Mari bersama belajar fiqh tentang Iddah

Mari bersama belajar fiqh tentang Iddah

 

Saudari Saudari pasti sudah pernah mendengar masa iddah. kata iddah secara etimologis berasal dari kata kerja 'adda ya'uddu yang artinya kurang lebih hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.Walid menjelaskan dari sudut Lughat/bahasa, kata iddah biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan(ureung inoeng). Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya haid.

BAB ‘IDDAH

(Fashal) menjelaskan hukum ‘iddah dan macam-macam mu’taddah (wanita yang ‘iddah).

(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْعِدَّةِ وَأَنْوَاعِ الْمُعْتَدَّةِ

‘Iddah secara bahasa adalah kalimat isim dari fi’il madli “i’tadda.”

وَهِيَ لُغَةً الْاِسْمُ مِنْ اعْتَدَّ

Dan secara syara’ adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan.

وَشَرْعًا تَرَبُّصُ الْمَرْأَةِ مُدَّةً يُعْرَفُ فِيْهَا بَرَاءَةُ رَحْمِهَا بِأَقْرَاءٍ أَوْ أَشْهُرٍ أَوْ وَضْعِ حَمْلٍ

Macam-Macam Mu’taddah (Wanita Yang ‘Iddah)

Wanita mu’taddah ada dua macam, yaitu  mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha (yang ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha (yg tidak mati suami).

(وَالْمُعْتَدَّةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ مُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا  (وَغَيْرُ مُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا

Mu’taddah MutawaffaAnha Zaujuha

Untuk mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha, jika berstatus merdeka dan sedang hamil, maka ‘iddahnya sebab wafatnya sang suami adalah dengan melahirkan kandungan secara utuh hingga kandungan yang berupa dua anak kembar dengan syarat dimungkinkan nasab sang anak bersambung pada suami yang meninggal dunia walaupun hanya kemungkinan saja seperti anak yang dinafikan dengan sumpah li’an.

فَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا)إِنْ كَانَتْ) حُرَّةً (حَامِلًا فَعِدَّتُهَا) عَنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا (بِوَضْعِ الْحَمْلِ) كُلِّهِ حَتَّى ثَانِيَ تَوْأَمَيْنِ مَعَ إِمْكَانِ نِسْبَةِ الْحَمْلِ لِلْمَيِّتِ وَلَوْ احْتِمَالًا كَمَنْفِيٍّ بِلِعَانٍ

Sehingga, seandainya ada anak kecil meninggal dunia yang tidak mungkin bisa memiliki keturunan dan meninggalkan istri yang sedang hamil, maka ‘iddahnya sang istri adalah dengan melewati beberapa bulan, tidak dengan melahir kan kandungan.

فَلَوْ مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُوْلَدُ لِمِثْلِهِ عَنْ حَامِلٍ فَعِدَّتُهَا بِالْأَشْهُرِ لَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ

Jika mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sepuluh malam.

(وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَعِدَّتُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ) مِنَ الْأَيَّامِ بِلَيَالِيْهَا

Empat bulan tersebut dihitung sesuai dengan perhitungan tanggalan yang memungkinkan, dan untuk tanggal bulan yang tidak utuh, maka disempurnakan menjadi tiga puluh hari.

وَتُعْتَبَرُ الْأَشْهُرُ بِالْأَهِلَّةِ مَا أَمْكَنَ وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا

Mu’taddah Ghairu Mutawaffa ‘Anha Zaujuha

Untuk mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan yang bisa dihubungkan nasabnya pada suami yang memiliki ‘iddah tersebut.

(وَغَيْرُ الْمُتَوْفَى عَنْهَا) زَوْجُهَا (إِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَعِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ) الْمَنْسُوْبِ لِصَاحِبِ الْعِدَّةِ.

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil dan ia termasuk golongan wanita yang memiliki / memungkinkan haid, maka ‘iddahnya adalah tiga kali aqra’, yaitu tiga kali suci.

(وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا وَهِيَ مِنْ ذَوَاتِ) أَيْ صَوَاحِبِ (الْحَيْضِ فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ قُرُوْءٍ وَهِيَ الْأَطْهَارُ)

Jika ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan arti setelah tertalak masih berada dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haid yang ketiga.

وَإِنْ طُلِقَتْ طَاهِرًا بِأَنْ بَقِيَ مِنْ زَمَنِ طُهْرِهَا بَقِيَّةٌ بَعْدَ طَلَاقِهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالطَّعْنِ فِيْ حَيْضَةٍ ثَالِثَةٍ

Atau tertalak saat dalam keadaan haid atau nifas, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haid yang ke empat.

