ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN DALAM UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA
JURNAL
ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN DALAM
UNDANGUNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA
NAMA: ABDILLAH
NIM:2018540573
Pascasarjana IAIN Lhokseumawe
GMAIL:tgkbeudibias@gmail.com
ABSTRAK.
Jurnal ini membahas tentang zina dalam perspektif Hukum Islam dan KUHP. Dengan menggunakan metode analisis komparatif ditemukan perbedaan antara Hukum Islam dan KUHP dalam mendefenisikan istilah zina serta konsekuensi hukumnya. Hubungan seksual antara pasangan muda-mudi tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina dalam KUHP karena mereka tidak sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah. KUHP juga tidak menjerat pelaku zina yang tidak tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook(BW) meskipun sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Selain itu jika suami atau isteri pelaku zina memberikan izin kepada pasangannya untuk berbuat zina, maka pasal 284 tidak dapat menejratnya. Sementara dalam pandangan Hukum Islam, setiap hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah dikategorikan sebagai perbuatan zina.
Kata Kunci: Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Pidana Indonesia
ABSTRAK.
This Journal discusses about adultery in Islamic law perspective and the book of law and criminal. By using the comparative analysis method found a difference between Islamic law and the book of law and criminal in terms define adultery as well as legal consequences. Sexual relations between young couples are not categorized as adultery in the book of law and criminal because they are not in a valid marriage bond. The book of law and criminal also does not ensnare adultery to Article 27 BW even though they are in a valid marriage bond. In addition, if the husband or wife of adultery gives permission to the partner to commit adultery, then Article 284 cannot ensnare them. While in Islamic law perspective, any sexual relations outside a valid marriage bond is categorized as adultery.
Keywords: Adultery in the Perspective of Islamic Law and Indonesian Criminal Law
مختصرة
نبذة مختصرة تناقش هذه المجلة الزنا من منظور الشريعة الإسلامية والقانون الجنائي. وباستخدام أسلوب التحليل المقارن ، تبين وجود فروق بين الشريعة الإسلامية وقانون العقوبات في تعريف مصطلح الزنا وقوانينه. العلاقات الجنسية بين الأزواج الشباب التي لم يتم تصنيفها على أنها زنا في قانون العقوبات لأنهم ليسوا حاليًا في رباط زواج قانوني. كما أن القانون الجنائي لا يتهم مرتكبي الزنا الذين لا يمتثلون للمادة ٢٧ من قانون دفتر السجل المدني على الرغم من أنهم مرتبطون برباط زواج قانوني. بالإضافة إلى ذلك ، إذا أعطى الزوج أو الزاني الإذن لشريكه بضريبة الزنا ، فلا يمكن للمادة 284 ملاحقتها. وفي الوقت نفسه ، من وجهة نظر الشريعة الإسلامية ، يتم تصنيف كل علاقة جنسية خارج رباط الزواج القانوني على أنها زنا.
الكلمات المفتاحية: الزنا من منظور الشريعة الإسلامية والقانون الجنائي الإندونيسي
A.PENDAHULUAN
Latar Belakang Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi yang sangat krusial dalam pandangan umat islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit dari hukum Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam skema doktrinal-Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht menilai, bahwa “adalah mustahil memahami Agama Islam tanpa memahami hukum Islam[1]
Secara umum hukum adalah serangkaian aturan yang disepakati bersama untuk mengatur masyarakat dengan sifat memaksa dan terdapat sanksi bagi pelanggarnya. Hukum akan mengatur kehidupan masyarakat dengan kaidah-kaidah yang sangat sederhana dan terbatas yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat tersebut. Kaidah hukum tersebut akan terus bertambah dan teori-teorinya akan terus berkembang sejalan dengan bertambah dan beragamnya kebutuhan masyarakat serta majunya pemikiran, ilmu pengetahuan dan beradaban. Hukum akan berkembang dengan cepat manakala tatanan masyarakat juga berkembang dengan cepat. Artinya masyarakatlah yang menciptakan hukum sesuai dengan kebutuhan dalam mengatur kehidupan antara mereka. Hukum seperti ini terus berkembang yang bertalian dengan perkembangan masyarakatnya.[2]
Namun, berbeda dengan hukum adat yang dapat berubah dengan epat manakala masyarakatnya menginginkan perubahan, hukum positif memerlukan waktu yang lama jika ingin berubah, meskipun dirasa tidak sesuai lagi jika diterapkan di tengah tengah masyarakat, karena ada unsur terkodifikasi.
