukum barat
hak didahulukan dari kewajiban [10].Berdasarkan beberapa
sandaran sebagai dasar hukum yang telah disebut kan diatas membawa kita dalam
suatu kesimpulan bahwa jual beli adalah
suatu yang disyaratkan
dalam Islam. Maka sec ara pasti dalam praktek ia tetap dibena rkan
dengan memperhatikan persyaratan
yang terdapat dalam jual beli itu sendiri.
C.Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah merupa kan suatu kepastian.Tanpa adanya rukun
dan syarat tentulah tidak akan terlaksana
menurut hukum, karena rukun dan syarat tidakbisa
dikesamping kan dari suatu perbuatan dan juga termasuk bagian dari
perbuatan tersebut. Jual beli adalah meru pakan suatu akad, dan di pandang sah
apabila telah memenuhi rukun dan syarat jual
beli[11]. Dalam menentukan rukun jual
beli, terdapat perbedaan
pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan pembeli
dari pembeli. Dan qabul(ungkapan menjual dan penjual).Menurut mereka yg menjadi rukun dalam jual beli itu
hanyalah kerelaan (rida/tara’dhi) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi
jual Beli[12]
Akan tetapi, ulama jumhur menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,
yaitu:[13]
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’a qidaini (penjual dan pembeli).
2. Ada siqhad
(lafal ijab dan qabul).
3. Ada barang
yang dibeli.
4. Ada nilai
tukar penganti barang.
Menurut
ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli, Adapun syarat-syarat jual beli sesuai
dengan rukun jual
beli yang dikemuka kan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:[14]
1.Syarat orang yang berakad
Para ulama fiqih sepakat menyatakan
bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus
memenuhi syarat:
a. Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum bera kal dan
orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun kecil yang mumayyiz, menurut ulama
Hanafiyah, apabila akad yang
dilakukan membawa keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasiat, dan sedekah,
maka akadnya sah.
b.Yang
melakukan itu orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindakdalam waktu
yang bersamaan sebagaiu
penjual sekaligus pembeli.
2. Syarat yang terkait dengan ijab
qabul
Menurut
mereka ijab dan qabul perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi -transaksi yang
bersifat mengikat kedua
belah pihak, seperti akad jual
beli, akad sewa menyewa, dan akad nikah. Terhadap transaksiyang sifatnya
mengikat salah satu pihak, seperti wasiat, hibah dan waqaf,
tidak perlu qabul,
karena akad seperti
itu cukup dengan ijab saja. Untuk itu, para ulama fiqih
mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut[15].
a. Orang yang
mengucapkan telah baliqh
dan berakal, menurut jumhur ulama,
atau telah berakal, menurut ulama Hanafiyah. Sesuai dengan
perbedaan mereka dalam
syarat-syarat orang yang
melakukan akad yang disebutkan di atas.
b. Qabul
sesuai dengan ijab.
c. Ijab
dan qabul itu dilakukan dalam satu majlis.
Artinya, kedua belah pihak yang
melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
Pendapat
Imam Hanafiyah dan Imam Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan qabul bisa
saja di antara waktu, yang di perkirakanbahwa pihak pembeli sempat untuk
berfikir. Namun, Imam Syafi’iyah
dan Imam Hanabi berpendapat
bahwa jarak antara ijab
dan qabul tidak terlalu lama, yang dapat menimbulkan dugaan bahwa objek
pembicaraan telah berubah.
Zaman
moderen Sekarang perwujudan ijab
dan qabul tidak lagi
di ucapkan, tetapi
dilakukan dengan sifat
mengambil barang atau membayar uang dari pembeli, serta menerima uang
dan menyerahkan barang
oleh penjual, tanpa
ucapan apapun. Misalnya, jual
beli yang berlangsung di pasar swalayan. Dalam fiqih islam,
jual beli seperti
ini disebut dengan
bai’u al- mu’athah. Ulama Jumhur
berpendapat bahwa jual beli seperti kebiasaan suatu masyarakat
disuatu negri. Kareana hal itu telah menunjukan unsur ridha dari kedua belah
pihak.
3.Syarat barang yang dijual belikan
a.
Barang itu ada, atau tidak ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupan untuk
mengadakan barang itu.
b.
Dari bermanfaat dan
dapat dimamfaatkan bagi
manusia. Oleh sebab itu
babgka, khamar dan
darah, tidak sah
menjadi objek jual beli,
karena dalam pandangan
syara’ benda-benda seperti itu tidak bermamfaat bagi Muslim.
c.
Milik seseorang.Barang yang sifatny belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan.
d.
Boleh diserahkan saat akad
berlang sung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
4. Syarat-syarat nilai tukar
Terkait dengan
masalah nialai tukar
inoi para ulama
fiqih membedakan at-tsaman dengan as-si’ru. Menurut mereka at-tsaman
adalah harga pasar
yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat secara
aktual, sedangkan as-si’ru adalah modal yang seharusnya di terima para pedagang
sebelum diterima oleh konsumen. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa antara
harga dan sesama pedagang dengan
hanya untuk pembeli
dibedakan, dalam praktek seperti
ini seperti yang terjadi di
pada toko grosir
yang melayani pembelian eceran dan skala besar.
5.Dan Syarat-syarat at-tsaman sebagai
berikut[16]
a.
Harga yang di
sepakati oleh kedua
belah pihak, harus
jelas jumlahnya.
b.
Boleh diserahkan pada
waktu akad, apabila harga barang itu diserahkan kemudian
(berhutang), maka waktu
pembayaranya harus jelas.
c.
Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan
barang, maka barang
yang dijadikan nilai tukar
bukan barang yang diharmkan syara’.
D. Khiyar Dalam Jual Beli
Dalam
jual beli, menurut agama islam dibolehkkan dalam memilih, apakah akan melanjutkannya atau membatalkanya. Karena terjadinya sesuatu hal, khiar dibagi tiga macam berikut ini17 :
1. Khiar Majlis, artinya antara penjual
dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau
membatalka nya. Selama keduanya
masih berada dalam suatu
tempat (majlis), khiar
majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
Rasulullah SAW bersabda
Artinya:
“Penjual dan Pembeli
boleh khiar selama
belum berpisah”
(HR. Bukhari dan Muslim)18
2. Khiar
syart, penjual yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan
pembeli.
3. Khiar ’aib artinya
didalam jual beli
ini di syaratkan
kesempurnaan benda-benda yang di beli.
E.Jual Beli Dalam Bentuk Khusus( bai’u
salam)
1. Jual Beli Pesanan
Jual
beli pesanan dalam fiqih Islam disebut dengan as-salam atau
as-salaf.Secara terminologis, para ulama fiqihmendefenisikan dengan19:
menjual suatu barang
yang penyerahanya ditunda,
atau menjual suatu barang
yang ciri-cirinya jelas
dengan pembayar an modal lebih
awal sedangkan barangya diserahkan dikemudian hari.
Tujuan utama jual
beli seperti ini adalah untuk saling membantu antara konsumen dengan
produsen. Kadangkala barang
yang dijual oleh produsen tidak memenu -hi selera konsumen.Untuk membuat barang sesuai
dengan selera konsumen, untuk membuat barang sesuai selara konsumen, produsen
memerlukan modal. Oleh sebab itu, dalam rangka
membantu produsen bersedia
membayar uang barang
yang dipesan itu ketika akad sehi ngga produsen boleh membeli bahan dan
mengerjakan barang yang dipesan itu.
Jual beli
yang seperti ini
disyaratkan dalam Islam
berdasarkan firman Allah dalam (QS. Al-Baqarah :282), yang berbunyi :
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendak lah kamu menuliskannya.
2. Bay’ Al-Walaf’
Secara etimologi,
al-bay’ berarti pelunasan atau
penunaian utang. Bay’ al-wafa’ adalah salah satu bentuk transaksi (aqad)
yang muncul di Asia Tengah
(Bukhara dan balkh)
pada pertengahan abad ke-5
hijriyah dan merambat ke timur tengah. Secara terminology, bay’ a;- wafa’ didefenisikan
ulama fiqih dengan[20]Jual beli yang
dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual
itu dapat dibeli
kembali oleh penjual
apabila tenggang waktu yang
diberikan telah tiba.
Artinya, jual beli
ini mempunyai tenggang
waktu yang terbatas, misalnya satu tahun sehingga
apabila tenggang waktu satu tahun telah habis maka penjual membeli barang itu
kembali dari pembeli
3.Ihtikar (penimbunan)
Kata
ihtikar berasal dari kata hakara yang berarti az-zulm (aniyaya) dan
isa’ah al-mu’syarah (merusak
pergaulan)[21]. Dengan timbangan
ihtikara, yaktakiru, ihtikaran,kata ini berarti upaya penimbub nan barang
dagangan dengan menunggu melonjaknya harga.
Defenisi
ihtikar yang dikemukakan oleh ulama fiqih yaitu Imam asy-Syaukani
mendefenisikan dengan penyimpanan barang
oleh produsen baik
makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar[22] Dasar
hukum pelanggaran ihtikar, yang ditemukan oleh para ulama fiqh yang tidak membolehkanya hasil induksi dari nilai-nilai universal yang
terkandung dalam al-qur’an
yang menyatakan bahwa setiap perbuatan yang aniaya, termasuk didalamnya
ihtikar, diharamkan. Diantara ayat-ayat Allah dalam (QS Al-Ma’idah : 2)
,Artinya : “Dan
jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada
Allah,Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dalam surah lain Allah berfirman :
Artinya : “Dan Allah tidak menjadikan
bagi kamu dalam beragama itukesulitan apapun” (QS Al-Hajj : 78)
Artimya
: “ Janganlah kamu berbuat aniaya dan jangan pula di aniaya.” (QS.
Al-Baqarah : 279)
Para
ulama fiqih mengatakan ihtikar merupakan salah satu bentuk sikap
aniyaya yang dilakukan para pedagang
terhadap para konsumen yang
sangat memerlukan suatu produk.Yang secara umum termasuk dalam larangan Allah diatas.
F. Jual beli yang terlarang
Adapun jual beli yang terlarang antara lain
1. Membeli barang
untuk ditahan agar
dijual dengan harga
yang lebih tinggi, sementara masyarakat membutuhkan barang tersebut padawaktu itu. Jual beli ini dilarang karena merusak.
2. Jual beli benda yang akan dijadikan alat untuk berbuat maksiat sekalipun benda
atau barang itu ada mamfaatnya. Akan tetapi karena di salah gunakan, maka jual
beli ini termasuk jual beli yang di larang. Firman allah SWT menjelaskan
sebagai berikut: Artinya: “ dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
taqwa dan janganlah saling
tolong menolong dalam
pelanggaran (QS. AL-Maidah : 2)
3. Memperjual
belikan anak binatang yang masih dalam kandungan
4. Jual beli
Mulamsyah, yaitu jual beli secara sentu menyentuh.
Misalnya
seorang menyentuh tangan orrang lain dengan tanganya, dan apabila barang
tersebut telah di sentuh, terjadilah
akad jual beli. Jual beli
semacam ini dilarang,
karena mengandung unsur
penipuan dan kemungkinan akan
menim bulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Sebagaimana hadis nabi SAW:Artinya : Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Sesunguhnya Rasulullah SAW melarang menjual beli barang secara mulamasah dan munabadzah
(Muttafaqun ‘alaihi)[23]
5. Menjual barang
yang baru dibeli
sebelum serah terima,
maksudnya kita membeli barang,
tetapi barang tersebut
belum berada ditangan sipembeli. Karena miliknya belum sempurna sebagai mana dijelaskan oleh Rasulullah SAW: Artinya: Dari jabir
ia berkata, Rasulullah SAW bers abda: apabila
kamu membeli makanan janganlah kamu menjualnya sehingga kamu penuhi. (HR.Ahmad
dan Muslim)[24]
G.Ketentuan Islam MengenaiTimbangan
1. Pengertian Timbangan
Timbangan
diambil dari kata
imbang yang artinya
banding25. Imbang,
timbalan, bandingan26. Menimbang
(wazanu sayyia)[27]. Timbangan
tidak berat sebelah , sama berat. Dari pengertian tersebut dapat diambil
pemahaman bahwa penimbangan
adalah perbuatan menimbang sedangkan
untuk melaksanakannya kita
perlu alat itulah yang disebut timban gan. Timbangan adalah alat untuk
menentukan apakah suatu benda
sudah sesuai (banding)
beratnya dengan berat yang
dijadikan standar. Timbangan
mencerminkan keadilan. Apakah hasil
penunjukan akhir dalam
suatu praktek timbangan
menyangkut hak manusia.
2.
Dasar Hukum Penimbangan Dalam Islam
Kebebasan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi
terkait oleh ketentuan
agama Islam yang
ada dalam Al-Quran dan hadis. Jual beli sebagai salah satu
kegiatan dalam aktifitas perekonomian sangat dianjurkan untuk
berlaku adil dan jujur didalam kegiatan tersebut. Dan dikemukakan dalam sabda
Rsulullah SAW: Artinya: Dari
Rafa’ah bin Rafi’ra:
Bahwasanya nabi MuhammadSAW,
ditanya: apa pencarian
yang lebih baik?
Baliau menjawab: ialah amal usahanya seseorang dengan tangan
sendiri dan semua
jual beli yang
bersih. (H, R.
Al-Bazar dan disahkan oleh Hakim)[28]
H.Dan
sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
Dari Ibnu Umar RA, Dia berkata,”Ada seseorang bercerita kepada Rasulullah SAW
bersabda, barang siapa yang berjual beli, maka katakanlah tidak bolehada penipuan”(HR. Bukhari dan Muslim)[29]Dari
hadis di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwasanyajual beli yang tidak
bersih dilarang oleh agama Islam. Serta dianjurkan untuk bermurah hati dalam
jual beli. Dan dikemukakan dalam surah Ar-Rahman ayat 9 : Artinya: “Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”[30]Waaqimul wazna
bilqist (dan tegakanlah
timbangan itu dengan adil)
artinya tidak curang,
Walaa tahsirul milzaan
(dan janganlah kalian mengurangi
timbangan itu.[31]Allah telah menciptakan
langit dan bumi
dengan kebenaran dankeadilan,
itulah sebabnya Allah
SWT berfirman “Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan
adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu akan tetapi timbanglah dengan
benar dan adil”[32]Pengertian ayat di atas menunjukan bahwa dalam berdagang
kita tidak boleh berbuat
curang dengan mengurangi
takaran, ukuran atau timbangan. Setiap dalil di atas
menyatakan bahwa hukum yang wajib bagi kita untuk menegakkan timbangan, ukuran
dengan benar. Kecurangan dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian
khusus dalam Al-Qur’an
karena praktek seperti
ini telah merampas hak
orang lai. Selain
itu, praktek seperti
ini juga menimbulkan dampak yang sangat vatal dalam dunia perdagangan yaitu timbulnya ketidak percayaan
pembeli terhadap pedagang
yang curang. Oleh karena itu, pedagang yang curang pada
saat menakar dan menimbang mendapat ancaman siksa di akhirat Allah berfirman: Arinya:
celaka besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang yang apabila
menerima takaran dari
orang lain memreka meminta dipenuhi,
dan apabila merka
menakar dan menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang itu yakin,
bahwa sesungguhnya mereka
akan dibangkitkan, pada suatu
hari yang besar,
(yaitu) hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Tuhan
semesta alam? (QS Al-Muthafifin
[83]: 1-6.) Kata (will) itu
memiliki azab, kehancuran,
atau dineraka jahannam. Hal
itu menunjukan bahwa
pedagang yang melakukan kecurangan dalam
menakar dan menimbang
akan mendapat azab sehingga ditempatkan di lembah jahanam.
I. Prinsip-Prinsip Muamalah
1.Prinsip Tauhidi (unity)
Prinsip
tauhid (unity) adalah
dasar utama dari
setiap bentuk bangunan yang ada
dalam syariat Islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia
harus didasarkan pada
nilai-nilai tauhid. Artinya bahwa dalam
setiap gerak langka
serta bangunan hukum
harus mencerminkan
nilai-nilai ketuhanan. Tauhid
sendiri dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.33 Manusia dengan atribut yang
melekat pada dirinya
adalah fenomena sendiri
yang realitanya tidak dapat
dipisahkan dari penciptanya
(sang Khalik). Sehingga dalam
tingkatan tertentu dapat dipahami bahwa semua gerak yang ada dalam semesta
merupa kan gerak dan asma dari Allah SWT.
2. Prinsip Halal
Mengapa harus dengan cara halal dan meninggalkan
segala yang haram dalam berinvestasi? Dalam kaitan ini, Dr. Nadratuzzaman
Husen[34] mengemukakan bahwa
alasan mencari rezeki
(berinvestasi) dengan cara halal yaitu :
a.
Karena Allah memerintahkan
untuk mencari rezeki
dengan jalan halal.
b.
Pada harta halal mengandung keberkahan.
c.
Pada harta halal
mengandung manfaat dan
maslahah yang agung bagi
manusia
d.
Pada harta halal akan membawa pengaruh positif bagi prilaku manusia.
e.
Pada harta halal
melahirkan pribadi yang
istiqamah, yakni yang selalu
dalam kebaikan, kesalehan,
ketakwaan, dan keadilan.
3. Prinsip Masalahah
Maslahah adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh dalil
hukum tertentu yang membenarkan atau membatalkannya atas
segala tindakan manusia dalam
rangka mencapai tujuan syara
‘, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, harta benda, dan keturunan Maslahah dalam konteks investasi yang
dilakukan oleh seseorang hendaknya
bermanfaat bagi pihak-pihak
yang melakukan transaksi dan juga
harus dirasakan
oleh masyarakat. Prinsip
maslahah merupakan hal yang paling esensial dalam bermuamalah. Oleh
karena itu, pastikan bahwa
investasi yang dilakukan
yang positif bagi kehidupan masyarakat, baik untuk
generasi saat ini maupun yang akan datang.
4. Prinsip Ibahah
(Boleh)
Bahwa
berbagai jenis muamalah,
hukum dasarnya adalah
boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Namun demikian, kaidah-
kaidah umum yang berkaitan dengan muamalah tersebut harus diperhatikan dan dilaksanakan.
Kaidah-kaidah umum yang ditetapkan syara’ dimaksud di antaranya:
a.
Muamalah yang dilakukan
oleh seorang muslim
harus dalam rangka mengabdi
kepada Allah SWT dan senantiasa berprinsip bahwa Allah SWT selalu
mengontrol dan mengawasi tindakannya.
b.
Seluruh tindakan muamalah
tidak terlepas dari
nilai-nilai kemanusiaan dan dilakukan
dengan mengetengahkan akhlak terpuji, sesuai
dengan kedudukan manusia
sebagai Khalifah Allah SWT di
bumi.
c.
Melakukan pertimbangan atas
kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan masyarakat.35
5. Prinsip Kebebasan Bertransaksi
Prinsip muamalah
selanjutnya yaitu prinsip kebebasan
bertransaksi, namun harus
didasari prinsip suka
sama suka (an taradhin minkum) dan tidak ada pihak
yang dizalimi dengan didasari oleh akad
yang sah. Di samping itu., transaksi tidak boleh dilakukan pada produk-produk
yang haram seperti
babi, organ tubuh
manusia, pornografi, dan sebagainya
6. Prinsip Keadilan
(Juctice)
Prinsip
keadilan dalam bermuamalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan (juctice) antara para
pihak yang melakukan akad muamalah. Keadilan
dalam hal ini
dapat dipahami sebagai upaya
dalam menempatkan hak dan kewajiban antara
parapihak yang melakukan muamalah, misalnya
keadilan dalam pembagian bagi hasil
(nisbah) antara pemilik modal dengan pengelola modal.
7. Prinsip Amanah (trustworthy)
Prinsip
amanah yaitu prinsip
kepercayaan, kejujuran, tanggung jawab, misalnya dalam membuat
laporan keuangan, dan lain-lain.
8. Prinsip Komitmen terhadap
Akhlaqul Karimah
Seorang
pebisnis tulen harus
memiliki komitmen kuat
untuk mengamalkan akhlak mulia, seperti tekun bekerja sambil menundukan
diri
(berzikir kepada Allah),
jujur dan dapat
dipercaya, cakap dan komunikatif, sederhana dalam
berbagai keadaan, memberi kelonggaran orang
yang dalam kesulitan
membayar utangnya,
menghindari penipuan, kolusi dan manipulasi, atau
sejenisnya.[36]
1 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007), h. 111
2 M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi
Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo,
2004) edisi 1, cet ke 2, h. 113
3 Abdul
Aziz Muhammad Azzam,
Fiqih MuamalatSisitem tranksaksi
Dalam Islam,
(Jakarta: AMZAH), h. 23
4 M Ali Hasan,
Op.,cit, h. 115
5 Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah,
(Jakarta:Raja Grafindo, 2002), h. 69
6 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Alih Bahasa
Oleh Mohd. Thalib, (Bandung: PT al-ma’ruf,
1998), Jilid 12, cet Ke-1, h. 47-48
7
Departemen Agama RI,
Al-qur’an dan terjemahanya,
(Semarang; CV. Toha
Putra,
1998), cet 1.
h. 58
8 Rahmat
Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia 2001), h. 75
9 M Ali Hasan,
Op.,Cit, h. 117
10 Muammad Daud
Ali. Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata
Hukum Islam di
Indonesia,
(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002) . edisi -6 cet ke- 10, h. 200
11 M.Ali Hasan,
Op, Cit., h. 118
12 Nasrun Haroen,
Fiqih Muamalah, (Jakarta; Gaya Media Pratama,2007), h. 115.
13 Ibid
14 Ibid., h. 115-119
15 Nasrun Haroen, Op.,cit, h. 116
16 Ibid, h. 119
17 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Bandung :
Pustaka Setia, 2001), cet. Ke-1, hal. 83
18Muslim,
Shohih Muslim, (Beirut: Dar El Fikr,1993), Jilid II h. 52
19 Ibiid, hal. 146
20 Nasrun Haroen, Op, Cit, hal. 152
21Ibid, hal.
157
22Ibid, hal.
157
23 Muh.
Fu’ad Abdul Baqi,
Al Lu’lu Wal
Marjan, Alih Bahasa,
Muclilch Shabir, (Semarang,
Al-Ridho, 1993), Jilid, II, hal. 319
24 Muslim, Shohih Muslim, (Beirut: Dar El
Fikr,1993), Jilid II h. 57
25 Peter
Salim-Yeny Sali, Kamus
Bahasa Indonesia Kontenporer,
(Jakarta: moderen
English, Pers ,
1991), CetKe-1, h. 614
26 Dediy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1706
27 Atabiq
Ali, Kamus Kontenporer Arab-Indonesia, (Yokyakarta:
Multi Karya Grafika
2003
28 Ibnu
Hajar Al-Asqalani, BulughulMarram, Penerjemah:
A. Hassan, (Bandung: Diponegoro, 2006), h. 341
29 Imam Nawawi, Shahih Riyadush Shalihin jus 2, Penerjemha, Team KMCP. (Jakarta
Pustaka Azzam,
2003), h. 449
30 Depertemen Agama RI, Op Cit. h. 531
31 Imam Jalaludin Al-Mahally, Tafsir Jalalain
Berikut Ashbabulnnuzul Ayat, (Bandung; Sinar Baru), h. 2338
32 Muhammad
Nasir ar-Rifa’I, Taisiru
al-Aliyyat Qadir Li
Ikhtisari Ibnu Katsir,
Penerjemah;
Sihabuddin, (Depok; Gema Insani. 2008), h.540
33 A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif
Hukum Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 126
34 M. NadratuzzamanHusen, Gerakan 3H, Ekonomi
Syariah, (Jakarta: PKES, 2007)hlm
35 Haroen Nasrun, Loc, Cit, hlm 13
36 A. Kadir, hukum Bisnis Syariah dalam Al-Qur’an, (jakarta; Amzah, 2010), hlm 44
Komentar