أَوْ طُلِقَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِطَعْنِهَا فِيْ حَيْضَةٍ رَابِعَةٍ

Sedangkan sisa masa haidnya tidak terhitung masa suci.

وَمَا بَقِيَ مِنْ حَيْضِهَا لَا يُحْسَبُ قُرْأً

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuhatersebut masih kecil atau sudah besar dan sama sekali belum pernah haidl dan belum mencapai usia ya’si (monupause), atau dia adalah wanita yang sedang mengalami mutahayyirah  (bingung akan haid dan sucinya) atau sudah mencapai usia monupause, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai tanggal jika talaknya bertepatan dengan awal bulan.

(وَإِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْمُعْتَدَّةُ (صَغِيْرَةً) أَوْ كَبِيْرَةً لَمْ تَحِضْ أَصْلًا وَلَمْ تَبْلُغْ سِنَّ الْيَأْسِ أَوْ كَانَتْ مُتَحَيِّرَةً (أَوْ آيِسَةً فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ) هِلَالِيَّةٍ إِنِ انْطَبَقَ طَلَاقُهَا عَلَى أَوَّلِ الشَّهْرِ

Sehingga, jika ia tertalak di tengah bulan, maka ‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah bulan yang tidak utuh disempurnakan menjadi tiga puluh hari dari bulan ke empat.

فَإِنْ طُلِقَتْ فِيْ أَثْنَاءِ شَهْرٍ فَبَعْدَهُ هِلَالَانِ وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha -yang telah disebutkan ini- mengalami haid di saat menjalankan ‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi dia melakukan ‘iddah dengan penghitungan masa suci.

فَإِنْ حَاضَتِ الْمُعْتَدَةُ فِيْ الْأَشْهُرِ وَجَبَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِالْأَقْرَاءِ

Atau mengalami haid setelah selesai menjalankan ‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan ‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci.

أَوْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَشْهُرِ لَمْ تَجِبِ الْأَقْرَاءُ.

Wanita yang tertalak sebelum sempat dijima’, maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita tersebut.

(وَالْمُطَلَّقَةُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا)

Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan dengannya selain pada bagian farji ataupun tidak.

سَوَاءٌ بَاشَرَهَا الزَّوْجُ فِيْمَا دُوْنَ الْفَرْجِ أَمْ لاَ

Iddah  Budak Wanita(lamit -أَمَّةِ -Inoeng)

‘Iddahnya budak wanita yang sedang hamil ketika tertalak raj’i atau ba’in adalah dengan melahirkan kandungan dengan syarat anak tersebut bisa dihubungkan nasabnya pada lelaki yang memiliki ‘iddahnya (suami yang mentalak).

(وَعِدَّةُ الْأَمَّةِ) الْحَامِلِ إِذَا طُلِّقَتْ طَلَاقًا رَجْعِيًّا أَوْ بَائِنًا (بِالْحَمْلِ) أَيْ بِوَضْعِهِ بِشَرْطِ نِسْبَتِهِ إِلَى صَاحِبِ الْعِدَّةِ

Ungkapan mushanif “seperti ‘iddahnya wanita merdeka yg sedang hamil” maksudnya di dalam semua hukum yang telah dijelaskan di depan.

وَقَوْلُهُ (كَعِدَّةِ الْحُرَّةِ) الْحَامِلِ أَيْ فِيْ جَمِيْعِ مَا سَبَقَ

Dan jika ‘iddah dengan beberapa masa suci, maka budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan dua kali masa suci.

(وَبِالْأَقْرَاءِ أَنْ تَعْتَدَّ بِقُرْأَيْنِ)

Budak wanita muba’adl, mukatab, dan ummu walad hukumnya seperti budak wanita yang murni.

وَالْمُبَعَّضَةُ وَالْمُكَاتَبَةُ وَأُمُّ الْوَلَدِ كَالْأَمَّةِ.

Jika budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan hitungan bulan sebab mati suami , maka ‘iddahnya dengan dua bulan lima hari.

(وَبِالشُّهُوْرِ عَنِ الْوَفَاةِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرَينِ وَخَمْسِ لَيَالٍ

‘Iddahnya budak wanita sebab talak adalah ‘iddah dengan satu bulan setengah, yaitu separuh dari ‘iddahnya wanita merdeka.

وَ) عِدَّتُهَا (عَنِ الطَّلَاقِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرٍ وَ نِصْفٍ) عَلَى النِّصْفِ

Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah dua bulan, dan ungkapan imam al Ghazali menetapkan keunggulan pendapat ini.

وَفِيْ قَوْلٍ شَهْرَانِ وَكَلَامُ الْغَزَالِيِّ يَقْتَضِيْ تَرْجِيْحَهُ

Sedangkan mushannif hanya menjadikan dua bulan sebagai bentuk yang lebih utama saja, sehingga beliau berkata, “sehingga, jika budak wanita itu melaksanakan ‘iddah dengan dua bulan, maka itu lebih utama.”

وَأَمَّاالْمُصَنِّفُ فَجَعَلَهُ أَوْلَى حَيْثُ قَالَ (فَإِنِ اعْتَدَّتْ بِشَهْرَيْنِ كَانَ أَوْلَى)

Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah tiga bulan, dan ini adalah yang lebih hati-hati sebagaimana yang disampaikan oleh imam asy Syafi’i Ra.

وَفِيْ قَوْلٍ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَهُوَ الْأَحْوَطُ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Dan ini pendapat yang diikuti oleh beberapa golongan al ashhab[[1]

وَعَلَيْهِ جَمْعٌ مِنَ الْأَصْحَابِ.

BAB MACAM-MACAM MU’TADDAH DAN HUKUM-HUKUMNYA

(فَصْلٌ) فِيْ أَنْوَاع ِالْمُعْتَدَّةِ وَأَحْكَامِهَا

(Fasal) menjelaskan mu’taddah (wanita yang menjalankan ‘iddah) dan hukum-hukumnya.

Bagi wanita yang menjalankan ‘’iddah talak raj’i maka wajib menetap di rumah yang menjadi tempat saat ia tertalak jika memang layak baginya

 

(وَيَجِبُ لِلْمُعْتَدَّةِ الرَّجْعِيَّةِ السُّكْنَى) فِيْ مَسْكَنِ فِرَاقِهَا إِنْ لاَقَ بِهَا

Dan wajib diberi nafkah dan pakaian kecuali ia nusuz sebelum tertalak atau di tengah-tengah pelaksaan ‘iddah.

(وَالنَّفَقَةُ) وَالْكِسْوَةُ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ نَاشِزَةً قَبْلَ طَلَاقِهَا أَوْ فِيْ أَثْنَاءِ عِدَّتِهَا

Sebagaimana wajib diberi nafkah, ia juga wajib diberi kebutuhan hidup yang lain kecuali alat membersihkan badan.

وَكَمَا يَجِبُ لَهَا النَّفَقَةُ يَجِبُ لَهَا بَقِيَّةُ الْمُؤَنِ إِلَّا آلَةَ التَّنْظِيْفِ

  Wanita Talak Ba’in

Bagi wanita yang tertalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tidak wajib diberi nafkah kecuali ia dalam keadaan hamil.

(وَ) يَجِبُ (لِلْبَائِنِ السُّكْنَى دُوْنَ النَّفَقَةِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ حَامِلًا)

Maka wajib memberi nafkah padanya sebab kehamilan menurut pendapat ash shahih.

فَتَجِبُ النَّفَقَةُ لَهَا بِسَبَبِ الْحَمْلِ عَلَى الصَّحِيْحِ

Ada yang mengatakan sesungguhnya nafkah itu untuk kandungan.

وَقِيْلَ إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَمْلِ .

Wanita Yang Ditinggal Mati Suami

Wajib bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuhauntuk melakukan ihdad.

(وَ يَجِبُ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا الْإِحْدَادُ

Ihdad secara bahasa diambil dari lafadz “al had”. Al had adalah bermakna mencegah.

وَهُوَ) لُغَةً مَأْخُوْذٌ مِنَ الْحَدِّ وَهُوَ الْمَنْعُ

Ihdad secara syara’ adalah mencegah diri dari berhias dengan tidak memakai pakaian yang berwarna warni yg tujuanya untuk berhias seperti pakaian yang berwarna kuning atau merah.

وَشَرْعًا (الْاِمْتَنَاعُ مِنَ الزِّيْنَةِ) بِتَرْكِ لَبْسِ مَصْبُوْغٍ يُقْصَدُ بِهِ زِيْنَةٌ كَثَوْبٍ أَصْفَرَ أَوْ أَحْمَرَ

Hukumnya mubah memakai pakaian yang tidak berwarna dari bahan kapas, bulu, katun, sutra ulat, dan pakaian berwarna yang tidak ditujukan untuk berhias.

وَيُبَاحُ غَيْرُ الْمَصْبُوْغِ مِنْ قُطْنٍ وَصُوْفٍ وَكَتَّانٍ وَإِبْرَيْسِمٍ وَمَصْبُوْغٍ لَا يُقصَدُ لِزِيْنَةٍ

Dan mencegah diri dari wewangian, maksudnya menggunakan wewangian di badan, pakaian, makanan, atau celak yang tidak diharamkan.

(وَ) الْاِمْتِنَاعُ مِنَ (الطِّيْبِ) أَيْ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ فِيْ بَدَنٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ كُحْلٍ غَيْرِ مُحَرَّمٍ

Adapun celak yang diharamkan seperti bercelak dengan itsmid yang tidak berbau wangi, maka hukumnya haram -ditinjau dari barangnya-.

أَمَّا الْمُحَرَّمُ كَالْاِكْتِحَالِ بِالإِثْمِدِ الَّذِيْ لَا طِيْبَ فِيْهِ فَحَرَامٌ

Kecuali karena ada hajat seperti sakit mata, maka diperkenankan menggunakannya bagi wanita yang sedang ‘iddah.

إِلاَّ لِحَاجَةٍ كَرَمَدٍ فَيُرْخَصُ فِيْهِ لِلْمُحِدَّةِ

Walaupun demikian, boleh menggunakannya di malam hari dan membersihkannya di siang hari kecuali ada keadaan darurat yang menuntut untuk memakainya di siang hari.

وَمَعَ.ذَلِكَ.فَتَسْتَعْمِلُهُ.لَيْلًا وَتَمْسَحُهُ نَهَارًا إِلاَّ إِنْ دَعَتْ ضَرُوْرَةٌ لِاسْتِعْمَالِهِ نَهَارًا

Bagi seorang wanita -selain istri yang ditinggal- diperkenankan melakukan ihdad atas kematian selain suaminya, baik kerabat atau lelaki lain selama tiga hari atau kurang.

وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى غَيْرِ زَوْجِهَا مِنْ قَرِيْبٍ لَهَا أَوْ أَجْنَبِيٍّ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَأَقَلَّ

Maka bagi dia haram melakukan ihdad lebih dari tiga hari jika memang sengaja untuk ihdad.

فَتَحْرُمُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا إِنْ قَصَدَتْ ذَلِكَ

Sehingga, jika ia melakukannya lebih dari tiga hari tanpa ada tujuan untuk melakukan ihdad, maka hal itu tidaklah haram.

فَإِنْ زَادَتْ عَلَيْهَا بِلَا قَصْدٍ لَا يَحْرُمُ .

Bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha dan wanita yang tertalak ba’in wajib menetap di dalam rumah.

(وَ) يَجِبُ (عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَالْمَبْتُوْتَةِ مُلَازَمَةُ الْبَيْتِ)

Maksudnya rumah yang menjadi tempat terjadinya perpisahan antara dia dengan suaminya, jika rumah itu layak baginya.

أَيْ وَهُوَ الْمَسْكَنُ الَّذِيْ كَانَتْ فِيْهِ عِنْدَ الْفُرْقَةِ إِنْ لَاقَ بِهَا

Bagi suami dan yang lain tidak diperkenankan mengeluarkan wanita tersebut dari rumah tempat terjadinya perpisahan.

وَلَيْسَ لِزَوْجٍ وَلَا غَيْرِهِ إِخْرَاجُهَا مِنْ مَسْكَنِ فِرَاقِهَا

Begitu juga bagi wanita tersebut tidak diperkenankan keluar dari sana walaupun sang suami rela.

وَلاَ لَهَا خُرُوْجٌ مِنْهُ وَإِنْ رَضِيَ زَوْجُهَا

Kecuali karena ada hajat, maka bagi dia diperkenankan keluar rumah.

(إِلَّا لِحَاجَةٍ) فَيَجُوْزُ لَهَا الْخُرُوْجُ

Seperti ia keluar di siang hari karena untuk membeli makanan, kain katun, menjual tenunan atau kapas dan sesamanya.

كَأَنْ تَخْرُجَ فِيْ النَّهَارِ لِشِرَاءِ طَعَامٍ وَكَتَّانٍ وَبَيْعِ غَزْلٍ أَوْ قُطْنٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ

Bagi wanita tersebut diperkenankan keluar malam ke rumah tetangga perempuannya karena untuk menenun, ngobrol dan sesamanya dengan syarat pulang dan bermalam di rumahnya sendiri.

وَيَجُوْزُ لَهَا الْخُرُوْجُ لَيْلًا إِلَى دَارِ جَارَتِهَا لِغَزْلٍ وَحَدِيْثٍ وَنَحْوِهِمَا بِشَرْطِ أَنْ تَرْجِعَ وَتَبِيْتَ فِيْ بَيْتِهَا

Bagi dia juga diperkenankan keluar ketika khawatir pada dirinya, anaknya  dan sesamanya, yaitu permasalahan ini  yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya.

وَيَجُوْزُ لَهَا الْخُرُوْجُ أَيْضًا إِذَا خَافَتْ عَلَى نَفْسِهَا أَوْ وَلَدِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مَذْكُوْرٌ فِيْ الْمُطَوَّلَاتِ .



[[1] ]Al ashhab adalah ulama’-ulama’ yang mengikuti madzhab imam asy syafi’i.

Walla hu aklam bissaswab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah