Ta'liq Talaq
TA’LIQ
TALAQ DI INDONESIA, BAIK SEBELUM
KEMERDEKAAN (1940) MAUPUN PASCA KEMERDEKAAN
(1947, 1950, 1956 DAN 1975 SAMPAI SEKARANG INI)
YANG DITENTUKAN
Pertanyaan;
Apabila
kita melafazkan kata kata taqlik talaq kepada perempuang yang telah kita nikahi
seperti suami mangatakan kepada istri ; Bila engkau pergi dengan si pulan maka
jatuh talakku kepadamu dll yang serupa perkataan itu, dan bila aku memukulmu
maka jatuh talakku padamu ,atau semacam bila aku sudah tiga bulan lebih tidak
pulang sama kamu maka jatuhlah talakku padamu
Jawaban Soal
Pertama
Taklik
talak (talak muallaq) hukumnya terjadi dan sah talaknya apabila syarat atau
kondisi terpenuhi. Keabsahan takliq talaq merupakan ijmak (kesepakatan) ulama
dari keempat madzhab yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. As-Syairazi,
dari ulama madzhab Syafi'i, dalam kitab Al-Muhadzab (teksnya terdapat pada
Al-Majmuk hlm. 17/152) menyatakan
إذا عُلِّق الطلاقُ بشرط لا
يستحيل؛ كدخول الدار، ومجيء الشهر، تعلّق به ، فإذا وجد الشرط وقع، وإذا لم يوجد
لم يقع
Artinya:
Apabila talak digantungkan dengan syarat yang tidak mustahil; seperti masuk
rumah atau tibanya bulan, ... maka apbila syarat itu ada maka terjadilah talak.
Apabila syarat tidak ada, maka talak tidak terjadi.
Pendapat
ini terdapat juga pada kitab-kitab ulama Madzhab Syafi'i yang lain. Lihat
misalnya Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj hlm. 3/313.
Adapun
jumlah talak yang terjadi adalah talak 1 (satu) karena dalam taklik talak,
perceraian baru terjadi saat syarat terpenuhi sedangkan syarat atau kondisi
yang terjadi hanya satu kali. Ini berbeda dengan talak biasa yang mana talak
langsung jatuh saat mengucapkan kata talak sehingga ketika ucapan talak yang
kedua diucapkan, maka terjadi talak dua.
Jawaban Kedua
a.Tawaran
cerai dari suami pada istri tidak terjadi. Karena cerai yang terjadi harus
berupa kalimat berita yang aktif seprti ucapan suami: "Kamu saya
cerai."
b.Rujuk
tanggal 21 Januari 2014 sudah sah untuk menjadi akad rujuk bagi taklik talak
anda walaupun dalam pikiran anda bukan untuk itu. Faktanya adalah istri
tertalak karena talak mu'allaq, maka untuk kembali harus mengucapkan kata
rujuk.
c.
Rujuk sah tanpa saksi. Adanya saksi tidak wajib tapi hanya sunnah menurut
madzhab Syafi'i dengan mendasarkan argumen pada Quran Surah At-Talaq ayat 2.
Pendapat yang mewajibkan saksi ada di kalangan madzhab Maliki dan sebagian
madzhab Hanbali (Keterangan lihat kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah hlm. 22/113 dan
114)
Tentang Ta’liq Talaq
Sebagaimana
telah disinggung terdahulu, bahwa para ahli hukum berbeda dalam membahas
mengenai Ta’lik Talak. Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di
antara merekapun muncul, yang pada dasarnya terletak pada
rumusan shigat Ta’lik Talak yang bersangkutan yang sampai sekarang
masih mewarnai perkembangan hukum Islam.
Sementara
itu, jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah
menta’likkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi
syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka Ta’lik itu dianggap
sah untuk semua bentuk Ta’lik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun
mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan Talak itu tidak menjatuhkan
Talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi Talak itu tergantung
pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan Ta’lik itu.
Pendapat jumhur inilah
nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada
masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud
agar bentuk sighat Ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh
suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak Talak yang diberikan
secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan
kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan Ta’lik Talak, nampaknya telah
mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada
unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat Ta’lik
yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan
mengenai kualitas syarat Ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940)
maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen
Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan
asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus
melindungi isteri dari kesewenangan suami. Perubahan rumusan tersebut dapat
dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat Ta’lik, pada
rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua
pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun
1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan
menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan
sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat Ta’lik
dari segi perlindungan pada isteri.
Demikian
halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya
perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat Ta’lik tentang
membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang
rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi
meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat Ta’lik, dalam rumusan tahun
1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut. Oleh
karena itu sighat Ta’lik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990
junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah
memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk
Ta’lik Talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap
tidak pernah terjadi.
Menjatuhkan talak
dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain disebut para Fuqaha’ dengan
istilah الطَّلاَقُ
الْمُعَلَّقُ (Suspended Divorce/ Talak Tergantung).
Kasus talak yang ditanyakan penanya termasuk jenis ini, karena mengancam
jatuhnya talak kepada istri, jika istri tidak melakukan perbuatan yang
diperintahkan suami. Ketentuan Fikih dalam hal ini, talak dihukumi jatuh jika
syarat yang disebutkan pada ancaman talak tersebut terealisasi. Maka, seandainya seorang suami berkata kepada
istrinya; “Jika matahari telah tenggelam hari ini, maka jatuhlah talakku
kepadamu” atau “jika engkau menerima tamu tanpa seizinku, maka jatuhlah talakku
kepadamu”, atau “jika engkau berhutang lagi tanpa sepengetahuanku, maka
jatuhlah talakku kepadamu”, kemudian tiba waktu tenggelamnya matahari, atau
istri menerima tamu tanpa seizin suami, atau istri berhutang tanpa
sepengetahuan suami, dalam kondisi ini semuanya dihukumi jatuh talak tanpa bisa
diralat lagi. Pada kasus yang ditanyakan penanya, suami mengancam istri jika
tidak ikut hadir pada acara di ibu kandung maka jatuh talak. Ternyata istri
tidak ikut hadir bersama suami. Dengan demikian syarat jatuhnya Thalaq Mu’allaq
telah terealisasi sehingga hukum talak tiga telah jatuh dan berlaku
konsekuensi-konsekuensi talak tiga dalam Syariat. Hukum jatuhnya talak ini tidak membedakan
apakah ancaman talak bersyarat itu benar-benar dimaksudkan mentalak atau
sekedar “mengancam/menakut-nakuti/mendorong melakukan suatu perbuatan” dan
semisalnya. Niat apapun dari suami yang mengucapkan ancaman talak tidak
diperhatikan, dan ketentuan jatuhnya talak tetap berlaku.
Dalil yang menunjukkan Thalaq Mu’allaq dihukumi
jatuh talak jika syarat yang telah terealisasi adalah sejumlah nash berikut;
Pertama;
membuat syarat yang tidak bertentangan dengan hukum Syara’ hukumnya Mubah, dan
kaum Muslimin terikat oleh syarat yang dibuatnya. Sunan Daruquthni
meriwayatkan;
سنن
الدارقطنى – مكنز 7/ 194،
بترقيم الشاملة آليا
عَنْ
كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ
شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا ».
“Dari Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf
Al-Muzany dari ayahnya dari kakeknya dai Nabi SAW, beliau bersabda ” Kaum
Muslimin terikat syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram” (H.R.Ad-Daruquthni)
Membuat syarat jatuhnya talak termasuk keumuman
bolehnya membuat syarat dalam Hadis ini. Oleh karena itu, hukum jatuhnya talak
berlaku ketika syarat tersebut terealisasi sebagaimana talak dijatuhkan tanpa
ada syarat.
Kedua; Talak dihukumi
tetap jatuh baik diucapkan dengan serius maupun bercanda. Abu dawud meriwayatkan;
سنن
أبى داود – م 2/ 225
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ ».
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnya dihukumi serius dan candanya
(tetap) dihukumi serius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk (H.R.Abu Dawud).”
Thalaq Mu’allaq jelas menyebut lafadz talak sebagai
ancaman, karena itu apapun motivasi mengucapkan ancaman tersebut, entah serius,
main-main, atau sekedar menakut-nakuti termasuk cakupan makna Hadis ini. Karena
itu, talak dihukumi jatuh ketika syarat ancaman talak tersebut telah
terealisasi.
Ketiga; Ibnu Umar
berfatwa jatuhnya talak pada kasus Thalaq Mu’allaq. Bukhari meriwayatkan;
صحيح
البخاري (16/ 315)
قَالَ
نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَالَ ابْنُ
عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَخْرُجْ فَلَيْسَ
بِشَيْءٍ
“Nafi’ berkata: Seorang lelaki mentalak istrinya
dengan talak Battah (talak tiga/Bainunah Kubra) jika sang istri keluar (dari
rumah suaminya). Maka Ibnu Umar berkomentar; Jika wanita itu keluar, maka dia
tertalak oleh lelaki itu. Jika dia tidak keluar maka tidak ada konsekuensi
apapun” (H.R.Bukhari)
Adanya fatwa dari Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa
ketentuan jatuhnya talak pada kasus Thalaq Mu’allaq sudah diketahui semenjak
zaman Shahabat. Fatwa Ibnu Umar ini dikuatkan oleh riwayat fatwa senada dari
Ibnu Mas’ud. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن
الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي
(7/ 356
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ
رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ فَعَلَتْ كَذَا
وَكَذَا فَهِىَ طَالِقٌ فَتَفْعَلُهُ قَالَ : هِىَ وَاحِدَةٌ وَهُوَ أَحَقُّ بِهَا.
“Dari Abdullah bin Mas’ud, tentang seorang lelaki
yang berkata kepada istrinya; Jika dia (sang istri) melakukan ini dan itu maka dia tertalak. (ternyata) wanita
itu melakukannya. Maka Ibnu Mas’ud berkomentar; itu (sudah jatuh talak) satu,
dan dia (lelaki itu) lebih berhak kepadanya -untuk Rujuk kembali-
(H.R.Al-Baihaqi)
Adapula riwayat yang menunjukkan bahwa para Fuqaha’
Madinah berfatwa dengan fatwa ini. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن
الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي7/
356
عن
ابْنِ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ
كَانُوا يَقُولُونَ : أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ
خَرَجْتِ حَتَّى اللَّيْلِ فَخَرَجَتِ امْرَأَتُهُ أَوْ قَالَ ذَلِكَ فِى
غُلاَمِهِ فَخَرَجَ غُلاَمُهُ قَبْلَ اللَّيْلِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ طَلَقَتِ
امْرَأَتُهُ وَعَتَقَ غُلاَمُهُ لأَنَّهُ تَرَكَ أَنْ يَسْتَثْنِىَ لَوْ شَاءَ
قَالَ بِإِذْنِى وَلَكِنَّهُ فَرَّطَ فِى الاِسْتِثْنَاءِ فَإِنَّمَا يُجْعَلُ
تَفْرِيطُهُ عَلَيْهِ
“Dari Ibnu Abi Az-Zinad dari ayahnya dari para
Fuqaha’ penduduk Madinah, mereka memfatwakan; lelaki manapun yang berkata
kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau keluar hingga malam hari,
kemudian ternyata istrinya keluar, atau dia mengatakan ucapan itu kepada
budaknya, lalu budaknya keluar sebelum malam tiba tanpa sepengetahuannya, maka
istrinya tertalak dan budaknya menjadi bebas. Hal itu dikarenakan dia tidak
melakukan Istitsna’ (pengecualian). Kalau dia mau, dia bisa mengatakan “dengan
izinku”, tetapi dia melalaikan Istitsna’, sehingga beban kealaian itu
ditimpakan kepadanya (H.R.Al-Baihaqi)
Tidak bisa mengatakan bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar
adalah riwayat yang lemah. Klaim ini tertolak karena Hadis tersebut
diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya. Meskipun Bukhari meriwayatkannya secara
Mu’allaq, namun beliau menyebutkannya dengan Sighat Jazm (tegas) sehingga
riwayatnya terhitung Shahih. Lagipula Ibnu hajar telah menyebutkan sanad
lengkapnya dalam kitab Taghliqu At-Ta’liq. Justru riwayat fatwa shahabat yang
bertentangan dengan riwayat fatwa Ibnu Umarlah yang lebih layak dipertanyakan
keshahihannya, sekaligus diperiksa ulang redaksinya karena riwayat-riwayat yang
ada seringkali difahami tidak tepat sebagai Tholaq Mu’allaq padahal sebenarnya adalah terkait sumpah.
Tidak bisa pula memahami bahwa riwayat fatwa Ibnu
Umar itu adalah dalam kondisi suami memang berniat talak sehingga dihukumi
talak. Tidak bisa diklaim demikian, karena tidak ada perincian apapun dalam
lafadz riwayat yang memberi isyarat niat suami. Karena itu, lafadz riwayat
tersebut harus difahami umum dan mutlak yang mencakup niat talak maupun hanya
niat menakut-nakuti. Lagipula Ibnu Umar dalam berfatwa sama sekali tidak
menyinggung niat suami dalam membangun fatwa.
Keempat;
Suami dalam kondisi memegang hak talak dan mentalak berdasarkan pilihannya
tanpa dipaksa. Hadist At-Tirmidzi meriwayatkan; 421/4
عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ
فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ
فِيمَا لَا يَمْلِكُ
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada nadzar
bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak)
memerdekakan pada sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada (hak) talaq pada
sesuatu yang tidak dimilikinya (H.R.At-Tirmidzi).”
Hadis diatas menerangkan bahwa tidak ada talak bagi orang yang tidak memiliki hak
talak. Artinya, orang yang tidak memiliki hak talak jika menjatuhkan talak maka
talaknya tidak jatuh. Mafhumnya; orang yang memiliki hak talak, dan mentalak
berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa berarti talaknya jatuh. Suami yang
mentalak dengan cara Tholaq Mu’allaq termasuk keumuman Mafhum Hadis ini, oleh
karena itu Thalaq Mu’allaq juga jatuh berdasarkan Hadis ini. Itulah dalil-dalil utama yang menunjukkan jatuhnya
Thalaq Mu’allaq.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Thalaq
Mu’allaq dihukumi berdasarkan niatnya; jika berniat talak maka jatuh talak,
jika berniat hanya menakut-nakuti maka tidak dianggap talak tetapi hanya
dianggap sumpah yang cukup ditebus dengan Kaffaroh dalam kondisi terealisasi
syarat, yang mana pendapat ini mendasarkan hujjahnya pada Hadis Nabi yang
berbunyi; (H.R.Bukhari):3/1
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang
mendapatkan apa yang diniatkannya''
Maka argumen ini tidak bisa diterima. Alasannya;
Perlakuan dan konsekuensi hukum Syara’ memperhatikan yang Dhohir bukan niat
pelaku. Niat pelaku adalah urusan hamba dengan Allah, bukan hamba dengan sesama
hamba. Seorang munafik yang bersyahadat, meskipun tidak ada niat masuk Islam
sama sekali, tetapi karena Dhohirnya dia telah bersyahadat maka diterapkan
hukum-hukum sebagai seorang Muslim. Urusan batin dan niat dia bukan wilayah
tanggungjawab manusia. Allahlah yang akan menghisab dia pada hari pembalasan
terkait niat jahatnya. Umar pernah berpidato menegaskan kaidah ini. Bukhari
meriwayatkan:sahih bukhari;118/9
عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
إِنَّ
أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدْ انْقَطَعَ وَإِنَّمَا
نَأْخُذُكُمْ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا
خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ
اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ
نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ
“Dari Az
Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf
bahwa ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, aku mendengar ‘Umar bin Al Khaththab
radliallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sejumlah orang dihukum berdasarakan
(pemberitahuan) wahyu pada masa hidup
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari ini wahyu sudah terputus. Dan
hari ini kita menilai kalian berdasarkan amal amal yang nampak (zhahir). Maka
siapa yang secara zhahir menampakkan perbuatan baik kepada kita, kita percaya kepadanya
dan kita dekat dengannya dan bukan urusan kita apa yang tersembunyi darinya
karena hal itu sesuatu yang menjadi urusan Allah dan Dia yang akan
menghitungnya. Dan siapa yang menampakkan perbuatan yang jelek kepada kita,
maka kita tidak percaya kepadanya dan tidak membenarkannya sekalipun batinnya
baik (H.R.Bukhari)” .
5.Syariat Li’an juga menunjukkan bahwa
konsekuensi hukum itu hanya melihat Dhahirnya, bukan maksud dan niat pelaku
Li’an. Allah berfirman;
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ
بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ
أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7)
وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ
تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8)
وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ
عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ النور:)9
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah)
yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang
berdusta.
8. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya
suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah)
yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang
yang benar. (An-Nur; 6-9)
Dalam kasus
Li’an, pasti ada salah satu yang berdusta. Namun jika dua pihak yang
berli’an semuanya berani bersumpah sebanyak lima kali untuk mendustakan
lawannya, maka kedua-duanya selamat dari konsekuensi hukum (cambuk atau rajam)
karena Dhahirnya mereka memang tidak bersalah. Namun diakhirat, kedustaan salah
satu diantara mereka pasti terbukti dan akan dibalas. Dan Allah maha mengetahui
niat batin manusia. Dalil Hadis shahih;
صحيح
البخاري 1/ 3
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang
mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)
juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis
tersebut adalah membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum
syara yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena
menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari aspek
keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.
Lagi pula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa
talak itu termasuk perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius
maupun canda. Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali
tidak diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika
mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya. Anulir-anulir
talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat syariat talak menjadi
sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan canda untuk mengingkari pernah
mentalak. Dengan adanya ketentuan
jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih
berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.
Adapun alasan bahwa Thalaq Mu’allaq dianggap tidak
berlaku dengan mengqiyaskan tidak bolehnya ada Zawaj Mu’allaq (pernikahan
digantung), maka alasan ini tidak bisa diterima. Karena talak berbeda dengan
akad Nikah. Akad nikah adalah akad antara dua pihak, semnatara talak hanya
menjadi hak suami dan tidak perlu ridha istri. Oleh karena dua hal ini berbeda,
maka keduanya tidak bisa diqiyaskan/dianalogikan.
Adapun argumen bahwa Nabi pernah mengharamkan minum
madu zainab lalu ditegur Allah dengan turunnya surat At-Tahrim dan
diperintahkan membatalkan sumpahnya, kemudian hal ini difahami bahwa sumpah
tidak selalu memakai lafadz sumpah sehingga boleh saja Thalaq Mu’allaq difahami
sumpah (yang konsekuensinya hanya wajib ditebus dengan Kaffarah), bukan
difahami jatuhnya talak, maka argumentasi ini tidak dapat diterima karena dua
alasan. Pertama; ucapan Nabi saat bertekad tidak mau minum madu Zainab itu sama
sekali tidak mengandung unsur Ta’liq (mengaitkan) dengan terealisasinya sesuatu
sebagaimana dalam Thalaq Mu’allaq. Kedua; riwayat Bukhari jelas sekali
menunjukkan bahwa Nabi memakai lafadz “Halafa” (bersumpah) sebelum bertekad
tidak minum madu. Hal ini menunjukkan sumpah yang diperintahkan Allah untuk
dibatalkan itu adalah sumpah yang memang diucapkan nabi, bukan tekad untuk
tidak minum madu yang difahami sebagai sumpah. Bukhari meriwayatkan; .”(H.R.Bukhar 20/
391):
عَنْ
ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ زَعَمَ عَطَاءٌ أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ
يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَزْعُمُ
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ
بِنْتِ جَحْشٍ وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ أَنَّ
أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلْتَقُلْ إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ أَكَلْتَ مَغَافِيرَ فَدَخَلَ
عَلَى إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَا بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا
عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ فَنَزَلَتْ
Firman Allah:
{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ }
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ
}
لِعَائِشَةَ
وَحَفْصَةَ
{ وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا }
لِقَوْلِهِ
بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا
و
قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ وَقَدْ
حَلَفْتُ فَلَا تُخْبِرِي بِذَلِكِ أَحَدًا
“Dari Ibnu Juraij menuturkan; ‘Atha` mengataka bahwa dirinya pernah mendengar Ubaid bin
Umair mengatakan; aku pernah mendengar ‘Aisyah menuturkan; bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum
madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah saling berpesan bahwa siapa saja diantara
kami berdua yang didatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya kami
mengatakan; ‘Aku mencium bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan
buah mighfar? ‘ Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia
mengatakan ucapan yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab:
“Tidak, tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku
tidak akan mengulanginya.” Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; “Wahai Nabi,
mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan kepadamu’ dan ayat,
‘jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ‘ ditujukan kepada Aisyah dan
Hafshah. Dan firman-Nya; ‘Ingatlah ketika Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan
kepada sebagian isterinya, ‘ petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang
mengatakan: ‘Namun aku minum madu.’ Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari
Hisyam dengan tambahan redaksi: “Saya sekali-kali tak akan mengulanginya
selama-lamanya, saya telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada
seorang pun.”(H.R.Bukhari)
Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun
(sumpah main-main) tidak dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum
(ada konsekuensi syariat), berdasarkan ayat;
المائدة:
89
لَا
يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ
بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89) maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil bahwa niat diperhatikan dalam kasus Thalaq
Mu’allaq. Alasannya; Thalaq Mu’allaq tidak bisa dihukumi sebagai sumpah dan belum
bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula hukum sumpah berbeda dengan hukum talak
dan tidak bisa diqiyaskan. Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi
talak main-main dihukumi jatuh berdasarakan nash. Kisah Maulat (majikan wanita)
Abu Rafi’ juga tidak bisa dijadikan dasar bahwa Thalaq Mu’allaq dihukumi
sumpah. Dengan meneliti redaksinya kita akan bisa memahami bahwa riwayat
tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa Thalaq Mu’allaq dihukumi sebagai
sumpah.
سنن
الدارقطنى – مكنز 10/ 167،
بترقيم الشاملة آليا
عَنْ
أَبِى رَافِعٍ قَالَ قَالَتْ مَوْلاَتِى لأُفَرِّقَنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ
امْرَأَتِكَ وَكُلُّ مَالٍ لَهَا فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ وَهِىَ يَوْمًا
يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ إِنْ لَمْ
تُفَرِّقْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ قَالَ فَانْطَلَقْتُ إِلَى أُمِّ
الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ إِنَّ مَوْلاَتِى تُرِيدُ أَنْ تُفَرِّقَ
بَيْنِى وَبَيْنَ امْرَأَتِى فَقَالَتِ انْطَلِقْ إِلَى مَوْلاَتِكَ فَقُلْ لَهَا إِنَّ
هَذَا لاَ يَحِلُّ لَكِ. فَرَجَعْتُ إِلَيْهَا – قَالَ – ثُمَّ أَتَيْتُ ابْنَ
عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ فَجَاءَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْبَابِ فَقَالَ هَا هُنَا
هَارُوتُ وَمَارُوتُ فَقَالَتْ إِنِّى جَعَلْتُ كُلَّ مَالٍ لِى فِى رِتَاجِ
الْكَعْبَةِ قَالَ فَمَا تَأْكُلِينَ قَالَتْ وَقُلْتُ وَأَنَا يَوْمًا
يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ. فَقَالَ إِنْ
تَهَوَّدْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَنَصَّرْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَمَجَّسْتِ قُتِلْتِ .
فَقَالَتْ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ تُكَفِّرِينَ يَمِينَكِ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ
فَتَاكِ وَفَتَاتِك
“Dari Abu
Rafi’ beliau berkata; Maulat (tuan wanita)ku
berkata: “Aku benar-benar akan memisahkanmu(menceraikanmu) dengan
istrimu (dan dia bersumpah) semua hartanya (dishadaqahkan) digerbang pintu
Ka’bah, dan dia akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari
menjadi Majusi “jika kamu tidak berpisah dengan istrimu” (ancamnya). Maka aku
pergi menuju Ummul Mukminin Ummu Salamah dan aku berkata : “Sesungguhnya
Maulatku ingin memisahkan aku dengan istriku”. Ummu Salamah berkata; “Pergilah
kepada Maulatmu dan katakan bahwa hal ini tidak halal baginya”. Maka aku
kembali kepadanya. Lalu aku mendatangi Ibnu Umar, lalu aku memberitahunya. Maka
Ibnu Umar datang, hingga ketika sampai di pintu beliau berkata; “Di sini ada
Harut dan Marut”. Maulatku berkata: “Sesungguhnya aku telah menjadikan semua
hartaku (dishodaqohkan) digerbang Ka’bah”. Ibnu Umar bertanya; “lalu apa yang
kamu makan”? dia melanjutkan: “Dan aku berkata; Aku akan sehari menjadi Yahudi,
sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi”. Ibnu Umar berkomentar;
“Jika engkau menjadi Yahudi maka engkau akan dibunuh, jika engkau menjadai
Nasrani maka engkau akan dibunuh, dan jika engkau menjadi Majusi maka engkau
akan dibunuh. Dia berkata; “Kalau begitu apa yang kau perintahkan
kepadaku”?Ibnu Umar menjawab: “Tebuslah sumpahmu dan kumpulkan antara pemuda
dan pemudimu –jangan berusaha menceraikan-” (H.R.Ad-Daruquthni)
Jelas sekali bahwa yang melakukan Ta’liq adalah
Maulat Abu Rafi’ bukan Abu Rafi’ sendiri. Tentu saja yang punya hak talak yang
berkonsekuensi jatuh talak hanya Abu Rafi’
bukan Maulatnya. Maulat Abu Rafi’ adalah pihak luar, bukan suami dan
bukan pula istri. Karena itu Ta’liq yang ia ucapkan sebagai Ta’kid keinginannya
bisa difahami secara Urfi sebagai sumpah, sehingga dia diperintahkan menebus
sumpahnya dengan Kaffarah.
Ralat dalam Thalaq Mu’alaq tidak berguna, karena
Talak bersifat Luzum (mengikat), begitu diucapkan maka jatuhlah konsekuensi
sebagaimana lafadz Ijab Qabul dalam akad nikah yang tidak membedakan serius
ataupun main-main. Konsekuensi jatuhnya talak yang ketiga adalah tidak halalnya menikah
lagi sampai istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian diceraikan. Allah
berfirman;
البقرة:
230
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin
dengan suami yang lain (Al-Baqarah; 230)
Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus
dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.. Memang benar, saran dari ulama kerabat penanya,
bahwa dalam mengucapkan talak hendaknya tidak diobral. Seyogyanya para lelaki
berhati-hati sekali dalam mengucapkan lafadz talak, karena konsekuensinya berat
dan tidak bisa dibatalkan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
memarahi seorang lelaki yang mentalak istrinya tiga kali sekaligus karena
dianggap mempermainkan Kitabullah. An-Nasa’I meriwayatkan;
سنن
النسائي 11/ 79
مَحْمُودَ بْنَ
لَبِيدٍ قَالَ
أُخْبِرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا ثُمَّ قَالَ
أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ
وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَقْتُلُهُ
“Mahmud bin Labid berkata; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam diberi kabar mengenai seseorang yang menceraikan istrinya
dengan tiga kali cerai sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan marah, kemudian
bersabda: “Apakah ia mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku berada diantara
kalian, ” hingga seseorang berdiri dan berkata; ya Rasulullah bolehkan aku
membunuhnya?” (H.R.An-Nasai).
Diriwayatkan pula bahwa Allah sendiri memubahkan
Talak, tetapi talak adalah perkara mubah yang paling dibenciNya. Abu Dawud
meriwayatkan;
سنن
أبى داود (6/ 91)
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى
اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau bersabda: “Perkara halal yang paling Allah benci adalah
perceraian.”(H.R.Abu Dawud)
Jika dalam rumah tangga terjadi persoalan,
seyogyanya jangan langsung mengancam dengan talak, tetapi mengikuti cara yang
diajarkan dalam Al-Quran. Cara tersebut bisa difahami dari ayat berikut ini;
;النساء
وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz
(pembangkangan)nya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka (An-Nisa:34)
Dari ayat di atas bisa difahami bahwa solusi awal
terhadap istri yang bermasalah adalah dinasehati. Nasehat ini jika tidak mempan
dari suami bisa meminta tolong kepada ulama atau orang yang disegani istri.
Jika nasehat masih tidak mempan, bisa membuat aksi pisah ranjang sebagai
hukuman mental yang bisa disertai tidak mengajak berbicara sebagaimana pernah
dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada istri-istrinya selama
satu bulan. Jika pisah ranjang masih tidak mempan maka suami boleh memukul,
namun pukulan yang mendidik, bukan pukulan yang menyakitkan. Saat istri
membangkang (Nusyuz) maka dia kehilangan hak nafkah. Jadi, jika suami tidak
menafkahi istri karena istri yang membangkang, maka suami tidak berdosa. Jika dipukul belum juga berubah, berarti
persoalannya lebih dalam lagi sehingga
perlu keterlibatan pihak luar. Dalam kondisi ini, untuk mencari penyelesaian,
pihak lelaki mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya dan pihak wanita
juga mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya. Kedua utusan ini bertemu
untuk membahas dan mencari solusi bersama. Allah menjamin, jika semua memang
berniat baik maka Dia akan memberikan taufiq kebaikan. Allah berfirman;
النساء:
35
وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ
أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.(An-Nisa: 35)
Jika pelibatan dua keluarga ternyata masih juga
belum memberikan solusi dan titik terang, berarti persoalan rumah tangga
keduanya sudah mencapai puncaknya, sehingga dalam hal ini talaklah yang
menjadi solusi terakhir.. Atas dasar ini, bisa disimpulkan kembali bahwa kasus
talak yang dibawa penanya adalah termasuk Thalaq Mu’allaq yang dihukumi jatuh
talak jika syarat yang diancamkan terealisasi. Oleh karena syarat yang
diancamkan, yaitu pembangkangan istri untuk pergi bersama suami telah
terealisasi, maka jatuhlah talak tersebut dan berlaku konsekuensi-konsekuensi
jatuhnya talak tiga.. Menjadi pelajaran pula bagi para Muslim-Muslimah
yang hendak melangsungkan pernikahan, bahwa dalam menikah hendaknya bukan hanya
pembahasan romantisme pernikahan saja yang dikedepankan. Namun yang lebih
penting dari itu adalah mengkaji hukum-hukum Fikih baik terkait Fikih lelaki
maupun Fikih wanita (seperti topik Thalaq Mu’allaq ini) agar tidak terjatuh
pada pelanggaran-pelanggaran syariat yang berkonsekuensi berat.
Beberapa hal tentang Ta’lik Talak,
dan keberlakuannya Ta’lik Talak
Ta’lik
Talak dalam berbagai kitab fiqh dibahas demikian mendetail, termasuk
tentang kekuatan berlakunya Ta’lik Talak yang telah diucapkan suami. Salah satu
hal yang mempengaruhi kekuatan berlakunya Ta’lik Talak adalah lafaz yang
digunakan dalam sighat Ta’lik. Menurut kitab Qawanin
al-Syar’iyah, jika Ta’lik Talak itu menggunakan kata ان (jika) atau اذا
(apabila) atau متي (manakala) dan semacamnya,
maka sighat Ta’lik itu berlaku sekaligus, artinya jika telah terjadi
perceraian, baik karena Talak Raj’imaupun lainnya, maka kekuatan Ta’lik
Talak yang diucapkan suami gugur adanya. Lain halnya jika menggunakan kata كلما
(sewaktu-waktu), dan ini yang dipakai dalam Permenag. No. 2 Tahun 1990, artinya
jika sebelum terwujud syarat Ta’lik kemudian suami menjatuhkan
Talak Raj’i dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka
Ta’lik Talak yang diucapkan suami tetap mempunyai kekuatan hukum, sehingga
sewaktu-waktu terwujud syarat Ta’lik, maka isteri dapat menggunakan sebagai
alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak. Namun bila
terjadi Talak Ba’in atau kawin lagi, setelah lepasnya
Talak Raj’i, Ta’lik Talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum, sehingga jika suami isteri itu menghendaki berlakunya
perjanjian Ta’lik Talak, maka harus diulang.
Bila Suami atau Isteri Tidak
Mengetahui Isi Sighat Ta’lik Talak
Jika
suami tidak mengetahui isi atau maksud sighat Ta’lik Talak yang
diucapkannya, maka hal itu harus dianggap tidak ada. Itulah sebabnya sehingga
dalam surat nikah pada masa sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 1950,
selalu ada catatan-catatan untuk mereka yang kurang paham dengan bahasa
Indonesia, oleh PPN harus menjelaskannya dalam bahasa daerah yang dipahami oleh
para pihak sampai mereka paham, dan disuruhnya mengucapkan Ta’lik itu dalam bahasa
daerah yang dipahami. Namun pada tahun 1950 tidak ada lagi catatan demikian,
sehingga ada kemungkinan jika PPN tidak menjelaskan
isi sighatTa’lik, suami atau isteri tidak dapat mengetahuinya. Jika
terjadi kondisi demikian, maka perjanjian itu dianggap tidak ada dan batal demi
hukum. Hal ini merujuk kepada Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa
yang dianggap ada dalam perjanjian adalah maksud pengertiannya, bukan
berdasarkan ucapan dan bentuk kata-katanya.
Mengucapkan Sighat Ta’lik
Talak Karena Terpaksa
Sebagaimana
diketahui bahwa keberadaan Ta’lik Talak harus didasarkan pada kerelaan kedua
belah pihak, karena perbuatan itu merupakan perbuatan hukum yang akan berakibat
hukum pula. Jika suami mengucapkan Ta’lik Talak karena dipaksa atau ada
pemaksaan, maka Talak suami tidak jatuh, karena hal demikian berarti bukan
kehendak bebas yang berarti pula bahwa taklif (pembebanan) harus
dianggap tidak ada pula. Dalam keadaan seperti itu, maka para ulama sepakat
bahwa jika suami berakal, baligh dan berkehendak bebas, maka Talaknya
dipandang sah dan sebaliknya jika terjadi hal itu dipandang sebagai perbuatan
sia-sia. Dalam hubungan ini Nabi bersabda: “Umatku dibebaskan karena keliru,
lupa dan mereka yang dipaksa”. Dalam praktek, jika terjadi hal demikian (Ta’lik
Talak yang mengandung unsur paksaan), maka hakim harus menolak gugatan isteri,
karena tidak memenuhi syarat Ta’lik, atau tidak terjadi
pelanggaran sighat Ta’lik. Pendapat inilah yang populer hingga
sekarang. Satu-satunya pendapat yang menganggap sah atas Ta’lik Talak yang
mengandung unsur paksaan adalah Imam Abu Hanifah, walaupun pendapat ini
menyalahi pendapat jumhur.
Tidak
Menandatangani Sighat Ta’lik
Secara
yuridis dalam Permenag. No. 2 Tahun 1990 dkatakan bahwa untuk sahnya perjanjian
Ta’lik Talak, maka suami harus menandatangani sighat Ta’lik yang
diucapkannya sesudah akad nikah. Dari pernyataan ini dipahami bahwa antara
pengucapan dan penandatanganan perjanjian Ta’lik Talak, keduanya bersifat
kumulatif. Dari keadaan demikian, bila dikaitkan dengan keadaan riil di
lapangan masih sering terjadi, bahwa suami tidak menandatangani kutipan akta
nikah, sekalipun dalam akta nikah dijelaskan bahwa suami mengucapkan Ta’lik
Talak, kenyataan ini menunjukkan bahwa salah satu dari kedua syarat sahnya
perjanjian Ta’lik Talak tidak terpenuhi, sehingga akibatnya perjanjian Ta’lik
Talak tadi harus dianggap tidak sah atau batal. Di pandang dari sudut kekuatan
pembuktian, bahwa dalam kutipan akta nikah itu jelas bahwa suami
mengucapkan sighat Ta’lik, maka hakim harus terikat terhadap apa yang
tertera dalam kutipan akta nikah itu, karena pada dasarnya itu yang merupakan
kekuatan pembuktian yang sempurna. Akan tetapi jika dilihat dari substansinya,
maka Ta’lik Talak merupakan perjanjian suami isteri yang bersifat sukarela,
yang ada atau tidak hanya ditentukan oleh para pihak (suami isteri) dengan
tujuan memberikan keadilan bagi masing-masing pihak. Karena itu dalam kasus
demikian, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk menilai bahwa
penandatanganan tadi tak ubahnya sebagai suatu tindakan yang sifatnya lebih
menunjukkan pada tindakan administratif. Dari kondisi seperti itu, maka jalan
keluar yang dapat dipakai adalah jika suami hadir dalam persidangan, maka hakim
dapat menunjukkan langsung padanya, dan jika suami mengaku, maka ia dipandang
sah dan bila menyangkal, maka hakim harus memeriksa ada tidaknya perjanjian
Ta’lik Talak sesuai dengan hukum yang berlaku. Sementara itu bila suami tidak
hadir, maka isteri harus membuktikan bahwa suami
mengucapkan sighat Ta’lik Talak. Dalam hal ini hakim tidak cukup
memakai bukti keterangan kutipan akta nikah, tetapi harus dikuatkan oleh bukti
lain seperti keterangan dari PPN di mana pernikahan itu dilangsungkan atau
dengan keterangan saksi-saksi.
Penutup
Tentang Sighat Ta’lik
Walaupun dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya tentang sighat Ta’lik
Talak, telah mendapatkan rumusan yang baku dari Departemen Agama sebagaimana
adanya sekarang ini, namun nampaknya rumusan itu tidaklah bersifat final untuk
selamanya. Hal ini dibuktikan bahwa Ta’lik Talak itu sendiri dalam pembahasan
para fuqaha, terjadi ikhtilaf, ada yang membolehkan, ada pula yang
tidak. Yang tidak membolehkan beralasan bahwa kalau hanya dengan alasan
perlindungan isteri dari kesewenangan suami, masih ada jalan lain yang
dibenarkan oleh syari’at Islam. Sekarang
ini ada pemikiran sementara pakar, bahwa bolehlah kita sepakati di Indonesia
ada Ta’lik Talak, namun rumusan itu hendaknya tidak bersifat paten dengan
alasan,begitu mudahkah seorang perempuan memperoleh status mantan isteri dari
seseorang (janda) hanya karena persoalan pelanggaran Ta’lik tadi. permasalahan
yang berhubungan dengan sighat Ta’lik dan Ta’lik Talak itu sendiri
nampaknya memang masih perlu dikaji lebih jauh. Sebab bila dibaca berbagai
pembahasan tentang hal ini dalam berbagai kitab fiqh, nampaknya tidak selamanya
ke sepuluh asas dalam sighat Ta’lik yang ada itulah yang harus ada,
akan tetapi mungkin dalam bentuk perjanjian yang lain yang lebih mengikat
ketenteraman dalam rumah tangga. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat pemikiran
bahwa, mengingat pelaksanaa Ta’lik Talak selama ini, tampaknya lebih mengarah
kepada hal yang bersifat serimonial belaka, karena pelaksanaannya ditanyakan
kepada calon mempelai wanita sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan. Di lain
pihak, asas-asas yang terdapat dalam Ta’lik Talak sudah diramu sedemikian rupa,
sehingga kecenderungannya seolah-olah kasus semua rumah tangga di seluruh
Indonesia persis apa yang ada dalam Ta’lik Talak itu. Sementara kekuatan
hukumnya tidak terlalu kuat, karena tidak ada data pendukung kecuali pencatatan
yang dilakukan oleh PPN belaka.
Berdasarkan
dari pemikiran sepertri itu perlu dipikirkan ke depan tentang kemungkinannya
diintegrasikan antara Ta’lik Talak dengan perjanjian perkawinan, dengan
pertimbangan bahwa jika Ta’lik Talak disatukan dalam perjanjian perkawinan,
maka pemeriksaannya dilakukan jauhjauh sebelum akad nikah dilangsungkan,
sehingga kedua belah pihak terbebas dari unsur ketrpaksaan dan mempunyai banyak
waktu untuk memikirkan secara matang tentang isi perjanjian yang dilakukan
keduanya. Di sisi lain, kekuatan hukumnya lebih kuat, karena jika dalam bentuk
perjanjian maka harus ada pihak lain yang terlibat seperti saksi-saksi dan
kalau perlu perjanjian itu dikeluarkan oleh Notaris, walau harus menambah
sedikit biaya. Adapaun asas-asas yang terdapat dalam Ta’lik Talak yang ada
sekarang ini, bisa dimasukkan dalam kelompok pembahasan tentang pashah,
sehingga tidak terdapat lagi unsur yang mengenyampingkan atau menghilangkan
asas urgennya Ta’lik Talak itu sendiri, Dari
uraian yang lalu, berikut dapat dirumuskan kesimpulan-kesimpulan yang
sederhana: Mengenai
Ta’lik Talak, terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha, di
antaranya ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Di
Indonesia nampaknya, Ta’lik Talak telah ada sejak zaman Belanda, dan telah
mengalami banyak perubahan bahkan pada masa kemerdekaan sampai sekarang,
rumusannya pun telah ditetapkan oleh Departemen Agama dengan maksud untuk
melindungi isteri dari perlakuan sewenang-wenang dari suami. Dalam tata cara
penyelesaian administrasi perkawinan Indonesia, pembuktian tentang Ta’lik Talak
menjadi bahagian yang amat penting demi memenuhi tuntutan perundang-undangan
yang berlaku bagi warga negara, terutama yang beragama Islam, hal ini penting
karena merupakan salah satu pembuktian di pengadilan, jika terjadi kasus cerai
gugat. Wallahu A’lam Bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
- 1,Lihat Abdul Manan, “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia “ dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 68.
- 1.Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 76.
- 2.Lihat Sayyid Uthman, Qawanin al-Syar’iyah (Surabaya: Salin Nabhan, t. th.), h. 80.
- 3.Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthniy, Hakim dan Thabrani yang di-hasan-kan oleh Imam Nawawi. Selengkapnya lihat Al-Sunnah-Suyuthiy, Jami’ al-Saghir, Juz I
- 4.Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
- 5.Lihat Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Jakarta: Liberty, 1976
- 6.Hamka. “Tafsir Al-Azhar”, Panji Masyarakat. Jakarta: t.p., 1981.
- 7.Manan, Abdul. “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia “ dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI. Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 68.
- Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama.
- 8.Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: Liberty, 1976.
- 9 Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
- 10.Syalthout, Mahmoud. Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Komentar