Seperti halnya pasal 284 KUHP yang membahas tentang tindak pidana zina dirasa tidak sesuai jika diterapkan di negara Indonesia.Bagaimana tidak, zina yang merupakan salah satu tindak pidana kesusilaan ini menjelaskan bahwa zina hanya dapat dipidanakan jika pelaku telah menikah, tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW) dan merupakan delik aduan.
Sebenarnya tindak pidana kesusilaan merupakan tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak pidana yang bersifat kultural, artinya tindak pidana kesusilaan sangat sarat dengan nilai-nilai budaya dan kearifal lokal. Tindak pidana demikian akan berbeda antara satu negara dengan negara lain yang menganut budaya yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian zina yang dianut oleh Barat, dan sangat berbeda pengertian zina yang dianut orang Indonesia.
Pengertian zina dalam dunia Barat diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan dimana salah satu pelaku atau kedua pelaku sudah terikat perkawinan dengan orang lain.[3] Jadi jika persetubuhan tersebut dilakukan oleh orang yang sama-sama tidak terikat perkawinan maka tidak dapat dihukumi sebagai perbuatan zina. Sedangkan menurut orang Islam, zina adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan, sehingga siapapun mereka jika melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya maka dihukumi zina. Ironisnya, pengertian zina dalam KUHP masih mengikuti pemikiran orang Barat.[4] Hal ini terjadi karena KUHP yang ada saat ini adalah warisan dari Belanda.
Sedangkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius yang tentu saja mempunyai pemikiran yang sangat berbeda dengan pola pikir orang Barat mengenai zina. Hal ini terlihat bahwa KUHP masih tidak sesuai dengan hukum adat ataupun kultur yang dianut. Indonesia bukanlah negara yang sekuler, karena nilai-nilai agama sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, oleh karena itu perumusan tindak pidana tentang kesusilaan seharusnya memasukkan nilai-nilai agama.[5]
Zina, misalnya, yang merupakan kejahatan yang menyangkut kehormatan seseorang yang seharusnya dihukum berat ternyata dalam KUHP hanya diancamkan hukuman maksimal 9 bulan penjara dan itupun harus memenuhi beberapa syarat, antara lain dalam pasal 284 KUHP dijielaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau isterinya; 2) Bagi dirinya berlaku pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW);[6] 3) Dirinya sedang berada dalam perkawinan.[7] Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang tidak membedakan apakah pelaku telah menikah atau belum. Zina menurut Islam adalah persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan yang sah. Untuk pelaku zina sendiri dibagi menjadi dua yaitu zina muḥṣan dan ghair muḥṣan. Zina muḥṣan adalah suatu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah balig, berakal, merdeka dan sudah pernah bercampur secara sah dengan orang lain jenis kelaminnya.[8] Dengan kata lain zina muḥṣan adalah zina yang pelakunya sudah menikah. Sedangkan zina ghair muḥṣan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melangsungkan perkawinan sah.[9] Dalam hal penetapan hukuman pun terdapat perbedaan antara keduanya. Jika pelaku muḥṣan dihukum rajam, maka pelaku ghair muḥṣan dihukum dera atau jilid 100 kali kemudian diasingkan. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Nūr (24): 2.
اَلزَّانِیَۃُ وَ الزَّانِیۡ فَاجۡلِدُوۡا کُلَّ وَاحِدٍ مِّنۡہُمَا مِائَۃَ جَلۡدَۃٍ ۪ وَّ لَا تَاۡخُذۡکُمۡ بِہِمَا رَاۡفَۃٌ فِیۡ دِیۡنِ اللّٰہِ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ ۚ وَ لۡیَشۡہَدۡ عَذَابَہُمَا طَآئِفَۃٌ مِّنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
Artinya: Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. Q.S. al-Nūr (24): 2.
Bertolak dari persoalan di atas, penulis akan mengkaji bagaimana kriteria dan sanksi tindak pidana zina menurut hukum Islam dan KUHP? Dan bagaimana implikasi yang timbul dari perbedaan antara hukum Islam dan KUHP tentang kriteria dan sanksi tindak pidana zina tersebut.
B.PEMBAHASAN
Zina Dalam Perspektif Islam Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar).[10]
Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina adalah persetubuhan di dalam farji, di mana zakar di dalam farji seperti batang celak di dalam botol celak atau seperti timba di dalam sumur. Persetubuhan dianggap zina, minimal dengan terbenam- nya hasyafah (pucuk zakar) pada farji, atau yang sejenis hasyafah jika zakar tidak mempunyai hasyafah, dan menurut pendapat yang kuat, zakar tidak disyaratkan ereksi.[11]
Menurut Abdul Halim Hasan, zina artinya seorang laki-laki memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan perempuan, dengan tidak ada nikah dan terjadinya tidak pula dengan subhat.[12]
Pengertian ini hampir serupa dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Djamali, yakni zina adalah perbuatan memasukkan kemaluan laki-laki sampai katuknya ke dalam kemaluan perempuan yang diinginkan.[13]
Adapun menurut ulama fiqih pengertian zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang haram dengan tidak subhat. Dan menurut Ibnu Rusyd pengertian zina adalah persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah yang sah/semu nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. Sedangkan menurut Hamka, berzina adalah segala persetubuhan di luar nikah, dan di juzu’ yang lain beliau mendefinisikan zina sebagai
segala persetubuhan yang tidak disyahkan dengan nikah, atau yang tidak syah nikahnya.[14]
Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam disebutkan definisi zina menurut beberapa madzhab, yang meskipun berbeda redaksi tetapi sebenarnya maksudnya sama yaitu persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan oleh mukallaf yang tidak terikat oleh perkawinan yang sah.[15]
Zina merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman ḥudūd atau ḥad, yakni suatu hukuman yang diberlakukan terhadap pelanggaran yang menyangkut hak Allah.[16]Dengan demikian, hukuman tindak pidana zina telah diatur oleh Alquran karena merupakan hak Allah swt. secara mutlak. Ada dua macam perbuatan zina yang mendapat hukuman wajib bagi pelakunya, yaitu: Ghairu Muḥṣan, artinya suatu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melangsungkan perkawinan yang sah.[17]Artinya pelaku zina yang masih bujang atau perawan, yaitu mereka yang belum menikah.
Untuk hukuman yang dibebankan pada pelaku zina dengan status ghair muḥṣan adalah dera seratus kali, berdasarkan Q.S. al- Nūr (24): 2. Ayat ini menggambarkan ketegasan dalam menegakkan hukuman ḥad, dilarang memberi belas kasihan dalam menjatuhkan hukuman atas kekejian yang dilakukan oleh dua orang pezina tersebut, juga ada larangan membatalkan hukuman ḥad atau berlemah lembut dalam menegakkannya. Oleh karenanya dilarang menunda penegakan agama Allah dan mengundurkan hak-Nya. Pelaksanaan hukuman hendaknya dilaksanakan di depan khalayak ramai, yaitu sekelompok orang- orang yang beriman, sehingga diharapkan memberi efek jera dan mempengaruhi jiwa orang-orang yang telah melakukan perbuatan zina dan memberi pelajaran bagi orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut.
Terdapat perbedaan dalam tata cara pelaksanaan hukuman dera. Menurut Imam Malik yang didera adalah punggung dan seputarnya serta harus menanggalkan baju. Menurut Imam Syafi’i yang didera seluruh anggota badan, kecuali kelamin dan muka yang harus dihindarkan serta penanggalan baju. Menurut Abu Hanifah seluruh anggota badan, kecuali kelamin, muka dan kepala serta penaggalan baju.[18]
Selain didera seratus kali, pelaku zina ghair muḥṣan juga diasingkan selama setahun, hal ini bersandar pada keterangan Ibnu al-Munẓir yang mengatakan: “Dalam kasus seorang pelayan yang berzina dengan majikan putri, Rasulullah saw. bersumpah bahwa beliau akan memutusinya berdasarkan Kitabullah. Kemudian beliau menyatakan, bahwasanya pelayan tersebut harus dihukum dera sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Itulah penjabaran dari firman Allah dan itulah yang dipidatokan oleh Umar bin Khattab di atas mimbar dan yang kemudian diamalkan atau dipraktekkan oleh para Khulafā‘ al- Rāsyidīn dan mengamininya. Hal tersebut menjadi dasar ijma’ (konsensus).[19] Sementara Muḥṣan, adalah suatu zina yang dilaukan oleh orang yang sudah balig, berakal, merdeka dan sudah pernah bercampur secara sah dengan orang lain jenis kelaminnya.[20]
Hukuman bagi pelaku zina yang berstatus muḥṣan adalah rajam. Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari dengan batu.[21]Karena hukuman rajam tidak tersebut secara jelas dalam Alquran, maka kaum khawarij mengingkarinya. Menurut mereka hukuman bagi pezina muḥṣan maupun ghair muḥṣan adalah sama yaitu didera. Pasal hukum rajam dalam Alquran tidak ada, tetapi hanya atas pernyataan Umar ibn Khattab yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW memerintahkan perajaman bagi muḥṣan.[22] Pernyataan Umar tersebut sebagaimana termaktub dalam hadis yang berbunyi:
Diriwayatkan dari Sayyidina Umar bin al-Khatab r.a. Katanya: Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. dengan kebenaran dan telah menurunkan kepada baginda kitab Alquran. Di antara yang diturunkan kepada baginda ialah ayat yang menyentuh tentang hukum rajam. Kami selalu membaca, menjaga dan memikirkan ayat tersebut. Rasulullah saw. telah melaksanakan hukuman rajam tersebut dan selepas baginda, kami pun melaksanakan juga hukuman itu. Pada akhir zaman aku merasa takut, akan ada orang yang akan mengatakan: “Kami tidak menemukan hukuman rajam dalam kitab Allah yaitu Alquran sehingga mereka akan menjadi sesat karena meninggalkan salah satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya hukuman rajam yang terdapat dalam kitab Allah itu mesti dilaksanakan kepada pezina yang pernah kawin baik laki-laki maupun perempuan bila terdapat bukti yang nyata atau dia telah hamil ataupun dengan pengakuan sendiri”.[23]
Pemberian hukuman yang lebih berat bagi pelaku zina muḥṣan, adalah balasan bagi pelaku yang telah mendapatkan kesempatan dari Tuhan untuk merasakan hubungan seksualitas yang sah, melalui perkawinan. Dengan demikian pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikan harus dibalas dengan kepedihan rajam. Sedangkan zina ghairu muḥṣan dihukum dera dan pengasingan adalah karena mungkin sifat keingintahuannya yang mendorong untuk berbuat zina sedang dia belum menikah sehingga tidak ada tempat untuk menyalurkan keingintahuannya secara syar’i. Karena memang secara fitrah terdapat
kecenderungan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu Islam menghalalkan nikah dan menghramkan zina. Jadi hubungan apapun antara laki-laki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina.
C.KRITERIA ZINA DALAM HUKUM ISLAM
Hukum bagi pelaku zina baru dapat ditetapkan apabila memenuhi unsur-unsur perbuatan zina dengan beberapa kriteria. Pertama, melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah dan disengaja.[24] Persetubuhan dianggap zina minimal dengan terbenamnya hasyafah (pucuk zakar) pada farji, sekalipun tidak ereksi.[25] Selain itu pelaku juga mengetahui bahwa persetubuhan yang mereka lakukan adalah haram. Dalam tindak pidana zina, pelaku zina laki-laki maupun perempuan disyariatkan mempunyai kesengajaan atau niat melawan hukum. Niat melawan hukum dianggap terpenuhi jika pelaku tahu bahwa ia menyetubuhi perempuan yang haram baginya. Juga kalau perempuan yang berzina menyerahkan dirinya dan tahu bahwa orang yang menyetubuhinya tidak halal baginya.[26]
Kedua, pelaku adalah mukallaf. Islam menetapkan setiap mukallaf dapat dijerat hukuman hudud jika terbukti berbuat zina terlepas apakah sudah menikah atau belum menikah. Bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar’I, begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang paramedis mengakui kekurangan tersebut.[27]
Ketiga, zina adalah persetubuhan yang dilakukan dalam kondisi sadar tanpa paksaan, artinya antar pelaku telah setuju untuk berzina bukan karena paksaan. Persetubuhan yang dipaksakan adalah pemerkosaan. Jika salah satu pihak ternyata dipaksa, maka dia bukanlah pelaku melainkan korban. Dalam kasus pemerkosaan ini, pelaku tetap dijatuhi hukum ḥad, sedangkan korban tidak.
Keempat, terdapat bukti-bukti telah terjadi perzinaan. Ada tiga alat bukti untuk pembuktian zina, yaitu:
a) Saksi, para ulama sepakat bahwa zina tidak bisa dibuktikan kecuali empat orang saksi. Ini merupakan ijma’ para ulama.[28]Saksi dalam tindak pidana zina harus berjumlah empat orang laki-laki, balig, berakal, hifẓun (mampu mengingat), dapat berbicara, bisa melihat, adil dan beragama Islam;[29]
b) Pengakuan, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapt bahwa satu kali pengakuan sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Ibnu Dawud, Abu Ṡaur, al-Ṭabarī.[30]Sedangkan Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya, Ibnu Abi Lala, Imam Amad dan Ishaq berpendapat bahwa hukuman zina baru bisa dijatuhkan apabila adanya pengakuan empat kali yang dikemukan satu persatu di tempat yang berbeda-beda.[31]
c) Qarīnah (Indikasi), kehamilan seorang perempuan telah mewajibkan untuk dikenai hukuman ḥad jika perempuan tersebut tidak mempunyai suami ataupum pemilik.[32]
D.ZINA DALAM PERSPEKTIF KUHP
Di dalam pasal 284 KUHP tidak dengan jelas mendefinisikan tentang pengertian zina, tetapi cenderung memaparkan tentang kriteria pelaku yang dapat dijerat oleh pasal perzinaan. Penjelasan pasal 284 KUZHP zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isterinya atau suaminya.[33]
Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.[34] Pengertian ini relatif sama dengan istilah adultery dalam bahasa Inggeris yang diartikan sebagai “Voluntary sexual intercourse by a married person with one who is not his or her spouse”. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “Hubungan seksual sukarela oleh seseorang yang terikat perkawinan dengan orang yang bukan suami atau isterinya”. [35]
E.KRITERIA TINDAK PIDANA ZINA
Kriteria zina menurut Undang-Undang Hukum Pidana adalah: pertama, persetubuhan yang dilakukan dengan perempuan bukan isteri atau laki-laki bukan suami. Zina dilakukan secara bersama-sama, tidak dapat dilakukan oleh satu orang atau dua orang yang sejenis artinya tidak dapat dilakukan antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.[36]
Dengan demikian, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawinan yang sah dengan seorang perempun atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Sehingga hanya pelaku yang sedang terikat perkawinan yang sah saja yang dapat dijerat pasal 284 KUHP. Jika salah satu dari pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan yang sah maka dia tidak bisa divonis melakukanperbuatan zina, tetapi divonis telah turut serta melakukan zina dan dibebani tanggung jawab yang sama dengan pembuat zina itu sendiri.[37]Orang yang turut serta melakukan zina tidak harus telah menikah. Dia pun tidak harus tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW):[38]
Sedangkan dia tahu bahwa kawan berzinanya tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW). Dengan kata lain, jika salah satu dari pelaku perzinaan tersebut sedang terikat perkawinan, maka meskipun kawan berzinanya tidak sedang terikat perkawinan maka dia juga dapat dijerat pasal perzinaan, meskipun bukan sebagai pelaku tindak pidana zina, tetapi sebagai pelaku turut serta melakukan zina, namun dibebani hukuman yang seperti pelaku tindak pidana zina.
Apabila kedua pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan yang sah, maka KUHP tidak dapat menjeratnya karena dalam pasal 284 ayat (1) disebutkan bahwa yang dapat dijerat pasal perzinaan adalah yang dilakukan oleh laki-laki yang beristri atau perempun yang bersuami. Dalam konteks ini yang berlaku adalah pasal 27Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgelijk Wotbook (BW) yang menegaskan bahwa seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. Dalam hal ini tampak jelas bahwa KUHP sangat dipengaruhi oleh tradisi Eropa, khususnya Belanda. Di sana baik seorang laki-laki maupun perempuan yang sudah kawin, melakukan tindak pidana berzina apabila bersetubuh dengan orang ketiga.[39]
Selanjutnya, pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan delik aduan absolut. Artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan (yang dimalukan).[40] Pengaduan tidak dapat dilakukan orang lain selain suami atau isteri dari yang berzina itu.
Dalam hal perzinaan, pengaduan tidak dapat diajukan terhadap penyerta saja. Tetapi hendaklah kedua pelaku dilaporkan. Mengingat kejahatan zina adalah tindak pidana yang untuk terwujudnya diperlukan dua orang, disebut dengan penyertaan mutlak, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, walaupun pengadu mengadukan satu orang saja di antara dua manusia yang telah berzina itu, tidak menyebabkan untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap orang yang tidak diadukan oleh pengadu.[41]Jaksa penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhdap orang yang tidak diadukan berdasarkan asas opportunitas.
Pengaduan dapat diartikan sebagai keberatan dalam arti “ketidaksetujuan” Jika telah dianggap ada “persetujuan” maka tidak memenuhi syarat untuk dituntut.[42] Sehingga jika terjadi perzinaan sedangkan isteri atau suami pelaku setuju akan tindakan perzinaan yang dilakukan oleh pasangannya, maka masalah ini tidak bisa dikatakan sebagai perzinaan. Ini karena suami atau isteri pelaku telah setuju.
Namun demikian, dalam hal pengadun semacam ini, pasal 72, 73 dan 75 tidak berlaku. Pasal 72 mengenai pengadu yang belum dewasa yang umurnya belum genap enam belas tahun atau di bawah pengampun. Pasal 73 tentang korban yang berhak mengadu telah meninggal dunia. Dan pasal 75 tentang hak menarikpengaduan dalam waktu tiga bulan. Pada kasus perzinaan, pengaduan dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam prakteknya, sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu, bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.[43]
F.SANKSI TINDAK PIDANA ZINA
Mengeni sanksi tindak pidana zina, KUHP hanya mengancam hukuman maksimal sembilan bulan pidana penjara. Dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP telah dirumuskan sanksi tindak pidana zina yang baru. Yaitu pada pasal 484 disebutkan tentang ancaman hukuman untuk perbuatan zina adalah lima tahun penjara. Dan diancam pidana maksimal dua tahun penjara bagi pelaku kumpul kebo, yaitu perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.
Meskipun belum sah diundangkan, tapi setidaknya ada perencanaan perubahan sanksi zina. Dan sepertinya terjadi perluasan kriteria zina. Buktinya dalam RUU KUHP tersebut telah disebutkan definisi kumpul kebo, yaitu perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan. Namun demikian, yang terjerat hukuman hanya yang melakukan perbuatan tinggal serumah, sedangkan persetubuhan yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah dan tidak tinggal serumah tetap tidak bisa dijerat hukum.
G.DASAR PONDASI HUKUM ISLAM YANG TELAH DI SEAKATI ULAMA:
1. Al Quran
Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar. Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
Artinya: Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."(QS,Al Isra ayat 88)
2. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ
Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Q.S Ali Imran ayat 32)
Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.
3. Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi dan teknologi modern.
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa. Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.
4. Qiyas
Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.
H.PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM ISLAM DENGAN KUHP
Hukum Islam memberikan penjelasan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan yang sah. Hal ini berbeda dengan rumusan KUHP, bahwa zina hanya berlaku jika kedua pelaku sedang terikat perkawinan yang sah. Maka hanya pelaku yang sedang terikat dalam perkawinan yang sah saja yang dapat dijerat oleh pasal perzinaan.
Dalam hal kriteria tindak pidana zina, ada beberapa hal yang dijadikan patokan dalam penentuan tindak pidana zina, yang tentunya dalam masing-masing kriteria tersebut terdapat persamaan juga perbedaan antara hukum Islam dan KUHP.
I.KRITERIA TINDAK PIDANA ZINA :
pertama, persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dilakukan dengan sengaja. Islam telah dengan tegas mengatakan bahwa setiap persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah adalah zina. KUHP pun berpendapat bahwa segala persetubuhan yang terjadi di luar perkawinan yang sah dan dilakukan dengan kesengajaan merupakan suatu tindakan perzinaan. Namun berbeda dengan hukum Islam, dalam KUHP pelaku yang dapat dijerat pasal perzinaan hanyalah pelaku yang sedang terikat perkawinan yang sah saja.
Kedua, pelaku tindak pidana zina yang dapat dijatuhi sanksi menurut hukum Islam adalah orang mukallaf. Hukum Islam tidak membedakan dalam hal status pelaku zina apakah dia sudah menikah atau belum menikah dan apakah dia sedang berada dalam ikatan perkawinan sah atau tidak. Akan tetapi dalam menjatuhkan sanksi hukum Islam membedakan pelaku zina ke dalam dua kategori yakni muḥṣan dan ghair muḥṣan. Pezina muḥṣan adalah pelaku zina yang sudah menikah terlepas dari apakah saat berzina dia sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah ataupun tidak, dalam arti apakah masih berstatus sebagai suami atau isteri ataukah berstatus sebagai duda atau janda, asal sudah pernah melakukan perkawinan yang sah maka dikategorikan sebagai pezina muḥṣan. Sedangkan pezina ghair muḥṣan adalah pelaku zina yang belum pernah menikah. Dalam KUHP istilah zina muḥṣan ataupun ghair muḥṣan tidak dikenal. KUHP juga mensyaratkan pelaku harus tunduk pada pasal 27 BW karena dalam pasal 27 BW tersebut menganut azas monogami, di mana seorang laki-laki hanya diperkenankan menikahi seorang perempuan saja, dan begitu juga sebaliknya seorang perempuan hanya diperkenankan menikah dengan seorang laki-laki saja. Sehingga bagi pelaku perzinaan yang tidak tunduk pada pasal 27 BW maka mereka tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku perzinaan ataupun pelaku turut serta melakukan perzinaan karena mereka dianggap menganut azas poligami. Padahal KUHP mensyaratkan hanya pelaku yang sedang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dan yang tunduk pada pasal 27 BW saja yang dapat dijerat hukum.
Ketiga, dilakukan bukan karena terpaksa. Hukum Islam dan KUHP sepakat bahwa tindak pidana zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh dua orang yang suka sama suka. Artinya, persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar persetujuan keduanya. Sehingga ketika terjadi salah satunya tidak menghendaki persetubuhan tersebut maka persetubuhan tersebut tidak lagi disebut sebagai tindak pidana zina melainkan masuk dalam kategori tindak pidana pemerkosaan. Dalam hal pemerkosaan, sanksi hukum hanya menjerat pada pelaku pemerkosa saja, sedangkan untuk korban pemerkosaan tidak dapat dijerat pasal pemerkosaan karena korban tidak menginginkan persetubuhan tersebut dan dia berada pada posisi yang dirugikan.
Keempat, proses pemindanaan. Dalam hukum Islam, zina termasuk pada jarīmah ḥudūd yang mana merupakan hak Allah swt. secara mutlak. Sehingga dalam proses pemidanannya memerlukan sikap kehati-hatian dan diperlukan bukti-bukti yang kuat untuk memutuskan masalah zina. Setidaknya ada tiga alat bukti untuk membuktikan telah terjadi perzinaan, yaitu: saksi, pengakuan, dan qarīnah. Dari beberapa alat bukti tersebut dapat diketahui bahwa perbutan zina dalam hukum Islam dapat dipidanakan ketika minimal salah satu alat bukti itu ada. Sehingga tidak diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan, asal terpenuhi bukti-bukti telah terjadi perzinaan maka hukum berlaku pada pelakunya. Hukum Islam juga tidak membatasi hanya pada suami atau isteri yang dirugikan saja yang bisa melapor tetapi siapa saja yang mengetahui telah terjadi perzinaan asal terpenuhi semua alat bukti. Hal ini berbeda dengan KUHP yang menyebutkan bahwa perzinaan merupakan delik aduan absolut sehingga ketika tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, yaitu suami atau isteri pelaku, maka pelaku tidak dapat dijerat pasal perzinaan. Selain itu KUHP memberikan izin pada pelapor untuk pencabut kembali tuntutannya selama peristiwa tersebut belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan, meskipun pada kenyataannya sebelum dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengada, apakah ia tetap pada pengaduannya itu bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya. Ini berbeda dengan hukum Islam yang ketika diketahui telah terjadi perzinaan maka hukuman tidak bisa dibatalkan. Karena tindak pidana zina masuk pada jarīmah ḥudūd yang merupakan mutlak hak Allah swt. dan hukumannya telah ditetapkan dalam Alquran.
Kelima, sanksi tindak pidana zina. Jika hukum Islam memberikan hukuman dera atau rajam, maka KUHP hanya mengancamnya dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan. Perbedaan ini jelas terjadi karena memang dasar dari kedua hukum tersebut berbeda. Hukum Islam bersandar pada Alquran dan Hadis, sedangkan KUHP hanya bersumber dari hasil pikir manusia. Apalagi KUHP adalah produk pemikiran orang-orang barat.
Keenam, tujuan pelarangan zina. Tujuan pelarangan zina oleh hukum Islam adalah:
a) untuk menjaga kelestarian dan pengembangan keturunan;
b) menjaga keharmonisan rumah tangga menjunjung tinggi harkat dan martabat serta harga diri dari hal-hal aib dan noda;
c) mencegah timbulnya penyakit dan virus yang mematikan. Sedangkan KUHP menganggap bahwa tindak pidana zina merupakan sutu bentuk pengingkaran atau pengkhianatan atas perkawinan. Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa tujuan pelarangan tindak pidana zina oleh KUHP adalah untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. KUHP tidak memperhatikan kemungkinan -kemungkinan lain yang timbul akibat perzinaan. Seperti penularan penyakit dan virus yang mematikan akibat hubungan badan yang tidak sehat. Penyakit kelamin seperti virus HIV/AIDS, penyakit gonorchoo atau syphilis, merupakan jenis penyakit yang mencemaskan. Penyakit tersebut berjangkit melalui hubungan kelamin.[44]
J.PENUTUP
Hukum Islam membedakan zina menjadi dua macam yaitu zina muḥṣan dan zina ghairu muḥṣan. Zina muḥṣan adalah zina yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menikah, sanksinya adalah rajam. Dan zina ghairu muḥṣan adalah zina yang dilakukan oleh pelaku yang belum menikah, sanksinya adalah seratus kali dera atau jild dan diasingkan selama satu tahun. Sedangkan menurut KUHP, zina hanya menjerat pelaku yang sedang terikat perkawinan sah, tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW), adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan (dalam hal ini suami atau isteri pelaku) dan sanksinya adalah pidana penjara maksimal sembilan bulan.
Antara hukum Islam dan KUHP terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam menanggapi masalah tindak pidana zina, antara lain masalah kriteria tindak pidana zina, meliputi persetubuhan di luar perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sengaja. Hukum Islam dan KUHP menegaskan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan yang sah. Bedanya, jika hukum Islam tidak memandang status pelaku zina, maka KUHP hanya menjerat pelaku yang sedang terikat dalam perkawinan yang sah. Kemudian masalah pelaku tindak pidana zina, hukum Islam menetapkan setiap mukallaf dapat dijatuhi sanksi had dengan membagi pelaku zina menjadi dua, zina ghairu muḥṣan dan zina muḥṣan, sehingga siapa saja bisa dihukum had kecuali anak kecil, orang kurang akal dan orang idiot karena tidak termasuk mukallaf. Sedangkan KUHP hanya menjerat pelaku yang sedang terikat dalam perkawinan yang sah dan tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook(BW) saja. Selanjutnya dilakukan bukan karena terpaksa, dalam hal ini hukum Islam dan KUHP sepakat bahwa perzinaan tidak berlaku bagi orang yang dipaksa. Karena perzinaan dilakukan atas dsar suka sama suka. Untuk proses pemidahannya, dalam hukum Islam setiap perzinaan dapat dipidanakan ketika terpenuhi bukti- bukti yang menunjukkan telah terjadi perzinaan, bukti-bukti tersebut adalah adanya empat orang saksi, pengakuan pelaku dan terdapat qarīnah. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan perzinaan pada delik aduan absolut, sehingga hanya suami atau isteri pelaku saja yang dapat melaporkan perzinaan tersebut. Terakhir adalah dalam hal pemberian sanksi, hukum Islam memberikan sanksi rajam dan dera bagi pelaku zina sedang KUHP hanya memberikan sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara saja. Sehingga dampak yang timbul akibat adanya perbedaan antara kedua hukum tersebut, adalah semakin maraknya pergaulan bebas dan prostitusi karena ternyata KUHP tidak dapat menjerat semua pelaku tindak pidana zina sebab tidak terpenuhinya kriteria yang disuguhkan oleh pasal 284 KUHP.
Berdasarkan semua data dari hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: satu, hendaknya pasal 284 KUHP segera direvisi dan diganti dengan undang-undang yang lebih efektif untuk mencegah perzinaan. Kedua, hendaknya kriteria dan sanksi dalam pasal 284 KUHP lebih dipertegas. Tidak hanya terbatas pada pelaku yang sedang terikat perkawinan dan tunduk pada pasal 27 Burgelijk Wotbook (BW) saja tetapi pada semua pelaku persetubuhan di luar perkawinan yang sah. Ketiga, hendaknya pemerintah membuat peraturan sendiri untuk pelaku zina yang beragama Islam, mengingat dalam Islam zina merupakan jarīmah hudūd yang merupakan hak Allah SWT secara mutlak, maka hukumnya tidak bisa ditwar-tawar lagi. Keempat, bagi masyarakat hendaknya menghindari perbuatan zina mengingat begitu banyak hal-hal negatif yang timbul akibat zina, salah satunya adalah dapat gtertular virus HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Selain itu zina termasuk dalam kategori dosa besar yang tanggung jawabnya begitu besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana lslam, Jakarta: Sinar Crafike, 2OO7. Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Istam Jilid I, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008.
Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Tafsir Qur’an & Al-Hadis: Kumpulan Hadis Riwayat Bukhari & Muslim, 2002, hadis no. 997
Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Departemen Agama, Surat Tashih dari Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama, Semarang: Citra Effhar, 1993. Djamali, R. Abdul, Hukum Islam, Bandung: CV. Mandar Maju, 2002.
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1970,
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XVII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Hartono, “Pengertian Zina”, dalam http://dirga-sma-khadijah- surabaya. blogspot.com, diakses tanggal 28 Mei 2015
Hasan, Abdul Halim, Tafsir AL-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006. Marpaung, Ledeng, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensina, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Polites,
Sudirman, Ahmad, “Kupasan Ibnu Rusyd Tentgang Zina dan Hukumnya” http//www.dataphone.se/~ahmad/000307. htm, diakses tanggal 28 Mei 2015
Syaukāni Al-Imam Muhammadal-, Kitab Nailul Authar dalam http//groups.yahoo.com /group/alqanitat/message/158, diakses tanggal 28 Mei 2015
Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam", dalam http://one.indoskripsi.com, diakses tanggal 14 Oktober 2008.
Komentar