Yang Berhak Jadi Wali nikah

Siapa sahaja yang berhak menjadi Perwalian Dalam Pernikahan

Siapa sahaja yang berhak menjadi Perwalian Dalam Pernikahan
Darul Muridin Bayu Aceh Utara
Oleh;Waled Blang jruen guru rangkang
Fiqh, Tentang Nikah.kamis /28/2018

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci, dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui Agama, kerabat, dan masyarakat. Dengan pernikahan ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, dan dosa menjadi amal sholeh. Tetapi dengan dilaksanakan pernikahan tersebut harus ada wali dari kedua belah pihak yang menikahkannya, terlebih-lebihnya wali dari pihak mempelai perempuan. Karena tidak sah pernikahan seseorang tanpa direstui/dinikahkan oleh wali, dan salah satu syarat pernikahan harus adanya wali, tanpa ada wali maka pernikahannya itu batal dan tidak diridhoi oleh Allah Subhana wata’alaa.
B.Rumusan Masalah
Adapun pembahasan-pembahasan yang menjadi bahasan pada hari ini yaitu :
1.Pengertian Wali
2.Syarat-syarat Wali
3.Macam-macam WalI
*Salah satu elemen yang penting dalam akad pernikahan adalah wali yang merupakan satu rukun akad nikah. Dalam akad nikah, seorang wanita harus diwakili oleh seorang wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)
*dalam kesempatan ini, kami pihak lbm.mudimesra.com akan menyajikan penjelasan tentang urutan tertib wali pernikahan.
Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah.
Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita bikr (wanita yang belum pernah di jimak dalam pernikahan yang sah). Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.
Ketika keduanya tidak ada (tidak ada secara hissi atau secara syar`i) maka hak perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut:
  1. Saudara laki-laki seibu sebapak
  2. Saudara laki-laki se bapak
  3. Anak saudara laki-laki se ibu sebapak
  4. Anak saudara laki-laki sebapak.
  5. Paman seibu sebapak
  6. Paman sebapak
  7. Anak paman se ibu sebapak
  8. Anak paman sebapak.
*Perwalian dengan kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan wali nasab. Selanjutnya apabila wali nasab tidak ada (baik tidak ada pada hissi maupun tidak ada dalam pandangan syara' maka berpindah kepada wali dengan sebab wila. Wila merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tieq, selanjutnya bila maula mu'tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada ashabah maula mu'tieq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.
Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita adalah KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)
Perwalian sulthan/hakim hanya terjadi dalam kondisi sebagai berikut:
1.Tidak ada wali sama sekali.
2.Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah (± 86 km) dan pada tempat tersebut tidak ada wakil dari wali aqrab.
3.Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.
4.Tidak diketahui keberadaan wali aqrab dan belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan apabila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada wali ab’ad.
5.Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang juga sekufu. Keengganan wali aqrab untuk menikahkan tersebut harus berdasarkan ketetapan hakim, dimana hakim telah memanggil wali dan dan kedua calon mempelai kemudian hakim memerintahkan kepada wali untuk menikahkan mempelai wanita tetapi wali tersebut enggan menikahkannya. Maka pada saat demikian hakim boleh menikahkannya segera dengan laki-laki yang sekufu. Namun apabila hakim memerintahkan kembali sampai tiga kali dan wali aqrab menolak menikahkan wanita tersebut sampai tiga kali, maka wali tersebut di hukumi fasek apabila amalan taatnya tidak lebih besar dan hak perwalian wanita tersebut berpindah kepada wali ab`ad.
6.Wali sedang melakukan ihram.
7.Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada) maka yang menjadi wali adalah hakim.
Secara umum ketentuan (dhabit) kondisi yang menyebabkan hakim menjadi wali nikah adalah “Apabila hak wali masih berada pada wali aqrab tetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak perwalian berpindah ke di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”. (7)
Hal-hal yang menghilangkan hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak, gila, fasik , hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar) karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad. (8)
Apabila tidak diperdapatkan wali yang telah di sebutkan di atas, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam.
Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :
1.Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab (atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.
2.Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid.(9)

