ASAL USUL JALUR KEILMUAN MADZHAB ASY-SYAFI’I

 Asal usul Jalur Keilmuan Madzhab asy-Syafi’i

Di tulis 0leh 

Walid Blang Jruen

Mahasiswa Pasca Lhokeumawe 

Universitas Islam Dunia 30 sep 2020

A).Asal usul Jalur Keilmuan Madzhab asy-Syafi’

Allah SWT mengutus Rasulullah SAW ke dunia ini dengan membawa agama, supaya hidup manusia lebih sempurna dan terarah. Para sahabat belajar agama langsung kepada Rasulullah SAW. 

Setiap ada permasalahan di dalam agama, para sahabat bisa bertanya lansung kepada Nabi SAW. Sehingga ada di antara para sahabat yang menjadi rujukan bagi sahabat yang lain, seperti Abu Bakar AsSiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Ibnu Mas’ud, Muaz bin Jabal, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan lain-lain.

Setelah Rasulullah SAW wafat, banyak para sahabat yang hijrah ke pelosok negeri untuk mendakwahkan agama Allah, seperti Ibnu Abbas di Mekah, Ibnu Umar di Madinah, Ibnu Mas’ud di Kufah, Muaz bin Jabal di Yaman.

Ketika di hadapkan dengan suatu kasus yang tidak terdapat di dalam Alquran dan Sunnah, maka mereka berijtihad, dan ijtihad mereka itu di jadikan rujukan oleh murib-muribnya.

Ijtihad mereka itulah yang di namakan Mazhab, sehingga kita mendengar ada istilah mazhab Ibnu Umar di Madinah, Mazhab Ibnu Abbas di Makkah dan Mazhab Ibnu Mas’ud di Kufah.

Dalam periwayatan madzhab Syafi’i, yaitu mata rantai penyampaian ajaran Syafi’i hingga sampai ke tangan kaum muslimin sekarang ini, kita mengenal adanya dua corak/jalur periwayatan; jalur Khurasan dan jalur Irak. Hal ini berkaitan dengan perjalanan beliau dalam memperkenalkan pemikiran-pemikirannya dalam rentang waktu antara tahun 179- 204 H. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat peta pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’i berikut ini:

Fase Madzhab Qadim. Fase ini dimulai sejak kedatangan beliau ke Baghdad yang kedua (195 H) sampai beliau pindah ke Mesir pada tahun 199 H.

Fase penyempurnaan dan pemantapan madzhab Jadid. Dimulai sejak beliau tinggal di Mesir sampai wafat pada tahun 204 H.

Fase penyeleksian pendapat dan buah pemikiran imam Syafi’i. Hal ini dimulai semenjak Imam Syafi’i wafat sampai pada pertengahan abad ke 5 hijriyah.

Fase Stabil. Fase ini dimulai setelah fase sebelumnya selesai sampai sekarang. fase ini ditandai dengan bermunculannya kitab-kitab mukhtasar yang berisikan pendapat-pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’i berikut penjelasannya dengan metode sistematik.

Dari beberapa fase tadi, ada dua fase yang menjadikan pembagian jalur periwayatan madzhab Syafi’i menjadi dua, yaitu fase kedua dan ketiga. Hal ini terjadi karena peta penyebaran madzhab yang dilakukan oleh para murid beliau.  Kawasan yang paling menonjol dalam hal pencetakan kader-kader penerus madzhab Syafi’i adalah di Khurasan dan di Irak.

Sebenarnya, kedua jalur periwayatan tadi sama-sama mengikuti dasar-dasar alur pemikiran Syafi’i, hanya saja dalam beberapa hal, misalnya dalam beristinbat, metode pengambilan pendapat dan lainnya mempunyai sedikit perbedaan. Dan inilah yang menjadikan jalur periwayatan madzhab Syafi’i menjadi ada dua corak; corak Khurasan dan corak Irak.

Untuk mengenal siapa-siapa yang menjadi penopang kedua aliran dalam madzhab Syafi’i, kita akan mengutip perkataan imam Nawawi dalam Mukadimah Kitab Majmuk. Beliau berkata: “Saya mempelajari Fiqh madzhab Syafi’i dari beberapa ulama kenamaan:

(1) Imam Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al Maghribi, 

(2) Syaikh Abu Abdirrahman bin Nuh bin Muhamad bin Ibrahim Al Maqdisy,

(3) Abu Hafish Umar bin As’ad bin Abu Thalib Ar RubaiI. Ketiganya belajar kepada Imam Abu Amr Ibnu Shalah . Ibnu Shilah berguru kepada ayahandanya. Dari ayahnya itulah dua corak madzhab Syafi’i bertemu dan secara detail dipelajari olehnya.

Adapun untuk jalur periwayatan ulama-ulama Irak, beliau (bapak Ibnu Shalah) mempelajarinya dari Ibnu Sa’id Abdullah bin Muhammad bin Hibbatullah bin Ali bin Abu ‘Asrun Al Musawy, beliau belajar kepada Abu Ali Al-Fariqy, Abu Ali belajar kepada Abu Ishaq as-Syaerazi, Abu Ishaq belajar kepada Qadhi Abu Thayyib at-Thabari (Thahir bin Abdullah), at-Thabari belajar kepada Abu Hasan Al Masarjisi (Muhammad bin Ali bin Sahal bin Muslih), Abu Hasan belajar kepada Abu Ishaq al-Marwazi (Ibrahim bin Ahmad), al-Marwazi belajar kepada Ibnu Suraij (Abu Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij), beliau belajar kepada Abu Qasim Utsman bin Basyir al-Anmathy, Abu Qasim belajar kepada Imam Muzani (Abu Ibrahim Ismail bin Yahya) dan imam Muzani belajar langsung kepada Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i belajar ilmu Fikih kepada (1).Imam Malik bin Anas, 

(2).Imam Sufyan bin Uyainah dan 

(3).Imam Khalid Muslim az-Zanjy. Dari ketiga ulama besar inilah mata rantai keilmuan ImamSyafi’i bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.

- Lebih jelasnya, Imam Malik berguru kepada Imam Rabi’ah yang belajar kepada sahabat Anas bin Malik dan Imam Nafi’ (murid Ibnu Umar).

- Imam Sufyan bin Uyainah belajar kepada Amr bin Dinar yang merupakan murid dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. 

- Sedangkan imam Abu Khalid az-Zanji belajar kepada Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, beliau belajar kepada ‘Atha bin Abi Rabah (murid Ibnu Abbas). Ibnu Abbas belajar kepada para sahabat-sahabat besar seperti Umar bin Khathab, Ali bin Abu Thalib dan Zaid bin Tsabit.

Untuk jalur Khurasan, Imam Nawawi mendapatkan sanad keilmuan dari ulama-ulama yang telah disebutkan di atas, dari mereka bersambung kepada imam Ibnu Shalah, dari bapaknya, dari Abu Qasim bin Bazary al-Jazary, dari Elkaya Al Harasi (Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ali), dari Imam Haramain (Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al-Juwaini), dari bapaknya(Abu Muhammad al-Juwai ni), dari imam Qaffal (al-Marwazi as-Shag hir), dari Abu Zaid al-Marwazy (Muhamm ad bin Ahmad bin Abdullah), dari Abu Ish aq al-Marwazy, dari Ibnu Suraij dan seterus nya sampai kepada Rasulullah Saw.

Dari jalur periwayatan tadi, kita temukan dua ulama yang yang mempertemu kan kedua arus periwayatan madzhab imam Syafi’I yaitu imam Abu Ishaq al-Marwazy dan Imam Ibnu Shalah. Perbedaannya, Imam Marwazi menghasilkan generasi yang meneruskan kedua aliran tadi sedangkan Imam Ibnu Shalah menggabungkan keduanya hingga tidak ada lagi corak Khurasan dan corak Irak. Yang ada hanya madzhab Syafi’i tanpa embel-embel Khurasan atau Irak.

B).Perkembangan Mazhab Syafi’i

Kemudian murid para sahabat atau di namakan Tabi’in, mereka mengajarkan Mazhab gurunya kepada muribnya lagi yang dinamakan tabi’ut dan Tabi’in, terus seperti itu, sehingga Mazhab mereka sampai kepada kita.

1.Berikut penjelasan perkembangan dakwah Mazhab Syafi’i:

Perkembangan Mazhab Syafi’i di Baghdad, Iraq (Munculnya Qaul Qadim). Pada tahun 189 H, Imam Syafi’i kembali ke Makkah setelah berguru kepada salah satu murid terbaik Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ( 189 H) tentang Fikih dan Ushul Fiqh Imam Abu Hanifah (Mazhab Ahlu Ra’i) selama 5 tahun, mulai dari tahun 184 H sampai tahun 189 H.Perkembangan Mazhab Syafi’i dari Tahun 195H Sampai 270 H. Beliau meninggalkan kota Baghdad dan kembali ke Makkah setelah wafat gurunya pada tahun 189 H. Ketika berada di Makkah, Imam Syafi’i berperan aktif di bidang pendidikan dan fatwa. Beliau membuka pengajian rutin di salah satu sudut Masjidil Haram. Banyak orang dari penjuru dunia datang untuk mengambil ilmu dari beliau. Hal inilah yang menyebabkan nama beliau begitu terkenal di berbagai penjuru negeri.. Pada tahun 195 H, Imam Syafi’i berangkat ke Baghdad untuk yang kedua kalinya, namun kali ini beliau bukan dalam rangka belajar akan tetapi mengajarkan Mazhabnya yang telah beliau bentuk selama berada di Makkah.

Salah satu penyebab beliau sangat digemari oleh orang-orang baghdad karna beliau menguasai 2 metode dalam menyimpulkan hukum:

Metode Ahli Hadist yang beliau pelajari dari Imam Malik (179 H) ketika beliau berada di Madinah

Metode Ahli Ra’i yang beliau pelajari dari Muhammad bin Hasan Asy-Syabani (189 H) murid Abu Hanifah ketika beliau berada di Baghdad.

Di samping aktif menulis, imam syafi’i juga berperan aktif dalam membantah syubhat-syubhat yang tersebar luas dikalangan masyarakan dan kalangan ulama-ulama Baghdad. Diantara syubhat tersebut adalah mereka lebih memilih berhujjah dengan Qiyas, Istihsan, istishlah, dan lain-lain di banding berhujjah dengan hadits Nabi SAW, sehingga beliau di beri gelar Nashirussunnah (penolong Sunnah).

2.Perkembangan Mazhab Syafi’i

Pada akhir tahun 199 H, Imam Syafi’i berangkat ke Mesir untuk menyebarkan Mazhabnya. Selama berada di Mesir, beliau banyak merevisi fatwa-fatwanya yang sudah beliau rumuskan ketika berada di Baghdad dan memperluas tulisannya menjadi sebuah kitab yang berjudul Al Uum.

Selain merevisi kitab fikih, beliau juga merevisi kitab Ushul Fiqh yang di sebut dengan Ar- Risalah Al Jadidah, sehingga kitab yang Mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i adalah kitab yang beliau tulis di Mesir.

Muhammad bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Ahmad: bagaimana pendapat mengenai kitab Imam Syafi’i yang beliau tulis di Iraq dan yang di Mesir.? Imam Ahmad Berkata: hendaklah kalian berpegang dengan kitab yang beliau tulis di Mesir.

Salah satu penyebab utama Imam Syafi’i banyak merevisi fatwa-fatwanya ketika berada di Mesir adalah karna beliau banyak bertemu dengan ulama-ulama besar seperti Amr bin Abi Salamah Ad-Dimasyqi (214 H) murid Imam Al-Auzai’ (158 H), Yahya bin Hasan (208 H) murid Imam Al-Laits bin Sa’ad (175), Abdullah bin Abdul Hakam (210 H) murid Imam Malik bin Anas (179 H).

Banyak sekali orang yang menimba ilmu dari Imam Syafi’i, dari sekian banyak murid beliau hanya 3 orang yang paling terkenal antusias dalam mendakwah kan pemahaman gurunya.

3.Faktor yang positif Mempengaruhi Perkembangan Mazhab Syafi’i

Mulai tahun 195 H sampai tahun 270 H, tidak ada satupun Qadhi atau Hakim dari kalangan Mazhab Syafi’i, rata-rata yang memiliki kedudukan di pemerintahan adalah ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, bahkan yang menjadi Qadhi atau Hakim di Mesir yang dalam tanda kutib merupakan basis penyebaran Mazhab Syafi’i, juga ulama dari kalangan Mazhab Hanafi.

Pada fase ini pula murid Imam Syafi’i yang menulis kitab tentang Ushul Fiqh oleh Husain bin Ali Al Karabisi yang banyak menulis kitab tentang Ushul Fiqh sebagaimana disebutkan oleh Abu Ishaq AsySyairazi (476 H).

Sedangkan yang lain berpegang dengan kitab Ar-Risalah yang di tulis oleh Imam Syafi’i dan mengajarkan kepada murid-murid mereka melalui jalur periwayatan.

Imam al Muzani mengatakan: saya telah mengkaji kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i selama 50 tahun, setiap kali saya mengkaji kitab tersebut, selalu mendapatkan faedah baru yang belum saya ketahui sebelumnya.

Orang-orang yang belajar Mazhab Syafi’i kemudian mengkaji kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam Mazhab Syafi’i, bukan berarti mereka ta’asub kepada Imam Syafi’i dan tidak menerima masukan Mazhab lain. Buktinya banyak para ulama yang sebelumnya bermazhab Syafi’i, setelah keilmuannya mencapai derajat Mujtahid Mutlaq, mereka buat Mazhab sendiri. Berikut beberapa ulama yang menjadi Mujtahid Mutlaq setelah mendapat didikan dari Mazhab Syafi’i. 

Wallahua'lam Bisshawab. 

NB

saran dan kritikatan sangat perlu demi memperlancar syiar al Haq yang benar ,kita ummat Islam Bagaikan tubuh yang satu HADIST  NABI SAW "al islamu kal jasadul wahid"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah