Wali 9 yg 6 dari acreh
Sembilan Wali Songo Enam Berasal Dari Aceh
Mengenai asal dari mana para Walisongo, banyak orang sedikit sekali menyadarinya bahwa empat dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal adalah dari Samudera Pasai.
Hal ini terjadi karena tidak ada perhatian serius (penelitian secara mendalam) dari berbagai pihak baik di Aceh maupun ilmuan di Jawa. mereka dalam mengkajinya cenderung tersamarkan referensi mengenai kejayaan kerajaan Islam Aceh, tetapi memang demikianlah faktanya sekarang.
Mungkin sebagian generasi baru di Aceh dan para ilmuan di Jawa tidak memahami bahwa, Belanda punya kecenderungan untuk tidak mengakui keagungan kerajaan Islam dan upaya kerajaan Islam Pasai dalam islamisasi di Nusantara, (Belanda melakukan ini untuk kelancara zendeling-misionaris di bumi Nusantara).
Alhasil, kajian-kajian yang dilakukan oleh ilmuan yang di Jawa menjadi kontradiktif dengan faktanya, dan ini berlangsung begitu saja tampa ada kajian yang kritis kemudian.
Selain itu, sejarah yang kontradiktif ini menjadi mata pelajaran untuk generasi bangsa berikutnya semenjak negara Indonesia lahir, ataupun memang ada unsur-unsur tidak ada tempat sejarah kerajaan Islam Pasai dalam pengetahuan anak bangsa Indonesia, sehingga menjadikannya samar dan gelap.
Padahal kerajaan Islam Samudera Pasai telah banyak melakukan dakwah-dakwah ke sebahagian wilayah-wilayah Asia Tenggara.
Hubungan satu sama lain di antara para pendakwa Walisongo bisa dilihat sebagai berikut, baik dalam ikatan darah (orang tua dengan anak), pernikahan, maupun dalam hubungan sebagai guru dengan murid:
1. Maulana Malik Ibrahim
Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia.
Pasai merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang tokoh utama dan pertama dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi.
Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana Malik Ibrahim meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak dikampung Gapura di Gresik.
2. Masaih Munad (Sunan Drajat)
Sunan Drajad atau Syarifuddin lahir pada tahun 1470 M. adalah seorang putera dari Sunan Ampel, (Sunan Drajad adalah cucunya Maulana Malik Ibrahim dari Pasai).
Nama Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden Qasim, Sunan Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa Timur dan ia terkenal seorang waliullah yang berjiwa sosial.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
3. Malik Ishaki (Sunan Giri)
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Maulana Saiyid Ishaq ayahnya (Sunan Giri) itu awalnya tinggal di Jawa kemudian pergi ke Pasai-Aceh dan ia tidak kembali lagi ke tanah Jawa, maka Raden Paku atau Sunan Giri kemudian diambil sebagai putera angkat oleh seorang wanita kaya yang bernama Nyi Gede Maloka.
Dalam Babad Tanah Jawa, disebut bernama dengan Nyai Ageng Tandes atau Nyai Ageng. Sunan Giri mendapat pendidikannya pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang.
Suatu ketika, Sunan Ampel memerintahkan kepada Maulana Makdum Ibrahim dan Raden Paku untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan menuju ke tanah Suci itu, mereka singgah terlebih dahulu di Pasai-Aceh untuk menuntut ilmu pada para ulama di tempat tersebut.
Raden Paku yang kemudian bergelar Syekh Ainul Yaqin[9] mengadakan tempat berkumpul di pondok pesantrennya di Giri, itu sebabnya ia dijuluki Sunan Giri. Dimana murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata).
Kontribusinya dalam hal bidang lain misalnya, ia adalah ulama yang mengirim utusan (muridnya) ke beberapa wilayah ke luar Jawa. murid-muridnya itu didelegasikan misalnya ke Bawean, Kagean, Ternate, Haruku kepulauan Maluku, dan Madura.
Amatlah besar kontribusinya itu jika kita melihat dari kegiatan yang ia lakukan. Sunan Giri ketika meninggal dunia dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik).
Dan kemudian pasca beliau (Setelah Sunan Giri) meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh yang lain seperti Sunan Delem, Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.
4. Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa yang merupakan Jeumpa-Aceh, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, ia adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami.
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim dengan Putri Raja Champa. Putri Raja Champa adalah wanita asal Jeumpa-Aceh.
Sunan Ampel kemudian kawin dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng Manila, dari perkawinannya ini beliau memperoleh 4 orang anak: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Istri Sunan Kalijaga.
kemudian Sunan Ampel wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban.
5. Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel. Sunan Bonang mendapat pendidikan agamanya pada ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel.
Sunan Bonang daerah tugas dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat sekali menyebarkan agama Islam.
Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban, di pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-kader muda Islam yang kemudian merekalah yang akan ikut juga menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa.
konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama nabi-nabi.
6. Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar, dan Syekh Jamaluddin Akbar sendiri adalah yang berasal dari Aceh.
Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati adalah cucunya dari Syekh Jamaluddin Akbar. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, nama ini lambatlaun berubah pengucapannya menjadi Fattahi’lah. Fatahillah dikenal juga sebagai ulama yang pemberani dalam perperangan, ia mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa, dan kemudian memberi nama daerah tersebut dengan nama “Jayakarta” yang berarti Kota Kemenangan.
Kemudian berubah lagi namanya menjadi Jakarta yang kita kenal salama ini.
Fatahillah adalah anak dari salah seorang wazir (petinggi kerajaan), dan ia sekaligus juga seorang ulama yang kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju Mekah, ketika daerah tersebut dikuasai oleh Portugis.
Pada saat Fatahillah kembali ke Pasai, ternyata Pasai masih dikuasai oleh Portugis sehingga ia menuju ke Demak pada awal abad ke 15 M, Demak dimana pada masa itu pemerintahan Raden Trenggono. Kemudian Fatahillah dinikahkan dengan salah seorang adik Sultan Trenggono.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, Fatahillah pergi ke Mekkah selama tiga tahun untuk memperdalam ilmu agama. Kedatangan Fatahillah ke Jawa pada saat itu disambut sangat baik oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono).
Kemudian Sultan Demak memberikan dukungan penuh kepada Fatahillah untuk merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis, dan Fatahillah mendapat kemenangan.
Pada tahun 1527 M, dan atas prestasi besar yang di perolehnya itu maka ia diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak.
Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama Jayakarta. Inilah cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia.
7.Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan (Sunan kudus)
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung. Lahir 9 September 1400, Yerusalem, Palestina Meninggal 5 Mei 1550, Kabupaten Kudus, jawa Nama lengkap: Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan Tempat kerja: Kekhalifahan Islam DemakMasa jabatan: 1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun) Anak Ratu Pajaka, Ratu Probodinalar, LAINNYA
8. Raden Mas Said (Sunan Kalijaga)
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak. Lahir: 1450, Kota Tuban, jawaNama lengkap: Raden Mas Said Kebangsaan jawa Dimakamkan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga, Demak,Pasangan: Dewi Saroh Anak: Sunan Muria, Dewi Safiah, Dewi Rakayuh
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sarah, putri Sunan Ngudung Nama lengkap: Raden Umar Said Kebangsaan jawa
Dimakamkan: Makam Sunan Muria, Anak: Sunan Nyamplungan, Raden Ayu Nasiki, Pangeran Santri Orang Tua: Sunan Kalijaga, Dewi Sarah Saudara kandung: Dewi Sofiah, Dewi Rakayuh
Mengenai asal dari mana para Walisongo, banyak orang sedikit sekali menyadarinya bahwa empat dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal adalah dari Samudera Pasai.
Hal ini terjadi karena tidak ada perhatian serius (penelitian secara mendalam) dari berbagai pihak baik di Aceh maupun ilmuan di Jawa. mereka dalam mengkajinya cenderung tersamarkan referensi mengenai kejayaan kerajaan Islam Aceh, tetapi memang demikianlah faktanya sekarang.
Mungkin sebagian generasi baru di Aceh dan para ilmuan di Jawa tidak memahami bahwa, Belanda punya kecenderungan untuk tidak mengakui keagungan kerajaan Islam dan upaya kerajaan Islam Pasai dalam islamisasi di Nusantara, (Belanda melakukan ini untuk kelancara zendeling-misionaris di bumi Nusantara).
Alhasil, kajian-kajian yang dilakukan oleh ilmuan yang di Jawa menjadi kontradiktif dengan faktanya, dan ini berlangsung begitu saja tampa ada kajian yang kritis kemudian.
Selain itu, sejarah yang kontradiktif ini menjadi mata pelajaran untuk generasi bangsa berikutnya semenjak negara Indonesia lahir, ataupun memang ada unsur-unsur tidak ada tempat sejarah kerajaan Islam Pasai dalam pengetahuan anak bangsa Indonesia, sehingga menjadikannya samar dan gelap.
Padahal kerajaan Islam Samudera Pasai telah banyak melakukan dakwah-dakwah ke sebahagian wilayah-wilayah Asia Tenggara.
Hubungan satu sama lain di antara para pendakwa Walisongo bisa dilihat sebagai berikut, baik dalam ikatan darah (orang tua dengan anak), pernikahan, maupun dalam hubungan sebagai guru dengan murid:
1. Maulana Malik Ibrahim
Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia.
Pasai merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang tokoh utama dan pertama dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi.
Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana Malik Ibrahim meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak dikampung Gapura di Gresik.
2. Masaih Munad (Sunan Drajat)
Sunan Drajad atau Syarifuddin lahir pada tahun 1470 M. adalah seorang putera dari Sunan Ampel, (Sunan Drajad adalah cucunya Maulana Malik Ibrahim dari Pasai).
Nama Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden Qasim, Sunan Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa Timur dan ia terkenal seorang waliullah yang berjiwa sosial.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
3. Malik Ishaki (Sunan Giri)
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Maulana Saiyid Ishaq ayahnya (Sunan Giri) itu awalnya tinggal di Jawa kemudian pergi ke Pasai-Aceh dan ia tidak kembali lagi ke tanah Jawa, maka Raden Paku atau Sunan Giri kemudian diambil sebagai putera angkat oleh seorang wanita kaya yang bernama Nyi Gede Maloka.
Dalam Babad Tanah Jawa, disebut bernama dengan Nyai Ageng Tandes atau Nyai Ageng. Sunan Giri mendapat pendidikannya pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang.
Suatu ketika, Sunan Ampel memerintahkan kepada Maulana Makdum Ibrahim dan Raden Paku untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan menuju ke tanah Suci itu, mereka singgah terlebih dahulu di Pasai-Aceh untuk menuntut ilmu pada para ulama di tempat tersebut.
Raden Paku yang kemudian bergelar Syekh Ainul Yaqin[9] mengadakan tempat berkumpul di pondok pesantrennya di Giri, itu sebabnya ia dijuluki Sunan Giri. Dimana murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata).
Kontribusinya dalam hal bidang lain misalnya, ia adalah ulama yang mengirim utusan (muridnya) ke beberapa wilayah ke luar Jawa. murid-muridnya itu didelegasikan misalnya ke Bawean, Kagean, Ternate, Haruku kepulauan Maluku, dan Madura.
Amatlah besar kontribusinya itu jika kita melihat dari kegiatan yang ia lakukan. Sunan Giri ketika meninggal dunia dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik).
Dan kemudian pasca beliau (Setelah Sunan Giri) meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh yang lain seperti Sunan Delem, Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.
4. Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa yang merupakan Jeumpa-Aceh, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, ia adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami.
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim dengan Putri Raja Champa. Putri Raja Champa adalah wanita asal Jeumpa-Aceh.
Sunan Ampel kemudian kawin dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng Manila, dari perkawinannya ini beliau memperoleh 4 orang anak: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Istri Sunan Kalijaga.
kemudian Sunan Ampel wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban.
5. Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel. Sunan Bonang mendapat pendidikan agamanya pada ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel.
Sunan Bonang daerah tugas dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat sekali menyebarkan agama Islam.
Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban, di pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-kader muda Islam yang kemudian merekalah yang akan ikut juga menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa.
konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama nabi-nabi.
6. Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar, dan Syekh Jamaluddin Akbar sendiri adalah yang berasal dari Aceh.
Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati adalah cucunya dari Syekh Jamaluddin Akbar. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, nama ini lambatlaun berubah pengucapannya menjadi Fattahi’lah. Fatahillah dikenal juga sebagai ulama yang pemberani dalam perperangan, ia mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa, dan kemudian memberi nama daerah tersebut dengan nama “Jayakarta” yang berarti Kota Kemenangan.
Kemudian berubah lagi namanya menjadi Jakarta yang kita kenal salama ini.
Fatahillah adalah anak dari salah seorang wazir (petinggi kerajaan), dan ia sekaligus juga seorang ulama yang kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju Mekah, ketika daerah tersebut dikuasai oleh Portugis.
Pada saat Fatahillah kembali ke Pasai, ternyata Pasai masih dikuasai oleh Portugis sehingga ia menuju ke Demak pada awal abad ke 15 M, Demak dimana pada masa itu pemerintahan Raden Trenggono. Kemudian Fatahillah dinikahkan dengan salah seorang adik Sultan Trenggono.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, Fatahillah pergi ke Mekkah selama tiga tahun untuk memperdalam ilmu agama. Kedatangan Fatahillah ke Jawa pada saat itu disambut sangat baik oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono).
Kemudian Sultan Demak memberikan dukungan penuh kepada Fatahillah untuk merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis, dan Fatahillah mendapat kemenangan.
Pada tahun 1527 M, dan atas prestasi besar yang di perolehnya itu maka ia diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak.
Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama Jayakarta. Inilah cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia.
7.Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan (Sunan kudus)
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung. Lahir 9 September 1400, Yerusalem, Palestina Meninggal 5 Mei 1550, Kabupaten Kudus, jawa Nama lengkap: Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan Tempat kerja: Kekhalifahan Islam DemakMasa jabatan: 1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun) Anak Ratu Pajaka, Ratu Probodinalar, LAINNYA
8. Raden Mas Said (Sunan Kalijaga)
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak. Lahir: 1450, Kota Tuban, jawaNama lengkap: Raden Mas Said Kebangsaan jawa Dimakamkan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga, Demak,Pasangan: Dewi Saroh Anak: Sunan Muria, Dewi Safiah, Dewi Rakayuh
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sarah, putri Sunan Ngudung Nama lengkap: Raden Umar Said Kebangsaan jawa
Dimakamkan: Makam Sunan Muria, Anak: Sunan Nyamplungan, Raden Ayu Nasiki, Pangeran Santri Orang Tua: Sunan Kalijaga, Dewi Sarah Saudara kandung: Dewi Sofiah, Dewi Rakayuh
Komentar