Sejarah Mazhab Syafi'i Masuk ke Aceh dan Pulau pulau Jawa

Sejarah Mazhab Syafi'i Masuk ke Aceh dan Pulau pulau Jawa 

Dayah Malikussaleh 05,maret,2019
Oleh; Waled Blang Jruen


Pendahuluan

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'i'iyah) adalah mazhab fiqih dalam Ahlussunah waljama'ah yang didirikan oleh Imam Syafi'i pada awal abad ke-9. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Aceh, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup pada zaman pertentangan antara dua aliran pertama Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan kedua Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik itu hanya menurut pendapat dan analisa baik dari ulama ulama dan para pakar ilmu tapi sebenarnya imam syafi'i bukan menolak hanya berbedapa pendapat sahaja, bukankan berbeda pendapat itu boleh maka sebaiknya kita jangan menagatakan imam syafi'i menolak atau kita mencari kata alin yang lebih pantas misalnya berbeda pendapat karena imam syafi'i juga banyak menggunakan kata kata ishtisan.  

Yang di maksud dengan Qiyas adalah berdasarkan persamaan illat itu ditetapkan hukum peristiwa yang pertama sama dengan peristiwa yang kedua. sedangkan pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau satu kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash , kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetepkan itu pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil itu dianggap kuat tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan kata lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan illat dari kedua peristiwa atau kejadiaan , sedangkan pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu peristiwa.

Istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqra’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqasid) syarak. Imam Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Meskipun imam Hanafi tidak merumuskan sendiri pengertian istihsan sebagai dalil istimbat hukum, murid-muridnya menegaskan bahwa pengamalan istihsan adalah mengamalkan dalil syar’i , bukan berdasarkan hawa nafsu dan subjektifitas, sebagaimana ulama lain menuduh imim hanafi telah meninggalkan nas dan menyia-nyiakan dalil. Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya, dan istihsan dipandang dari sandaran dalilnya. Dari segi pemindahan hukumnya istihsan berpindah dengan cara dari hukum kulli kepada hukum juz’I, dan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi. Dari segi sandaran dalilnya istihsan di sandarkan kepada Al Qur’an dan Hadist, Ijma, ‘Urf, Urusan yang sangat darurat, Qiyas khafi Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara. Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah Swt

Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits pada zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.Landasan dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam kitab kitab tersebut. Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum furu'iyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut:

1.Al-Quran, tafsir secara Dhahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.

2.Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).

3.Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

4.Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.

Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama"). Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil memengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru"). Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.

Peninggalan
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.

Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan paling banyak yang mengikuti umat dan merupakan mazhab terbesar dalam hal jumlah pengikutnya: 

Mazhab Hanafi dianut sekitar 35% dari keseluruhan umat Islam, penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan). 

Imam Malik, 
diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi 

Syafii
Artikel utama: Mazhab Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i, merupakan mazhab terbesar dalam mazhab fikih Sunni, dengan memiliki penganut sekitar 50% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar terutama di Aceh-Indonesia, Iran, Mesir, Somalia bagian Timur, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, Filipina, dan menjadi mazhab resmi Nanggroe Aceh Darussalam  juga negara Malaysia dan Brunei Darussalam. 

Hambali
Artikel utama: Mazhab Hambali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi. 

Penyebaran
Mazhab Syafi'i (warna Biru tua) dominan di Afrika Timur, dan di sebagian Jazirah Arab dan Asia Tenggara. Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
1.Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
2.Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
3.Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
4.Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain
1.Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari
2,Imam Bukhari
3.Imam Muslim
4.Imam Nasa'i
5.Imam Baihaqi
6.Imam Turmudzi
7.Imam Ibnu Majah
8.Imam Tabari
9.Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
10.Imam Abu Daud
11.Imam Nawawi
12.Imam as-Suyuti
13.Imam Ibnu Katsir
14.Imam adz-Dzahabi
15.Imam al-Hakim

bagaimana Mazhab Syafi'i bisa berkembang di seluruh dunia? Pakar hukum islam, Abu Zahrah, dalam Tarikh Madzahib al-Islamiyah mencatat penyebaran dan penguatan mazhab biasanya tidak lepas dari campur tangan pemerintah.

Menurut Abu Zahrah, pemerintah atau khalifah pada masa itu sering mengangkat hakim dari mazhab yang berlaku. Di Irak misalnya, ketika Daulah Abbasiyah menjadikan kota Baghdad sebagai ibu kota, khalifah memilih ulama-ulama dari kalangan hanafiyah untuk mengisi pos-pos hakim. Bahkan ketika suatu saat khalifah memilih ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i, tepatnya pada masa Khalifah al-Qadir Billah (w. 422 H), terjadi kegaduhan oleh penduduk Baghdad karena fatwa yang dikeluarkan. Hingga akhirnya khalifah pun mencopot ulama yang bermazhab Syafii tersebut. Begitu juga dengan Mazhab Maliki. Jika penyebaran Mazhab-Mazhab sebelumnya, baik Hanafi maupun Maliki, terjadi melalui bantuan pemerintah pada saat itu, dengan menjadikan mazhab tersebut sebagai mazhab resmi negara, maka berbeda halnya dengan persebaran Mazhab Syafi'i. Mazhab Syafii berkembang bukan berawal dari campur tangan pemerintah. Mazhab ini tersebar luas karena tangan dingin murid-murid Imam al-Syafi'i dan para pengikutnya.Syekh Ali Jum’ah dalam Tarikh Ushul Fiqh mencatat ada 5 fase perkembangan Mazhab Syafii. Mulai mazhab tersebut dibangun oleh Imam al-Syafi'i hingga tersebar luas sampai sekarang. Hal ini didukung dengan beberapa literatur lain, seperti Manaqib al-Syafii karya Imam al-Baihaqi, Fakhruddin al-Razi dalam kitab yang berjudul sama, dan Adab al-Syafii wa Manaqibuhu karya Abdurrahman bin Abi Hatim.

1.Fase pertama persebaran mazhab ini dimulai pada tahun 178 H, yakni setelah Imam Malik wafat dan berlangsung hingga 16 tahun. Fase ini berlangsung hingga Imam al-Syafi'i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H.

2.Fase kedua, munculnya mazhab lama (qadim). Fase ini dimulai ketika kedatangan Imam al-Syafi'i ke Baghdad yang kedua kalinya, tahun 195 H, hingga al-Syafii hijrah ke Mesir pada tahun 199 H. Pada fase inilah muncul fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i yang dikategorikan dan sering disebut sebagai kaul qadim. Sedangkan fase ketiga dimulai pada tahun 199 H, hingga wafatnya Imam al-Syafi’i. Bahkan bisa dibilang pada fase ini mazhab baru (jadid) Imam al-Syafi’i telah sempurna, atau sering disebut sebagai kaul jadid. Setelah fase ketiga, fase-fase selanjutnya dimulai dengan periwayatan Mazhab Syafi'i oleh para muridnya (ashab al-syafiʻi). Pada fase keempat ini, para murid Imam al-Syafi'i cukup gencar dan massif dalam meriwayatkan masalah sesuai metode istinbath (penggalian hukum) ala Imam al-Syafi’i.

3. Fase ini dimulai pada abad ke-5 Hijriyah dan berakhir pada abad ke-7 Hijriyah. Pada fase inilah muncul ulama-ulama hebat murid Imam al-Syafi’i yang menulis ulang mazhab dan pemikiran Imam al-Syafi’i. Salah satunya, Imam al-Muzanni (w. 264 H). Ia menulis kitab al-Mukhtashar, ringkasan kitab al-Umm, kitab fikih karangan Imam al-Syafii. Usahanya ini disebut termasuk sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Madzab al-Syafi'i. Selain al-Muzanni, ada juga al-Buwaithy (w. 231 H), al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi 270 H) dan murid-muridnya yang lain. Setelah fase periwayatan selesai dan berakhir pada abad ke-7, fase selanjutnya adalah pengokohan dan penguatan rancang bangun mazhab.

4.Fase ini dilalui dengan menarjih (memilih pendapat yang paling kuat) dan menuliskannya dalam kitab-kitab ringkas (mukhtashar). Setelah dituliskan dalam kitab-kitab ringkas, kemudian muncul kitab-kitab penjelas (syarh) dari kitab ringkas tersebut. Di antara lima fase tersebut, yang paling menonjol adalah fase ketiga, ketika para murid Imam al-Syafi'i dengan sangat massif meriwayatkan fatwa sekaligus metode penggalian hukum yang dilakukan Imam al-Syaf'ii.

5.Fase ini dinilai sangat penting karena tanpa adanya fase ini, Mazhab Syafi'i tidak akan bisa berkembang hingga sekarang. Berapa banyak mazhab yang hilang dan tidak sampai di masa kita sekarang karena minimnya periwayatan. Bahkan menurut Ahmad Timur Basya dalam Nadhrah fi Tarikh Huduts al-Madzahib al-Arba’ah, penyebaran Mazhab Syafi'i tidak terlepas dari melimpahnya karya-karya para penganutnya. Dari karya-karya tersebutlah banyak orang belajar dan mengetahui seluk beluk, metode dan fatwa kalangan Syafi'iyah.

Dari Mesir Menyebar ke Negeri Lain
Negara Mesir menjadi sentra penyebaran mazhab Syafii yang cukup dominan. Walaupun, dalam sejarah, mazhab Syafi'i pernah menjadi kecil pengaruhnya akibat diganti dengan mazhab fikih Ahli Bait (salah satu aliran di Syiah) ketika kaum Syiah Rafidha menguasai Mesir, namun hal itu tidak bertahan selamanya. Mazhab Ahli Bait tersebut hilang bersamaan dengan tumbangnya kekhalifahan Daulah Ubaidiyin dari kalangan Rafidhah oleh Shalahuddin bin Yusuf bin Ayyub atau biasa dikenal dengan Salahuddin al-Ayyubi. Hingga akhirnya Mazhab Syafi'i dan para pengikutnya yang sebelumnya lari ke Irak kembali lagi ke Mesir. Ahmad Timur Basya mencatat ada beberapa tokoh besar yang ikut berpengaruh dalam menyebarkan Mazhab Syafi'i. Mulai dari Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi (yang biasa terkenal dengan sebutan Imam al-Nawawi) Izzuddin bin Abdussalam, Ibn Daqiq al-ʻId, Taqiyuddin al-Subki, hingga Sirajuddin al-Bulqini, ulama besar Syaf'iiyah yang tinggal di Mesir.

Baru setelah tersebar dengan begitu massif oleh para pengikutnya, Mazhab Syafi'i mulai digunakan sebagai mazhab resmi. Termasuk menjadi mazhab resmi Dinasti Ayyubiyah yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Tidak hanya di Mesir, Ahmad Timur Basya juga mencatat bahwa Mazhab Syafi'i juga dianut dan berkembang oleh beberapa negara, di antaranya Turki, Syam dan Irak. Sebelum disatukan oleh murid-murid al-Qafal al-Marwazi, Mazhab Syafi'i terpecah menjadi dua kelompok: kelompok Khurasan yang digawangi oleh Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain, serta kelompok Irak yang digawangi oleh Ahmad bin Hanbal dan ulama-ulama lain.

Menurut al-Subki dalam Muqaddimah Takmilat al-Majmu’, dialektika kedua aliran tersebut mulai menyusut setelah Imam al-Juwaini menyusun kitab yang secara khusus menarjih (mengunggulkan) masalah yang diperselisihkan oleh dua kelompok tersebut dalam Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab, dan mulai surut pada masa Imam al-Rafi’i dan al-Nawawi. Selain itu Mazhab Syafii juga merambah ke India Selatan, tepatnya di kota Malibar. Terbukti dengan adanya kitab fikih Syafi'iyah yang terkenal di kalangan pesantren yang digubah oleh Zainuddin al-Malibari berjudul Fathul Muin Syarh Qurratul Ain.

Bahkan berdasarkan penuturan Ibnu Batutah dalam Tuhfat al-Nadhar fi Gharaib al-Amshar wa Ajaib al-Asfar, Mazhab Syafii sudah mulai masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terlepas dari berbagai perdebatan siapa yang membawanya ke Nusantara, 92 pengikut Mazhab Syafii yang merupakan ulama-ulama kenamaan, mulai abad ke-3 hingga 14 Hijriyah. Termasuk dalam kategori tersebut beberapa ulama Nusantara yang tak diragukan lagi keilmuannya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Hasyim Asy’ari, hingga Syekh Sulaiman al-Rasuli.

Islam masuk ke Aceh sejak abad ke pertama Hijriyah dengan damai. Daerah yang mula-mula dimasuki Islam adalah Lamno (kota pelabuhan di Aceh Barat), Fansur (Singkel), Pasai (Lhok Soumawe), Perlak, Perlaman, Jambi, Malaka dan Jepara (Jawa Tengah).Yang mula-mula menganut Islam di Aceh  ialah orang-orang Persia yang tinggal di pantai-pantai Persia, Perlak. Mereka tinggal di sana adalah dengan tujuan untuk menyambut kawan-kawan mereka sebangsa yang datang berdagang melalui daerah itu menuju Tiongkok Pada tahun 17 H, kaum Muslimin di bawah pimpinan Khalifah ke II Umar bin Khattab menguasai Persia, sesudah mengadakan pertempuran di Qadisiyah dan Madain. Orang-orang persia sesudah itu berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini berpengaruh pada orang-orang Persia yang tinggal di Persia dan Perlak, sehingga mereka segera menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi di negeri negeri mereka dan berbondong-bondong pula masuk Islam. Penduduk asli Aceh ketika itu pada umumnya menganut agama islam sementara di beberapa pulau jawa mereka menganut Budha dan banyak pula yang tidak tau tentang beragama.

setelah Sunan Gresik atau Syeikh Maulana Malik Ibrahim dari Aceh berlayar ke pulau pulau jawa merupakan ulama pertama yang diberi gelar Wali Songo(Wali sanga )di bumi jawa. Mengenai tempat dan tanggal lahir dari Sunan Gresik, beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Akhirnya Sunan Gresik dinyatakan lahir di Samarkan, disebabkan nama lain dari Sunan Gresik yakni Makdum Ibrahim as-Samarqandy sebagaimana menurut Babad Tanah Jawi versi Meinisma menyebut as-Samarqandy berubah menjadi Asmarakandi Sunan Gresik memiliki saudara yang bernama Maulana Ishak, seorang ulama yang tersohor di Samudra Pasai. Ia juga merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Sunan Gresik dan Maulana Ishak merupakan anak dari seorang ulama Persia, yaitu Maulana Muhamad Jumadil Kubra.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir (571 M) hubungan dagang antara Persia, India dengan Tiongkok sudah lama terjalin. Pedagang-pedagang Persia dan India banyak yang pergi berdagang ke Tiongkok lewat laut dengan rute perjalanan Persia - Gujarat (pantai Idia sebelah barat) - Ceylon - Koromandel (pantai India sebelah timur) - Malaka (semenanjung Malaya) - Kamboja (Indocina) - Kanton (Tiongkok). Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam tahun 41 H, dipindahkannya ibu kota dari Madinah ke Damaskus, Damaskus pada zaman itu sudah lama menjadi rute perdagangan antara Tiongkok dan Eropa melalui darat. Damaskus menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah dagang yang datang dari Eropa menuju Tiongkok atau sebaliknya untuk istirahat dan melengkapi perbekalan.

Muawiyah bin Abi Sufyan disamping menaruh perhatian kepada kegiatan perdagangan melalui laut antara Bashrah - Teluk Persia - Tiongkok pulang pergi, beliau juga mengirim muballigh-muballigh Islam keluar negeri termasuk juga ke Indonesia. Utusan yang dikirim Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan itu bahkan ada yang sampai ke hulu sungai Jambi di Sumatera Tengah dan ke Jepara di Jawa Tengah Sesudah kerajaan Fathimiyah ditumbangkan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi di Mesir pada tahun 577 H, mulailah datang muballigh-muballigh Islam bermazhab Syafi’i ke Indonesia. Mereka diutus oleh kerajaan Ayyubiyah dan kemudian oleh kerajaan Mamalik. Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selama 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke 9 H (permulaan abad 14 M).

Kedua kerajaan ini adalah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah bermadzhab Syafi’i yang sangat gigih. Muballigh-muballigh yang dikirim oleh kedua kerajaan ini bertebaran ke seluruh pelosok dunia termasuk Indonesia. Diantara muballigh-muballigh Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail ash-Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam madzhab Syafi’i. Dengan usaha beliau, ummat Islam Pasai kembali menganut madzhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun sejak saat itu menjadi penganut madzhab Syafi’i yang gigih. Ismail ash-Shiddiq juga berhasil mengangkat Merah Silu, orang asli Indonesia menjadi raja di Pasai (1225-1297 M) dengan gelar al-Malik ash-Shalih. Berkat pengaruh Sultan al-Malik ash-Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan orang-orang Islam di Pulau Jawa sekitar abad ke 7 H. berbondong-bondong menganut madzhab Syafi’i.

Mulai tahun 1441 M sampai tahun 1476 M (820-855 H), di Malaka berkuasa Sultan Manshur Syah I, penganut madzhab Syafi’i yang tangguh. Sultan ini mengutus muballigh-muballigh Islam yang bermadzhab Syafi’i ke Minangkabau Timur yang sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang yang bermadzhab Syi’ah sesudah dikalahkan oleh mubalig muballig 1399 M. Berkat pejuangan dari muballigh-muballigh itulah madzhab Syafi’i berkembang kembali di Minangkabau Timur. Kemudian dari Miangkabau Timur madzhab Syafi’i berkembang ke Batak, Muara Sungai Asahan dan Simalungun, disiarkan oleh muballigh-muballigh Islam bermadzhab Syafi’i bekembang kembali di Minangkabau Timur. Mereka juga sampai ke Ujung Pandang dan Bugis, bahkan sampai ke pulau-pulau di Philipina dll yang dekat dengan philipina.

Dalam abad ke 15 M/9 H Kesultanan Samudra Pasai di Aceh dan Kesultanan Malaka di Negeri Malaya sangat aktif mengembangkan Islam madzhab Syafi’i ke Pulau Jawa, yaitu Demak dan Cirebon. Itulah sebabnya maka agama Islam bermadzhab Syafi’i dianut oleh ummat Islam di Pulau Jawa. Sebagaimana diuraikan di atas, di Pulau Jawa Islam juga masuk sejak paraWali berdakwah di pulau jawa juga pada pertengahan (abad 1 H), tetapi gelombang perkembangan agama Islam besar-besaran di Pulau Jawa terjadi dalam abad ke 15 M/9 H). khususnya sesudah Ulama Aceh berlayar ke pulau jawa, periode Wali Songo (Wali Sembilan).Wali Songo adalah muballigh-muballigh Islam asal Aceh menetap (Mustautinu) di tanah Jawa, semuanya menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Syafi’i. Nama-nama mereka adalah: Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Masih Ma’unat (Sunan Derajat), Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden Paku), Sunan Kalijaga, Syaikh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Kerajaan Islam Demak juga menganut madzhab Syafi’i berkat dakwah yang dilancarkan oleh muballighin Islam bermadzhab Syafi’i yang diutus oleh Kerajaan Pasai, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Demikian pula kesultanan Aceh di Pasai (abad 5-10 H) dan di Aceh Besar (abad 10-11) semua sultannya bermazhab Syafi’i dan berusaha pula mengembangkan madzhab Syafi’i di daerah kekuasaannya, bahkan sampai ke wilayah-wilayah lain di Nusantara ini. Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.

Sekitar abad 16 dan 17, tercatatlah dalam sejarah seorang ulama besar madzhab Syafi’i dari negeri Arab datang ke negeri Aceh, yaitu Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Ulama ini sangat berpengaruh dan berwibawa baik dalam Kesultanan Aceh maupun di kalangan rakyat negeri itu. Beliau mengarang kitab ash-Shirath al-Mustaqim Kitab Bustan as-Salathin. Kitab ash-Shirath al-Mustaqim pada abad ke 17 diberikan syarah oleh Syaikh Arsyad al-Banjari, mufti Syafi’i di Banjarmasin. Kitab Syafi’i ini tersebar luas di Indonesia dan di Semenanjung Malaya dari abad 18 sampai abad 20 ini. Upaya Syaikh Nuruddin ar-Raniri dalam mengembangkan Islam madzhab Syafi’i dalam abad ke 16 dan 17 di Aceh mendapat sambutan besar di kalangan ulama-ulama Islam di seluruh Aceh dan nusantara.Adapula ulama Aceh yang masyhur ketika itu, yaitu Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Fanshuri, seorang ulama fiqih Syafi’i yang mendapat kedudukan tinggi dan menjadi penasehat Sultan dalam hukum-hukum agama. Beliau pernah menerjemahkan tafsir al-Quran al-Baidhawi ke dalam bahasa Melayu. Banyak thullab dan santri datang belajar kepada beliau, diantarnya Syaikh Arsyad al-Banjiri yang kemudian menjadi mufti di Banjarmasin dan Syaikh Yusuf Tajul Khalwati dari Makasar yang kemudian menjadi mufti di Banten di bawah naungan Sultan Ageng Tirtayasa.

Berkat usaha dan perjuangan murid-murid Syaikh ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf al-Fanshuri dari Aceh ini bertambah tersiarlah agama Islam bermadzhab Syafi’i ke seluruh penjuru tanah air pada abad 17 dan 18 M. Kitab-kitab karangan ulama-ulama Syafi’iyah diajarkan di surau-surau dan langgar-langgar sampai sekarang bukan saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan Brunai Darussalam, seperti kitab ash-Shirath al-Mustaqim karangan Syaikh ar-Raniri dan lain-lainnya. Di tanah Jawa, pahlawan nasional Pangeran Dipenegoro, keturunan keraton yang berperang melawan Kolonial Belanda di sekitar Yogyakarta (1825-18930) adalah penganut faham Ahlusunnah wal Jama’ah bermadzhab Syafi’i. Keraton Yogyakarta, juga tidak mustahil, keseluruhannya menganut madzhab Syafi’i pula.

Di Sulawesi juga madzhab Syafi’i dianut oleh kaum Muslimin. Yang membawa ajaran madzhab ini ke sana adalah muballigh-muballigh Islam dari Minangkabau Timur. Salah seorang dari mereka yaitu Datuk Ri Bandang, telah berhasil mengislamkan Raja Goa tanggal 22 September 1605 M, dan diberi gelar Sultan Alauddin Awwalul Islam. Wazirnya pun ikut memeluk Islam. Akhirnya seluruh rakyatnya memeluk agama Islam Ahlussunah wal Jama’ah yang bermadzhab Syafi’i. Kerajaan Goa kira-kira tahun 1606 M, berhasil menaklukkan Raja Bone, kemudian pada tahun 1616-1626 M menaklukkan Raja Bima, Sumbawa dan Nusa Tenggara dan Buton. Islam bermadzhab Syafi’i masuk bersamaan dengan Islam ke Goa, Bone, Bima, Sumbawa, Lombok kemudian Buton.

Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Islam yang berkembang di aceh dan jawa sampai sekarang ini adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang bemadzhab Syafi’i.

Jalur  Kitab Syafi’iyyah
Dalam periwayatan madzhab Syafi’i yaitu jalur penyampaian ajaran Syafi’i hingga sampai ke tangan Muslimin sekarang ini, kita mengenal adanya dua corak/jalur periwayatan; jalur Khurasan dan jalur Irak. Hal ini berkaitan dengan perjalanan beliau dalam memperkenalkan pemikiran-pemikirannya dalam rentang antara tahun 179-204 H.

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat peta pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’i berikut ini:

- Fase persiapan membangun madzhab, yaitu semenjak meninggalnya Imam Malik sampai perjalanan Imam Syafi’i ke Baghdad kali kedua pada tahun 195 H.

- Fase madzhab qadim, yaitu dimulai semenjak kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad yang kedua (195 H), sampai beliau pindah ke Mesir pada tahun 199 H.

- Fase penyempurnaan dan pemantapan madzhab yang baru, yaitu semenjak di Mesir sampai wafat pada tahun 204 H.

- Fase penyelesaian pendapat dan buah pikiran Imam Syafi’i, hal ini dimulai semenjak Imam Syafi’i wafat sampai pada pertengahan abad ke-5 H.

- Fase stabil, yaitu setelah fase penyelesaian. Ditandai dengan bermunculanya kitab-kitab mukhtashar dalam madzhab yang berisikan pendapat-pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’i dan penjelasanya dengan metode sistematik.

Sebenarnya sangat banyak dan sangat rumit apabila diuraikan anatominya, terdapat jalur antara kitab-kitab dalam suatu madzhab yang mengagumkan. Jalur itu dapat dilacak dari orang-orang pertama yang menjadi murid Imam Syafi’i. Misalnya Mukhtashar al-Muzanni ditulis oleh Ismail bin Amr bin Ishaq Abu Ibrahim al-Muzanni (170-164 H). Banyak tulisanya tidak sampai kepada kita, hanya Mukhtashar-nya yang sampai kepada kita dan dikembangkan dengan berbagai mukhtashar, syarh, naqat (notasi-notasi) maupun hasyiah. Mukhtashar al-Muzanni beranak tiga buah kitab; Syarh Mukhtashar al-Muzanni oleh al-Qadhi Abu ath-Thayyib Thahir bin Abdullah ath-Thabari (348-450 H), asy-Syamil al-Kabir Mukhtashar al-Muzanni karya Abu an-Nashr Abd Sayyid ash-Shabbagh bin Muhammad (400-477 H), dan al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzanni karya Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H) kitab ini tidak ada orang yang menyambung.

Fiqih Madzhab Syafi’i sebagai Madzhab Resmi
Fiqih terdiri atas peraturan atau hukum-hukum yang digali (isthinbath) dari dalil-dalil syara’ oleh seorang mujtahid sesuai pemahamanya dalam kasus-kasus tertentu. Fiqih madzhab Syafi’i merupakan produk (atsar, qauliah) yang berkembang di dalam madzhab Syafi’i. Meskipun itu hasil elaborasi para mujtahid yang lalu, fiqih tetap atas dasar manhaj. Oleh karena itu bagaimanapun madzhab qauli akan tetap membutuhkan manhaj juga. Dengan demikian yang dimaksud madzhab di sini mencakup dua aspek, pertama qauli kedua manhaji. Di Aceh fiqih madzhab Syafi’i yang memang telah mengakar dalam sejarah tanah negeri aulia ini ditetapkan secara resmi sebagai rujukan pengadilan agama  407 Tahun (1496 – 1903 M) . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejak saat itu madzhab Syafi’i adalah madzhab resmi Negara tanah Aulia ya itu Nanggroe Aceh Darussalam. Karena demikian banyak kitab fiqih yang beredar dan diajarkan di Nusantara maka Departemen Agama membatasi 13 kitab dengan surat instruksi pada tahun 1953 untuk dijadikan di Pengadilan Agama, yaitu:
1.      Bughyat al-Musrtarsyidin oleh Husain Al Ba’alawi
2.      Al-Faraid oleh asy-Syamsuri
3.      Fath al-Mu’in oleh al-Malibari
4.      Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah oleh al-Juzairi
5.      Fath al-Wahab oleh al-Anshari
6.      Hasyiyah Kifayat al-Akhyar oleh al-Bajuri
7.      Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini
8.     Qawa’id asy-Syar’iyyah li al-Jazair al-Indonesiyyah al-Musamma Irsyad dzawi al-Arham Wajibat al-Qudhati wa al-Ahkam oleh Sayyid Shadaqah San’an, buku ini semacam buku acara
9.      Qawa’id Asy’ariyyah oleh Sayyid Utsman Bin Yahya
10.  Qalyubi al-Mahalliy wa Syarhihi
11.  Syarqawi ‘ala at-Tahrir oleh asy-Syarqawi
12.  Tarqib al-Mustaqq
13.  Tuhfat al-Muhtaj oleh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami (909-972 H).  

Mayoritas Muslim Aceh Bermadzhab Syafi’i
Didasarkan dari uraian sebelumnya dimana Muslim Indonesia Muslim menjadi mayoritas bermadzhab Syafi’i, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhinya:

1.Arus penyebaran Islam dilakukan oleh para pendakwah bermadzhab Syafi’i, baik da’i sebelum Wali Songo maupun sesudah mereka. Memang terdapat beberapa daerah yang –diduga- terpengaruh Syiah dengan ritus-ritus khas yang terlestarikan hingga saat ini, begitupun daerah yang di abad ke-19 tersentuh gerakan Wahabi, seperti di Sumatera Barat. Hanya saja ini kasuistik saja, gejala umumnya tetap Sunni-Syafi’i.

2. Para sultan di berbagai kerajaan Nusantara memberi dukungan atas pengajaran madzhab ini. Secara khusus mereka membiayai penulisan sebuah kitab. Misalnya, Sulthanah Shafiyyatuddin Syah, penguasa Aceh, meminta Syaikh Abdurrauf as-Sinkili merampungkan kitab fiqh Mir’at ath-Thullab yang selesai ditulis pada 1074 H/1663 M. Kitab ini bahkan dijadikan rujukan fiqh hingga di kepulauan Mindanao, Filipina. Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar, meminta Syaikh Arsyad al-Banjari menulis Sabil al-Muhtadin yang rampung pada 1195 H/1781 M.

3. Matarantai intelektual terjalin atas dasar kesamaan madzhab. Jaringan ini terlestarikan dari Haramain ke Nusantara. Sampai saat ini jaringan tetap terbina.

4. Arus imigrasi dari Hadhramaut (Yaman) memperkuat jejaring sosial-intelektual yang telah ada. Kitab-kitab karya ulama ‘Alawiyyin Hadhramaut menjadi acuan dalam tazkiyatunnafs, seperti Risalat al-Mu’awanah karya Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad. Demikian pula pembacaan Ratib (al-Aththas, al-Haddad) menjadi rutinitas khas di beberapa pesantren Nusantara.

5. Penulisan kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Nusantara merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah. Mir’at ath-Thullab-nya Syaikh as-Sinkili maupun Sabil al-Muhtadin-nya Syaikh Arsyad al-Banjari banyak merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah seperti Fath al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, Mughniy al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, Minhaj ath-Thullab, dan sebagainya. Kitab Shirath al-Mustaqim-nya Syaikh Nuruddin ar-Raniri juga banyak dikutip di dalamnya. Hal ini jelas mempengaruhi tradisi intelektual pada babak sejarah berikutnya. Demikian dominannya madzhab Syafi’i dan kitab-kitab Syafi’iyah sehingga hal ini sangat mempengaruhi corak istinbath al-ahkam dalam tradisi fiqh di kalangan Ulama Aceh ( Ulama Nanggroe Aceh Darussalam) 

6. Para qadhi-penghulu di era kesultanan hingga zaman kolonial menggunakan kitab fiqh Syafi’iyah sebagai rujukan utama.

Sebagai penutup, berikut ada dua kutipan kisah ulama tentang keutamaan madzhab Syafi’i. Bisa jadi ini juga merupakan faktor utama banyak generasi sekarang yang berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Pertama, . Syekh Abu Ishaq adalah Pemimpin Mazhab Syafi’i di zamannya serta guru besar di Madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Beliau adalah pemimpin masa itu dimana umat manusia berbondong-bondong datang kepadanya dari segala penjuru. Apa yang beliau alami persis sama dengan yang dialami oleh Imam Abu Abbas Ibn Sureij”.dalam kitab ath-Thabaqat al-Fuqaha karya Abi Ishaq asy-Syairazi hal. 175

تفقهت لأبي حنيفة فرأيت النبي صلى الله عام حججت، فقلت: يارسول الله قد تفقهت بقول آبي حنيفة أفأخذ به؟ فقال: لا، فقلت : آخذ بقول مالك بن أنس؟  فقال: خذ منه ما وفق سنتي . فقلت: فآخذ بقول الشافعي؟ قال: ما هو له بقول إلا أنه أخذ بسنتي ورد على ما خالفها. ومعنى هذا الخبر أن الشافعي أفضل من أبي حنيفة و مالك لأنه لم يقل الفقه برأيه، بل أخذه من السنة

“Ketika aku telah memahami madzhab fiqih Imam Abu Hanifah, aku bertemu Rasulullah Saw. dalam mimpiku pada musim Haji. Aku mengatakan dalam mimpiku, “Ya Rasulullah, aku telah memahami fiqih Abu Hanifah, apakah aku ambil pendapat darinya?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Jangan.”
-Lalu aku berkata lagi, “Apa aku ambil madzhab Imam Malik bin Anas?”
-Rasulullah Saw. menjawab, “Ambillah pendapat Imam Malik jika sesuai dengan  Sunnahku.”
-Lalu aku bertanya kembali, “Apakah aku ambil pendapat madzhab Imam Syafi’i?”
Rasulullah Saw. bersabda, “Apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i adalah bersumber dari Sunnahku, dan ia menolaknya jika bertentangan dengan Sunnahku.”

Dan dalam kitab Hasyiyah Bujairami ‘ala al-Khathib karya Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami juz 1 hal. 59 disebutkan:

فائدة إتفق لبعض الأولياء الله تعالى انه رأى ربه في المنام فقال يا رب بأي المذاهب أستغل فقال له مذهب الشافعي نفيس انتهى

“Ulama sepakat tentang adanya sebagian wali-wali Allah Swt. yang pernah bermunajah dengan Allah Swt. di dalam tidur (mimpi) mereka. Mereka, “Wahai Tuhanku, kepada madzhab siapakah kami harus ikut?” Maka Allah berfirman, “Madzhab Syafi’i itu lebih indah dan baik.” Wallahu a’lam.

Kutipan dari: kitab ath-Thabaqat al-Fuqaha karya Abi Ishaq asy-Syairazi dan Hasyiyah Bujairami ‘ala al-Khathib karya Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah