ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN DALAM UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

 

JURNAL

ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN DALAM 

UNDANGUNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

NAMA: ABDILLAH

NIM:2018540573

Pascasarjana IAIN Lhokseumawe

GMAIL:tgkbeudibias@gmail.com

ABSTRAK.

Jurnal ini membahas tentang zina dalam perspektif Hukum Islam dan KUHP. Dengan menggunakan metode analisis komparatif ditemukan perbedaan antara Hukum Islam dan KUHP dalam mendefenisikan istilah zina serta konsekuensi hukumnya. Hubungan seksual antara  pasangan muda-mudi  tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina dalam KUHP karena mereka tidak sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah. KUHP juga tidak menjerat  pelaku zina yang tidak tunduk  pada pasal 27 Burgelijk Wotbook(BW) meskipun sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Selain itu jika suami atau isteri pelaku zina memberikan izin kepada pasangannya untuk berbuat zina, maka pasal 284 tidak dapat menejratnya. Sementara dalam pandangan Hukum Islam, setiap hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah dikategorikan sebagai perbuatan zina.

Kata Kunci: Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Pidana Indonesia

ABSTRAK.

This Journal discusses about adultery in Islamic law perspective  and  the  book  of law and  criminal.  By  using  the comparative analysis method found a difference between Islamic law and the book of law and criminal in terms define adultery as well as legal consequences. Sexual relations between young couples are not categorized  as adultery  in the book of law and criminal because they are not in a valid marriage bond. The book of law and criminal also does not ensnare  adultery to Article 27 BW even though they are in a valid marriage bond. In addition, if the husband or wife of adultery gives permission to the partner to commit adultery, then Article 284 cannot ensnare them. While in Islamic law perspective,  any sexual relations  outside a valid marriage bond is categorized as adultery.

Keywords: Adultery in the Perspective of Islamic Law and Indonesian Criminal Law

مختصرة

نبذة مختصرة تناقش هذه المجلة الزنا من منظور الشريعة الإسلامية والقانون الجنائي. وباستخدام أسلوب التحليل المقارن ، تبين وجود فروق بين الشريعة الإسلامية وقانون العقوبات في تعريف مصطلح الزنا وقوانينه. العلاقات الجنسية بين الأزواج الشباب التي لم يتم تصنيفها على أنها زنا في قانون العقوبات لأنهم ليسوا حاليًا في رباط زواج قانوني. كما أن القانون الجنائي لا يتهم مرتكبي الزنا الذين لا يمتثلون للمادة ٢٧ من قانون دفتر السجل المدني على الرغم من أنهم مرتبطون برباط زواج قانوني. بالإضافة إلى ذلك ، إذا أعطى الزوج أو الزاني الإذن لشريكه بضريبة الزنا ، فلا يمكن للمادة 284 ملاحقتها. وفي الوقت نفسه ، من وجهة نظر الشريعة الإسلامية ، يتم تصنيف كل علاقة جنسية خارج رباط الزواج القانوني على أنها زنا.

الكلمات المفتاحية: الزنا من منظور الشريعة الإسلامية والقانون الجنائي الإندونيسي

A.PENDAHULUAN

Latar Belakang Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi yang sangat krusial dalam pandangan umat islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit  dari hukum  Islam  sebagai  sebuah agama. Sedemikian  pentingnya  hukum Islam  dalam skema doktrinal-Islam, sehingga  seorang orientalis, Joseph Schacht menilai, bahwa “adalah mustahil memahami Agama Islam tanpa memahami hukum Islam[1]

Secara umum hukum adalah serangkaian aturan yang disepakati bersama untuk mengatur masyarakat dengan sifat memaksa dan terdapat sanksi bagi pelanggarnya. Hukum akan mengatur kehidupan masyarakat dengan kaidah-kaidah yang sangat sederhana dan terbatas yang  kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat tersebut. Kaidah hukum  tersebut akan terus bertambah dan teori-teorinya akan terus berkembang sejalan dengan bertambah dan beragamnya kebutuhan masyarakat serta majunya pemikiran, ilmu pengetahuan dan beradaban. Hukum akan berkembang  dengan cepat  manakala  tatanan  masyarakat  juga  berkembang dengan cepat. Artinya masyarakatlah  yang  menciptakan hukum  sesuai dengan kebutuhan dalam mengatur kehidupan antara mereka. Hukum seperti ini terus berkembang yang bertalian dengan perkembangan masyarakatnya.[2]

Namun, berbeda dengan  hukum adat  yang dapat  berubah dengan epat manakala masyarakatnya menginginkan perubahan, hukum  positif  memerlukan waktu yang  lama  jika ingin berubah, meskipun dirasa tidak sesuai lagi jika diterapkan di tengah tengah masyarakat, karena ada unsur terkodifikasi.

Seperti  halnya  pasal  284 KUHP yang  membahas  tentang tindak pidana zina dirasa tidak sesuai jika diterapkan  di negara Indonesia.Bagaimana  tidak,  zina  yang  merupakan   salah  satu tindak pidana kesusilaan ini menjelaskan bahwa zina hanya dapat dipidanakan jika pelaku telah menikah, tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW) dan merupakan delik aduan.

Sebenarnya tindak pidana kesusilaan merupakan tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak pidana yang bersifat kultural, artinya tindak pidana  kesusilaan sangat sarat  dengan nilai-nilai budaya dan kearifal lokal. Tindak pidana demikian akan berbeda  antara  satu negara  dengan  negara  lain yang menganut budaya yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian  zina yang dianut oleh Barat, dan sangat berbeda pengertian zina yang dianut orang Indonesia.

Pengertian zina dalam dunia Barat diartikan sebagai persetubuhan yang  dilakukan dimana  salah satu pelaku atau kedua pelaku sudah terikat perkawinan dengan orang lain.[3] Jadi jika persetubuhan tersebut  dilakukan oleh orang yang sama-sama tidak terikat perkawinan maka tidak dapat dihukumi sebagai perbuatan zina. Sedangkan menurut orang Islam, zina adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan  seorang perempuan  yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan, sehingga siapapun mereka jika melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya maka dihukumi zina. Ironisnya, pengertian  zina  dalam  KUHP masih  mengikuti pemikiran orang Barat.[4] Hal ini terjadi karena KUHP yang ada saat ini adalah warisan dari Belanda.

Sedangkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius yang tentu saja mempunyai pemikiran  yang sangat berbeda dengan pola pikir orang Barat mengenai zina. Hal ini terlihat bahwa KUHP masih tidak sesuai dengan  hukum adat ataupun kultur yang dianut. Indonesia bukanlah negara yang sekuler, karena nilai-nilai agama sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, oleh karena itu perumusan tindak pidana tentang kesusilaan seharusnya memasukkan nilai-nilai agama.[5]

Zina, misalnya, yang merupakan kejahatan yang menyangkut kehormatan seseorang yang  seharusnya dihukum berat ternyata dalam KUHP hanya diancamkan hukuman maksimal 9 bulan penjara dan itupun harus memenuhi beberapa syarat, antara lain dalam pasal 284 KUHP dijielaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau isterinya; 2) Bagi dirinya berlaku pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW);[6] 3) Dirinya sedang berada dalam perkawinan.[7] Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang tidak membedakan apakah  pelaku  telah  menikah atau belum. Zina menurut  Islam adalah  persetubuhan yang dilakukan  oleh pasangan  yang tidak terikat  perkawinan yang sah. Untuk pelaku zina sendiri  dibagi menjadi dua yaitu zina muḥṣan dan ghair muḥṣan. Zina muḥṣan adalah  suatu  zina yang dilakukan  oleh orang  yang sudah  balig, berakal, merdeka dan sudah pernah bercampur secara sah dengan orang  lain  jenis  kelaminnya.[8] Dengan kata lain zina muḥṣan adalah zina yang pelakunya sudah menikah. Sedangkan zina ghair muḥṣan  adalah  zina  yang  dilakukan  oleh  orang  yang  belum pernah  melangsungkan  perkawinan  sah.[9] Dalam hal  penetapan hukuman  pun terdapat  perbedaan  antara  keduanya. Jika pelaku muḥṣan dihukum  rajam,  maka  pelaku  ghair muḥṣan dihukum dera atau jilid 100 kali kemudian  diasingkan. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Nūr (24): 2.

اَلزَّانِیَۃُ وَ الزَّانِیۡ فَاجۡلِدُوۡا کُلَّ وَاحِدٍ مِّنۡہُمَا مِائَۃَ جَلۡدَۃٍ ۪ وَّ لَا تَاۡخُذۡکُمۡ بِہِمَا رَاۡفَۃٌ فِیۡ دِیۡنِ اللّٰہِ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ ۚ وَ لۡیَشۡہَدۡ عَذَابَہُمَا طَآئِفَۃٌ مِّنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ

Artinya: Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. Q.S. al-Nūr (24): 2.

Bertolak dari persoalan di atas, penulis akan mengkaji bagaimana kriteria dan sanksi tindak pidana zina menurut hukum Islam  dan  KUHP? Dan bagaimana  implikasi  yang  timbul  dari perbedaan  antara  hukum  Islam dan KUHP tentang  kriteria  dan sanksi tindak pidana zina tersebut.

B.PEMBAHASAN

Zina Dalam Perspektif Islam Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar).[10]

Persetubuhan  yang diharamkan  dan dianggap zina adalah persetubuhan di dalam farji, di mana zakar di dalam farji seperti batang  celak di dalam botol celak atau  seperti  timba  di dalam sumur. Persetubuhan dianggap zina, minimal dengan terbenam- nya hasyafah (pucuk zakar) pada farji, atau yang sejenis hasyafah jika zakar tidak mempunyai hasyafah, dan menurut  pendapat yang kuat, zakar tidak disyaratkan ereksi.[11]

Menurut Abdul Halim Hasan, zina artinya seorang laki-laki memasukkan kemaluannya  ke   dalam kemaluan perempuan, dengan tidak ada nikah dan terjadinya tidak pula dengan subhat.[12]

Pengertian  ini  hampir  serupa  dengan  pengertian  yang dikemukakan  oleh Abdul Djamali, yakni zina  adalah  perbuatan memasukkan kemaluan laki-laki sampai katuknya ke dalam kemaluan perempuan yang diinginkan.[13]

Adapun menurut  ulama fiqih pengertian  zina adalah memasukkan  zakar  ke  dalam  farji  yang  haram  dengan  tidak subhat. Dan menurut  Ibnu Rusyd pengertian  zina adalah persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah yang sah/semu nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. Sedangkan menurut   Hamka,  berzina  adalah  segala  persetubuhan  di  luar nikah, dan di juzu’ yang lain beliau mendefinisikan  zina sebagai

segala persetubuhan yang  tidak  disyahkan  dengan  nikah,  atau yang tidak syah nikahnya.[14]

Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam disebutkan definisi zina menurut  beberapa madzhab, yang meskipun berbeda redaksi tetapi  sebenarnya  maksudnya  sama  yaitu  persetubuhan antara laki-laki dan perempuan  yang dilakukan oleh mukallaf yang tidak terikat oleh perkawinan yang sah.[15]

Zina  merupakan   tindak   pidana   yang   diancam   dengan hukuman  ḥudūd atau  ḥad, yakni suatu  hukuman  yang diberlakukan    terhadap    pelanggaran    yang   menyangkut    hak Allah.[16]Dengan  demikian,  hukuman  tindak  pidana  zina  telah diatur  oleh  Alquran  karena  merupakan  hak  Allah  swt.  secara mutlak. Ada dua macam perbuatan  zina yang mendapat hukuman wajib bagi pelakunya,  yaitu: Ghairu Muḥṣan, artinya  suatu  zina yang dilakukan  oleh orang  yang belum pernah  melangsungkan perkawinan  yang sah.[17]Artinya  pelaku zina yang masih bujang atau perawan, yaitu mereka yang belum menikah.

Untuk hukuman yang dibebankan pada pelaku zina dengan status ghair muḥṣan adalah dera seratus kali, berdasarkan  Q.S. al- Nūr (24): 2. Ayat ini menggambarkan  ketegasan  dalam menegakkan   hukuman   ḥad,  dilarang   memberi   belas  kasihan dalam menjatuhkan  hukuman  atas kekejian yang dilakukan oleh dua  orang  pezina  tersebut,   juga  ada  larangan   membatalkan hukuman ḥad atau berlemah lembut dalam menegakkannya. Oleh karenanya dilarang menunda penegakan agama Allah dan mengundurkan hak-Nya. Pelaksanaan hukuman hendaknya dilaksanakan di depan khalayak ramai, yaitu sekelompok orang- orang yang beriman, sehingga diharapkan  memberi efek jera dan mempengaruhi   jiwa  orang-orang  yang  telah  melakukan perbuatan  zina  dan  memberi  pelajaran  bagi orang-orang  yang menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut.

Terdapat perbedaan  dalam tata cara pelaksanaan hukuman dera.  Menurut  Imam Malik yang  didera  adalah  punggung  dan seputarnya  serta harus menanggalkan baju. Menurut Imam Syafi’i yang didera  seluruh  anggota  badan, kecuali kelamin  dan  muka yang harus  dihindarkan  serta  penanggalan  baju. Menurut  Abu Hanifah seluruh anggota badan, kecuali kelamin, muka dan kepala serta penaggalan baju.[18]

Selain didera  seratus  kali, pelaku  zina ghair muḥṣan juga diasingkan  selama  setahun,  hal  ini bersandar  pada  keterangan Ibnu al-Munẓir yang mengatakan: “Dalam kasus seorang pelayan yang berzina  dengan  majikan putri,  Rasulullah saw. bersumpah bahwa  beliau  akan  memutusinya  berdasarkan  Kitabullah. Kemudian  beliau  menyatakan,   bahwasanya   pelayan   tersebut harus dihukum dera sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Itulah penjabaran dari firman Allah dan itulah yang dipidatokan  oleh  Umar  bin  Khattab  di atas  mimbar  dan  yang kemudian  diamalkan  atau  dipraktekkan  oleh  para  Khulafā‘ al- Rāsyidīn dan  mengamininya.  Hal tersebut  menjadi  dasar  ijma’ (konsensus).[19]      Sementara    Muḥṣan,  adalah   suatu   zina   yang dilaukan  oleh  orang  yang  sudah  balig,  berakal,  merdeka  dan sudah pernah bercampur secara sah dengan orang lain jenis kelaminnya.[20]

Hukuman bagi pelaku zina yang berstatus  muḥṣan adalah rajam.  Rajam  adalah   hukuman   mati   dengan   cara   dilempari dengan batu.[21]Karena hukuman  rajam tidak tersebut  secara jelas dalam Alquran, maka kaum khawarij mengingkarinya.  Menurut mereka  hukuman  bagi  pezina  muḥṣan  maupun  ghair  muḥṣan adalah sama yaitu didera. Pasal hukum rajam dalam Alquran tidak ada, tetapi  hanya atas pernyataan  Umar ibn Khattab yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW   memerintahkan  perajaman   bagi  muḥṣan.[22] Pernyataan  Umar tersebut  sebagaimana  termaktub  dalam hadis yang berbunyi:

Diriwayatkan dari Sayyidina Umar bin al-Khatab r.a. Katanya: Sesungguhnya  Allah  telah  mengutus  Muhammad  saw. dengan kebenaran  dan  telah  menurunkan   kepada  baginda  kitab  Alquran. Di antara  yang diturunkan   kepada  baginda  ialah  ayat  yang menyentuh tentang  hukum rajam. Kami selalu membaca, menjaga dan memikirkan ayat  tersebut.   Rasulullah  saw.  telah  melaksanakan  hukuman   rajam tersebut  dan selepas baginda, kami pun melaksanakan  juga hukuman itu.  Pada akhir  zaman  aku merasa  takut,  akan  ada orang  yang akan mengatakan:  “Kami tidak  menemukan  hukuman  rajam  dalam  kitab Allah yaitu Alquran sehingga mereka akan menjadi sesat karena meninggalkan  salah satu kewajiban yang telah  diturunkan  oleh Allah. Sesungguhnya  hukuman  rajam  yang  terdapat   dalam  kitab  Allah  itu mesti dilaksanakan kepada pezina yang pernah kawin baik laki-laki maupun perempuan  bila terdapat  bukti yang nyata atau dia telah hamil ataupun dengan pengakuan sendiri”.[23]

Pemberian hukuman yang lebih berat bagi pelaku zina muḥṣan, adalah balasan bagi pelaku yang telah mendapatkan kesempatan  dari Tuhan untuk  merasakan  hubungan  seksualitas yang sah, melalui  perkawinan.  Dengan demikian  pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikan harus dibalas dengan kepedihan  rajam. Sedangkan zina ghairu muḥṣan dihukum dera dan pengasingan adalah karena mungkin sifat keingintahuannya yang mendorong  untuk  berbuat  zina sedang dia belum menikah sehingga tidak ada tempat untuk menyalurkan keingintahuannya secara     syar’i.    Karena    memang     secara     fitrah     terdapat

kecenderungan  antara  laki-laki dan perempuan.  Oleh karena  itu Islam menghalalkan nikah dan menghramkan  zina. Jadi hubungan apapun  antara  laki-laki dan  perempuan  di luar  batasan  syariat dinamakan zina.

C.KRITERIA ZINA DALAM HUKUM ISLAM

Hukum bagi pelaku zina baru dapat ditetapkan  apabila memenuhi unsur-unsur perbuatan  zina dengan beberapa kriteria. Pertama, melakukan persetubuhan di luar perkawinan  yang sah dan disengaja.[24] Persetubuhan dianggap zina minimal dengan terbenamnya hasyafah (pucuk zakar) pada farji, sekalipun tidak ereksi.[25]  Selain itu pelaku juga mengetahui  bahwa persetubuhan yang mereka  lakukan adalah haram. Dalam tindak  pidana  zina, pelaku  zina  laki-laki  maupun  perempuan disyariatkan mempunyai  kesengajaan atau niat melawan hukum. Niat melawan hukum dianggap terpenuhi jika pelaku tahu  bahwa ia menyetubuhi  perempuan  yang haram baginya. Juga kalau perempuan  yang berzina  menyerahkan  dirinya dan tahu  bahwa orang yang menyetubuhinya tidak halal baginya.[26]

Kedua, pelaku  adalah  mukallaf. Islam menetapkan   setiap mukallaf dapat dijerat hukuman hudud jika terbukti  berbuat zina terlepas apakah sudah menikah atau belum menikah. Bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan  hubungan  seksual di luar nikah  maka  tidak  termasuk  dalam  kategori  zina  secara  syar’I, begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang paramedis mengakui kekurangan tersebut.[27]

Ketiga, zina  adalah  persetubuhan  yang  dilakukan  dalam kondisi sadar  tanpa  paksaan,  artinya  antar  pelaku  telah  setuju untuk berzina bukan karena paksaan. Persetubuhan  yang dipaksakan  adalah  pemerkosaan.  Jika salah satu  pihak ternyata dipaksa,  maka  dia  bukanlah  pelaku  melainkan  korban.  Dalam kasus   pemerkosaan   ini,   pelaku   tetap   dijatuhi   hukum   ḥad, sedangkan korban tidak.

Keempat, terdapat  bukti-bukti  telah terjadi perzinaan.  Ada tiga alat bukti untuk pembuktian zina, yaitu:

a) Saksi, para ulama sepakat  bahwa  zina tidak  bisa dibuktikan  kecuali empat  orang saksi. Ini merupakan ijma’ para ulama.[28]Saksi dalam tindak pidana zina harus berjumlah empat orang laki-laki, balig, berakal, hifẓun (mampu mengingat), dapat berbicara, bisa melihat, adil dan beragama  Islam;[29]  

b) Pengakuan,  Imam Malik dan  Imam Syafi’i berpendapt  bahwa satu kali pengakuan sudah cukup untuk menjatuhkan  hukuman. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Ibnu Dawud, Abu  Ṡaur,  al-Ṭabarī.[30]Sedangkan  Imam  Abu  Hanifah beserta pengikutnya, Ibnu Abi Lala, Imam Amad dan Ishaq berpendapat bahwa hukuman  zina baru bisa dijatuhkan  apabila adanya  pengakuan  empat  kali yang dikemukan  satu  persatu  di tempat   yang  berbeda-beda.[31]   

c)  Qarīnah (Indikasi),  kehamilan seorang  perempuan  telah  mewajibkan  untuk  dikenai  hukuman ḥad jika perempuan  tersebut  tidak  mempunyai  suami ataupum pemilik.[32]

D.ZINA DALAM PERSPEKTIF KUHP

Di dalam pasal 284 KUHP tidak dengan jelas mendefinisikan tentang  pengertian  zina, tetapi cenderung memaparkan tentang kriteria pelaku yang dapat  dijerat  oleh pasal perzinaan. Penjelasan pasal 284 KUZHP zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan  yang telah kawin dengan perempuan  atau laki-laki yang bukan isterinya atau suaminya.[33]

Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah  perpaduan antara anggota  kemaluan  laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan,  sehingga mengeluarkan  air  mani.[34] Pengertian ini relatif sama dengan istilah adultery dalam bahasa Inggeris yang diartikan sebagai “Voluntary sexual intercourse by a married person with one who is not his  or her spouse”. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “Hubungan seksual sukarela oleh  seseorang yang terikat  perkawinan  dengan  orang  yang bukan suami atau isterinya”. [35]

E.KRITERIA TINDAK PIDANA ZINA

Kriteria zina menurut Undang-Undang Hukum Pidana adalah: pertama,  persetubuhan  yang  dilakukan  dengan perempuan bukan  isteri atau laki-laki bukan   suami. Zina dilakukan secara bersama-sama, tidak dapat dilakukan oleh satu orang atau dua orang yang sejenis artinya  tidak dapat dilakukan antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.[36]

Dengan demikian, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan  yang sedang terikat perkawinan  yang sah  dengan  seorang  perempun  atau  laki-laki yang bukan  isteri  atau  suaminya.  Sehingga hanya  pelaku  yang sedang terikat perkawinan yang sah saja yang dapat dijerat pasal 284 KUHP. Jika salah satu dari pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan  yang sah maka dia tidak  bisa  divonis  melakukanperbuatan  zina, tetapi  divonis telah  turut  serta  melakukan  zina dan dibebani tanggung jawab yang sama dengan pembuat zina itu sendiri.[37]Orang yang turut  serta melakukan zina tidak harus telah menikah. Dia  pun   tidak  harus tunduk   pada  pasal  27  Burgelijk Wotbook (BW):[38]

Sedangkan dia tahu bahwa kawan berzinanya  tunduk  pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW). Dengan kata lain, jika salah satu  dari pelaku perzinaan tersebut sedang terikat perkawinan, maka meskipun kawan berzinanya  tidak sedang terikat  perkawinan maka dia juga dapat dijerat  pasal perzinaan,  meskipun  bukan  sebagai pelaku  tindak pidana  zina, tetapi  sebagai pelaku  turut  serta  melakukan  zina, namun dibebani hukuman yang seperti pelaku tindak pidana zina.

Apabila kedua pelaku zina tidak sedang terikat  perkawinan yang sah,  maka KUHP tidak  dapat menjeratnya karena  dalam pasal  284 ayat  (1) disebutkan  bahwa  yang  dapat dijerat  pasal perzinaan  adalah yang dilakukan oleh laki-laki yang beristri atau perempun yang bersuami. Dalam konteks ini yang berlaku adalah pasal 27Kitab  Undang-Undang Hukum  Perdata  Burgelijk Wotbook (BW) yang menegaskan  bahwa  seorang  lelaki  hanya  boleh  terikat perkawinan dengan satu orang perempuan  saja, dan seorang perempuan  hanya  dengan  satu  orang  lelaki saja. Dalam hal ini tampak jelas bahwa KUHP sangat dipengaruhi  oleh tradisi Eropa, khususnya  Belanda. Di sana baik seorang  laki-laki maupun perempuan  yang sudah kawin, melakukan tindak pidana berzina apabila bersetubuh dengan orang ketiga.[39]

Selanjutnya, pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan   delik  aduan  absolut.  Artinya  tidak  dapat  dituntut apabila tidak  ada pengaduan  dari pihak suami atau  isteri  yang dirugikan  (yang dimalukan).[40] Pengaduan  tidak dapat  dilakukan orang lain selain suami atau isteri dari yang berzina itu.

Dalam hal perzinaan,  pengaduan  tidak dapat diajukan terhadap  penyerta  saja. Tetapi  hendaklah  kedua  pelaku dilaporkan. Mengingat kejahatan  zina adalah tindak pidana yang untuk terwujudnya  diperlukan dua orang, disebut dengan penyertaan   mutlak,  yang  tidak  dapat  dipisahkan  satu  dengan yang  lain,  walaupun  pengadu  mengadukan  satu  orang  saja  di antara  dua manusia  yang telah  berzina  itu, tidak menyebabkan untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap  orang yang tidak diadukan oleh pengadu.[41]Jaksa penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhdap  orang yang tidak diadukan berdasarkan  asas opportunitas.

Pengaduan dapat diartikan sebagai keberatan dalam arti “ketidaksetujuan” Jika telah  dianggap  ada “persetujuan”  maka tidak  memenuhi  syarat  untuk  dituntut.[42]  Sehingga  jika terjadi perzinaan sedangkan  isteri atau suami pelaku setuju akan tindakan   perzinaan yang dilakukan  oleh  pasangannya, maka masalah  ini tidak  bisa dikatakan  sebagai perzinaan. Ini karena suami atau isteri pelaku telah setuju.

Namun demikian, dalam hal pengadun  semacam ini, pasal 72, 73 dan 75 tidak  berlaku.  Pasal 72 mengenai  pengadu  yang belum dewasa yang umurnya belum genap enam belas tahun atau di bawah pengampun.  Pasal 73 tentang  korban yang berhak mengadu telah   meninggal  dunia.  Dan  pasal 75 tentang hak menarikpengaduan dalam waktu tiga   bulan. Pada kasus perzinaan, pengaduan dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum  mulai  diperiksa  dalam sidang  pengadilan. Dalam prakteknya, sebelum sidang pemeriksaan  dimulai, hakim masih menanyakan  kepada  pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu, bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.[43]

F.SANKSI TINDAK PIDANA ZINA

Mengeni sanksi tindak  pidana  zina, KUHP hanya mengancam  hukuman  maksimal sembilan bulan pidana penjara. Dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP telah dirumuskan sanksi tindak pidana zina yang baru. Yaitu pada pasal 484 disebutkan  tentang   ancaman hukuman untuk perbuatan zina adalah  lima tahun  penjara.  Dan diancam  pidana  maksimal dua tahun  penjara bagi pelaku kumpul kebo, yaitu perbuatan  tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.

Meskipun belum sah diundangkan, tapi setidaknya ada perencanaan  perubahan  sanksi zina. Dan sepertinya  terjadi perluasan kriteria zina. Buktinya dalam RUU KUHP tersebut  telah disebutkan definisi kumpul kebo, yaitu perbuatan  tinggal serumah  tanpa  ada ikatan  perkawinan.  Namun demikian,  yang terjerat hukuman hanya   yang  melakukan   perbuatan   tinggal serumah,  sedangkan  persetubuhan yang dilakukan  oleh mereka yang belum menikah dan tidak tinggal serumah  tetap  tidak bisa dijerat hukum.

G.DASAR PONDASI HUKUM ISLAM YANG TELAH DI SEAKATI ULAMA:

1. Al Quran

Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar. Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Artinya: Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."(QS,Al Isra ayat 88)

2. Hadits

Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:

قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Q.S Ali Imran ayat 32)

Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.

3. Ijma

Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi dan teknologi modern.

Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa. Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.

4. Qiyas

Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.

H.PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM ISLAM DENGAN KUHP

Hukum Islam memberikan  penjelasan  bahwa  zina  adalah persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan  yang sah. Hal ini berbeda  dengan  rumusan  KUHP,  bahwa zina hanya  berlaku jika kedua  pelaku  sedang  terikat  perkawinan  yang  sah.  Maka hanya  pelaku  yang sedang  terikat  dalam perkawinan  yang sah saja yang dapat dijerat oleh pasal perzinaan.

Dalam hal  kriteria  tindak  pidana  zina,  ada  beberapa  hal yang  dijadikan  patokan  dalam  penentuan  tindak  pidana  zina, yang tentunya  dalam masing-masing  kriteria  tersebut  terdapat persamaan   juga  perbedaan   antara   hukum   Islam  dan  KUHP.

I.KRITERIA TINDAK  PIDANA  ZINA : 

pertama, persetubuhan  di luar perkawinan  yang sah yang dilakukan dengan sengaja. Islam telah dengan tegas mengatakan  bahwa setiap persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah adalah zina. KUHP pun berpendapat bahwa segala persetubuhan yang terjadi di luar perkawinan  yang sah dan dilakukan dengan  kesengajaan merupakan suatu tindakan perzinaan. Namun berbeda dengan hukum  Islam,  dalam  KUHP pelaku  yang  dapat   dijerat   pasal perzinaan  hanyalah pelaku yang sedang terikat  perkawinan yang sah saja.

Kedua,      pelaku tindak pidana zina yang dapat dijatuhi sanksi menurut  hukum Islam adalah orang mukallaf. Hukum Islam tidak membedakan dalam hal status pelaku zina apakah dia sudah menikah  atau  belum  menikah  dan  apakah  dia  sedang  berada dalam ikatan perkawinan sah atau tidak. Akan tetapi dalam menjatuhkan  sanksi hukum  Islam membedakan  pelaku  zina ke dalam dua kategori yakni muḥṣan dan ghair muḥṣan. Pezina muḥṣan adalah  pelaku  zina  yang sudah  menikah  terlepas  dari apakah saat berzina dia sedang berada dalam ikatan perkawinan yang  sah  ataupun   tidak,  dalam  arti  apakah  masih  berstatus sebagai suami  atau  isteri  ataukah  berstatus  sebagai duda  atau janda, asal sudah pernah  melakukan perkawinan  yang sah maka dikategorikan  sebagai pezina  muḥṣan. Sedangkan  pezina  ghair muḥṣan adalah pelaku zina yang belum pernah  menikah. Dalam KUHP istilah zina muḥṣan ataupun ghair muḥṣan tidak dikenal. KUHP juga mensyaratkan  pelaku harus  tunduk  pada pasal 27  BW karena   dalam  pasal  27  BW tersebut   menganut   azas monogami, di mana seorang laki-laki hanya diperkenankan menikahi  seorang  perempuan  saja, dan  begitu  juga sebaliknya seorang   perempuan    hanya   diperkenankan    menikah   dengan seorang laki-laki saja. Sehingga bagi pelaku perzinaan  yang tidak tunduk pada pasal 27 BW maka mereka tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku perzinaan  ataupun  pelaku turut  serta melakukan perzinaan   karena   mereka  dianggap  menganut   azas  poligami. Padahal KUHP mensyaratkan  hanya  pelaku yang sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dan yang tunduk pada pasal 27 BW saja yang dapat dijerat hukum.

Ketiga,      dilakukan bukan karena terpaksa. Hukum Islam dan KUHP sepakat  bahwa  tindak  pidana  zina  adalah  persetubuhan yang dilakukan  oleh  dua  orang  yang suka sama suka. Artinya, persetubuhan  tersebut  dilakukan  atas  dasar  persetujuan keduanya.  Sehingga  ketika  terjadi  salah  satunya  tidak menghendaki     persetubuhan    tersebut     maka    persetubuhan tersebut  tidak lagi disebut sebagai tindak pidana zina melainkan masuk  dalam  kategori  tindak  pidana  pemerkosaan.  Dalam hal pemerkosaan,  sanksi hukum hanya menjerat  pada pelaku pemerkosa  saja,  sedangkan  untuk  korban  pemerkosaan   tidak dapat  dijerat  pasal  pemerkosaan  karena  korban  tidak menginginkan persetubuhan tersebut  dan dia berada pada posisi yang dirugikan.

Keempat, proses  pemindanaan.  Dalam hukum  Islam, zina termasuk  pada jarīmah ḥudūd yang mana merupakan  hak Allah swt. secara mutlak. Sehingga dalam proses pemidanannya memerlukan sikap kehati-hatian dan diperlukan bukti-bukti yang kuat untuk  memutuskan  masalah zina. Setidaknya ada tiga alat bukti  untuk  membuktikan  telah  terjadi  perzinaan,  yaitu: saksi, pengakuan, dan qarīnah. Dari beberapa alat bukti tersebut  dapat diketahui bahwa perbutan  zina dalam hukum Islam dapat dipidanakan ketika minimal salah satu alat bukti itu ada. Sehingga tidak diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan, asal terpenuhi  bukti-bukti   telah   terjadi   perzinaan   maka   hukum berlaku  pada  pelakunya.  Hukum  Islam  juga  tidak  membatasi hanya  pada  suami  atau  isteri  yang  dirugikan  saja  yang  bisa melapor tetapi siapa saja yang mengetahui telah terjadi perzinaan asal terpenuhi  semua alat bukti. Hal ini berbeda  dengan  KUHP yang  menyebutkan   bahwa  perzinaan   merupakan   delik  aduan absolut sehingga ketika tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, yaitu suami atau isteri pelaku, maka pelaku tidak dapat dijerat  pasal perzinaan.  Selain itu KUHP memberikan  izin pada pelapor  untuk  pencabut  kembali tuntutannya selama peristiwa tersebut belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan, meskipun pada kenyataannya sebelum dimulai, hakim masih menanyakan  kepada  pengada,  apakah  ia  tetap  pada pengaduannya itu bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya. Ini berbeda dengan hukum Islam yang ketika diketahui telah terjadi perzinaan  maka hukuman  tidak  bisa dibatalkan.  Karena tindak pidana zina masuk pada jarīmah ḥudūd yang merupakan  mutlak hak Allah swt. dan hukumannya telah ditetapkan dalam Alquran.

Kelima,     sanksi  tindak pidana zina. Jika hukum Islam memberikan hukuman dera atau rajam, maka KUHP hanya mengancamnya dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan. Perbedaan ini  jelas  terjadi  karena  memang  dasar  dari  kedua hukum tersebut  berbeda. Hukum Islam bersandar  pada Alquran dan Hadis, sedangkan  KUHP hanya bersumber dari hasil pikir manusia. Apalagi KUHP adalah  produk  pemikiran  orang-orang barat.

Keenam,   tujuan  pelarangan  zina. Tujuan pelarangan  zina oleh hukum Islam adalah:

a)      untuk menjaga kelestarian dan pengembangan   keturunan; 

b)      menjaga keharmonisan rumah tangga  menjunjung  tinggi harkat  dan martabat  serta  harga  diri dari hal-hal aib dan noda;

c)      mencegah timbulnya penyakit dan virus  yang  mematikan. Sedangkan  KUHP menganggap  bahwa tindak pidana zina merupakan sutu bentuk pengingkaran atau pengkhianatan atas perkawinan. Sehingga   dari   sini   dapat diketahui bahwa tujuan pelarangan tindak pidana zina oleh KUHP adalah untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. KUHP tidak memperhatikan kemungkinan -kemungkinan lain yang timbul akibat perzinaan. Seperti penularan penyakit dan virus yang mematikan  akibat  hubungan  badan  yang tidak  sehat.  Penyakit kelamin seperti virus  HIV/AIDS, penyakit gonorchoo atau syphilis, merupakan  jenis penyakit yang mencemaskan. Penyakit tersebut berjangkit melalui hubungan kelamin.[44]

J.PENUTUP

Hukum Islam membedakan  zina menjadi dua macam yaitu zina muḥṣan dan zina ghairu muḥṣan. Zina muḥṣan adalah zina yang  dilakukan  oleh  pelaku  yang  sudah  menikah,  sanksinya adalah rajam. Dan zina ghairu muḥṣan adalah zina yang dilakukan oleh pelaku yang belum menikah,  sanksinya adalah seratus  kali dera  atau  jild dan  diasingkan  selama  satu  tahun.   Sedangkan menurut  KUHP, zina hanya menjerat  pelaku yang sedang terikat perkawinan  sah, tunduk  pada  pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW), adanya  pengaduan dari pihak yang dirugikan (dalam hal ini suami atau isteri pelaku) dan sanksinya adalah pidana penjara maksimal sembilan bulan.

Antara  hukum  Islam dan  KUHP terdapat   persamaan  dan juga perbedaan  dalam menanggapi  masalah tindak  pidana zina, antara lain masalah kriteria tindak pidana zina, meliputi persetubuhan di luar perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sengaja. Hukum Islam dan KUHP menegaskan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan yang sah. Bedanya, jika hukum Islam tidak memandang status pelaku zina, maka KUHP hanya  menjerat  pelaku  yang sedang terikat  dalam perkawinan  yang sah. Kemudian masalah  pelaku  tindak  pidana zina,  hukum  Islam menetapkan  setiap  mukallaf  dapat  dijatuhi sanksi had dengan membagi pelaku zina menjadi dua, zina ghairu muḥṣan dan zina muḥṣan, sehingga siapa saja bisa dihukum had kecuali anak kecil, orang kurang akal dan orang idiot karena tidak termasuk mukallaf. Sedangkan KUHP hanya menjerat pelaku yang sedang terikat dalam perkawinan yang sah dan tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook(BW) saja. Selanjutnya dilakukan bukan karena terpaksa, dalam hal ini hukum  Islam dan KUHP sepakat  bahwa perzinaan  tidak berlaku bagi orang yang dipaksa. Karena perzinaan dilakukan atas dsar suka sama suka. Untuk proses pemidahannya, dalam hukum Islam setiap perzinaan dapat dipidanakan ketika terpenuhi bukti- bukti  yang  menunjukkan  telah  terjadi  perzinaan, bukti-bukti tersebut  adalah adanya empat orang saksi, pengakuan pelaku dan terdapat  qarīnah. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan perzinaan  pada delik aduan absolut, sehingga hanya suami atau isteri pelaku saja yang dapat melaporkan perzinaan tersebut. Terakhir adalah dalam hal pemberian sanksi, hukum Islam memberikan sanksi rajam dan dera bagi pelaku zina sedang KUHP hanya  memberikan  sanksi  pidana  penjara  maksimal  sembilan bulan penjara saja. Sehingga dampak yang timbul akibat adanya perbedaan antara  kedua hukum tersebut,    adalah   semakin maraknya pergaulan  bebas dan prostitusi  karena  ternyata  KUHP tidak dapat menjerat semua pelaku tindak pidana zina sebab tidak terpenuhinya kriteria yang disuguhkan oleh pasal 284 KUHP.

Berdasarkan  semua  data  dari  hasil penelitian  dan  analisa yang telah dilakukan, maka penulis menyarankan  hal-hal sebagai berikut:  satu,  hendaknya  pasal  284 KUHP segera  direvisi  dan diganti    dengan    undang-undang    yang   lebih   efektif   untuk mencegah perzinaan. Kedua, hendaknya kriteria dan sanksi dalam pasal  284 KUHP lebih  dipertegas.  Tidak  hanya  terbatas   pada pelaku yang sedang terikat perkawinan dan tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW) saja   tetapi   pada   semua   pelaku   persetubuhan   di   luar perkawinan  yang sah. Ketiga, hendaknya  pemerintah membuat peraturan sendiri untuk pelaku zina yang beragama Islam, mengingat dalam Islam zina merupakan jarīmah hudūd yang merupakan  hak Allah SWT secara mutlak, maka hukumnya tidak bisa  ditwar-tawar   lagi.  Keempat, bagi  masyarakat   hendaknya menghindari perbuatan zina mengingat begitu banyak hal-hal negatif  yang  timbul  akibat  zina,  salah  satunya   adalah  dapat gtertular  virus HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Selain itu zina termasuk dalam kategori dosa besar yang tanggung jawabnya begitu besar.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Zainuddin, Hukum Pidana lslam, Jakarta: Sinar Crafike, 2OO7. Audah,  Abdul  Qadir, Ensiklopedi  Hukum Pidana Istam Jilid  I, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008.

Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu  di  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bandung:  Remaja Rosdakarya, 1986.

Tafsir Qur’an & Al-Hadis: Kumpulan Hadis Riwayat Bukhari & Muslim, 2002, hadis no. 997

Chazawi,  Adami,  Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Departemen  Agama, Surat Tashih dari Lajnah Pentashih  Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama, Semarang: Citra Effhar, 1993. Djamali, R. Abdul, Hukum Islam, Bandung: CV. Mandar Maju, 2002.

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran  Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1970,

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XVII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Hartono, “Pengertian  Zina”, dalam http://dirga-sma-khadijah- surabaya. blogspot.com, diakses tanggal 28 Mei 2015

Hasan, Abdul Halim, Tafsir AL-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006. Marpaung, Ledeng, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensina, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Mujieb,  M. Abdul,  dkk.  Kamus Istilah  Fiqh, Jakarta:  Pustaka Firdaus, 2002.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang  Hukum Pidana Serta Komentar- Komentarnya Lengkap  Pasal Demi Pasal, Bogor: Polites,

Sudirman, Ahmad, “Kupasan Ibnu Rusyd Tentgang Zina dan Hukumnya”    http//www.dataphone.se/~ahmad/000307. htm, diakses tanggal 28 Mei 2015

Syaukāni Al-Imam Muhammadal-, Kitab Nailul Authar dalam http//groups.yahoo.com /group/alqanitat/message/158, diakses tanggal 28 Mei 2015

Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam", dalam http://one.indoskripsi.com, diakses tanggal 14 Oktober 2008.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah mengenai Hari Raya Idul Fitri

MAKALAH TENTANG SISTIM EKONOMI ISLAM

POTRET IMAGENASI DIKISAHKAN OLEH APAYUS ALUE GAMPOENG TENTANG Kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah