Pecinta Lada
PERTANIAN LADA PENTING PADA PANDANGAN APAYUS,BAIK UNTUK MENGEMBANGKAN BIDANG PERTANIAN JUGA MENGINGAT KEMBALI KISAH LADA YANG TERLUPAKAN
Ditulis Oleh;Apayus
Kajian filosofi Aceh
6,deseber 2018,
Teupin Mee
Lahir di Desa Teupin Mee Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara pada tanggal 7 Juni 1940 dengan nama lengkap Muhammad Yusuf (Apayus) bin Zakariya. putra sulung dari Teungku Zakariya (Peuliton Kariya) adalah pejuang sejati Gerakan Aceh merdeka yang sangat di segani dan termasyhur seluruh Aceh internal bahkan international semasa beliau bergeriliya sangat gigih dalam berperang melawan musuhnya, pada saat saat belau beristirahat beliau membuat camp di kaki gunoeng geureudong di pinggir sunagi keureutoe yang bernama lubok pliton itulah dasar nama lubok peuliton berkisar 40km dari matang kuli itulah kisah orang tua Apayus .
Apayus dari enam bersaudara Ibunya Teungku Nya' Hafasah binti Teungku Haji Rayeuk Risyah Sungguh sangat beruntung bagi beliau yang terlahir dari keluarga Ulama yang sudah turun-temurun. Apayus kecil sangat disegani oleh teman-temannya, kepribadian yang lembut tapi sangat keras apabila bertentangan dengan jiwanya. Sejak kecil orang tuanya mendidiknya dengan sangat disiplin baik itu dalam belajar agama dan kenegaraan, adat istiadat dan pendidikan umum. Pada masa pendidikan, dia masuk Sekolah Rakyat (SD) di Kecamatan Matang Mane' di tahun 197. Tapi, tamat Sekolah Dasar lanjut ke SMP Blang jruen pada saat bergejolak GPK di Aceh pada Tahun 90an dia ikut didikan militer sama orang Tuanya bersama temannhya Munir oleh orang tuanya yaitu Teungku Zakariya mengajarkan banyak pelajaran tentang militer, ilmu silat, ilmu pengetahuan, dan sejarah yang sangat klasik mulai berdirinya Aceh serta sejarah islam dimasa berdinya Daulah Abbasiayh. Disitulah , ia bergabung dengan pasukan yang sudah memeliki 18 pucuk dengan pasukan Teungku Yusuf Ali di meunye' peut Jungka gajah.
Setelah Apayus bergabung dengan Gpk 3 tahun, atas saran beberapa tokoh Gerakan Aceh Merdeka termasuk Teungku Muhammad Yusuf Pase' yang beliau sebagai Intelijen Aceh Merda di kala itu, Ayah kuari, Teungku Zurkarnaini, dan Teungku Amir, dkk mereka berpesan kepada orang tuanya agar Apayus tetap melanjutkan perjuangan ini, Apayus (ayahnya) sangat setuju atas saran tersebut. Tetapi yang mengganjal dalam pikirannya adalah ke mana dia harus melanjutkan militernya ? Jika ketahuan dengan Pemerintah pasti ditangkap. Berdasarkan rumbukan bersama dengan tokoh yang lain, Plito Kariya menemukan jalan keluar terbaik. Atas bantuan ibunya Desa Teupin Me'. Tanah Luas, ia mau mengambil resiko untuk membantu suamiya mendidik Apayus Menjadi se orang prajurit yang handal
Dengan dibekali Ilmu yangi balai balai pengajian di Kampung dan pengalaman pergaulan yang keras bersama dengan tenman temannya baik dari dalam kampung maupun Daerah, meulaboeh Batam,Pekan Baru, satu stel pakaian hitam dan sehelai kain sarung pemberian oarang Tuanya, Apayus berangkat seorang diri berkelana samapi ke Medan dengan menggunakan truk barang. Setibanya di Medan, di medan Apayus tidak Betah dia lansung ke Pekan Baru menuju Rumah abangnya ya itu sulaiman,
Pada tahun 1986 ia kembali masuk hutan dengan menjadi sopir senso pembelah kayu di pameue' antara Banda Aceh dan lhokseumawe, namun kali ini Apayus sudah lebih dewasa dan sangat mantap baik dalam milternya maupun ilmu agama dan ilmu ilmu lainnhya yang telah ia belajar dari beberapa guru dia mengajarkan banyak orang diaman pun dia singgah dia tetap menyampaikan pelajaran tentang Aceh dan tentang sejarah Islam dimana ia menganggap Fardhu AIN. Satu hal yang menjadi kegandrungannya adalah mendalami tentang sejarah,, terutama sejarah Aceh. Maka wajarlah pada dirinya sejarah Aceh sangat dikuasainya, ia sangat meyakini bahwa di tanah Serambi Mekkah pada suatu saat kelak pasti berjalan hukum syari’at Islam.
Apyus dalam perjuangannya menegakkan Negara Aceh Merdeka tidak pernah meminta pada orang kampung dan ia tidak pernah mengancam masyarakat untuk membantunya. Justru sebaliknya, dia rela menyumbang harta pribadinya yang selama bergabung ia dapatkan untuk membeli senjata dan keperluan teman temannya atau anak buahnya. Apayus tidak pernah terlibat korupsi, moral sangat ia jaga, anggota Aceh Merdeka yang korupsi dan tidak pernah shalat dan puasa tidak dianggap Islam tapi kaflr, hal ini sama dengan sikap pejuang-pejuang Aceh terdahulu dimasa Daulah Abbassiyah, sama denagn halnya pejuang Islam pejuang di masa Belanda dianggap pahlawan bangsa Aceh,
Menjelang persiapan pada suatu hari raya Idul Fitri tahun 1986, ia mengutus seorang kurir, Aman Seuneup, untuk membeli bahanbahan hari raya esok hari, kain sarung untuk sembahyang, daging makmeugang, beras, gula dsb, sang kurir karena ibanya melihat keadaan Apayus yang serba kekurangan, entah untuk tambahan dana atau ada maksud-maksud lain, orang kampung itu datang ke salah seorang dan tokoh masyarakat di Alue Gampong. Setelah ia mengutarakan keadaan Apayus sangat menyedihkan, mereka hanya tinggal beberapa orang dan pengawalnya ya itu Ridwan Hasbi, Marahet, Gapi,cupe, Rupanya dalam pemikiran sang kurir tersebut pucuk dicinta ulam tiba, ia mengatakan kepada kurir, “Tinggal saja di sini biar saya urus dan beli makanan, uang yang ada pada kamu kembalikan saja kepada Apayus Dalam waktu tidak beberapa lama, kurir pun kembali dengan sebuah truk tentara batalyon sriwijaya, kurir diikatLangsung meluncur ke titik sasaran. Pasukan batalyon segera melakukan steling dan mengepung karena sudah tahu titik sasarannya.
Maka terjadilah tembak-menembak selama beberapa jam lamanya dalam gelap gulita, akhirnya teungku mahdi tertembak, juga beberpa temannya luka para karena keadaan tidak terkendali, sebelumteungku Mahdi menghembuskan nafas yang terakhir di tanjong putoh antara bayi dan tanhjong putoh sempat ia berpesan “Apayus, bek neu meuyeurah perjuangan nyoe tetap neulanjutkan” (kemudian ia mengambil darah pada lukanya serta mengatakan “Demi Allah, dengan darah ini pasti syariat Islam akan tegak di Aceh”. Dengan syahidnya teungku Mahdi ini sangat membawa duka bukan saja bagi keluarganya akan tetapi kepada seluruh bangsa Aceh. dan kawan kawan yang lain yang terluka sudah di evakuasi ke dkampung tetangga Teupinme di Dalam polindes temannya ya itu bernama Teungku syahi(Raja) di Obati oleh tim dokter sekaligus orang para normal (Rajah peuteutap darah) ya itu Ummi Salamah, setelah pengoperasian berhasil teungku syahi di pakaikan baju samaran ya itu baju ulama Panton labu di bawa dengan kereta GL PRO oleh Ulei peulisi yang bernama Bang Din meulasah Ceubrek melewati pasukan indonesia tapi pasukan indonesiatidakcurigakarna penyamarannya sangat rapi,setelah berselang beberapa waktu Apayus dan kawan kawannya bentrok lagi dengan pasukan Indonesia di Reudang yang menewaskan cukup banyak pasukan Indonesia dan dari pihak Apayus syahidnya adek Amat leupon,dan masih banyak kisah perang aceh yang belum mampu kita uraikan dan tuliskan,
Sehingga pada tahun 2004 perdamaian MOU di cetuskan oleh pihak indonesia sampai sekarang ini perdamaian masih bertahan dengan Saling menahan diri baik dari gerakan aceh merdeka dan juga pihak RI
Apayus setelah perdamaian Aceh berhasil dan REINTEGRASI ACEH berhasil dan dalam Mou pemerintah republik Indinesia memberi wewenang penuh kepada bangsa aceh untuk mengatur diri sendiri SELF GAVORMEN, Apayus dan rekan rekan meeruskan perjuangannya dengan partai politik berdasarkan intruksi atasan untuk bersatu dalam partai Aceh, dua periode berkecimpung dalam partai Aceh dilihat Oleh Apayus tidak ada pemerataan akhirnya dia keluar dari Partai aceh dan berpolitik di bawah politik tgk agam yaitu Mantan Gubernur Drh.Irwandi Yusuf,
Apayus Se orang sejrawan dan dia sangat mempelajari sejarah aceh dan sejarah islam bahkan dia menguasai sejrah Jerman, Amerika dan beberapa negara lain, setelah sekian lama perdamain terjadi pemerataan tidak terjadi dan janji hanya tinggal janji, Apayus memilih bertani Lada di kampung Alue Gampoeng bersama beberapa kawan anak buahnya dan setipa dia beristirahat di keudai kopi Alue Gampoeng dia ,masyarakat kelas bawah menengah dan atas slalu menjupai Apayus Sambil ngopi Bareng dan mereka sangat puas setelah bertemu Apayus segala beban setelah bertemu Apayus menjadi Ringan karna Apayus bisa memberi pandangan Hidup baik tentang dunia maupun Akhirat,
Para anggota gerakan Aceh Merdeka mereka slalu mendapat petunjuk dan arahan ke arah yang lebih baik agar mereka tidak berbuat di luar perdamaian Aceh MOU, Apayus Sangat berkomitmen dalam menjaga perdamaian Aceh pada suatu hari Apayus mengisahkan tentang peristiwa lama di mana pada saat itu ACeh adalah sebuah perdanagan Lada yang hebat
PEMBAHASAN
Pola Pertanian Di Aceh Sebelum Mengenal Lada
Pada dasarnya masyarakat Aceh adalah masyarakat agraris.Sebagian besar penduduknya membudidayakan padi. Mereka juga menanam padi dan budidaya lada sangat penting artinya sejumlah di sejumlah daerah di Aceh. Pohon yang banyak di tanam adalah pohon buah, meskipun kelapa dan pinang juga masuk hitungan. Padi yang di tanam adalah padi kering dan basah. Sawah, jika tidak terletak di rawa, memperoleh pengairannya dari air hujan yang mengalir dari Sungai ataupunalur alur .Perempuan menanam padi, namun sawah di garap oleh laki-laki. Dari zaman dahulu Islam dan kerajaan Islam, Pertanian padi sudah sejak lama mereka lakukan sebelum masuknya Kolonial Belanda di daerah Aceh. Bertani adalah mata pencaharian yang paling penting bagi bangsa Aceh. Hal ini sesuai dengan peribahasa Aceh yang berbunyi, “Seumbahyang pang 'ulee ibadat, meuneugoe pangulee hareukat”. Artinya Shalat adalah bagian terpenting dari ibadah, sedangkan bertani padi adalah sumber mata pencaharian utama. Peribahasa lain berbunyi, “Kaya meuh hana meusampe, kaya pade meusampureuna” Artinya Kaya emas tidaklah cukup, kaya padi barulah sempurna.
Sebagian besar mata pencaharian bangsa Aceh
Aceh pada periode 1500-1800 M. adalah berdagang dan berocok tanam. Selain itu ada juga bangsa Aceh yang bekerja sebagai ahli pertukangan seperti tukang emas, tukang periok, tukang meriam, tukang besi,tukang kapal, tukang tenun, dan pembuat berbagai minuman tuak dari air nira (ie jok). Pada puncak kejayaan Aceh dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda hegemoni politik dan ekonominya mencakup daerah-daerah Pedir, Pasai, Deli, Aru, Daya, Lauo, Singkei, Batak, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang. Di Semenanjung Malaka negeri- negri yang mengakui kekuasaan Aceh adalah Johor, Kedah, Pahang, dan Perlak. Seperti yang telah disebutkan bahwa daerah-daerah yang takluk pada Kerajaan Aceh sebagian besar terdiri atas kota-kota pelabuhan. Tiap-tiap kota pelabuhan ini masing-masing terkenal dengan hasil buminya.Pedir terkenal dengan kesuburan tanahnya. Di sana banyak di tanam padi, sehingga pedir waktu itu dikenal sebagai lumbung beras bagi Kerajaan Aceh. Selain hasil padi, Pedir juga terkenal dengan ulat-ulat sutranya yang memberikan hasil Sutra bagi Kerajaan Aceh. Dari daerah Pase sampai ke Deli juga didapatkan daerah yang amat subur dan cocok untuk pertanian. Deli terkenal dengan hasil minyaknya. Daerah Daya juga amat subur, di sini terdapat banyak beras dan amat kaya dengan binatang ternak. Kota pelabuhan singkil menghasilkan banyak kapur barus. Barus adalah kota yang sangat indah dan di sana banyak didapatkan kapur barus dan kemenyan yang menghasilkan uang bagi penduduknya. Pasaman terletak di kaki sebuah gunung yang tinggi dan banyak menghasil lada dari Pasaman. Pariaman berpendudukan cukup banyak.Kota pelabuhan ini letaknya lebih baik daripada Tiku dan hawanya juga lebih sehat. Di sana di dapatkan banyak bahan makanan, tetapi pohon ladanya tidak begitu subur. Di bawah kekuasaan seorang sultan yang yang menjalankan hukum Al’Qur’an, Aceh pernah menjadi sebuah kerajaan yang bersatu padu damai dan sejahtera. Bahkan di zaman keemasan Sultan Iskandar Muda yang termasyhur itu lebih dipandang sebagai syahbandar ketimbang sebuah kekuatan politik. Sebagian besar kejayaan dan kebesarannya bersandar pada kebebasan dagang yang dilakukannya. Ketika kebebasan pelabuhan ikatan-ikatan yang tidak membatasi aktivitas para bangsawan feudal (uleebalang) pun mulai menjajal kualitas perdagangan akhirnya terciptalah perdangangan besar besaran Karena semua pihak berkepentingan dunia usaha dalam menjalan dagang Aceh, para sultan senantiasa berupaya melakukan panaklukan dan membuat perjanjian dengan negeri lain harus tunduk pada tuan-tuan tanah di negerinya sendiri. Penaklukan yang berhasil dilakukan selama awal abad ke-17 (hingga ke Gayo) itu pun akhirnya kebetulan saja. Pekerjaan utama penduduk Gayo adalah bertani, terutama budidaya beras. Mereka menggunakan sistem sawah dan pengairan di dapat dari sungai. Jika gagal panen, sebagaimana yang terjadi setiap dua puluh lima tahun, maka wabah kelaparan dan kematian pun menyusul. Orang gayo menkonsumsi ikan yang dikeringkan dan daging rusa. Mereka beternak sapi, namun hanya daging kerbau, kambing dan domba saja yang di konsumsi ketika hajatan. Selain kuda berukuran kecil,hewan-hewan ini dimanfaatkan tenangany untuk mendukung aktivitas pertanian. Kerbau digunakan untuk membajak sawah. Sawah kering/ladang digunakan untuk menanam tembakau dan sayur mayur.Susu kerbau dikentalkan dikonsumsi sebagai makanan di kalangan orang batak dan di Tanah Tinggi Minangkabau. Selain padi, tanaman yang lazimnya dibudidayakan di Gayo adalah jagung, kapas,dan tebu. Kemudian sampai abad ke 18, terdapat perkebunan lada di Aceh Timur. Penduduk ini sebagian besar membuat perkebunan lada. Karena padi tidak berkembang di daerah Aceh Timur. Aceh Timur dibangun oleh pendatang penanam lada. Dengan demikian mata pencaharian penduduk wilayah ini sampai sebelum masuknya Belanda adalah menanam lada. Menurut APAYUS, terdapat tiga faktor yang menyebabkan usaha pertanian padi kurang berkembang di daerah itu. Pertama, Kesuburan tanah yang kurang, berdampak tanaman padi membutuhkan usaha yang sangat intensif. Kedua, curah hujan yang kurang dan tidak tersedianya saluran air ikut menghambat penanaman padi di sawah. Oleh karena tidak adanya saluran air, tanaman padi hanya dapat ditanam di ladang . Ketergantungan pada curah hujan menyebabkan tanaman padi sering mengalami kegagalan. Terakhir, faktor harga yang lebih menguntungkan menanam lada daripada menanam padi. Dari berita-berita Cina juga dengan jelas diceritakan kehidupan masyarakat Aceh zaman Kerajaan Samudra Pasai. Mata pencaharian penduduk bertani dan menanam padi, karena makanan utama mereka adalah beras.Di pegunungan banyak dihasilkan kapur barus.Pertanian lada banyak di kaki-kaki pegunungan.Selain itu, terdapat pula bermacam- macam buah-buahan seperti manggis, jeruk dan durian. Disebutkan pula harga lada sekitar abad ke-15 tiap 100 koli (62 kg) 80 uang mas (80 dirham) atau 1 tail uang perak.
Semua penjelajah Eropa sama-sama
Menegaskan bahwa di Aceh beras jarang ada dan harganya mahal.Bahkan Lancaster sudah berkata pada tahun 1602.Menurut pendapat umum bahwa orang Aceh itu bukan petani. Seperti Beaulieu yang mengatakan “orang- orang itu angkuhnya sedemikian hingga tak sampai hati memegang bajak. Mereka tidak mau memikirkannya dan segala urusannya diserahkan kepada budak-budak mereka” Pemanfaatan sumber daya lokal tidak mampu memenuhi permintaan orang kota. Orang-orang di pedalaman lebih banyak hidup secara subsistenm oleh karena itu hasil panen padi mereka lebih ditujukan untuk kepentingan sendiri. Demikian pula dengan petani-petani yang ada di sekitar kota, mereka memanfaatkan sawah padi hanya untuk kebutuhannya..kelangkaan sumber daya ini Menyebabkan Sultan harus memikirkan impor beras untuk mencukupi kebutuhan negara dan juga harus memikirkan pemanfaatan budak untuk menanam padi agar tidak terlampau tergantung pada impor. Bahkan dalam Bustān al-Salāṭin menyebutkan adanya kekeringan dan kelaparan yang merupakan bencana besar pada masa Sultan Muda „Ali Ri‟ayat Syah dan kecukupan pangan berhasil terpenuhi pada masa Sultan Iskandar Muda.
Hasil-hasil komoditi dari kerajaan Aceh
yang utama adalah beras, daging, ikan, buah- buahan dan binatang ternak., tetapi hasil-hasil ini tidak menarik sama sekali perhatian para pedagang-pedagang asing yang datang ke sana. Yang menarik ialah lada, timah, emas, sutra, minyak, kapur barus, kemenyan, daging, pinang dan gajah. Selain itu di Aceh juga terdapat barang-barang yang di datangkan dari luar negeri seperti rempah-rempah., pakaian dari India dan Porselin dari Cina. Dari segala hasil yang telah disebutkan di atas, lada yang merupakan barang dagangan utama Kerajaan Aceh. Pohon-pohon lada di Aceh tumbuh sedemikian banyaknya, sehingga setiap tahun Kerajaan Aceh, mampu untuk memuat hasil lada ini pada 20 buah kapal dagang menurut ukuran masa itu.
Perkembangan Perkebunan lada di Aceh abad Ke XI-XIX
Seperti halnya sistem peladangan dan persawahan, sistem kebun juga telah tua. Menurut para ahli, sistem kebun tanaman tahunan pada lahan tetap, telah berlangsung di pulau nusantara berabad-abad lamanya, setidak- tidaknya sejaknya 1200 M. Selama periode ini terdapat berbagai ragam bentuk. Kadang-kadang kebun ditanami berbagai tipe tanaman campuran, seperti tanaman tahunan (annual plant) dan tanaman ramuan masak atau jamu, di samping tanaman keras berumur panjang (perennial plant), seperti yang terdapat dalam bentuk pekarangan dikebanyakan wilayah wilayah . Kadang-kadang kebun lebih diusahakan untuk satu jenis tanaman perdangangan tertentu, seperti pala di nisam- fuli, lada, cengkih di meulaboh atau kemudian kopidi takingon, karet dan lainnya. Usia kelangsungan kebun kadang- kadang singkat masanya, barangkali tidak lebih dari 10 tahun; tetapi ada pula yang dapat berusia panjang, yaitu 50 tahun atau lebih. Berbeda dengan sawah,kebun kurang menuntut tenaga kerja besar hanya pekerja dari pulau jawa, medan, padang yang bersifat kekeluargaan terkadang ada juga dari para pendatang miskin dari Gujarat/India, karena tidak memerlukan pembangunan dan pemeliharaan bangunan saluran air seperti yang diperlukan persawahan. Kebun juga tidak menuntut kebutuhan lokasi yang istimewa, asal iklim dan pengeringan tanahnya cukup baik, dan jarak pasar tidak jauh, penanaman tanaman dapat diselenggarakan secara tetap. Dapat terjadi, bahwa petani peladang menanam kebun ke dalam lahan peladangan sebagai tambahan produksi subsistennya, misalnya tanaman lada, kopi dan karet.Tanaman itu ditanam di ladang mereka, kemudian ditinggalkan sampai tanaman itu berbuah, baru kemudian didatangi kembali untuk memetik hasil panenannya.Sistem kebun yang kurang diurus semacam itu, sudah barang tentu hasilnya kecilnya (marginal), dibanding dengan hasil perkebunan.
Pembukaan perkebunan, menimbulkan
lingkungan baru, yaitu lingkungan, yaitu lingkungan perkebunan.Lingkungan perkebunan ini biasanya dibentuk oleh kesatuan lahan penanaman tanaman komoditi perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik), dan komunitas pemukiman penduduk yang terlibat dalam kegiatan perkebunan. Dalam pembudidayaan lada (Pipernugrum), lokasi perkebunan merupakan faktor yang paling penting yang harus diperhatikan karena akan menentukan keberhasilannya. Daerah dengan ketinggian tanah rendah dan berada sisi sungai atau mata air biasanya lebih dipilih, selama daerah itu tidak terlalu rendah. Hal ini disebabkan oleh kondisi permukaan tanahnya yang kaya dengan bahan organik dan mudah mendapatkan air yang dibutuhkan produksi.Tanah yang terlalu miring dihindari karena permukaan tanahnya lebih rentah terhadap hujan deras. Bila daratannya polos atau hanya ditumbuhi rumput panjang, diperlukan pembajakan dan pemupukan terlebih dulu karena kesuburannya telah tergerus oleh sinar matahari langsung yang tidak terhalang. Mereka yang mau membuat tanaman lada, menanam tunas dari pohon lada yang sudah tua di salah satu semak; semua rerumputan yang tumbuh di sekitarnya harus dibersihkan atau disiangi dengan tekun. Tunas itu tumbuh tanpa berbuah sampai tahun ketiga; lalu mulailah ia pada tahun keempat keluarlah buahnya berlimpah-limpah dan besar-besar, dan tanaman semacam itu menghasilkan enam, tujuh pon lada, dan tak pernah buahnya besar besar dan terbanyak pada tahun panen pertama dan kedua, dan juga tahun ketiga yang rata-rata boleh dikatakan sama. Pada panen ke-4, ke-5, dan ke-6 hasilnya kurang sepertiga, yaitu pada umur sembilan tahun.Tahun kesepuluh, kesebelas, dan keduabelas buahnya hampir tak ada lagi dan kecil-kecil; lalu habis sama sekali” “Pada bulan Agustus lada itu besar dan hijau, dan rasanya sangat pedas, tapi oleh penduduk dimakan sebagai salada atau diacar, yaitu dicampur dengan buah-buahan lain dalam kuah cuka yang dapat disimpan satu tahun penuh. Pada bulan Oktober lada itu merah, pada bulan November warnanya menjadi hitam.” Oleh karena itu, para petani Aceh cenderung memilih lahan baru dibersihkan untuk ladang padi atas dasar kualitas tanah, karena pertimbangan agrikultura lainnya. Lahan tersebut tadinya dipenuhi oleh kayu-kayu tua,semak belukar kemudian di bangun serta di bajak dengan kerbau terus dipersubur oleh bahan organic yang membusuk untuk kemudian diperbarui sehingga dapat digunakan selama satu atau dua musim.Begitulah bagaimana umumnya perkebunan lada dipersiapkan. Akan tetapi, bila tidak menggunakan bekas ladang padi, digunakan tanah yang dikosongkan untuk lada dengan menebangi dan membakar pohonnya.
Menurut Meilink-Roelofsz,
berdasarkan karya Tome Pires dalam buku Suma Oriental, bentuk perdagangan laut di malaka pada abad ke-XVI adalah “perdagangan keliling” (peddling). Pendapat ini sebenarnya memperkuat pendapat J.C. Van Leur yang dikemukakan sebelumnya. Dalam hubungan ini komoditi perdagangan dapat berasal dari dua kemungkinan, yaitu hasil “pengumpulan” dari hutan dan atau dari hasil tanaman di kebun. Menurut Meilink-Roelofsz, bunga pala (mace) dan pala (nutmeg) di kuta raja, dan cengkih di bagian lain daerah Maluku, lebih banyak ditanam di kebun daripada dikumpulkan dari hutan. Selain meningkatnya pertumbuhan kebun komoditi komersial, meningkatnya proses komersialisasi di daerah pantai pada abad ke-XVI, juga mendorong semangat Ulama Ulama Aceh mensyiarkan Islam di pulau pulau hindu–Jawa sehungga pertumbuhan kelahiran kerajaan-kerajaan Islam, hindu-Jawa dan juga mulai pertumbuhan dikota-kota emporium di sepanjang pantai Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Pertumbuhan kerajaan dan kota-kota emporium baru ini, sekaligus diikuti dengan kemunduran kerajaan Majapahit dan kota-kota emporiumnya, yang berperan dalam perdagangan maritime periode sebelumnya. Perkembangan ini juga diikuti oleh proses Islamisasi ilmu dan ilmunisasi islam serta reintegrasi ilmu dan penyebaran kebudayaan Melayu di kepulauan Nusantara. Kota Bandar emporium yang ada di daerah Jjawa bagian barat yang menjadi partner perdagangannya, diantaranya ialah Malaka, Aceh, dan Palembang. Kerajaan Aceh termasuk kerajaan yang memiliki basis surplus komoditi perdagangan dari daerah pedesaannya, disamping memiliki sumber pendapatan lain dari kegiatan perdagangan di kota bandar emporiumnya. Surplus produksi komoditi perdagangan yang dimiliki kerajaan, pada umumnya didasarkan atas dasar hak kebebasan raja terhadap bahan perdagangan yang ada diwilayah kekuasaannya. Ada beberapa bentuk organisasi proses produksi. Pertama, raja menerima produksi komoditi perdagangan dari kepala- kepala penguasa lokal, atas dasar penyerahan wajib atau upeti. Produksi diperoleh baik dari hutan maupun dari kebun Lada di daerah Aceh kebanyakan dikelola oleh golongan penguasa lokal, Orang Kaya. Kedua, raja selain menerima penyerahan wajib, juga memiliki kebun sendiri, seperti raja-raja di Kerajaan Aceh atas dasar kebun-kebun lada di daerah pedalaman.
Struktur geografi kepulauan Hindu-Jawa
yang luas, menyebabkan jarak pengangkutan perdagangan menjadi besar, sehingga menuntut risiko modal yang besar pula.Akibatnya tidak semua golongan mampu partisipasi dalam kegiatan perdagangan dalam skala nasional dan internasional. Mereka yang mampu adalah golongan raja dan bangsawan,sehingga golongan merekalah yang banyak partispasi dalam perdagangan, hal yang berbeda dengan yang terjadi di Eropa.Selain itu, golongan pedagang di Indonesia memiliki peranan yang berbeda dengan rekannya yang ada di Eropa.Perbedaan yang lebih penting lagi, ialah Indonesia tidak mengenal organisasi perdagangan seperti Eropa, sehingga perdagangan di Jawa sangat lemah, terutama dalam menghadapi persaingan dengan luar. Hasil bumi yang ikut meramaikan perdagangan internasional di Selat Malaka adalah Lada. Daerah penghasil lada yang utama pada waktu itu adalah Aceh. Lada ini diekspor melalui Perlak (Peureulak). Lada merupakan salah satu rempah yang dihasilkan dikepulauan nusantara. Rempah ini tampaknya diperkenalkan sedini abad ke-14 oleh para pedagang dari India (terutama Malabar) di beberapa tempat di bagian utara Pulau Sumatera, bersamaan dengan penyebaran agama Islam.
Menurut Chun, Hasil nyata dari
diperkenalkannya tanaman ini dilihat langsung oleh Ma Huan seorang penerjemah muslim Cina dalam ekspedisi maritim laksamana kekaisaran Dinasti Ming, Cheng Ho pada abad ke-XV M. Pelayaran armada Cheng Ho yang dimulai pada tanggal 19 Januari 1431 dari pelabuhan Nanking akhirnya tiba di Su-menta- la (Samudera) pada tanggal 12 September 1432 setelah singgah di beberapa tempat dalam perjalanannya. Saat berada di Samudera itulah Ma Huan menyaksikan kebun lada dibudidayakan dilereng pegunungan. Ma Huan memerikan budi daya tanaman itu sebagai berikut,“tumbuhannya menjalar,menghasilkan bunga yang berwarna putih dan kuning; ladanya sendiri dihasilkan dari buahnya; berwarna hijau saat muda dan berwarna merah saat sudah tua; para petani menunggu untuk memanennya hingga buahnya setengah tua. Setelah dipanen, buahnya dijemur dibawah terik matahari, setelah kering lalu dijualnya. Setiap 100 chin dihargai 80 keping uang emas, yang senilai 1 liang perak”
Menurut musafir Arab dan Tionghua
penanaman lada yang ada di Aceh telah dikenal abad ke IX, yakni di daerah Nampoli, Perlak, Lamuri, dan Samudera. Lada Aceh berasal dari Malagasi.Pada Abad ke VII dan VIII penanaman Lada telah di kenal di Malagasi.Hasil lada di Malagasi dijadikan bahan perdagangan oleh perdagangan-perdagangan Arab dan Persia disepanjang Pantai barat Eropa dan Asia.Pedagang-pedagang Persia dan Arab yang belayar di pantai timur sumatera membawa dagangan lada dan mencoba menanam lada didaerah Aceh.Perlak dijadikan Bandar utama dipantai timur Sumatra bagian utara untuk eksport lada. Oleh karena eksport lada mendatangkan banyak keuntungan, maka pedagang-pedagang dari mesir, Persia, dan Gujarat yang datang dipelabuhan Perlak dan menetap disitu, ingin menguasai lada yang sejak semula dikuasai oleh Marah Perlak dan kemudian didirikan kesultanan Perlak tahun 1611. Pusat-pusat penghasil utama lada di Pulau Sumatera mula-mula lebih ke selatan letaknya, dipantai baratnya. Parmentier pada tahun 1529 singgah di pelabuhan Tiku untuk mengisi palka kapalnya dengan rempah yang tinggi nilainya itu. Kata Beaulieu, “Di Pasaman, kebun-kebun lada mulai ditemukan, letaknya pada kaki sebuah gunung yang tinggi sekali, yang kelihatan dari jarak tiga puluh mil jika langit cerah, ladanya bagus-bagus dan besar, tujuh mil dari sana terletak Tiku yang lebih berlimpah-limpah lagi ladanya; ditempat-tempat tadi ada saja ladanya” Kelompok perkebunan yang kedua terdapat di Semenanjung Malaka, Pulau Langkawi, dan Kedah. Oleh karena kesal disuruh Iskandar membayar harga lada terlalu tinggi, Beaulieu pada suatu pagi membongkar sauh dan menuju ke utara dengan harapan akan mendapat harga yang lebih baik dari Sultan Kedah, saingan Sultan Aceh. Ia singgah di Langkawai yang perkebunan ladanya, “ada di kaki gunung seperti juga di dataran rendah sepanjang 3 hingga 4 mil, tumbuhannya dipelihara seperti tumbuhan anggur yang tinggi cabang-cabangnya, yang merawat di situ tak lebih dari 100 tawaran” Lalu Beaulieu ke Kedah minta izin pada sultan untuk mengadakan pembelian; dilihatnya bahwa disana pun tumbuh tanaman lada, bukan main indahnya, meskipun kurang banyak jumlahnya. Dalam hubungan inilah Beaulieu memerikan tentang tanaman lada dan pemeliharaannya: tumbuhnya di tanah yang baru dibuka dan yang gemuk; di negeri ini lada ditanam pada kaki segala macam pohon, dan pohon itu yang dililiti dan dijalarinya seperti cara tanaman hop. Di separuh utara Pulau Sumatera, Pasai nampaknya adalah tempat pertama yang menghasilkan lada (pada awal abad ke-15). Belum ditemui pendapat untuk memperkirakan dengan tepat waktu munculnya ladang lada di pesisir timur laut Sumatera. Baik Pires mahupun Mendes Pinto tidak mencatatkan lada sebagai bahan yang dihasilkan di daerah ini pada separuh pertama abad ke-XVI. Namun, sebuah sumber Portugis dari akhir abad ke-XVI mengatakan bahwa lada yang dijual di Aceh itu sebagiannya berasal dari pergunungan Aru. Sampai tahun 1682, tidak ada data register yang mencatat bahwa lada ditanam di pesisir timur laut Sumatera. Walaupun sudah terbukti bahwa penanaman lada sama sekali tidak merata dari waktu ke waktu, jika lada memang sudah ditanam pada masa itu, susah menjelaskan kenapa hal ini tidak dicatat oleh orang Belanda sepanjang empat puluh tahun pertama mereka menjajah di Melaka. Ketika tiba pada tahun 1860-an, pegawai-pegawai Belanda hanya mencatat bahwa suku-suku “Batak” di Sumatera bahagian utara sudah sejak bertahun-tahun hampir hanya menanam lada. Catatan pertama yang meyakinkan itu berasal dari abad ke-XVIII dalam sebuah laporan Inggris yang menyebutkan bahwa Langkat, yang ada di Aceh, menghasilkan lada. Selain itu, menurut pendapat yang diperolehi seorang pegawai Belanda pada waktu yang sama, dua orang yang berasal dari Siak, bernama Said Amat dan Said Ali, dikatakan telah diusir dan berpindah ke Langkat, tempat mereka dipercayai menjadi kaya kerana perdagangan lada. Menurut tradisi di kesultanan yang berdekatan dengan Aceh ini, penanaman lada telah dilakukan oleh penghijrah yang berasal dari pantai utara dan selatan Aceh saja.Yang jelas, pada awal abad ke-XX, masih ramai orang Aceh yang menguruskan ladang lada di sebelah utara Langkat, khasnya di sekitar Teluk Aru.Sepertinya bukan halnya di Kesultanan Deli dan Serdang, di mana pendapat langsung tentang ladang lada ini berasal dari John Anderson yang melewati daerah tersebut pada tahun 1823. AcehTimur merupakan salah satu alternative yang tepat karena daerah itu berbatasan langsung dengan Sumatera timur.Sampai dengan akhir abad ke-18, Aceh Timur masih kurang berarti dari segi politik dan ekonomi.Kondisi ini berubah drastic sejak paruh pertama abad-19.Mulai saat itu daerah ini menjadi salah satu sentra produksi lada yang sangat penting bagi kerajaan Aceh. Penanaman lada ini dilakukan oleh para migran yang datang dari daerah lain di Aceh. Aktivitas penanaman lada tersebut berdampak pada munculnya kenegerian-kenegerian baru di wilayah ini.
Wilayah Aceh timur sendiri dialiri oleh banyak sungai, baik yang besar dan panjang, maupun yang kecil dan pendek.Sungai-sungai besar bersumber di Pedalaman, pegunungan Bukit barisan dan bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut adalah sungai Peurlak (140 km) dan sungai bayeun (80 km) sedangkan sungai-sungai yang lebih pendek diantaranya adalah sungai langsa , sungai bayeun, sungai Ranto Panjang, sungai Alue nireh, sungai Idi, dan sungai Arakundoe. Hampir semua sungai tersebut dapat “dilayari” seningga mempunyai arti ekonomi yang sangat penting dalam perjalanan sejarah wilayah ini. Ia menjadi saranatransportasi komoditas yang dihasilkan dipedalaman, terutama lada. Bila dibandingkan dengan wilayah Aceh lainnya, kenegerian-kenegerian di Aceh Timur relative masih muda.Pada saat perang Belanda di Aceh pecah tahun 1873, sudah terdapt 15 kenegerian di Aceh Timur.Sebagian besar kenegerian tersebut terbentuk pada awal abad ke-XIX dari pengembangan penananman lada yang dilakukan oleh para pendatang.Hanya empat kenegerian yang terbentuk sebelum abad ke XIX yaitu Kenegerian Peurlak, Kenegerian Langsa, Kenegerian Karang dan Kenegerian Kejuruan Muda. Sementara kenegerian- kenegrian lain terbentuk akibat perpindah penduduk dari Aceh lain.
Perpindahan penduduk merupakan suatu fenomena baru di Aceh berkaitan dengan penanaman lada. Kegiatan ini dinamakan masyarakat Aceh dikenal dengan istilah buka Seunebouk (membuka kebun lada). Pemimpin pembuka seunebok ini berasal dari golongan uleebalang terutama dari Aceh besar.Mereka dengan mudah mendapatkan orang di Aceh besar atau Pidie yang mau mencoba keberuntungan di daerah baru ini baik sebagai pekerja musiman maupun penduduk permanen.Dari pusat-pusat pemukiman penanaman lada yang berhasil ini kemudian menjadi sebuah negeri dengan seorang uleebalang.Ia diakui sebagai uleebalang oleh penduduk yang berdiam di daerah itu maupun oleh uleebalang di sekitarnya apabila dia berhasil memperoleh surat pengangkatan resmi dari Sultan Aceh (Sarakata). Sebelum masuknya kekuasaan Belanda, Aceh Timur telah memiliki dua pelabuhan ekspor-impor komoditas-komoditas penting dari dari dan ke daerah ini, yaitu Pelabuhan Idi dan Pelabuhan Bayeun. Komoditas yang diekspor melalui kedua pelabuhan ini adalah : lada, kopra, pinang dan hasil hutan, sedangkan komoditas diimpor antara lain : beras, ikan asin,dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Setelah dikuasai Belanda, pelabuhan pidi yang sempat ditutup dibuka kembali untuk perdagangan umum seperti sebelumnya, sedangkan perdagangan di pelabuhan Bayeun nantinya dialihkan ke Pelabuhan Langsa.Pelabuhan langsa ini dengan teluknya yang dalam, dapat disinggahi oleh kapal-kapal milik KPM dengan aman tanpa harus menunggu air pasang untuk mengangkut hasil perkebunan dan hasil bumi lainnya dari Aceh Timur. Sebaliknya, pelabuhan bayeun (Damar Tutong) hanya dibuka untuk perahu-perahu tradisional berdasarkan Lembaran Negara tahun 1901 nomor 188, tanggal 1 September 1901. Akan tetapi dalam kenyataan perahu-perahu uap milik perkebunan diberi izin masuk.
Penduduk yang bermigrasi ke Aceh
Timur berasal dari tiga daerah, yaitu: Pasai, Pidie dan Aceh besar. Migrasi penduduk dari daerah tersebut yang terjadi pada awal abad ke- XIX bukan karena faktor pendorong kondisi ekonomi penduduk dari daerah asal.Tetapi karena ada faktor penarik yang ditawarkan oleh daerah baru.Daerah Aceh Timur yang kosong.Dari segi ekonomi memberikan kemungkinann untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Besarnya permintaan lada di pasar internasional dengan harga yang sangat tinggi pada tahun 1820 an menyebabkan munculnya keinginan penduduk untuk mencari daerah baru yang belum berpenghuni yang cocok untuk penanaman lada. Persoalan tenaga kerja (buruh)merupakan masalah utama yang dihadapi perusahaan-perusahaan perkebunan di Aceh Timur sejak awal pembukaannya. Hal ini disebabkan oleh jarangnya penduduk lokal dan keengganan buruh lokal ini didatangkan buruh migrant dari Jawa dan Cina. Mereka didatangkan melalui Semenanjung Malaya, sedangkan buruh Jawa langsung dari pulau Jawa. Dengan masuknya buruh migrant ini, terbentuklah suatu komunitas baru di Aceh, yaitu komunitas perkebunan. Komunitas ini terdiri dari staf kulit putih, mandor, dan buruh migrant. Kemudian selama abad XX, ekspor lada di Aceh menurun.Angka paling tinggi dicapai tahun 1819 adalah 5192 ton.Angka terendah 2643 ton pada tahun 1920.Penyebab kemunduran ini adalah penghentian pemberian kredit kepada petani lada sejak 1919 karena tunggakan tidak mampu dibayar kembali akibat dari menurunnya harga lada di pasaran.
Pengaruh Lada dalam masyarakat multicultural
Aceh dalam konteks perdagangan, pertanian, perkebunan, dan pelayaran. Perkembangan lada yang lebih menguntungkan Aceh baru terjadi pada dasawarsa pertama abad ke-XVI. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 dan juga pasai pada 1522 mengakibatkan banyaknya pedagang-pedagang Islam meninggalkan Malaka dan mencari pangkalan-pangkalan baru di daerah Aceh. Kemudian berdirilah di situ kerajaan di Aceh dengan Sultan Ali Mughayat Syah sebagai rajanya yang pertama. Sultan inilah yang mendirikan Kerajaan Aceh yang merdeka dan berdaulat, serta melepaskan diri dari kekuasaan Pidie (Pedir). Sultan-sultan Aceh berikutnya berusaha untuk menarik perdagangan internasional dan antar-kepulauan Nusantara. Usaha-usaha itu diwujudkan melalui pengusaan daerah-daerah penghasil dan pengekspor lada Sumatra terutama di daera Sumatra Timur dan Sumatra Barat, pengusaan Selat Malaka dan Upaya untuk menentang dan meyingkirkan setiap bangsa yang berhajat untuk menguasai selat Malaka. Setelah berhasil mengusai Pedir, Pasai, Deli dan Aru di pantai timur Sumatra, maka Aceh mencoba mengusai Jambi yang sangat ramai perdagangan ladanya. Di sini ekspansi Aceh harus menghadapi perlawanan dari Johor, Indragiri, Siak, dan Palembang yang pada 1615 bersekutu untuk mengelakkan pengaruh Aceh itu. Jambi merupakan pelabuhan pengekspor lada dari daerah pedalaman seperti minangkabau yang diangkut melalui Sungai Indragiri, Kampar dan Batang Hari.Ekspansi Aceh ke daerah-daerah penghasil lada di pantai barat Sumatra berhasil memgusai Tiku, Pariaman dan Bengkulu.Sedang diSemenanjung Malaka pengaruh Aceh mencakup kerajaan-kerajaan seperti Kedah, Perak, Pahang dan Johor. Kemudian perdagangan lada seluruhnya dipusatkan di Bandar Aceh.Lada yang berasal dari daerah-daerah pengaruh Aceh seperti dari Aru, Kampar, Indragiri, Jambi dan Malaka hanya boleh diekspor melalui Bandar Aceh.Untuk memperluas perdagangan lada itu dibuka 4 bandar, yakni Pantai Cermin, Daya, Pidie dan Pasai.Keempat bandar ini dibuka selebar-lebarnya bagi lalu lintas perdagangan.
Daerah-daerah yang terletak di pantai Barat pulau Sumatra sejak jaman pemerintahan Iskandar Muda merupaka daerah yang pontensial dalam lapangan perdagangan.Hal ini disebabkan mereka merupakan daerah penghasil lada di Kerajaan Aceh, di samping pantai timur.Besarnya jumlah produksi barang-barang setempat seperti lada danjuga minyak nilam dan kapur barus menjadi faktor yang penting yang dapat menarik banyak para pedagang asing berdagang dengan daerah ini. Pedagang-pedagang asing yang hendak membeli lada datang pergi silih berganti.Dengan sendirinya pembongkaran dan pemuatan lada bagi kapal-kapal asing juga hanya boleh berlangsung di bandar-bandarAceh. Semua orang asing yang datang berdagang di bandar-bandar Aceh memperoleh perlakukan yang sama .Kapal-kapal Arab, Parsi, Pegu, Turki, Siam, India dan kemudian Inggris, Prancis dan Belanda antri di bandar-bandar Aceh, menunggu muatan lada.Usaha untuk meningkatkan bandar Aceh sebagai bandar internasional kini menjadi kenyataan.Kapal- kapal asing yang datang di bandar Aceh membawa pula barang-barang dagangan yang berasal dari negerinya. Maka kain pelikat dari Koromandel, porselin dari Jepang dan Cina, sutera dari Siria, Malabar, Siam, Cina dan Jepang, batu permata dari Parsi dan minyak wangi dari Eropa, juga diperjual-belikan di Aceh. Hasil-hasil dari daerah-daerah lainnya di Nusantara mengalir pula ke pelabuhan Aceh. Emas dan perak dari Minangkabau, timah dari Pahang, rempah-rempah dari Maluku, semuanya ramai diperjual-belikan di Bandar Aceh. Barang-barang yang mereka angkut ke luar negeri atau yang oleh para pedagang asing sebenanrnya adalah barang-barang yang dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman yang secara politik tidak tunduk kepada kekuasaan mereka.Penduduk pedalaman yang berbeda etnis dengan mereka iti terpaksa harus mengadakan hubungan perdagangan seperti diatur oleh penguasa muara sungai disebabkan karena terisolir di pedalaman.Satu-satunya jalan yang dapat menghungkan mereka dengan dunia luar adalah melalui sungai dan karena sungai tersebut berada dalam kontrol penguasa muara dalam tangan penguasa muara sungai.
KESIMPULAN
Lada umumnya dibawa dengan menggunakan rakit yang kadang dibuat dari kayu gelondongan, tetapi sering dari bambu besar.Untuk menjaga agar muatan tetap kering, dibuat dudukan khusus dari potongan bambu.Setelah sampai ke tempat tujuan, lada disimpan baik di gudang penyimpanan atau kapal-kapal dari eropa yang telah menunggu.Sekitar sepertiga bagian dari lada hitam dikirim ke Cina. Mengenai aktivitas perdagangan lada antara pedagang-pedagang swasta (terutama Amerika) dengan orang Achin di pelabuhan-pelabuhan utara Nalabu, Susu dan Mukki, saya tidak banyak memiliki informasi akurat dan hanya mengetahui bahwa aktivitas tersebut telah meningkat.Kemajuan perdagangan itu jelasmendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan Aceh.Keuntungan yang diperoleh dari penjualan lada dan bea-cukai ditarik dari kapal-kapal yang hilir-mudik di bandar Aceh, baik kapal-kapal asing maupun kapal-kapal yang datang dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, meningkatkan penghasilan negara.Akibatnya kemampuan Aceh untuk membangun negerinya bertambah besar pula.Aceh mampu membeli kapal-kapal buatan luar negeri untuk memperkuat armadanya. Senjata api dibeli di Turki. Kini Aceh tampil menjadi negara maritime yang kuat. Dengan armadanya yang kuat, Aceh mampu melindungi armada dagangnya dan mampu mengamankan laut-laut wilayah kekuasaan dari perombak-perombak dan penyelundupan yang dapat merugikan negaranya. Sebagai negara maritime yang kuat Aceh mampu mengimbangi Malaka.Aceh merupakan satu-satunya negara Islam di Indonesia sesudah Demaka yang berani menyerang orang-orang portugis di Malak.Sementara itu Aceh pun berusaha memperbesar pengaruh dan kekuasaannya di daerah Semenanjung Malaka.Demikianlah Aceh menjadi saingan utama bagi Malaka-Portugis. Pada puncak kejayaan Aceh dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda hegemoni politik dan ekonominya mencakup daerah-daerah Pedir, Pasai, Deli, Aru, Daya, Lauo, Singkei, Batak, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang. Di Semenanjung Malak negeri- negri yang mengakui kekuasaan Aceh adalah Johor, Kedah, Pahang, dan Perlak.Hegemoni ekonomi dicapai dengan melaksanakan sistem monopoli.Perdagangan dipusatkan di bandar Aceh.Kebun-kebun lada yang berlebihan yang dapat mengancam monopoli lada, seperti di Kedah misalnya, dibinasakan.Untuk mengawasi jalannya pelayaran dan perdagangan si seluruh wilayah perairan Aceh disediakan suatu armada angkatan laut yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Teuku Ibrahim 1999.Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah .Banda Aceh : Pusat informasi dan Dokumentasi Aceh
Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Ombak
Hadi, Amirul. 2010. Aceh: sejarah, budaya dan
tradisi. Jakarta: penerbit yayasan obor
Ismail, Muhammad Gade.1985. Trumon dan Barus : Dua Pusat Perdagangan di Pantai Barat Sumatera Pada awal abad ke-19. Jakarta: Universitas Syiah Kuala
Kartodirdjo, Sartono dan Suryo, Djoko.1991.Sejarah Perkebunan di Indonesia
Kajian sosial ekonomi. Jakarta: Aditya Media
Loep, Edwin M. 2013. Sumatera: sejarah dan masyarakatnya. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Lombard,Denys. 1991. Kerajaan Aceh: Jaman Iskandar Muda (1607-1636). Balai Pustaka
Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatera.
Yogyakarta : Penerbit Ombak
Said, Muhammad 1977.kontrak tempoe doeloe : Dengan Derita dan Kemarahannya Medan : waspada
Pires, Tome. 2014. Suma Oriental. Yogyakarta : Penerbit Ombak 1991.Sejarah Daerah Aceh
Istimewa Aceh. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Ery Soedewo , “Artikel Lada si Emas Panas : Dampaknya Bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 .Medan : Balai Arkeologi Medan Universitas Sumatera Utara
Daniel Perret. 2011“Sumatera Timur Laut dalam Ruang Aceh sehingga Akhir Perang Aceh” Jurnal terjemahan Alam dan Tamadun Melayu 3:1 Desember
Anwar. 2005.Banda Aceh Dari kota tradisional ke Kota Kolonial.Yogyakarta: s Universitas Gajah Mada
Komentar