Apakah Boleh Qadhi(hakim)Menerima Hadiah
Apakah Boleh Qadhi(hakim)Menerima Hadiah
A. pertanyaan
Apakah Qadhi atau Hakim Boleh Menerima Hadiah dikala ia menjadi Qadhi atau Hakim Mohon sedikit pencerahan........?
B. jawaban
Walid Blang Jruen menjawab dengan pemahan yang tercantum didalam kitab Ianathuthalibin jilid 4 dalam masalah qadhi.
(وحرم قبوله) أي القاضي (هدية من لا عادة له بها قبل ولاية) أو كان له عادة بها لكنه زاد في القدر أو الوصف (إن كان في محله) أي محل ولايته
Haram bagi Qadhi menerima hadiah dari orang sebelum menjadi Qadhi tidak pernah memberi hadiah kepadanya atau telah biasa tetapi sekarang menambah kadar atau sifat nya, jika hal itu dilakukan didalam daerah wilayah kekuasaannya
ولو جهزها له مع رسوله وليس له محاكمة ففي جواز قبوله وجهان: رجح بعض شراح المنهاج الحرمة وعلم مما مر أنه لا يحرم عليه قبولها في غير عمله وإن كان المهدي من أهل عمله ما لم يستشعر بأنها مقدمة لخصومة.
Apabi la seseorang mengutus utusannya untuk menghaturkan hadiah kepada Qadhi dan orang itu tidak punya tanggungan urusan, maka tentang kebolehan Qadhi menerimanya ada dua wajah. Diantara para pensyarah Al-Minhaj memenangkan menghukumi Haram. Dan keterangan yang telah lewat, bisa diketahui bahwa Qadhi tidak diharamkan menerima hadiah jika ia tidak tengah berada didalam daerah wilayah kekuasaannya sekalipun pemberian hadiah itu penduduk daerah wilayah kekuasaannya, selama ia tidak beristimage bahwa hadiah itu diberikan justru demi urusan yang sedang dihadapinya.
referensi:
Dasar hukum tersebut dalam Ianathuthalibin jilid 4
Dibawah ini Walid juga ingin memberi pemahaman tentang kode etic hakim dan yang menyagkut tentang permasalahan pemberian hadiah dll apalah namannya
Bila ada yang bertanya bagaimana dengan hukum yang ada di Indosenia tentang permasalahan hakim dan tentang menerima hadiah dari klien
Tentu Walid menjawab dengan hukum yang telah ada yaitu:
Menurut Pasal 40 jo. Pasal 41 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ("UU Kekuasaan Kehakiman") hakim dalam menjalankan tugasnya diawasi oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap perilaku hakim didasarkan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (Pasal 41 ayat [3] UU Kekuasaan Kehakiman).
Untuk menjawab pertanyaan perlu mengetahui Kode Etik Hakim mengenai menerima pemberian atau hadiah. Dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan PPH”) setiap hakim diharapkan dapat bersikap jujur dalam menjalankan tugasnya. Penerapan dari prinsip ini, antara lain dijabarkan dalam Kode Etik Hakim dan PPH butir 2.2 mengenai Pemberian Hadiah dan Sejenisnya sebagai berikut:
Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: a..Advokat. b.Penuntut. c.Orang yang sedang diadili. d.Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili e.Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain yang dibawah pengaruh,petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya dari:
- Advokat;
- Penuntut;
- Orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
- Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili oleh hakim tersebut;
- Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, hakim tidak hanya dilarang menerima pemberian terhadap dirinya tetapi juga dilarang menyuruh pegawai pengadilan atau pihak lain termasuk keluarganya sendiri untuk menerima pemberian hadiah yang ditujukan terhadap hakim tersebut.
Pengecualian terhadap larangan ini hanya apabila pemberian tersebut tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000. Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Pengertiangratifikasi diatur dalam penjel asan Pasal 12B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), sebagai berikut:
“Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Menurut Kode Etik dan PPH, hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini diperiksa oleh Mahkamah Agung RI dan/atau Komisi Yudisial RI. Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI menyampaikan hasil putusan atas hasil pemeriksaan kepada Ketua Mahkamah Agung. Hakim yang diusulkan untuk dikenakan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian oleh Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI diberi kesempatan untuk membela diri di Majelis Kehormatan Hakim
Selain itu, berdasarkan UU Tipikor penerima dan pemberi gratifikasi diancam dengan sanksi pidana, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Ancaman Pidana Bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi. Jadi, walaupun niat Saudara adalah sebagai bentuk terima kasih dan bukan untuk mempengaruhi putusan hakim, pemberian hadiah kepada hakim adalah termasuk bentuk gratifikasi. Hakim yang menerima gratifikasi bisa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhetian, juga terkena sanksi pidana. Ancaman pidana terhadap gratifikasi tidak hanya akan dikenakan pada hakim yang bersangku tan tetapi juga kepada Anda sebagai pemberi gratifikasi.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
3. Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
NB: Dimana ada kesalahan, kekurangan, bisa diperbaiki, dan kritikan yang dapat membangun semangat untuk berkariya sangat bsangat di butuhkan yang benar datang dari Allah yang salah dari kita manusia,
begitu juga yang benar menurut hukum yang ada di Indonesia telah di buat ,dan yang salah dari kita kemungkinan kurang teliti dalam membacanya
Komentar