Filsafat Kewarisan islam
Filsafat Kewarisan islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Filsafat Kewarisan
Umat Islam mayoritas di Indonesia karena
itu tetap menjadi sebuah peluang besar
bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam dan berhukum dengan hukum Islam. Namun idealisme
serta harapan ini bukanlah hal yang mudah seperti kita membalikkan tangan, tapi
butuh perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka
merealisasikannya. Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur,
walaupun sampai saat ini hukum yang masih berlaku di Indonesia adalah hukum
konvensional alias bukan hukum Islam, namun ada beberapa aspek-aspek kehidupan
yang masih menerapkan hukum Islam. Di antaranya hal-hal yang menyangkut masalah
pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah pembagian harta warisan,
sebagaimana yang banyak kita kenal dengan Istilah “Kompilasi Hukum Islam”.Dan
sebagaimana kita ketahui bersama, Kompilasi Hukum Islam ini banyak digunakan
sebagai acuan ataupun dalil bagi Pengadilan Agama.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimanakah
Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
2. Apakah
Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam?
3. Adakah
Pasal - Pasal Kewarisan Kompilasi Hukum Islam ?
C. TUJUAN
PENULISAN
1. Latar Belakang Lahirnya Kompilasi
Hukum Islam?
2. Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum
Islam?
3. Pasal - Pasal Kewarisan Dalam
Kompilasi Hukum Islam?
BAB
II
KEWARISAN
MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM
A.Sejarah
Lahirnya Kefilsafatan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Islam
adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia
berdasarkanAl-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia
yang berlaku secara
universal dan relevan
pada setiap zaman (waktu) dan ruang manusia. Hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung
dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaran-Nya
tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua
orang Islam dimana pun, kapan pun, dan untuk kebangsaan apapun. Selama ini
dalam menyelesaikan perkara-perkara
muamalah, hakim pengadilan agama
berpedoman kepada kitab fikih yang berasal dari madzhab Syafi'i, yang penggunaannya
dapat dipastikan tergantung pada kemampuan
hakim-hakim pengadilan agama yang bersangkutan
dalam memahami secara utuh dan
menyeluruh kitab-kitab fikih tersebut.
Dampaknya tidak menutup
kemungkinan timbul suatu
putusan yang berbeda-beda, walaupun perkara-perkara yang diajukan
kepadanya sama. Untuk itu, sudah seyogianya kitapun memiliki hukum materiil
berupa hukum Islam yang berbentuk kodifikasi yang menjadi dasar nantinya
dijadikan landasan bersama dalam mengadili, sehingga tidak akan menimbulkan disparitas
(perbedaan) putusan lagi. Setelah
Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil
di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro
Pengadilan Agama RI. No.
B/1/735 tanggal 18
Februari 1985. Hal
ini dilakukan karena hukum
Islam yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di
berbagai kitab fikih yang
berbeda- beda. Akan tetapi penetapan
kitab-kitab fikih tersebut
juga tidak berhasil menjamin kepastian
dan kesatuan hukum
di pengadilan agama.
Muncul persoalam krusial yang
berkenaan dengan tidak
adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum
terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum
Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di
Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di
Indonesia. Hal ini disebabkan tidak
tersedianya kitab materi
hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan
13 kitab yang dijadikan
rujukan dalam memutuskan
perkara yang kesemuanya
bermazhab Syafi’i. Akan tetapi
tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan
hakim. Berbicara masalah sejarah KHI tidak terlepas dari pengadilan Agama,
karena pengadilan agama merupakan lembaga sosial yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan oleh orang yang merasa dirugikan
haknya oleh orang lain kepadanya (Pasal 49 Undang-undang nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama). Bustanul Arifin adalah seorang
tokoh yang tampil
dengan gagasan perlunya membuat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada
pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, antara lain harus ada hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.
Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal
3. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang
disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu),
4. Tadak mendapat
bagaimana menjalankan syari’at
itu (Tanfiziyah) dan
5. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan- jalan dan alat-alat yang tersedia
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.[1] Gagasan
Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim
pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama ketua Mahkamah Agung RI
dan Menteri Agama No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum
dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen
Agama. Kerja keras dari anggota Tim, ulama-ulama, dan cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka
terumuslah KHI yang
ditindak lanjuti dengan
keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1Tahun 1991kepada menteri
Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan.
Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991
tanggal 22 Juli 1991. Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawir Sadzali, MA
Seluruh instansi Departemen Agama dan
instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagaimana dimaksud
dalam diktum Pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat
yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Semenjak
itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari
berbagai pihak. Kemunculan KHI di
Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah
prestasi besar yang dicapai umat
Islam. Setidaknya dengan adanya
KHI itu, maka
saat ini di
Indonesia tidak akan
ditemukan lagi pluralisme
Keputusan Peradilan Agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan
Agama adalah sama. Selain itu, fikih yang selama ini tidak positif telah
ditransformasikan menjadi hukum
positif yang berlaku
dan mengikat seluruh umat
Islam di Indonesia.
Lebih penting dari
itu, KHI diharapkan akan lebih
mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa Indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2] Dalam
tulisannnya yang lain Bustanul Arifin mengemukakan lebih jelas mengenai hal
tersebut. Dikatakan bahwa ide kompilasi
hukum Islam timbul setelah berjalan
dua setengah tahun
MA membina bidang
teknis yustisial Peradilan Agama.
B. Pengertian Waris
Dalam
sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab yang
artinya mewarisi.[3] Jika dikaitkan
dengan kondisi yang berkembang di
masyarakat Indonesia, istilah
waris dapat diartikan
sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.[4] Hukum yang mengatur pembagian
harta warisan yang
ditinggalkan oleh ahli
waris, mengetahui bagian-bagian
yang diterima dari
peninggalan setiap ahli waris yang berhak menerimanya.[5] Adapun
dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi
warisan yaitu perpindahan berbagai hak
dan kewajiban tentang kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.Selain kata
waris tersebut, kita juga menemukan
istilah lain yang berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1.
Al-Warist, adalah orang yang termasuk
ahli waris yang berhak menerima warisan.
2.
Muwaris, adalah orang diwarisi harta
bendanya (orang yang meninggal) baik secara hakiki maupun
hukmi karena adanya penetapan pengadilan.
3. Al-Iris, adalah harta warisan yang telah
diterima oleh ahli waris yang berhak
setelah diambil untuk kewajiban,
diantaranya pengurusan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.
4.
Warasah, yaitu harta warisan yang diterima oleh ahli waris.
5.
Tirkah, seperti dalam Pasal 171huruf d KHI, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.[6]
C.
Pewaris dan Ahli Waris
1.
Tentang pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b: “Pewaris adalah orang yang pada
saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.” Dari redaksi
di atas tampak
bahwa untuk terjadinya
pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik
secara hakiki maupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya
pewarisan antara lain meninggalnya
pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir. Selain disyaratkan telah
meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli
waris serta memiliki harta peninggalan.
2.
Kriteria
ahli waris tercantum di dalam Undang-undang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 171 huruf c yang bunyi “Ahli waris
ialah orang yang
pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris” Dari Pasal 174, 181, 182 dan 185 KHI
dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri
atas :
a.
Ahli
waris laki-laki, ialah
ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman, kakek
dan suami.
b.
waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan,
saudara perempuan, nenek dan isteri.
c.
Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu
laki-laki atau perempuan
dari anak laki-laki
atau perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini,
dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat
sebagai ahli waris adalah; mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Tentang beragama Islam bagi
ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas
atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan
bagi bayi yang
baru lahir atau
yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.”Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang
dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab),
hubungan sebab semenda atau perkawinan
dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang
disebutkan di dalam pasal 173 KHI. Meskipun demikian tidak secara otomatis
setiap anggota keluarga dapat mewarisi
harta peninggalan pewarisnya, meskipun
kriteria dalam pasal 173 KHI telah
terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si mati
dan ada juga hubunganya lebih jauh dengan si mayit. Didalam hal ini, para ahli
waris harus mengingat
urutannya masing-masing, dan
didalam urut-urutan penerimaan
harta warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang
dekat hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli
waris karena dari
kelompok dzawil arham
yaitu orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pewaris
tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli
waris utama.
d. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul
karena adanya hubungan darah. Maka sebab nasab
menunjukkan hubungan kekeluargaan
antara pewaris dengan ahli waris.
e. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan
yang timbul karena sebab tertentu, yaitu :
1. Al mushaharah yaitu perkawinan yang sah
2. Memerdekakan
hamba sahaya (al wila’) atau
karena adanya perjanjian tolong
menolong.
D.Syarat
dan Rukun Waris
Pada
dasarnya persoalan waris mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan
sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli
warisnya. Dan di dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta
warisan berpindah dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak
pewaris atau ahli waris.[7]
Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat
dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Dalam
KHI, ketentuan tentang kewarisan
diatur dalam Buku II, yang terdiri dari 23 pasal, dari Pasal 171
sampai dengan Pasal 193. Dalam berbagai ketentuan tersebut terdapat beberapa
hal yang tidak ada didalam fiqih klasik, tetapi ada dalam KHI, maupun ketentuan
yang seharusnya ada, tetapi tidak
dicantumkan dalam KHI. Adapun beberapa
ketentuan yang dimaksud diantaranya:
a.
Besarnya bagian laki-laki dan perempuan
tetap dipertahankan sesuai dengan dalil Al-Qur’an, laki-laki dua kali bahagian
perempuan
b.
Adanya prinsip musyawarah dalam pembagian warisan (Pasal 183), bahwa para
ahli dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya
c.
Pembagian waris tidak mesti harus
membagikan bendanya secara fisik.
Pasal
189 mengatur tentang pembagian
warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2
hektar yang harus dipertahankan dan
dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya
tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja. Ada beberapa
syarat yang harus
dipenuhi di dalam
pembagian harta warisan, Syarat-syarat
tersebut selalu mengikuti rukun,
akan tetapi sebagian ada yang berdiri
sendiri. Di dalam hal ini
penulis menemukan tiga
syarat warisan yang
telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah :
1.
Meninggalnya seseorang (pewaris) baik
secara haqiqi, hukmy, (misalnya dianggap
telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2.
Adanya
ahli waris yang
hidup secara haqiqi
pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti bagian-bagian masing- masing.[8]
d. Adapun rukun waris harus terpenuhi pada saat
pembagian harta warisan. Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam ada tiga macam
orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya muwaris benar-benar telah meninggal
dunia. Kematian seorang
muwaris itu dapat dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu :
1) Mati Haqiqi (mati sejati).
mati
haqiqi atau mati sejati adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan
putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh
orang banyak dengan
panca indera dan
dapat dibuktikan dengan alat bukti yang nyata dan jelas.
2) Mati Hukmiy (mati menurut putusan hakim atau
yuridis)
Mati Hukmiy
atau mati menurut
putusan Hakim atau
yuridis adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya
beberapa pertimbangan. Maka
dengan putusan hakim secara
yuridis muwaris dinyakan
sudah meninggal meskipun
terdapat kemungkinan muwaris masih hidup.
3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan) Mati taqdiri
atau mati menurut
dugaan adalah sebuah
kematian muwaris berdasar dugaan
keras. Misalnya, dugaan
seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa
minum racun. Ketika bayinya lahir
dalam keadaan mati,
maka dengan dugaan
keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.[9]
e.
Warist (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik hubungan darah (nasab), hubungan
sebab semenda atau
perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah
pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris diketahui benar-benar
dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan
(al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu
antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
f.
Al Mauruts atau al-miras, yaitu harta benda yang menjadi warisan atau
peninggalan si mati
setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan
hutang dan pelaksanaan wasiat.
E.
Macam-Macam Ahli Waris
Di
dalam Komplikasi Hukum Islam dapat diketahui ada tiga macam
Ahli waris, yaitu
:
1. Dzawil Furud,
2. Ashabah,
3. Mawali. Sebagai ahli waris dzawil furud
disebutkan dalam Pasal 192 KHI. Kata dzawil furud berarti mempunyai bagian.
Dengan kata lain mereka adalah ahli
waris yang bagiannya
telah ditentukan
di dalam syariat, antara lain bagian :
1. ayah
2. ibu
3. anak perempuan
4. janda atau duda.
Anak
laki-laki tidak termasuk ke dalam ahli waris dzawil furud, tetapi masuk katagori ahli waris yang kedua,
yaitu ahli waris ashabah yang di dalam Kompilasi Hukum
Islam disebut oleh
Pasal 193. Ahli
waris ini mendapat bagian sejumlah sisa harta warisan,
setelah bagian para ahli waris dzawil furud diperhitungkan. Ahli waris ashobah
terdiri tidak kurang dari 19 macam, namun yang sering terjadi adalah :
1. Anak laki-laki atau anak perempuan
bersama anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki atau cucu perempuan
bersama cucu laki-laki.
3.
Ayah
4.
Kakek
5. Saudara laki-laki kandung atau saudara
perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung
6. Saudara
laki-laki seayah atau
saudara perempuan seayah
bersama saudara laki-laki seayah.
Mengenai
macam ahli waris ketiga yaitu
mawali atau ahli waris pengganti. Kompilasi Hukum Islam menentukannya dalam
Pasal 185.
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu
daripada sipewaris,maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal
173.
2.
Bagian dari ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang
sederajat dengan yang diganti.[10]
Secara
garis besar golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan kedalam 3 (tiga)
golongan, yaitu :
1.
Ahli waris menurut Al-Qur‟an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an
disebut dzul faraa’idh, yang terdiri atas :[11]
a). Dalam garis ke
bawah :
1).
Anak perempuan;
2).
Anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S. IV : 11).
b).
Dalam garis ke atas :
1).
Ayah;
2).
Ibu kakek dari garis ayah;
3).
Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. IV : 11).
c). Dalam garis ke
samping :
1).
Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah;
2).
Saudara perempuan tiri dari garis ayah; (Q.S. IV :176)
3).
Saudara lelaki tiri dari garis ibu; (Q.S. IV : 12)
4).
Saudara perempuan tiri dari garis ibu. (Q.S. IV : 12)
d). Duda
e). Janda.
2.
Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut ashabah, yang terdiri atas Ashabah binafsihi dan ashabah bilghairi :[12]
a).
Ashabah
binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak
mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut :
1). Anak laki-laki;
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus
ke bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki;
3)
Ayah;
4)
Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas
asal saja pertaliannya belum putus dari pihak ayah;
5) Saudara laki-laki sekandung;
6) Saudara laki-laki seayah;
7) Anak Saudara laki-laki sekandung;
8) Anak Saudara laki-laki seayah;
9) Paman yang sekandung dengan ayah;
10)
Paman yang seayah dengan ayah;
11)
Anak laki-laki Paman yang sekandung dengan ayah;
12)
Anak laki-laki Paman yang seayah dengan ayah.
b).
Ashabah bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain, seorang wanita yang
menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk
dalam ashabah bilghairi ini adalah sebagai berikut :
1).
Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki;
2).
Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki.
c).
Ashabah ma’al ghairi
yakni saudara perempuan
yang mewaris bersama keturunan
dari pewaris, mereka itu adalah :
1).
Saudara perempuan sekandung, dan
2).
Saudara perempuan seayah.
3.
Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam.
Hazairin
dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral”
memberikan perincian mengenai
dzul arhaam, yaitu : “semua orang yang
bukan dzul faraa’idh dan bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang
termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau
anggota pihak menantu laki-laki atau
anggota-anggota keluarga pihak ayah dan
ibu.”[13]. Macam-macam
ahli waris jika ditinjau dari jenis kelaminnya, maka ahli waris terbagi menjadi
dua golongan yaitu, ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Para ahli waris perempuan
dan laki-laki jika semua masih hidup
jumlahnya ada 25 orang. Sepuluh ahli waris perempuan dan lima belas orang ahli
waris laki-lakiJika ahli waris laki-laki semuanya ada,
maka urut-urutannya adalah
sebagai berikut[14]
:
1). Anak
2).
Cucu
3).
Ayah
4).
Kakek
5).
Saudara Kandung
6).
Saudara seayah
7).
Saudara seibu
8).
Anak laki-laki saudara kandung
9).
Anak laki-laki saudara seayah
10).
Paman kandung
11).
Paman seayah
12).
Anak paman kandung
13).
Anak paman seayah
14).
Suami
15).
Orang yang memerdekakan dengan hak wala.
Jika
ahli waris perempuan semuanya ada urutannya sebagai berikut :
1).
Anak
2).
Cucu
3).
Ibu
4).
Ibu dari ibu
5).
Ibu dari ayah
6).
Saudara kandung
7).
Saudara seayah
8).
Saudara seibu
9).
Ibu
10).
Orang yang memerdekakan dengan hak wala.
Ahli waris
diatas jika semuanya
ada (masih hidup
dan tidak ada halangan) maka yang mendapatkan warisan
hanya lima orang yaitu :
a).
Anak perempuan
b).
Cucu perempuan dari anak laki-laki
c).
Ibu
d).
Istri
e).
Saudara perempuan sekandung
Apabila seluruh
ahli waris yang
berjumlah 25 orang
(laki-laki dan perempuan) semua
ada, maka hanya
5 orang saja
yang berhak mendapat bagian, mereka adalah[15] :
a).
Suami atau istri
b).
Anak laki-laki
c).
Anak perempuan
d).
Bapak
e).
Ibu
F. Sebab- sebab Yang Dapat Menghalangi Waris
Dalam
perjalanan perkembangan hukum Islam di
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
lahir setelah eksistensi Peradilan Agama
diakui dengan hadirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab himpunan atau
rangkaian kitab fikih
serta bahan-bahan lainnya
yang merupakan hukum materiil Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dalam bab
II tentang ahli
waris, pasal 173
huruf a dan b berbicara tentang penghalang kewarisan yang
berbunyi” Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim
yang telah mempunyai hukum tetap”, dihukum karena:
a. Dipersalahkan
telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dalam
huruf a diatur tentang terhalangnya seseorang untuk menjadi ahli waris yang
pada dasarnya berupa kejahatan terhadap pewaris yaitu membunuh, mencoba
membunuh, dan menganiaya berat. Adapun halangan lainnya seperti yang sudah
disepakati fuqaha yaitu
perbedaan agama tidak
dikemukakan secara jelas dalam pasal ini. Namun, KHI hanya menegaskan
indikator untuk
mengatakan
bahwa seseorang itu harus beragama Islam,[16] sebagaimana dalam pasal 172 berikut ini: “Ahli waris
dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari
Kartu Identitas atau pengakuan
atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi
bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya” Percobaan pembunuhan dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak pidana
tampaknya baik dalam
al-Qur’an maupun as-Sunnah
tidak memberi pengaturan secara
tegas bahwa tindakan tersebut dapat menghalangi seseorang ahli waris untuk mendapatkan warisan.
Percobaan pembunuhan dan penganiayaan berat kepada pewaris
sebagai penghalang kewarisan merupakan hal baru yang tidak ditemukan dalam dua
sumber hukum tersebut. Sebagaimana dalam uraian terdahulu dijelaskan bahwa
walaupun fuqaha masih berselisih pendapat
mengenai jenis pembunuhan
yang menjadi penghalang kewarisan
namun pada dasarnya
mereka bersepakat bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang menghalangi seseorang untuk mendapat haknya sebagai ahli
waris dari pewaris yang menjadi korbannya. Pada
masa lahirnya pendapat
para fuqaha tersebut,
belum ditemukan usaha atau cara
untuk memberikan pertolongan kepada korban
yang sedang sekarat akibat perbuatan seseorang yang ingin membunuhnya.
Sehingga bias dipahami mengapa perdebatan fuqaha pada masa itu hanya
seputar jenis atau macam dari pembunuhan yang bisa menjadi penghalang
kewarisan.Akibat pesatnya perkembangan
teknologi, alat-alat canggih
yang menunjang ilmu kedokteran mulai bermunculan dan hal tersebut mempunyai pengaruh yang
sangat signifikan dalam tindakan penyelematan
korban dan memberikan peluang besar untuk kesembuhan korban. Berdasarkan
kenyata’an muncul istilah percobaan pembunuhan. Istilah ini muncul karena
perbuatan yang sudah direncanakan sejak awal oleh pelaku, gagal akibat suatu
hal yang menyebabkan niatnya untuk membunuh tidak terlaksana dengan sempurna. Usaha percobaan berarti suatu perbuatan yang menjadi bagian
dari serangkaian perbuatan yang apabila tidak terganggu akan dapat berakibat
dilakukannya kejahatan yang lebih besar.[17] Para
ulama tidak banyak berbicara tentang percobaan melakukan tindak pembunuhan karena
perbuatan ini termasuk jarimah ta’zir yang banyak berubah
sesuai ruang dan waktu, kebiasaan, serta karakter suatu masyarakat.[18]Selain
itu, dengan adanya aturan-aturan khusus
untuk percobaan tidak perlu diadakan,
sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had atau kifarat. Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas
jarimah-jarimah atau perbuatan yang dilarang oleh syara dan ditentukan
hukumannya oleh Tuhan
yang tertentu benar-benar
telah selesai, maka artinya
setiap percobaan (memulai)
sesuatu perbuatan yang dilarang
hanya dijatuhi hukuman ta’zir dan
percobaan itu sendiri dianggap maksiat yakni
kejahatan yang telah
selesai juga, meskipun
merupakan satu bagian saja di
antara bagian-bagian lain yang membentuk kejahatan yang tidak selesai, selama
satu bagian itu sendiri dilarang[19].Masalah
percobaan melakukan jarimah ada diperbincangkan dalam fase-fase pelaksanaannya.
Seseorang yang melakukan jarimah setidaknya melewati tiga fase yaitu
fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase
pelaksanaan. Percobaan jarimah terletak pada fase pelaksanaan karena dalam
fase ini
seorang pelaku telah
dapat dikenai sanksi
bila perbuatannya itu merupakan suatu maksiat meskipun belum
selesai. Jadi, yang dimaksud dengan
percobaan di sini adalah
mencakup dari ketiga fase
tersebut dimana pelaku berpikir,
bersiap-siap, kemudian
melaksanakan perbuatan namun perbuatan tersebt belum selesai sehingga hasil
akhirnya tidak sebagaimana yang diharapkan. Menurut Asywadie Syukur, hukum Islam
menganggap percobaan dalam kejahatan
pembunuhan termasuk kejahatan
yang sempurna, tanpa
melihat kepada akibat dari perbuatan tersebut[20] Selain
pembunuhan dan percobaan pembunuhan, huruf a pasal 173 KHI juga memasukkan
penganiayaan berat terhadap pewaris dijadikan penghalang kewarisan. Hukum Islam
membagi penganiayaan yang menyebabkan kematian (diistilahkan fuqaha sebagai pembunuhah
semi sengaja) dan penganiayaan terhadap tubuh yaitu penganiyaan terhadap tubuh manusia yang tidak sampai membawa
kepada kematian. KHI tidak
memberikan penjelasan yang
konkrit tentang apa
yang dimaksud dengan percobaan pembunuhan dan penganiyaan berat. Namun,
jika redaksi pasal penghalang kewarisan
ditelaah dengan seksama yaitu “seorang
terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai hukum yang tetap, maka disimpulkan
bahwa percobaan pembunuhan dan
penganiyaan berat yang dimaksud adalah sebagaimana dalam hukum pidana yang
berlaku di Indonesia. Baik percobaan pembunuhan
ataupun penganiyaan berat
adalah suatu tindak pidana yang
melanggar hukum. Oleh karena itu, dalam pasal173, KHI menegaskan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan tersebut kehilangan haknya sebagai ahli
waris dari pewaris yang adalah korbannya
jika ia telah terbukti bersalah dan putusan hakim pun harus berkekuatan hukum tetap (in kracht). Di
samping itu, karena ada banyak cara yang
bisa dilakukan oleh pelaku untuk merealisasikan niatnya misalnya menyewa
pembunuh bayaran, maka penetapan pelaku atas
perbuatan tersebut perlu keputusan hakim. Oleh karena itu,
percobaan pembunuhan dan
penganiyaan berat ini baru
bisa dijadikan alasan
penghalang kewarisan apabila telah melalui proses persidangan
untuk mengetahui apakah perbuatannya tersebut sudah memenuhi unsur-unsur dari
tindak pidana. Lebih dari itu juga untuk membuktikan bahwa pelaku terbukti
mempunyai itikad atau
motif untuk melakukan
perbuatan tersebut atau tidak . Salah
satu prinsip hukum
Islam yaitu menjauhi
kemudharatan dan mengambil kemashlahatan. Prinsip tersebut bisa tercapai apabila lima
unsur yang pokok dapat
dipelihara dan diwujudkan
yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Berdasarkan prinsip
tersebut, maka ketika
percobaan pembunuhan dan
penganiyaan berat menjadi
penghalang kewarisan oleh KHI dapat dianggap sebagai upaya untuk menjauhi
kemudharatan. Memelihara jiwa atau hifzh nafs adalah salah satu aplikasi dari
maqashid syariah dalam rangka mencapai kemashlahatan. Seseorang yang
mencoba membunuh atau menganiaya
berat “calon muwarris” nya
disinyalir ingin mempercepat pembagian warisan karena pada dasarnya warisan
akan diperoleh apabila
pemilik harta tersebut
meninggal. Jalan atau cara untuk mempercepat pembagian warisan tersebut
harus ditutup sebagai tindakan pencegah. Dalam ranah ushul fikih, tindakan
pencegahan itu disebut metode sadd al-zariah. Para ulama mengemukakan dua sisi yang dapat
dilihat dari zari’at yaitu dari sisi motivasi seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan dan sisi dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.[21]Mencoba membunuh
dan menganiaya berat
“calon muwarris” nya memiliki
unsur kesengajaan dan indikasi kuat untuk mempercepat mendapat warisan. Dua
perbuatan ini memiliki
dampak yang tidak
kalah hebat dari pembunuhan. Oleh karena itu, orang yang
ingin mempercepat warisan dengan dua
perbuatan tersebut dapat
dicegah jika jalannya
tertutup yaitu dengan menutup hak warisnya.
G.
Masalah-Masalah Dalam Pembagian Harta Waris
1. Masalah ‘Aul; ‘Aul secara istilah adalah
bertambahnya jumlah ash-habul furudh
yang menyebabkan hak waris yang
didapatkan para ahli waris berkurang.
Hal ini terjadi jika jumlah ash-habul furudh sangat banyak dan ada sebagian
dari mereka yang tidak mendapatkan warisan karena telah habis dibagikan untuk
sebagian dari mereka. Apabila hal ini
terjadi, maka yang dilakukan dalam pembagian waris adalah menambah asal
masalah, sehingga warisan itu mencukupi dan dapat dibagikan untuk seluruh
ash-habul furudh. Dengan demikian, bagian seluruh ahli waris akan dikurangi, namun tidak ada ahli waris
yang tidak mendapatkan bagian. Masalah
‘aul tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan juga pada
zaman Abu Bakar
r.a. Akan tetapi
baru terjadi untuk
yang pertama pada zaman Al-Faruq, Umar Ibnu Khathab r.a.
2. Raad
Raad
adalah kebalikan dari ‘aul, yaitu mengembalikan sisa dari harta warisa setelah
bagian tetap kepada ash-habul
furudh secara proporsional apabila tidak ada ‘ashabah. Raad
tidak terjadi dalam suatu keadaan, kecuali apabila terwujud tiga syarat
berikut:
a. Adaanya ashabul furudh
b. Tidak adanya ‘ashabah
c. Adanya sisa harta waris
Jika
dalam pembagian waris tidak
ada ketiga syarat tersebut
maka kasus radd tidak akan terjadi. Raad dapat terjadi dan melibatkan
semua ashabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami istri bagaimanapun keadaannya
tidak mendapat bagian tambahan sisa harta waris yang ada.
Hal ini disebabkan oleh kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan
tetapi kekerabatan sababiyah yaitu karena sebab adanya ikatan tali pernikahan.
Kekerabatan ini akan putus hanya denagn adanya kematian.
Penyelesaian
masalah radd: Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris ibu, dan
seorang anak perempuan. Harta warisannya sebesar Rp12.000.000. Maka penyelesaiannya sebagai
berikut;
Tabel.
2.1
Ahli waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
12.000.000
|
||||
Istri 1/6
|
1
|
6
|
1/4x12.000.000
|
3.000.000
|
Satu Anak
Pr
|
1/2
|
3
|
3/4x12.000.000
|
9.000.000
|
Jumlah
|
12000000
|
Catatan
: Dari enam dikurang (di raad) menjadi empat (Asal Masalah).
3.
Anak Dalam Kandungan
Syarat
bahwa ahli waris itu berhak menerima warisan yaitu apabila ia hidup pada saat berlangsungnya kematian pewaris, maka
bayi dalam kandungan mendapat
warisan dari kerabat
yang meninggal. Janin yang masih
dalam kandungan adalah subjek hukum, maka ia berhak menerima warisan
sebagaimana ahli waris yang lain, dengan
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Sudah berwujud di dalam rahim di kala pewaris
meninggal dunia, meskipun masih berbentuk embrio.
b.
Dilahirkan dalam keadaan hidup. Sabda Nabi saw; إذا استهل المولود
ورث
Apabila
bayi yang dilahirkan itu menangis keras maka ia boleh mewarisi (HR Abu Daud)
4. Kewarisan Orang yang
Hilang (Mafqud)
Orang
hilang adalah orang yang tidak pernah diketahui lagi kabarnya, apakah dia masih
hidup atau sudah meninggal. Mengenai hatra waris orang yang hilang ini dibagi
menjadi dua. Pertama, orang lain yang mewarisi harta orang yang hilang, dan
kedua orang hilang yang mewarisi dari orang lain.
Beberapa
cara untuk penyelesaian pembagian harta warisan yang ahli warisnya ada yang
mafqud, yaitu[22]:
a.
Dikerjakan dahulu beberapa
bagian mereka masing-masing sekiranya si mafqud dianggap
masih hidup,
b.
Dikerjakan lagi beberapa bagian mereka masing-masing sekiranya si mafqud
dianggap sudah mati,
c.
Dan dari
dua cara penyelesaian
tersebut maka para
ahli waris diberikan bagian yang
terkecil dari dua perkiraan. Sisanya ditahan untuk si mafqud, sampai
persoalannya menjadi jelas, baik melalui vonis pengadilan, maupun karena
kadaluwarsa masa tunggu. Misalnya Seseorang
meninggal dunia,
meninggalkan ahli waris istri, ibu, saudara kandung. Harta warisannya
sebesar Rp 36.000.000.
1) Bila si mafqud dianggap telah masih hidup
Tabel.2.2
Ahli waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
12
|
36000000
|
|||
Istri
|
1/4
|
3
|
3/12x36.000.00
|
9.000.000
|
Ibu
|
1/3
|
4/12x36.000.000
|
12.000.000
|
|
Saudara
kandung sisa
|
(12-7)
|
5
|
5/12x36.000.000
|
15.000.000
|
Jumlah
|
36.000.000
|
2) Bila si mafqud diperkirakan sudah mati
Tabel.
2.3
Ahli waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
12
|
36000000
|
|||
Istri
|
1/4
|
3
|
3/12x36.000.00
|
9000000
|
Ibu
|
1/3+radd
|
9
|
9/12x36.000.000
|
27000000
|
Jumlah
|
36000000
|
Sesuai
dengan ketentuan bahwa bagian yang diberikan kepada para ahli waris ialah bagian yang terkecil
dari dua perkiraan si mafqud masih
hidup atau sudah
meninggal, maka bagian
yang diberikan kepada
istri adalah Rp 9.000.000 dan yang diberikan kepada ibu adalah Rp
12.000.000. Sedangkan sisanya Rp 15.000.000
ditahan untuk si mafqud
sampai jelas persoalannya.
5.
Mati Serentak (mati beruntun)
Mati serentak
atau mati bersama
adalah orang-orang yang
saling mewarisi sekaligus meninggal, tidak diketahui siapa diantara
mereka ayng meninggal terlebih dahulu, dan saipa yang belakangan. Misalnya
orang yang mempunyai hubungan kewarisan
tenggelam bersama dalam
kecelakaan kapal. Contoh
penyelesaian : Seorang suami istri
mati bersamaan dengan
meninggalkan masing- masing
Rp40.000.000 dan meninggalkan ahli waris masing-masing seorang anak laki-laki.
Menurut
pendapat pertama :
a. Anak laki-laki dari suami menerima Rp
40.000.000 secara ashabah.
b. Anak laki-laki
dari istri menerima
Rp40.000.000 secara ashabah juga.
Sedangkan suami tidak dapat mewarisi harta peninggalan siistri dan istri juga
tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami. Menurut
Pendapat
kedua :
a.
Suami
mewarisi 1/4 bagian
dari harta peninggalan
istri, yakni
Rp10.000.000.
b.
Istri
mewarisi 1/8 bagian
dari harta peninggalan
suami, yakni
Rp.5.000.000.
c. Harta peninggalan
suami seluruhnyaRp40.000.000-Rp5.000.000+Rp10.000.000= Rp45.000.000
d. Harta
peninggalan istri seluruhnya Rp 40.000.000 - Rp10.000.000 + Rp5.000.000=
Rp35.000.000. Dengan demikian anak
laki-laki suami mendapat Rp 45.000.000. Anak laki-laki istri mendapat
Rp35.000.000
6.
Kewarisan Khunsta Musykil
Orang yang
mempunyai dua alat kelamin
laki-laki dan perempuan atau sama
sekali tidak memiliki
kedua-duanya disebut khunsta.
Dalam redaksi lain, khunsta adalah seseorang yang diragukan apakah ia laki-laki atau perempuan, karena ia
mempunyai dua jenis kelamin (penis dan vagina) atau ia tidak mempunyai sama
sekali jenis kelamin. Dalam sebagian besar kasus, jenis
kelamin seseorang dapat
menentukan bagian warisan
yang diterimanya. Dari seluruh orang yang berhak sebagai ahli waris,
maka ada tujuh macam orang
yang ada kemungkinan
berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah[23]:
a. anak
b. cucu
c. saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
d. anak saudara atau keponakan (kandung atau
sebapak)
e. paman (kandung atau sebapak)
f. anak paman atau sepupu (kandung atau
sebapak)
g. mu’tiq (orang yang pernah membebaskan si
mayit)
Selain ketujuh
macam orang itu,
tidak mungkin berstatus
sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau isteri tidak mungkin khuntsa karena salah satu syarat timbulnya
perkawinan adalah terjadi antara seorang laki- laki dan seorang perempuan yang
sudah jelas jenis kelaminnya. Untuk Khuntsa menurut pendapat yang paling rajih
hak waris yang diberikan kepadanya
hendaklah yang paling
sedikit di antara
dua keadaannya, keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita.
Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi
jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau
sampai Khuntsa itu
meninggal hingga bagiannya
berpindah kepada ahli warisnya. Makna
pemberian hak Khuntsa dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha
mawaris mu’amalah bil adhar yaitu jika
Khuntsa dinilai sebagai
wanita bagiannya lebih
sedikit, maka hak
waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita,
dan bila dinilai sebagai laki-laki dan
bagiannya ternyata lebih sedikit,
maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan,
bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya,
maka diputuskan bahwa Khuntsa tidak mendapatkan hak waris. Bahkan dalam mazhab
Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur
haknya dikarenakan adanya Khuntsa dalam salah
satu dari dua
status (yakni sebagai
laki-laki atau wanita),
maka gugurlah hak warisnya. Contoh
pembagian warisan khunsta musykil[24]:
Seseorang meninggal
dunia meninggalkan ahli waris anak laki-laki dan anak khunsta. Harta warisannya
sebesar Rp12.000.000. Maka
penyelesaian masalahnya. Apabila khunsta
itu dihukumkan laki-laki,
maka anak laki-laki mendapat 1/2 bagain.
Anak khunsta mendapat
1/2 bagian. Apabila anak khunsta itu dihukumkan perempuan, maka
anak laki-laki mendapatkan 2/3 bagian. Dan anak khunsta mendapat 1/3 bagian.
Jika terdapat hal semacam ini, maka
warisan itu hanya boleh
diberikan kepada masing-masing
ahli waris dengan jumlah bagian yang paling sedikit.
Tabel.2.4
Ahli waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
6
|
12.000.000
|
|||
Anak laki laki
|
1/2
|
2
|
3/6x12.000.00
|
4.000.000
|
Anak khunsa
|
1/3
|
9
|
2/6x12.000.000
|
6.000.000
|
Jumlah
|
12000000
|
Sisa
yang 1/6 atau Rp2.000.000 ditahan untuk
sementara, sehingga dapat
dihukumkan apabila khunsta itu laki-laki atau perempuan.
BAB.III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat kewarisan mengenai Islam
merupakan hukum Islam yang dijadikan atau diadopsi kedelam hukum positif
Indonesia.Hal ini tentunya terjadi karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim sehigga menjadikan hukum Islam sangat bagus untuk dimasukkan ke dalam hukum
positif Indonesia. Juga sebenarnya hukum Islam jauh lebih baik dari pada
hukum-hukum yang lain. Selain itu hukum Islam juga sangat cocok dengan
kepribadian bangsa Indonesia
Dari berbagai pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum waris dalam Islam berkenaan dengan yang berhak
mewarisi, menghilangkan perbedaan sifat
pria
dan wanita, ayah dan ibu selalu mendapatkan warisan,
saudara laki-laki atau perempuan gugur hak warisnya apabila
ada
ibu bapak, jika
terjadi
bersama-sama
mewarisi pria
dan wanita dalam derajat yang sama maka bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, dan harta
warisan baru dibagikan
kepada ahli
waris
setelah dikurangi pembayaran
utang dan/atau penunaian
wasiat.
Dalam pembagiannya terdapat beberapa golongan yaitu:
(1) dhawu al-furu>d}, (2) ‘as}a>bah, dan (3) dhawu al-arh}a>m
Terdapat enam asas dalam pewarisan Islam, yaitu: (1) asas
ijba>ry, (2) asas waratha, (3) asas thuluthay al-ma>l, (4) asas bilateral, (5) asas keadilan atau keseimbangan, dan (6) asas individual
Sedangkan dalam pewarisan Islam di Indonesia terdapat tiga asas yang dianut, sebagaimana
dalam
Kompilasi Hukum Islam, yaitu: (1) asas
ijba>ry, (2) asas waratsa, dan (3) asas bilateral.
B. SARAN
Demikian
makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca
yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan saran kritik konstruktif
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Daftar Pustaka
1. Dede Rosyada. Hukum
Islam dan Pranata
Sosial. Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 1999.
2. Ismail Muhammad Syah. Filsafat
Hukum Islam.
Jakarta, Bumi
Aksara, 1992.
3. John
L. Esposito (et.al). Ensiklopedia Oxford, Jilid. VI. Bandung, Mizan, 2001.
4. Juhaya
S. Praja.
Filsafat Hukum Islam. Bandung, LPPM
UNISBA, 2002.
5. R. Abdul Djamali.
Hukum Islam. Bandung,
Mandar
Maju, 2002.
6. Suparman
Usman. Ikhtisar
Hukum Waris.
Serang, Darul Ulum Press, 1993.
7. H.M.
Asywadie Syukur, Studi Perbandingan Tentang Beberapa Macam Kejahatan dalam KUHP
dan Fikih Islam, 1990, hal 62
8. Zainuddin
Ali, Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta Sinar Grafika, 2006, halaman
98
9. Ahmad Warsom
Al-Munawir, Kamus Arab
Indonesia Pustaka Progesif , halaman. 16
10. Ahmad Warsom
Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia , Yogyakarta : Pustaka Progesif,1997,
hlm. 1655
11. Muslih
Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Cet, ke-
I,1997, hlm. 6.
12. Ah.
Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet. Ke-4,2000,
hlm 355
13. Arsumi
A. Rahman, et al, Ilmu Fiqh 3, Jakarta IAIN Jakarta, 1986, Cet ke 2, hlm. 1
14. Muhammad
Ali Ash Abuni, al Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhani’ al Kitab wa
Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema
Insane Press, 1995, hlm. 33
15. Eman Suparman,
Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005, halaman. 17-18
16. Ali
Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, halaman. 27
17 Hazairin.TT,
Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Tintamas, halaman;15
18. Amir
Syaifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 2008, halaman.;222
19 H. Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 2010) hal 78
20 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan
PerbandinganHukum,(Bandung:, 1984),
halaman 70.
21 H. A.
Djadzuli, Fikih Jinayat:Upaya Menang gulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta:,
1997), halaman 21.
22. Makhrus
Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Jogjakarta: TERAS, 2009), hal42-43
23. Fachtur
Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al Ma’rif, 1981. hal 488
Komentar