Korupsi Berbeda Sama dengan Mencuri


juli 16, 2018 studi,Stie Bumi persada
lhokseumawe, Oleh Tgk.Abdillah.SE

pengembangan  Dakwah Islamiyah  Yuffidul
Korupsi Berbeda dengan Mencuri.

a).Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukuman untuk koruptor? Apakah sama hukumannya dengan pencuri, yaitu potong tangan?...   Terima kasih.

b).Jawaban:
Wa’alaikumussalam !..
Korupsi dan Sanksi Terhadap Pelakunya




A.Latar belakang Korupsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi adalah, “Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau ora -ng lain.” (KBBI Hal. 462).
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. Dalam perkembangan selanjutnya kata “korupsi” dalam perbendaharaan Bah -asa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat disuap. Menurut perspek tif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 21 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pida -na penjara karena korupsi. Pemberantasan korupsi menempatkan kerugian negara seb [agai bentuk pelanggaran hak sosial dan ekonomi secara luas, sehingga disamping sebagai alat penegak hukum, juga penegak keadilan sosial dan ekonomi. Dari definisi di atas dap -at dipahami bahwa harta yang diselewengkan oleh seorang pegawai koruptor adakala -nya harta milik sekelompok orang tertentu, seperti perusahaan atau harta serikat dan adakalanya harta milik semua orang, yaitu harta rakyat atau harta milik negara.
B.Dalam tinjaun fikih,
Dalam tinjaun fiqh seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai instansi pemerintahan, ketika  dipilih untuk mengemban sebuah tugas, sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya, seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul. Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, XXXI/272).
C.Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara hal yang termasuk ghulul adalah menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga hendaklah dia mengambil pembantu (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak memiliki rumah hendaklah dia membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara). (Nadhratun Na`im, XI. Hlm. 5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata, “Sebagian para ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang berasal dari baitul maal (kas negara) dan zakat termasuk ghulul“. (Az Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta negara juga disetujui oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No. 9450, yang berbunyi, “Ghulul, yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagi oleh pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang diambil dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat (korupsi)”. (Fataawa Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.)
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam pembahasan takyiif fiqhiy (kajian fikih untuk menentukan bentuk kasus) tentang korupsi. (Jaraimul Fasad fil Fiqhil Islami, Hal. 99)
D.Hukum Potong Tangan untuk Koruptor
Apakah koruptor dapat disamakan dengan pencuri? Bila disamakan dengan pencuri, bolehkah dijatuhi hukuman potong tangan? Demikian pertanyaan mendasar yang patut kita jawab.
Allah berfirman, yang
artinya:
“>وَĜ§Ù„Ĝ³َّĜ§Ĝħِقُ وَĜ§Ù„Ĝ³َّĜ§ĜħِقَĜİُ فَĜ§Ù‚ْĜ·َĜıُوĜ§ Ĝ£َيْĜŻِيَهُمَĜ§ ĜĴَĜ²َĜ˘ĜĦً Ĝ¨ِمَĜ§ كَĜ³َĜ¨َĜ§ نَكَĜ§Ù„Ĝ§ً مِّنَ Ĝ§Ù„لهِ وَĜ§Ù„لهُ ĜıَĜ²ِيĜ²ٌ Ĝ­َكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38).
Firman Allah yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal harga barang yang dicuri, dimana tempat barang yang dicurinya dan lain sebagainya. Akan tetapi kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, para ulama menyaratkan beberapa hal untuk menjatuhkan hukum potong tangan bagi pencuri dengal dalil dalil lain yang menyagkut tentang pencurian. Di antaranya: Barang yang dicuri berada dalam (hirz) tempat yang terjaga dari jangkauan, seperti brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk barang berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak boleh memotong tangan pencuri.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma, “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang dicuri seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).
Batas minimal barang yang dicuri seharga 1/4 dinar berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang dicuri seharga 1/4 dinar hingga seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong tangan, bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai seharga 1/4 dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena koruptor menggelapkan uang milik negara yang berada dalam genggamannya melalui jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara dari kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah menjatuhkan sanksi potong tangan kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah dipotong.
Sementara orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan uang/barang berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu Qayyim,  I’lamul Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
Ini bukan berarti, seorang koruptor terbebas dari hukuman apapun juga. Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:

1.Pertama koruptor
koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya. Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).

2.Kedua, hukuman ta’zir.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya, Maksud ta’zir di dalam syariat adalah memberi pelajaran bagi orang yang berdosa yang tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah (tentang dosa yang dilakukan)-nya., karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman had/hudud.  Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah menjadi ta’zir. Jenis huku man ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang) unt -uk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta, kurungan, moril, dan lain sebagai -nya,  yang dianggap dapat menghentikan keingingan orang untuk berbuat kejahatan.  Di antara hukuman fisik adalah hukuman cambuk.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.
Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga barang atau uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman terhadap harta. Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah). Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri tidak berada dalam hirz (penjagaan selayaknya).

3.Apakah Hukum Ta’zir Itu?
Maksud ta’zir di dalam syariat adalah memberi pelajaran bagi orang yang berdosa yang tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah (tentang dosa yang dilakukan)-nya. Berkaitan dengan itu sesungguhnya maksiat ada tiga macam :

1. Jenis maksiat yang memiliki hukuman seperti zina dan mencuri. Hukuman adalah kafarah bagi pelakunya.

2. Jenis maksiat yang memiliki kafarah dan tidak ada hukumannya seperti bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan.

3. Jenis maksiat yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat atau syariat menentukan batasan hukuman bagi pelakunya tetapi syarat-syarat pelaksanaannya tidak diterangkan dengan sempurna, misalnya menyetubuhi wanita selain farjinya, mencuri sesuatu yang tidak mewajibkan penegakan hukuman potong tangan di dalamnya, wanita menyetubuhi wanita (lesbian) dan tuduhan selain zina, maka wajib ditegakkan ta’zir pada kasus-kasus itu, tersebut dalam hadits:

“Janganlah kamu mencambuk melebihi sepuluh kali cambukan kecuali dalam hukuman dari hukuman-hukuman Allah Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bolehnya menta’zir dengan harta, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menta’zir dengan menahan harta rampasan perang dari orang yang berhak menerimanya, dikabarkan pula bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menta’zir orang yang tidak menunaikan zakat dengan mengambil separuh hartanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i,

“Apa yang diberikan oleh seseorang karena mencari pahala maka dia mendapatkan pahalanya, dan barangsipa yang menahannya maka kami yang akan mengambilnya beserta separuh hartanya, hal itu sebagai salah satu kewajiban dari Rabb kami.”

Ta’zir dilakukan oleh seorang pemimpin (hakim), demikian pula bapak boleh melakukan terhadap anaknya, tuan terhadap budaknya dan suami terhadap istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai makrud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan untuk tujuan ini, berarti dia telah melampaui batas dan menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.

Ibnu Rajab rahimahullah menyampaikan pernyataan penting sehubungan dengan apa yang sedang kita bahas. Beliau rahimahullah berkata, “Disebutkan dalam riwayat Muslim,

“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang mewajibkan ditegakkannya hukuman, kemudian hukuman itu ditegakkan atasnya, maka itu menjadi kafarah baginya.”

Ini menunjukkan bahwa hukuman-hukuman itu merupakan kafarah. Sya’by rahimahullah berkata, ‘Tidaklah saya mendengar tentang permasalahan ini -bahwa hukuman itu menjadi kafarah bagi pelakunya- yang lebih baik dari hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu.’ Juga perkataannya: Maka mereka dihukum dengan hukuman-hukuman yang syar’i yaitu hukuman-hukuman yang telah ditetapkan ketentuannya atau tidak ditetapkan -seperti ta’zir- serta mencakup hukuman-hukuman taqdir seperti berbagai musibah dan penyakit. Telah ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit, musibah, kecemasan dan kesedihan sampaipun sebuah duri yang menusuknya kecuali dengan sebab itu Allah Azza wa Jalla menghapuskan kesalahan-kesalahannya.” Telah diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa hukuman itu menjadi kafarat bagi orang yang telah diberi hukuman. Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah ini, namun beliau rahimahullah menguatkan bahwa semata-mata dengan ditegakkan hukuman (atas pelaku dosa) maka hal itu merupakan kafarah baginya, beliau rahimahullah sangat melemahkan pendapat yang menyelisihi hal itu.


E.Kesimpulan
1. Pegawai perusahaan atau instansi pemerintah statusnya sebagai orang yang diberi amanah.

2. Pengkhianatan terhadap harta masyarakat, lebih besar akibatnya dari pada pengkhianatan harta milik pribadi.
3. Pengkhianatan terhadap harta yang menjadi amanah disebut ghulul.
4. Termasuk kategori ghulul adalah tindak korupsi terhadap uang negara.
5. Syarat hukuman potong tangan untuk pencuri, antara lain:
a.Harus mencapai nilai minimal: 1/4 dinar (1,07 gr emas).
b. Harta yang diambil berada dalam hirz (penjagaan yang layak dari pemilik).
6. Korupsi harta negara atau perusahaan (ghulul), termasuk tindak pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Karena pelaku mengambil harta yang ada di daerah kekuasannya, melalui jabatannya. Sehingga harta itu bukan harta yang berada di bawah hirz (penjagaan pemilik).
7. Hukuman untuk pelaku kriminal ada 2:
a.Hukuman yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, disebut hudud.
b.Hukuman yang tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, dan dikembalikan  kepada keputusan hakim, disebut ta’zir.
8. Hukuman yang diberikan untuk koruptor adalah sebagai berikut:
a.Dipaksa untuk mengembalikan semua harta yang telah dikorupsi.
b.Hukuman ta’zir. Hukuman ini bisa berupa denda, atau fisik seperti cambuk, atau dipermalukan di depan umum, atau penjara. Semuanya dikembalikan pada keputusan hakim.

Korupsi yang Tidak Anda Sadari
– Korupsi yang Tidak Anda Sadari, oleh Dr. Erwandi Tarmudzi.
Artikel ini mengupas beberapa pelanggaran yang TIDAK dianggap korupsi oleh umumnya masyarakat. Salah satunya, menggunakan mobil plat merah dan fasilitas kantor lainnya, untuk selain kepentingan dinas ?...

– Hadiah, Gratifikasi, dan Suap oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi
Apa beda ketiga hal itu? Apa hakikat hadiah sebenarnya? Bagaimana status hadiah bagi pegawai/pejabat? Apa saja hak pegawai ?...

– Cara Taubat Koruptor dan Penerima Suap, oleh Ammi Nur Baits
Artikel ini sejatinya adalah sinopsis dari berbagai fatwa ulama kontemporer seputar hadiah, suap, dan korupsi. Bagaimana dia disuap tanpa berharap? Bolehkah hasil suap diberikan ke orang miskin?  Bagaimana cara taubat dari suap? Semuanya ada di sini.

– Zakat Profesi bagi Pegawai, oleh Muhammad Yasir, Lc.
Menjelaskan kesalah-pahaman sekelompok masyarakat yang menganjurkan zakat profesi. Bagaimana solusi jika instansi mewajibkan? Dan cara perhitungan zakat pegawai yang benar.

– Suap yang Dibolehkan, oleh Muhammad Wasitho, Lc.
Ternyata ada suap yang dibolehkan, tapi ada syaratnya!

e-mail: tgkbeudibias@gmail.com
Demikian, semoga bermanfaat. Ya Allah mudahkanlah langkah kami dalam membangun pengembangan Da'wah Islamiyah untuk kehidupan yang bermamfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah