Pencatatan Perkawinan
MAKNA PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERKAWINAN DI INDONESIA
Rachmadi usman
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Jalan Brigjen. H. Hassan Basry Banjarmasin Indonesia email: usmanrachmadiu@gmail.com
Naskah diterima 29/03/2017, direvisi 28/08/2017, disetujui 29/09/2017)
Review Jurnal
PERNUNYA PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERNIKAHAN SESUAI PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN PERKAWINAN DI INDONESIA
Oleh : Abdillah
Nim:2018540573
Fakultas Hukum Institut Agama Islam,
Lhokseumawe
Pembimbing:
Dr.Danial.M.A
Abstrak
Pencatatan perkawinan dalam pernikahan ini merupakan salah satu hukum perkawinan nasional (Indonesia) berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan perundang-undangan perkawinan nasional di Indonesia ,eksistensi prinsip pencatatan perkawinan terkait dengan dan menentukan kesahan suatu perkawinan, artinya selain mengikuti ketentuan masing-masing hukum agamanya atau kepercayaan agamanya, juga sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu pencatatan dan pembuatan akta perkawinan merupakan suatu kewajiban dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Namun dalam praktiknya, kewajiban pencatatan dan pembuatan akta perkawinan menimbulkan makna hukum ambiguitas, karena kewajiban pencatatan dan pembuatan akta perkawinan bagi setiap perkawinan dianggap hanya sebagai kewajiban administratif belaka, bukan penentu kesahan suatu perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan merupakan hal yang tidak terkait dan menentukan kesahan suatu perkawinan. Meskipun perkawinan tersebut dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaan agamanya, tetapi tidak dicatat, perkawinan tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatat ini menyebabkan suami isteri dan anak-anak yang dilahirkan tidak memperoleh perlindungan hukum nasional. Untuk itu, perlu dilakukan pembaharuan hukum pencatatan perkawinan melalui pendekatan kontekstual, sehingga dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap suami isteri dan anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan.
Kata kunci:
pencatatan perkawinan perspektif hukum
keluarga islam
Abstract
Marriage registration is one of the national legal principles under Law Number 1 of 1974 on Marriage. In Indonesia’s marriage legislation, the existence of marriage registration related to and defined validity of marriage besides following provision of their religions and beliefs. Otherwise registration and making marriage acte is an obligation in marriage legislation in Indonesia. But in the practice, registration and making marriage acte have ambiguity, because that obligation only administratively, not influence to marriage validity. Even the marriage done based on their religion provision, but if not registrate, the marriage does not have legal position. This unregistrate marriage cause husband, wife and their children do not have legal protection. Relation with that, it needs legal reform related to marriage registration with contextual approach for giving legal certainty and protection for husband, wife and their children.
Keywords:
recording marriage marriage perspective
of Islamic family law no
نظيفة ملخص
يعتبر تسجيل الزواج أحد المبادئ القانونية الوطنية بموجب القانون رقم 1 لعام 1974 بشأن الزواج. في تشريع الزواج في إندونيسيا ، يتعلق وجود تسجيل للزواج بصلاحية الزواج ومعرفتها إلى جانب إتباع الديانات والمعتقدات. بخلاف ذلك ، يعتبر التسجيل والزواج الفعلي التزامًا في تشريعات الزواج في إندونيسيا. ولكن في الممارسة العملية ، يكون للتسجيل وعمل الزواج غموض ، لأن هذا الالتزام إداريًا فقط ، وليس التأثير على صحة الزواج. حتى الزواج الذي يتم بناءً على أحكام دينهم ، ولكن إن لم يكن التسجيل ، فإن الزواج ليس له وضع قانوني. يتسبب هذا الزواج غير المسجل في عدم تمتع الزوج والزوجة وأطفالهما بحماية قانونية. فيما يتعلق بذلك ، فإنه يحتاج إلى إصلاح قانوني يتعلق بتسجيل الزواج مع نهج سياقي لإعطاء اليقين القانوني والحماية للزوج والزوجة وأطفالهم.
كلمات البحث: تسجيل منظور زواج الزواج قانون الأسرة الإسلامي
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak awal dibentuknya Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) tahun 1973 yang menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019; untuk selanjutnya disebut UU 1/1974) hingga dewasa ini. Hal ini terkait dengan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.2 Ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU 1/1974 yang menyatakan:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing - masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 jelas, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya setiap perkawinan harus diikuti dengan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bila kedua ayat dalam Pasal 2 UU 1/1974 dihubungkan satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan pula kesahan suatu perkawinan, selain mengikuti ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sementara lainnya berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, melainkan hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan. Sahnya perkawinan dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.
Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangku tan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum. Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tidak dicatat itu.
Realitasnya, di antara warga negara Indonesia banyak yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka hanya memenuhi tuntutan agamanya tanpa memenuhi tuntutan administratif. Salah satu sebabnya adalah karena ketidaktegasan hukum pencatatan perkawinan. Akibatnya, perkawinan mereka tidak mendapatkan akta nikah, sehingga suami atau istri tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anak yang dilahirkannya hanya diakui oleh negara sebagai anak di luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Implikasinya, jika seorang istri dan anaknya ditelantarkan oleh suami atau ayah biologisnya, maka tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama.
Tujuan pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum . Sebaliknya dengan tidak dicatatnya perkawinan, maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai suatu perkawinan. Bila dicermati ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, kemudian dihubungkan dengan prinsip pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, pemaknaannya bersifat ambiguitas dan memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Hal ini dikemukakan Hakim Maria Farida Indrati yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan:
Keberadaan Pasal 2ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat(2) Undang-Undang aquo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administrative yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundang- undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2ayat (2) UU 1/1974. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah. Jika Pasal 2 ayat (2)UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnyasuatu pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan. Seturut dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima. Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembagaperkawinan dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat masyarakat sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.
Pemaknaan bersifat ambiguitas prinsip pencatatan perkawinan ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Setiap perkawinan pada dasarnya harus dicatat agar terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi suami isteri beserta akibat hukumnya, yang menandakan pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi, selain harus memenuhi ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Prinsip pencatatan perkawinan yang dianut dalam UU 1/1974 menjadi tidak bermakna bilamana keabsahan suatu perkawinan tidak terkait dengan pencatatan perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun hal ini tidak secara tegas ditentukan dalam UU 1/1974, sehingga UU 1/1974 memberikan peluang terjadinya perkawinan yang tidak dicatat. Memang pembahasan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih tradisional tidak ditemukan, karenanya umat Islam yang berfikir fikih sentris menganggap remeh dan mengabaikanpencatatan perkawinan oleh lembaga negara yang berwenang untuk itu. Bahkan dijumpai juga pandangan, bahwa perkawinan urusan pribadi (individual affairs) setiap muslim, karena itu pemerintah tidak perlu campur tangan pada wilayah pribadi ini. Di sisi lain sebagian masyarakat muslim yang menggunakan paradigma berfikir fikih dan perundang-undangan sekaligus, berusaha terus mensosialisasikan manfaat dan keuntungan adanya ketentuan pencatatan perkawinan ini, terutama untuk istri dan anak-anak. Munculnya dua pandangan masyarakat muslim ini disebabkan oleh tidak adanya ketentuan dalam Al-Qur'an dan Hadits yang secara tekstual mengatur mengenai keharusan pencatatan perkawinan.
Namun bila dikaji lebih jauh ada riwayat hadits yang menyebutkan bahwa perkawinan harus diumumkan dan dibunyikan rebana agar banyak orang yang menyaksikannya. Hadits lain mengisahkan agar perkawinan dipestakan walau hanya menyembelih seekor kambing untuk makanan bagi yang hadir dalam pesta perkawinan. Hal ini dilakukan agar perkawinan yang dilaksanakan bisa diketahui oleh orang lain. Lebih banyak orang mengetahui peristiwa perkawinan seseorang, maka itu akan lebih baik lagi. Inilah yang kemudian menjadi isyarat bahwa pencatatan perkawinan menjadi sangat penting dan perlu dilakukan.
Memang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), walaupun menegaskan kembali pentingnya pencatatan perkawinan, namun tidak terdapat formula yang menjadikan pencatatan perkawinan sebagai syarat formal untuk menentukan sah tidaknya ikatan perkawinan. Setidaknya hal ini disebabkan KHI menghindari tuduhan dan kritik masyarakat Islam yang masih kuat menganut faham bahwa sahnya perkawinan tidak dibenarkan melebihi syarat dan rukun yang diatur dalam kitab-kitab fiqih. Demi menghindar dari tindakan psikologis dan sosiologis tersebut, perumus KHI memilih jalan keluar, dengan memperinci satu persatu fungsi pencatatan perkawinan dalam pelbagai pasal KHI.
Dengan demikian aturan hukum pencata tan perkawinan sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 menimbulkan makna hukum ganda, yaitu: (1) pencatatan perkawinan merupakan syarat yang menentukan sahnya perkawinan, dan (2) pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat yang menentukan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU 1/1974 juga memberikan legitimitas perkawinan tidak dicatat, selain perkawinan yang tercatat. Sehubungan dengan itu, perlu ditelaah lebih lanjut mengenai eksistensi dan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan, sehingga dapat memberikan pemahaman hakikat pencatatan perkawinan dalam konteks hukum perkawinan nasional ,UU 1/1974.
PEMBAHASAN
B. Pembahasan
1. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 secara tegas memerintahkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat. menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Bilamana ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU 1/9174 ini dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, jelaslah bahwa setiap perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan itu diakui keabsahannya. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan agamanya itu, namun tidak dicatat dengan sendirinya tidak mempunyai keabsahan sebagai suatu perkawinan menurut UU 1/1974. Sebelumnya dalam RUUP 1973 secara tegas menentukan sahnya suatu perkawinan berdasarkan pada pencatatan perkawinan. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 ayat (2) RUUP 1973, bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan oleh pegawaitersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini". Berdasarkan ketentuan ini, suatu perkawinan diakui keabsahannya bilamana: (1) dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan dan (2) dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan dalam daftar pencatat perkawinan. Dengan demikian pencatatan perkawinan merupakan hal yang menentukan keabsahan suatu perkawinan.
Dalam Penjelasan Umum atas RUUP 1973 tersebut terkait dengan kesahan perkawinan dinyatakan antara lain bahwa dalam Undang- undang ini dinyatakan suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dan dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan yang bersangkutan dan dilangsungkan menurut Undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak- pihak yang melakukan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Dengan demikian, maka pengantar Agama yang melangsungkan perkawinan antara golongan-golongan Agama perlu dilihat dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pencatat perkawinan yang merupakan salah satu aspek dalam pencatatan sipil. Pencatatan sipil seperti diketahui bertujuan untuk menyatakan dengan bahan-bahan yang bersangkutan status seseorang. Untuk itu peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dinyatakan dalam surat- surat keterangan, akta-akta yang dimuat dalam daftar pencatatan sipil tersebut. Maka apabila seorang pengantar Agama mencatat perkawinan antara mereka yang menganut suatu Agama, berfungsilah ia sebagai seorang pejabat negara dan selaku pencatat perkawinan, yang menyatakan perkawinan tersebut sah menurut hukum. Dengan demikian, maka perkawinan menurut Adat sebagai tersebut diatas diakui, tetapi perlu diadakan pensyaratan untuk sahnya perkawinan suatu pencatatan. Sebelum adanya suatu peraturan perundang-undangan, maka yang diperlukan adalah peraturan yang ada.
11
Rumusan Pasal 2 ayat (2) RUUP 1973 ini ditentang keras kalangan ulama, karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sehingga Pasal 2 ayat (1) RUUP 1973 disetujui untuk dirumuskan: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu". Sementara itu Pasal 2 ayat (2) RUUP 1973 dirumuskan: "Tiap- tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi Negara".Terkait dengan prinsip pencatatan perkawinan, Pemerintah memberikan keterangan atas permohonan pengujian UU 1/1974 bahwa menurut Undang-Undang a quo, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk:
a. tertib administrasi perkawinan;
b. memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak; dan
c. memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akte kelahiran, dan lain- lain;
Bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo memang tidak berdiri sendiri, karena frasa “dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku” memiliki pengertian bahwa pencatatan perkawinan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan bahwa pencatatan harus mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak suami, istri, dan anak-anaknya benar-benar dapat dijamin dan dilindungi oleh negara. Persyaratan dan prosedur tersebut meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan khususnya Pasal 2 sampai dengan Pasal 9.
Demikian juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dengan pengujian atas UU 1/1974 tersebut menyatakan bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang timbul dari akibat perkawinan yang sah maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan. Meskipun perkawinan termasuk dalam lingkup keperdataan, namun negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan (suami, istri dan anak) terutama dalam hubungannya dengan pencatatan administrasi kependudukan. Oleh karena itu pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya seperti kewajiban memberi nafkah dan hak waris. Pencatatan perkawinan dinyatakan dalam suatu akte resmi (akta otentik) dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Tujuan pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. Untuk tertib administrasi perkawinan;
b. Jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran, membuat Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain);
c. Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;
d. memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak;
e. memberikan perlindungan terhadap hak- hak sipil yang diakibatkan oleh adanya perkawinan;
Atas dasar dalil tersebut, maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”merupakan norma yang mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi penting memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk setiap perkawinan. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan keterangan Pemerintah dan DPR tersebut, jelas bahwa pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formal untuk menentukan keabsahan suatu perkawinan. Suatu perkawinan yang telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu, belum dapat diakui keabsahannya sebagai suatu perkawinan bilamana tidak dicatat dalam daftar pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Hal ini mengandung arti, bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal yang menentukan sahnya suatu perkawinan menurut atau berdasarkan UU 1/1974.
Berbeda dengan pendapat Pemerintah dan DPR di atas, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang- undangan merupakan kewajiban administratif.
Menurut Pasal 2 UU 1/1974 dan uraian di atas nyatalah bahwa suatu perkawinan diakui keabsahannya harus memenuhi persyaratan, yaitu: (1) tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan (2) perkawinan dimaksud harus dicatat dalam daftar pencatatan perkawinan dengan mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pencatatan suatu perkawinan hanya akan dilakukan bilamana perkawinan yang bersangkutan telah dilakukan secara agama atau kepercayaan agamanya calon mempelai yang bersangkutan. Persyaratan ini dimaksudkan agar perkawinan tersebut menimbulkan akibat hukum yang sah bagi suami isteri dan anak-anaknya, sehingga perkawinan tersebut dapat dijamin dan dilindungi oleh negara. Kedua persyaratan perkawinan tersebut harus dipenuhi agar perkawinan tersebut diakui sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Suatu perkawinan yang dilakukan semata- mata memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU1/1974, maka perkawinannya diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi tidak diakui sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum oleh negara. Oleh sebab itu, perkawinan semacam ini tidak mendapat pengakuan dan tidak dilindungi secara hukum. Kedua unsur pada ayat tersebut Pasal 2 UU 1/1974 berfungsi secara kumulatif, bukan alternatif. Unsur pertama pada Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 berperan memberi label sah kepada perkawinan itu, sedangkan unsur kedua pada Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 memberi label bahwa perkawinan tersebut merupakan perbuatan hukum. Sehubungan dengan itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh hukum. Pencatatan perkawinan di sini sangat penting merupakan bukti otentik tentang telah dilangsungkan perkawinan yang sah. Terkait dengan prinsip pencatatan perkawinan, Angka 4 huruf b Penjelasan Umum atas UU 1/1974 menyatakan sebagai berikut:
Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwasuatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pencatatan tiap- tiap perkawinan adalah sama halnya denganperistiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
Dari keterangan di atas jelas, bahwa pencatatan perkawinan merupakan rangkaian pelaksanaan perkawinan. Oleh karena itu pencatatan perkawinan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan perkawinan yang bersangkutan, yaitu menentukan keabsahan suatu perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkan pencatatan perkawinan tersebut sebagai syarat administratif, yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
Menurut Moch. Isnaeni, bahwa dari ketentuan Pasal 2 UU 1/1974, antara upacara keagamaan dan pencatatan suatu perkawinan dijadikan satu kesatuan syarat sahnya suatu perkawinan. Penegasan ini memberikan bukti soal pencatatan perkawinan itu, oleh negara dianggap sebagai suatu conditio sine quanon. Meskipun suatu perkawinan sudah diselenggarakan berdasar aturan agama, kalau belum ada pencatatan, maka berdasarkan Pasal 2 UU 1/1974, perkawinan tersebut tidak sah. Tentu konsekuensinya kalau suatu perkawinan tidak sah, akan membawa akibat-akibat selanjutnya yang sangat penting, khususnya untuk anak-anak yang dilahirkan, akan menduduki posisi sebagai anak luar kawin. Konstruksi pengaturan Pasal 2 UU 1/1974 menandakan bahwa soal pencatatan suatu perkawinan, meskipun sifatnya administratif, ternyata sangat menentukan menyangkut keabsahannya suatu perkawinan. Bahkan dengan model pengaturan ini, perkawinan yang dilangsungkan oleh sepasang mempelai, merupakan satu kesatuan. Sebab ditetapkan juga oleh pemerintah bahwa pemuka agama yang mengawinkan sesuai aturan agama yang bersangkutan ternyata juga berstatus sebagai pegawai pencatat perkawinan. Penjabaran aturan hukum pencatatan perkawinan dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun1975 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050;untuk selanjutnya disebut PP9/1975). Mengenai tata cara perkawinan diatur dalam Pasal 10 PP 9/1975, yang menentukan:
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Dari ketentuan Pasal 10 PP 9/1975 ini, tata cara perkawinan harus dilakukan sepenuhnya menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi. Terkait dengan ketentuan tata cara pencatatan perkawinan, Pasal 11 PP 9/1975 menyatakan:
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawi- nan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal
10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Selanjutnya hal-hal yang wajib dimuat dalam akta perkawinan ditentukan dalam Pasal 12 PP 9/1975. Sementara itu dalam Pasal 13 PP 9/1975 diatur mengenai kutipan akta perkawinan. Menurut ketentuan ini, akta perkawinan tersebut dibuat dalam rangkap dua, helai pertama disimpai oleh pegawi pencatat perkawinan dan helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatat Perkawinan berada. Kepada suami isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 PP 9/1975 tersebut, jelas bahwa setiap perkawinan wajib dilakukan pencatatan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang dibuktikan dengan akta perkawinan. Berarti perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan bukan perkawinan yang resmi (sah).
Dari aspek mengikatnya, secara yuridis fungsi pencatatan perkawinan berdasarkan UU 1/1974 juncto PP 9/1975 merupakan persyaratan supaya perkawinan tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum dari negara serta mengikat pihak ketiga (orang lain). Sementara itu dipandang dari aspek regulasi, pencatatan perkawinan mencerminkan suatu kepastian hukum, dengan ditentukannya bahwa suatu peristiwa perkawinan terjadi dibuktikan dengan adanya akta perkawinan. Sebagai konsekuensi lebih lanjut dalam pandangan hukum tidak ada perkawinan atau perkawinan adalah tidak sah apabila pelaksanaan perkawinannya tidak mengikuti tata cara dan pencatatan perkawinan. Dengan demikian dalam konteks dan berdasarkan UU 1/1974, pencatatan perkawinan merupakan syarat formal yang harus dilaksanakan agar suatu perkawinan diakui keabsahannya sebagai perbuatan hukum yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Pelaksanaan pencatatan perkawinan tersebut, baru dapat dilakukan sesudah dilangsungkannya perkawinan secara agama atau kepercayaan agamanya calon mempelai.
2. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Perintah pencatatan perkawinan bagi umat Islam, termasuk pencatatan talak dan rujuksebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, yang kemudian berlaku di seluruh daerah luar Jawa dan Madur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 694; untuk selanjutnya disebut UU 22/1946). Kemudian keberlakuan UU 22/1946 ini diperkuat oleh Pasal 12 UU 1/1974, yang penjelasannya menyatakan, bahwa "ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954". Pasal 1 ayat (1) UU 22/1946 antara lain menegaskan, bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Penjelasan atas Pasal 1 ayat (1) UU 22/1946 antara lain menyatakan, bahwa maksud pasal ini ialah supaya nikah menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi denda dan kurungan, baik laki-laki calon mempelainya juga pihak yang menikahnya. Oleh karena itu, berdasarkan UU 22/1946 pencatatan perkawinan merupakan syarat diakuinya keabsahan suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam. Ketentuan pencatatan perkawinan bagi mereka beragama Islam, penjabarannya lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal6 KHI, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang- undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk ketentuan dalam pasal5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan, dibawahpengawasan Pegawai Pencatat Nikah.(2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 KHI dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan bagi mereka yang beragama Islam diatur sebagai berikut:
a. Setiap perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Islam Indonesia harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan;
b. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU 22/1946;
c. Perkawinan yang sah adalah perkawinan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN);
d. Perkawinan dilakukan diluar pengawasan PPN merupakan perkawinan tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kehadiran KHI juga menambah rumitnya status hukum pencatatan perkawinan bagi umat Islam. Pasal 5 ayat (1) KHI memperkokoh interpretasi diferensif yang mengharuskan pencatatan perkawinan bagi umat Islam untuk mewujudkan tertibnya pernikahan. Namun, Pasal 6 KHI merangkul interpretasi koherensif, kesahan perkawinan terkait dengan pencatatan perkawinan.19 Terkait dengan bukti perkawinan harus dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN, ketentuan dalam Pasal 7 KHI menyatakan sebagai berikut:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. hilangnya Akta Nikah;
c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974; dan
e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurutUndang-Undang No. 1 Tahun 1974. (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak- nak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Berdasarkan Pasal 7 KHI dapat dijumpai norma hukum terkait dengan Akta Nikah sebagai alat bukti suatu perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, yaitu:
a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah;
b. Akta Nikah tersebut dibuat oleh PPN;
c. Bilamana perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya;
d. Pengajuan isbah nikah tersebut ke Pengadilan Agama;
e. Isbat nikah terbatas pada yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) KHI;
f. Pihak yang dapat mengajukan isbat nikah, yaitu: (1) suami atau isteri, (2) anak-anak mereka, (3) wali nikah dan (4)
pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
KHI tidak konsisten, karena Pasal 5 KHI mempertahankan, bahkan meneguhkan interpretasi diferensif, sementara Pasal 6 ayat (2) KHI menyepakati interpretasi koherensif. Pasal 6 ayat (2) KHI yang menegaskan bahwa “pernikahan di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum”, bila dihubungkan dengan Pasal 7 ayat (1) KHI, maka terlihat jelas maksudnya. Tafsir yang tepat terhadap maksud “tidak memiliki kekuatan hukum” bukan berarti pernikahan tersebut tidak sah di mata hukum, akan tetapi “tidak bisa dibuktikan di hadapan hukum.” Karena, KHI menghubungkan pembuktian pernikahan bagi umat Islam “hanya dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN”. Kata-kata “hanya”, menegaskanbahwaKHItidakmemberikanpilihan lain dalam pembuktian pernikahan, kecuali Akta Nikah. Jadi, KHI “mendamaikan” interpretasi diferensif dan interpretasi koherensif berkaitan dengan status hukum pencatatan nikah dalam konstalasi hukum perkawinan nasional. Tetapi
“damai” yang diciptakan KHI secara tekstual ternyata berujung “angin puting beliung” secara kontekstual, khususnya bagi setiap muslim yang melakukan nikah di bawah tangan. Implikasi hukumnya bahwa suatu pernikahan, secara keperdataan hanya dapat dibuktikan oleh akta autentik, yakni Akta Nikah. Hanya saja karena akta autentik mengandung fungsi pembuktian sempurna, maka pernikahan di bawah tangan betapapun sah menurut agama dipandang oleh hukum perdata tidak memiliki bukti sempurna. Karena itu, perkawinan di bawah tangan harus dipandang “tidak terjadi” di mata hukum karena “keberadaannya tidak terbukti”. Jika demikian, maka “adanya perkawinan” di mata hukum sama seperti “tidak adanya perkawinan”.
Rumitnya Pasal 6 ayat (2) KHI ini terlihat “terang benderang ”jika pencatatan perkawinan dianalogikan dengan pencatatan kelahiran. Jika seseorang telah lahir, lalu tidak dicatatkan, apakah kelahiran tersebut dapat dikatakan “tidak memiliki kekuatan hukum”, sehingga anak yang dilahirkan itu harus dianggap “tidak pernah lahir di dunia” dan di mata hukum “tidak boleh hidup” plus “kehilangan hak-hak hukum” Nyatanya hukum perdata tidak menghendaki anak yang tidak dicatatkan dan memperoleh akta kelahiran tidak bisa diakui sebagai anak sah, namun hanya perlu dibuktikan sahnya tidak mungkin memperolehnya, maka hakim dapat menggunakan bukti-bukti lain yang memperlihatkan bahwa anak tersebut adalah anak sah. Sahnya seorang anak tidak tergantung dari pencatatan kelahiran, namun waktu kelahiran yang menentukan, yaitu lahir dalam pernikahan yang sah.21 Pasal 6 ayat (2) KHI tersebut di samping mengandung kelemahan multi tafsir, juga tidak mengatursanksibagiparapelanggarnya.Padahal, perkawinan seperti ini merupakan tindak pidana pelanggaran administrasi yang dapat dijatuhi sanksi pidana, baik bagi pelaku maupun petugas yang melaksanakan pernikahan tersebut sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946. Ketentuan mengenai sanksi pidana, baik bagi orang yang tidak menghiraukan pencatatan perkawinannya, maupun bagi Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan juga dimuat dalam Pasal 45 PP 9/1975. Dari Pasal 7 KHI, jelas perkawinan harus dicatat dalam rangka memenuhi persyaratan formal suatu perkawinan. Pencatatan perka- winannya harus dibuktikan dengan adanya Akta Nikah yang dibuat oleh PPN, tanpa adanya Akta Nikah yang dibuat oleh PPN, perkawinan yang bersangkutan termasuk nikah fasid, sehingga tidak diakui keabsahannya sebagai suatu perkawinan. Akta Nikah merupakan bukti tertulis keperdataan bahwa telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum, tidak ada larangan perkawinan antara keduanya dan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Tanpa adanya bukti Akta Nikah, maka suatu perkawinan dianggap tidak pernah ada. Akta Nikah merupakan syarat kelengkapan khusus untuk suatu gugatan ataupun permohonan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama sebagai hukum formal yang berlaku.Agar suatu perkawinan secara agama Islam itu diakui keabsahannya tidak hanya memenuhi persyaratan materiil yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat nikah, juga harus memenuhi persyaratan formal yang perkawinannya dicatatkan pada PPN yang berwenang. Bentuk perkawinan yang hanya memenuhi persyaratan hukum materiil, dianggap tidak pernah ada atau tidak diakui. Sementara perkawinan yang hanya memenuhi persyaratan formal, dapat dibatalkan. Artinya perkawinan baru dianggap sempurna, jika telah memenuhi rukun dan syarat hukum Islam dan telah dicatat oleh PPN yang berwenang. Sesungguhnya KHI sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pencatatan perkawinan di- maksudkan untuk terjaminnya ketertiban bagi masyarakat. Ketertiban di sini menyangkut"ghayatal-tasyri" (tujuan hukum Islam), yaitumenciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Selain itu perkawinan yang tidak dicatat "tidak mempunyai kekuatan hukum"yaitu perkawinan tidak sah (layasihhu). Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) KHI, perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pencatatan perkawinan bagi umat Islam merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan . Dengan tidak dilakukannya kewajiban pencatatan perkawinan, maka perkawinan yang telah dilaksanakan menurut tata cara hukum Islam tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah. Hal ini berhubung pengaturan pencatatan perkawinan berdasarkan KHI bersifat imperatif yang mewajibkan setiap perkawinan bagi masyarakat Islam untuk dicatat, yang pencatatannya dilakukan oleh PPN sebagaimana diatur dalam UU 22/1946. Bahkan KHI menegaskan bahwa pengesahan terhadap perkawinan yang tidak tercatat harus melalui mekanisme itsbat nikah ke Pengadilan Agama agar mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu perkawinan .
B.3. Pembaharuan Hukum Pencatatan
Perkawinan melalui Pendekatan
Kontemporer
Sebagaimana diketahui dalam UU 1/1974 ditegaskan bahwa perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu, yang merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan yang terdapat dalam UU 1/1974. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan agama sebagai dasar untuk melakukan perkawinan. Kedua calon mempelai harus yang seagama atau seiman, kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu menentukan lain. Penjabaran prinsip hukum ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 ayat (1) UU 1/1974.
KemudiandalamUU1/1974jugamengandung prinsip perkawinan terdaftar, di mana tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu perkawinan bilamana perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu perkawinan menurut atau berdasarkan UU 1/1974. Penjabaran prinsip hukum ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU1/1974. Pengaturan dalam Pasal 2 UU 1/1974 terdapat kelemahan, karena dijadikan dua ayat, perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan unsur pencatatan perkawinan yang bersifat imperatif (tidak mengandung unsur keharusan).
Kelemahan pengaturan Pasal 2 UU1/1974 ini menimbulkan perbedaan penafsiran eksistensi dan pemaknaan hukum pencatatan perkawinan tersebut. Di satu sisi, Pasal 2UU ditafsirkan secara alternatif, maka sahnya suatu perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamannya itu; sementara pada sisi lain, Pasal 2 UU 1/1974 ditafsirkan secara kumulatif, maka pencatatan perkawinan juga menjadi penentu sahnya suatu perkawinan. Perbedaan penafsiran tersebut di atas menunjukkan bahwa kompromi yang tercapai di tingkat legislatif yang melahirkan Pasal 2 UU 1/1974 hanya selesai di tingkat teks, tetapi masih menyimpan masalah dalam konteks. Akibatnya, ketika ketentuan tersebut dijalankan memunculkan ambiguitas praktek hukum perkawinan, khususnya dalam penyelesaian perkara pernikahan pada lembaga peradilan, baik perdata maupun pidana. Hal ini tentu berdampak negatif bagi kepastian hukum dalam masalah perkawinan. Menurut hakim konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010, status hukum pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan Perkawinan tidak tercatat itu adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. sahnya perkawinan, karenanya pencatatan perkawinan tersebut merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang- undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing- masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Dalam kesempatan tersebut, ditegaskan pula oleh hakim konstitusi bahwa terdapat dua makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut.
Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak yang tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya. Perkawinan yang tidak tercatat ini me- nimbulkan problema hukum yang barangkali tidak terpikirkan oleh orang-orang Islam pada waktu menikahkan anak perempuan yang dilakukan di bawah tangan, aspek religius Islam mungkin sah, tapi aspek rasional yuridis Islam, perkawinan tersebut tidak sah. Problema hukum yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut tidak hanya terkait dengan ketidaksahannya perkawinan, melainkan juga mengenai per- lindungan hukum terhadap isteri, anak dan segala sesuatu akibat dari perkawinan. Konsekuensi dari tidak dicatatnya perkawinan mengakibatkan status perkawinan tidak jelas, bahkan dapat dikatakan kalau anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut menjadi anak yang tidak sah pula, perceraian tidak mungkin dilakukan tanpa adanya akta perkawinan/nikah. Perkawinan yang tidak tercatat menimbulkan kerugian bagi isteri dan anak-anak yang dilahirkan, karena hak-hak keperdataan mereka sebagai isteri dan anak-anak tidak terlindungi oleh hukum, sebab perkawinan yang tidak tercatat tidak menimbulkan hubungan hukum terhadap suami, istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Walaupun dalam perspektif KHI, pencatatan perkawinan dipahami sebagai syarat admi- nistratif, namun dengan tidak dicatatnya perkawinan tersebut, maka suatu perkawinan oleh KHI dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pencatatan perkawinan ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap ketentuan administratif lainnya, khususnya yang terkait dengan peristiwa dan perbuatan hukum.
Dalam hal ini, Akta Nikah merupakan salah satu alat bukti yang sah dengan tujuan untuk: (1) menguatkan bahwa seseorang mempunyai hak; (2) menyatakan ketidakbenaran bahwa orang lain mempunyai hak, dan (3) menyatakan bahwa telah terdapat suatu keadaan atau telah terjadi suatu peristiwa. Karena itu, Akta Nikah secara hukum memiliki peranan yang sangat penting, khususnya untuk melindungi hak-hak seseorang dan untuk membuktikan telah dilakukannya suatu peristiwa hukum, khususnya dalam penyelesaian perkara di pengadilan yang paling banyak menggunakan alat bukti tertulis.
Selain itu, Akta Nikah dapat berlaku selamanya sepanjang surat-surat tersebut masih ada. Berbeda dengan kesaksian yang berlaku selama yang bersangkutan masih hidup. Sebagai sebuah alat bukti, ketiadaan Akta Nikah juga akan berdampak pada tidak terlaksananya hukum Islam dengan baik, khususnya yang berhubungan dengan hukum keluarga seperti nafkah isteri, nafkah anak, pendidikan anak, waris, dan hukum tentang halangan perkawinan. Atas dasar pertimbangan kemaslahahan inilah, pencatatan perkawinan kemudian diterapkan bahkan diperkuat dengan berbagai peraturan terkait.
Ambiguitas substansi hukum yang termuat dalam Pasal 2 UU 1/1974 tersebut tidak hanya membuat masyarakat menjadi bimbang dengan aturan yang ada, tetapi juga menjadikan hukum tidak berjalan efektif . Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat suci atau sakral, yang sudah seharusnya dicatat seperti halnya kelahiran. Kelahiran saja diharuskan untuk dicatat, apalagi perkawinan yang merupakan ikatan yang sangat kuat, sudah seharusnya diwajibkan untuk dicatat. Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur dan melindungi hak setiap warga negara yang bermaksud untuk membentuk dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan dikatakan sebagai suatu perkawinan yang sah bilamana diikuti dengan pencatatan erkawinan. Baik UU 1/1974 maupun KHI pada hakikatnya cenderung menempatkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu persyaratan kesahannya suatu perkawinan. Perkawinan yang tidak tercatat merupakan perkawinan yang tidak sah atau setidaknya dianggap sebagai perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum, yang sudah tentu tidak akan memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan suami isteri dan anak-anak yang dilahirkannya.
Rumusan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU 1/1974 yang menimbulkan multi tafsir di kalangan para ahli hukum mengenai apakah alternartif (parsial) ataukah kumulatif, berdampak ketidakpuasan terhadap hukum. Dapat dikatakan, hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat sekarang. Ketidaksesuaian hukum dengan dinamika masyarakat akan melahirkan social lag (kepincangan sosial). Demikian juga hukum Islam dalam pengertian fiqh yang ‘mandeg’ dan tidak berkembang akan tertinggal oleh perkembangan sosial masyarakat.
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah upaya pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara- negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Ada tiga hal yang menjadi tujuan dilakukannya pembaruan hukum keluarga di dunia Islam tersebut, yaitu sebagai upaya unifikasi hukum, mengangkat status perempuan dari tindakan diskriminasi dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena konsep hukum tradisional dianggap kurang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar (hajjiyah) dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain. Dalam perkembangannya, kehadiran penghulu dalam upaya perkawinan sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan perkawinan diwajibkan di negara-negara muslim. Ketidakhadiran PPN dalam suatu upaya perkawinan dapat menyebabkan yang menyelenggarakan perkawinan itu, di beberapa negara, dijatuhi pidana. Di negara-negara muslim diwajibkan adanya pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di masing- masing negara, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian perkawinan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat yang berkaitan dengan perkawinan itu harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah di kemudian hari.
Dalam draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan tahun 2008 terdapat norma yang mengharuskan setiap perkawinan dilangsungkan di hadapan PPN dan wajib dicatatkan oleh PPN. Menurut Pasal 4 dikatakan, bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pada Pasal 5ditegaskan, bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah. Perkawinan yang tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi mereka yang tidak mengindahkan keharusan melangsungkan perkawinan di hadapan PPN dapat dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Pasal 143, yaitu dapat dipidana denda maksimal Rp6 juta atau hukuman kurungan maksimal 6 bulan. Demikian juga bagi PPN yang melanggar kewajiban pencatatan perkawinan juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 148, yaitu dapat dikenai hukuman kurungan maksimal 1 tahun atau denda maksimal Rp12 juta. Namun sangat disayangkan, Penjelasan atas Pasal 4 drat RUU tersebut malah mereduksi keharusan pencatatan perkawinan tersebut. Karena dalam Penjelasannya dikatakan, bahwa kata "wajib" dalam Pasal 4 tersebut dimaksudkan sebagai "kewajiban administrasi".
Apabila ketentuan ini diberlakukan nantinya, para pelaku perkawinan yang tidak tercatat, seperti praktek kawin siri, dapat dikenakan sanksi pidana. Usulan ketentuan ini sesungguhnya berangkat dari upaya perlindungan perempuan dan anak dalam ikatan perkawinan, dimana suatu ikatan perkawinan tanpa dokumen
pencatatan perkawinan akan berpotensi merugikan perempuan dan anak, apabila terjadi perceraian. Tidak adanya dokumen resmi catatan perkawinan, akan berdampak pada kesulitan bagi anak untuk mendapatkan akta kelahiran, dan di kemudian hari akan menjadi kesulitan bagi anak untuk mendapatkan hak- haknya sebagai anak dalam keluarga, termasuk dalam hal jaminan hidup dan harta warisan. Tidak adanya dokumen resmi catatan perkawinan juga dapat memperburuk bila terjadi kekerasan dalam hubungan rumah tangga.
Seperti diketahui dalam hukum Islam, perkawinan merupakan ikatan atau akad yang sangat kuat/kokoh (miitsaaqan gholiidhan), karena itu suami isteri diwajibkan untuk menjamin kelangsungan dan kelanggengan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Meski perkawinan merupakan ikatan yang kokoh, namun ternyata tidak terdapat nash hukum Islam dalam Al- Quran maupun Hadits, yang secara tegas mengharuskan pencatatan dan pembuatan Akta Nikah/Akta Perkawinan. Hal ini berbeda dengan urusan mudayanah (hutang-piutang) yang akadnya diharuskan untuk dicatat. Saat ini kondisi masyarakat telah berubah, di mana terdapat pergeseran bentuk keluarga dalam masyarakat, dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family) yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Selain itu, tingkat mobilitas masyarakat semakin tinggi seiring dengan revolusi industri dan perkembangan sarana transportasi dan komunikasi. Dalam konteks seperti ini, maka masyarakat tanpa disadari sebenarnya telah kehilangan perannya untuk melakukan fungsi kontrol atas ikatan perkawinan anggota- anggotanya. Di samping itu, konsep negara bangsa yang menggejala hampir di semua negara pasca era kolonialisme juga telah memberikan otoritas bagi negara untuk melindungi hak- hak setiap warga negara dengan melakukan penerbitan administrasi kependudukan termasuk dalam hukum perkawinan. Di sinilah pencatatan perkawinan menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan itu (hifzun nasl). Oleh karena itu, sudah sepatutnya pencatatan nikah menjadi salah satu rukun perkawinan.
Pencatatan perkawinan yang menjadi elemen hukum material tidak hanya sebatas hukum formal-prosedural dalam suatu perkawinan, perlu mendapatkan perhatian sehingga rukun nikah bukan lagi lima, melainkan menjadi enam unsur. Alasannya, Pertama, perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum, meskipun dianggap sah menurut agama. Kedua, belum dimasukannya pencatatan perkawinan sebagai unsur perkawinan dalam fikih klasik merupakan suatu hal yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dilalui oleh fikih itu sendiri yang sejalan dengan waktu fikih ditulis. Sesuai dengan QS. al-Baqarah ayat 282 mengindikasikan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian. Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam sidang pada hari Jum'at, tanggal 8 Jumadil Ula 1428 Hijriah atau ertepatan dengan tanggal 25 Mei 2007 telah memfatwakan bagi warga Muhammadiyah, bahwa wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Dalam pertimbangan hukumnya disebutkan, bahwa keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, di-qiyas-kan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan mencatatnya. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, maka mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Selanjutnya dikatakan pula, bahwa semula apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, maka pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Namun sekarang dalam perkembangannya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan dibuktikan dengan Akta Nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan Akta Nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam, bahkan bersesuaian dengan kaidah fiqhiyah yang menyatakan, bahwa "tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman".
Dalam fatwa tersebut dinyatakan pula bahwa di samping itu, pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang- undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh PPN.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar ke- maslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sesuai dengan kaidah fiqhiyah, yang menyatakan, bahwa "suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya". Artinya dasar hukum pencatatan perkawinan tidak hanya dapat dihubungkan dengan qiyas, melainkan juga berdasarkan mas lahah mursalah, yakni dilihat dari segi kemaslahatan dan kerugiannya, maka pencatatan perkawinan itu merupakan suatu keharusan. Lahirnya teori kemaslahatan dalam rangka mengantisipasi perubahan dan tuntutan zaman, agar hukum Islam tetap sejalan dengan maqosidus syar’i- nya
PENUTUP
C. Penutup
Dalam penjelasan dan penguraian jurnal yang di tulis Rachmadi Usman baik dan bagus disisni saya hanya mereview sedikit untuk memeperindah lagi, Pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan bagi ummat manusia, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu pengaturan mengenai hal tersebut. Apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penjelasan Umum Angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas hukum perkawinan hukum telah mereduksi kewajiban melakukan pencatatan dan pembuatan Akta Perkawinan atau Akta Nikah ini, yang menyamakan pencatatan setiap perkawinan dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran dan kematian, sehingga kewajiban pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 ditafsirkan sebagai kewajiban administratif belaka, yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan bukan merupakan syarat yang menentukan kesahannya suatu perkawinan. Adapun hal yang menentukan sahnya suatu perkawinan yaitu berdasarkan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh hukum agamanya atau kepercayaan agamanya dari pasangan calon mempelai. Sehubungan dengan itu, agar tercipta taraf sinkronisasi internal pengaturan hukum pencatatan perkawinan dalam UU 1/1974, maka perlu dilakukan harmonisasi internal pengaturan hukum pencatatan perkawinan, sehingga dapat terjamin konsistensi pengaturan hukum pencatatan perkawinan. Berdasarkan uraian di atas, pembaharuan norma pencatatan perkawinan amat penting untuk segera dilakukan. Pencatatan perkawinan tidak hanya sekedar dalam rangka memenuhi kewajiban administratif belaka. Kewajiban untuk melakukan pencatatan dan pembuatan akta perkawinan tersebut harus dimaknai sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Sudah seharusnya perkawinan yang tidak tercatat tidak lagi diwadahi oleh dan dalam UU 1/1974. Pencatatan perkawinan ini juga dapat menjadi sarana kontrol mengenai status perkawinan seseorang sebagai anggota keluarga.
Mengingat pencatatan penting, agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran, maka sudah seyogianya dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan hukum pencatatan perkawinan yang selama ini menimbulkan penafsiran hukum yang ambiguitas. Ketentuan hukum pencatatan perkawinan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 hendaknya diubah/direvisi, hendaknya normanya mewajibkan pencatatan setiap perkawinan, walaupun perkawinan telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Hal ini mengandung makna, bahwa sepanjang perkawinan itu belum dicatat di Kantor/Dinas Catatan Sipil (Kan/ Discapil) atau di Kantor Urusan Agama (KUA), maka perkawinan tersebut tetap merupakan suatu perkawinan yang tidak sah, walaupun sebelumnya perkawinan telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1986, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung.
2. Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo,
3. Agustina,Rosa, 2012, "Beberapa Catatan Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia", Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia, Wilbert D. Kolkman, et.al., Pustaka Larasan, Denpasar.
4. Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah
Konstitusi, Kencana, Jakarta, hlm. 173-174.
5. A. Zahri, tanpa tahun, Argumentasi Yuridis Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam, http://badilag. net/data/ARTIKEL/Argumentasi%20Yuridis%20Pencatatan%20Perkawinan%20dlam%20 Perspektif%20Hukum%20Islam.pdf. (diakses tanggal 29Maret 2017), hlm. 5.
6. Baswedan, Anies, dkk, 2010, "Laporan Utama: Revisi Undang-Undang Perkawinan", Update Indonesia, Volume IV, Nomor 10, Maret.
7. Darmabrata, Wahyu, 2010, "Perkembangan Hukum Perkawinan Di Indonesia", Makalah disampaikan pada Seminar Internasional
2010 "Progressive Development of Marriage Law", Universitas Pancasila, Jakarta.
8. Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang- undangan Departemen Kehakiman, tanpa tahun, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Perkawinan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Jakarta.
9. Djubaidah, Neng, 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
10. Hasan, Djuhaendah, 1988, Hukum Keluarga Setelah Berlaku UU No. 1/1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung.
11. Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta.
12. Isnaeni, Moch., 2015, Hukum Perkawinan Indonesia, Revka Petra Media, Surabaya.
13. Isnaeni, Moch., 20152016, Pijar Pendar Hukum Perdata, Revka Petra Media, Surabaya.
14. Kharlie, Ahmad Tholabi, 2013, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
15. M., Muhammad Arsyad, tanpa tahun, Perkawinan Yang Tidak Tercatat dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, 2013).
16. M.K. Anshary, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
17. Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta.
18. Marbuddin, 1997/1998, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan Menurut dan Dituntut oleh Undang-Undang Perkawinan, Proyek Penerangan, Bimbingan dan Dakwah Agama Islam Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
19. Mardjono, Hartono, 1997, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, Mizan, Bandung.
20. Marsal, Arif dan Ryna Parlyna, 2015, “Pencatatan Perkawinan: Antara Rukun Nikah dan Syaratr Administratif”, An-Nur, Volume 4, Nomor 1, Universitas Islam Sultan Syarif Kasim, Riau.
21. Masruhan, November 2013, "Pembaharuan Hukum Pencatatan Perkawinan Di Indonesia Perspektif Maqāsid Al-Sharī'ah", Al-Tahrir, Volume 13, Nomor 2.
22. Mubarok,Jaih, 2005, Modernisasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bani Quraisy, Bandung.
23. Mustika,Dian, tanpa tahun, Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga Di Dunia Islam, online-journal.unja. ac.id. (diakses tanggal 28 Maret 2017).
24. Muzarie,Mukhlisin, 2002,Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika, Yogyakarta, 2002.
25. Natadimaja, Harumiati, 2009, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Yogyakarta: Graha Ilmu.
26. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta.
27. 7Prawirohamidjojo,R.Soetojo,1986,PluralismedalamPerundang-undang Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.
28. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personan en Familie-Recht), 2008, Airlangga University Press, Surabaya.
29. Ramulyo, Mohd, Idris, 1999, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
30. Ritonga, Iskandar, 1999, Wanita dalam Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Madani, Jakarta.
31. Rizani, Rasyid, tanpa tahun, Kaidah-kaidah Fiqhiyyah tentang Penca tatan Perkawinan di KUA dan Perceraian di Pengadilan Agama, ww w.badilag.go.id. (diakses tanggal 28 Maret 2017).
32. Rofiq, Ahmad, 2013, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
33. Ruhdiya, Mahdi Syahbandir, dan Mujibussalim, 2013, "Kewajiban Pencatatan Perkawinan Bagi Pasangan Yang Telah Menikah Beserta Konsekuensi Yuridisnya", Jurnal Ilmu hukum, Volume 2, Nomor 2, November.
34. Sakkirang, Sriwaty, 2011, Hukum Perdata, Teras, Yogyakarta.
35. Shomad, Abd., 2012, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, Kencana, Jakarta.
36. Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.
37. Subekti, 1979, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
38. Subekti, Trusto, September 2010, "Sahnya
39. Syawali, Husni, 2009, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta.
40. Usman, Rachmadi, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
41. Wahyudi, Muhamad Isna, 2014, Pembaharuan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, Bandung: Mandar Maju.
42. Witanto, D.Y., 2012, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
43. Zahri, A., tanpa tahun, Argumentasi Yuridis Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam", http://badilag. net/data/ ARTIKEL /Argumentasi%20Yuridis%20 Pencatatan% 20 Perkawinan% 20dlam %20
44. Perspektif%20Hukum%20Islam.pdf. (diakses tanggal 29 Maret 2017).
Peraturan Perundang-undangan, Putusan Pengadilan dan Fatwa
45. Buku Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23), diterjemahkan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Hukum, Volume 10 Nomor 3.
46. Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.
47. Supani, 2011, Pencatatan Perkawinan dalam Teks Perundang-undangan Perkawinan Di Beberapa Negara Islam Perspektif Usul Fikih", http://almanahij.net/.../Pencatatan%0per kawinan%20dlm %20teks% 20 per%20 (diakses tanggal 27 Maret 2017).
48. Supriyadi, Dedi dan Mustofa, 2009, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Pustaka Al-Fikriis, Bandung.
49. Syahuri,Taufiqqrohman, 2013,Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana, Jakarta. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor 21).
50. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember,No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 694).
51. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019). Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1975 tentang Perkawinan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3050).
52. nstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
53. Draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Tahun 2008.
54. Fatwa Tarjih Muhammadiyah tentang Hukum Nikah Sirri, sidang Tarjih, yang disidangkan pada hari Jum'at tanggal 8 Jumadal Ula 1428 H/25 Mei 2007 Masehi.
Komentar