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wali
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakili. Sedangkan wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.
Menurut Imam Syafi’i wali merupakan salah satu dari empat hal yang menetapkan adanya pernikahan yaitu wali, kerelaan yang dinikahkan, kerelaan yang menikahi, dua saksi yang adil, serta yang kelima adalah mahar/maskawin. Sebagimana Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah sepakat dalam mensyaratkan adanya wali dalam keabsahan pernikahan, dan Hanafiyah berpendapat bahwa pensyaratan wali ini adalah untuk shoghiroh dan kabiroh majnunah sedangkan bagi balighah aqilah baik gadis ataupun janda berhak untuk menikahkan diri mereka selama sepadan / kufu, karena jika tidak sepadan maka wali berhak untuk mem-faskh nikahnya.
Dalam pelaksanaannya, seorang wali bisa menikahkan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain, atau barangkali pasrah kepada orang lain untuk memilihkan suami sekaligus menikahkannya sebagaimana kutipan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yang bercerita tentang Ummu Amr yang kemudian dinikahkan dengan Utsman ra. oleh Umar ra.Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti ada dan tidak sah akad perkawinan seseorang yang tidak dilakukan oleh wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini berlaku untuk semua perempuan yang dewasa atau masih kecil, masih perawan, atau sudah janda.
Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : “Wanita manapun yang menikah tanpa seizing walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah”)
Memang tidak ada suatu ayat Al-qur’an yang secara jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Yang ada hanya ayat-ayat yang dapat dipahami menghendaki adanya seperti dalam surat Al-baqarah ayat 221.
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَـٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ﴿٢٢١﴾
Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguh hamba sahaya perempuan yan beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beiman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebihbaik dari pada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. ( ALLAH ) menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. ( Al-baqarah Ayat 221 )
B.Syarat-syarat Wali
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memilih beberapa sifat berikut :
  1. Islam.
    Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi.
    Firman Allah Subhana wata’ala.
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿٥١﴾
“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa diantara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”
( Al-Maidah : 51 )
2.Baligh.
3.Berakal.
4.Merdeka.
5.Laki-laki.
6.Adil .
C.Macam-Macam Wali
1.Wali Nasab
Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian daerah/keturunan dengan perempuan yang akan dinikahkan. Wali nasab ditinjau dari dekat dan jauhnya dengan mempelai wanita dapat dibagi menjadi dua, yaitu wali Akrab (lebih dekat hubungannya dengan mempelai wanita) dan Wali Ab’ad (lebih jauh hubungannya dengan mempelai wanita).
Dibawah ini susunan wali nasab menurut urutan haknya:
a.Ayah
b..laki-laki kandung
d.Saudara laki-laki sebapak
e.Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
f.Paman ( saudara bapak ) sekandung
g.Anak laki-laki dari paman kandung
h.laki-laki dari paman sebapak
j.Hakim
2.Wali Mujbir
Wali yang bisa/boleh memaksa anak gadisnya dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin yang bersangkutan. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Kebolehan wali mijbir ini dengan syarat sebagai berikut :
  1. Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu.
  2. Jika mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putinya.
  3. Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan
  4. Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut.
  5. Jika putinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.
3.Wali Adhal
Dalam hal adhalnya wali, maka perwalian pindah ke tangan hakim yang dalam prakteknya di Indonesia melalui prosedur penetapan adhalnya wali dari Pengadilan Agama untuk menentukan dibenarkan tidaknya alasan penolakan dari wali karena jika alasannya benar dan dibenarkan oleh pengadilan maka perwaliannya tidak berpindah kepada orang lain karena ia dianggap tidak adhal/ menghalangi.
Dalam masalah ini belum kami temukan tentang bagaimana hukum dari wali yang adhal mengenai boleh atau tidaknya,
Tetapi kami akan menyampaikan suatu dalil, mudah-mudahan bias membuka wawasan kita untuk menentukan hokum dari wali adhal tersebut.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Tapi dengan melihat dhohir dari ayat diatas kami simpulkan bahwa hukum asal dari adhal-nya wali adalah dilarang.
4.Wali Hakim
Wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri) wali hakim itu harus hatus mempunyai pengetahuan sama dengan qadhi.
Adapun perpindahan wali nasab kepada wali hakim dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama sekali.
2.Wali aqrab ada, tetapi akan menjadi calon mempelai pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada.
3.Wali aqrab ada, tetapi sedang ihram.
4.Wali aqrab ada tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya (mafqud)
5..Wali aqrab ada tetapi menderita sakit pitam.
6.Wali aqrab ada tetapi menjalani hukuman yang tidak dapat dijumpai.
7.Wali aqrab ada tetapi bepergian jauh sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qashar.
8.Calon mempelai wanita menderita sakit gila, sedang wali mujbirnya 9ayah atau kakeknya) sudah tidak ada lagi.
BAB.III
KESIMPULAN
Seluruh mazhab sepakat bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan laki-laki dan perempuan gila manakala mereka tidak mempunyai wali yang terdekat, berdasar hadist di bawah ini :
Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak punya wali.
Akan tetapi bagi Imamiyah dan Syafi’i hakim tidak berhal mengawinkan anak gadist yang masih kecil, sedangkan Hanafi mengatakan bahwa hakim punya hak atas itu, tetapi aqad tersebut tidak mengikat, dan sudah si anak sudah baligh dia berhak menolaknya. Pendapat ini sesungguhnya kembali pada pendapat Syafi’i dan Imamiyah sebab dalam keadaan seperti itu sang hakim telah melakukan aqad fudhuli (tanpa izin).
Sementara itu, Maliki mengatakan bahwa apabila tidak ada wali yang dekat, maka hakim berhak mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan dengan orang yang se-kufu serta mengawinkan wanita dewasa dan waras dengan izin mereka.
Seluruh Mazhab sepakat bahwa syarat wali adalah baligh, islam dan laki-laki. Adapun syarat bagi hakim dan bukan wali yang dekat. Sebagai pengecualian, Hanbali mensyaratkan adalah bagi setiap wali baik wali hakim maupun wali dekat.

Referensi:
1.Tuhfatul Muhtaj beserta kedua Hasyiahnya (Dar Fikr)
2.Hasyiah Bujairimi ala Manhaj (Dar Kutub Ilmiyah) 3.Hasyiah Ianatuth Thaalibin (Haramain)
4.Syarah Tahrir Tanqih Lubab (Haramain)
5.Hasyiah al bajuri
-------
1.Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. 2 (Jeddah, al-Haramain, tt), h. 226-227.
2.ulaiman bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi, juz. III (Beirut, Dar Fikr) h. 193
3.Sayyid Bakri Syatha, Hasyiah Ianatuth Thalibin jld3 (Haramain, tt) hl 308-311 4.Hasyiah Ianatuth Thalibin jld III hl 312
5.Hasyiah Ianatuth Thalibin jld III hl 308-314 6.Hasyiah Ianatuth Thalibin jld III hl 315-318
7.Hasyiyah Ianat al-Thalibin, Juz. III, hl. 318, 8.Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimiala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)
9.Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj juz VII (Beirut, Dar Fikr,1997 ) hl. 278-279
10..Hasyiah al bajuri pada bab nikah jild2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah