Memorandum of understanding Sultan Kerajaaan negara Aceh dengan Raja negara Inggri ( Treaty of 1819 )
Memorandum of understanding Sultan
Kerajaaan negara Aceh dengan Raja negara Inggri ( Treaty of 1819 )
UNIVERSITAS ISLAM DUNIA
Posted : waled blang jruen
27desember 2017
SULTAN Jauhar Alam Syah yang memegang tampuk kekuasaan Neugara Aceh diwarnai dengan kemelut politik dan pemberontakan. Sultan yang memiliki hubungan baik dengan Inggris mengharapkan bantuan. Namun sama sekali tidak digubris.
Kerajaaan negara Aceh dengan Raja negara Inggri ( Treaty of 1819 )
UNIVERSITAS ISLAM DUNIA
Posted : waled blang jruen
27desember 2017
SULTAN Jauhar Alam Syah yang memegang tampuk kekuasaan Neugara Aceh diwarnai dengan kemelut politik dan pemberontakan. Sultan yang memiliki hubungan baik dengan Inggris mengharapkan bantuan. Namun sama sekali tidak digubris.
Pemberontakan dipicu oleh
kalangan istana yang berkomplot dengan panglima panglima sagoe
—raja-raja kecil yang pada masa Sultan Iskandar Muda telah bergabung
dengan Kerajaan neugara Aceh. Mereka dibantu oleh pemuka-pemuka rakyat,
pedagang daerah-daerah lada di wilayah Aceh Barat dan Aceh Selatan yang
bersepakat menggulingkan Jauhar Alam Syah dari tahta keraja an.secara
diam diam kalangan pemberontak mendapat dukungan dari Sayid Husin,
seorang saudagar Arab yang kaya raya. Dia merupakan warga Inggris yang
berkedudukan di Penang malaysia dan sering datang ke neugara Aceh untuk
berdagang. Politik uang dilancarkan Sayid Husin mampu merebut hati
kepala pemberontak Dia kemudian membujuk pemberontak untuk mengangkat
anaknya menjadi Sultan Aceh melangserkan Jauhar Alam Syah.
Proklamir pemberontakan terhadap neugara Aceh dilakukan pada 1816. Mereka lalu mengangkat anak Sayid Husin menjadi Raja Aceh dengan nama Sultan Saiful Alam. Propaganda dan sabotase dilakukan untuk menggulingkan kekuasaan sultan sehingga akhirnya Jauhar Syah Alam terpaksa meminta bantuan Letnan Gubernur Inggris, Mr. Fahrugar di Penang malaysia pada Mei 1805. Dia juga mengirimkan sepucuk surat lainnya kepada Inggris agar mengirimkan bala tantara mengatasi pemberontakan. Letnan Gubernur Inggris, Mr. Fahrugar menolak memberikan bantuan kepada Sultan Jauhar Syah Alam karena berada di luar wewenangnya. Namun dirinya berjanji akan meneruskan permintaan Sultan Aceh kepada Gubernur Jenderal di Benggal, India. Bantuan dari Inggris yang diharapkan tak kunjung datang meski telah terhitung belasan tahun lamanya. Sebagai sekutu kerajaan, Inggris sebenarnya tidak ingin mencampuri kemelut dalam neugara Aceh.
Inggris berprinsip politik neutrality and non interference atau politik tidak campur tangan. Kekecewaan Sultan Jauhar Syah Alam memuncak saat mengetahui adanya kapal-kapal berbendera negara Inggris melintasi perairan Aceh. Kapal-kapal tersebut turut membawa serta amunisi dan senjata yang ternyata milik Sayid Husin yang membantu pemberontakan. Inggris sebenarnya ragu dengan politik neutrality and non interference yang dijalankan saat mengetahui Belanda turut mengincar negara paling ujung pulau Sumatera tersebut. Politik Inggris kemudian berubah pada 1817, setelah mendapat informasi bahwa Belanda sedang mempersiapkan menghantarkan tiga pucuk meriam dan 2000 serdadu kepada Jauhar Alam Syah untuk menumpas pemberontakan. Sultan Aceh Jauhar Syah Alam terpaksa menerima bantuan Belanda karena Inggris tetap berdiam diri.
Perubahan politik Inggris ini terjadi setelah Kolonel Bennerman menjadi Gubernur Inggris di Penang pada akhir tahun 1817. Selain itu aktivitas perdagangan lada Amerika di Aceh bagian barat dan selatan yang semakin maju. Hal tersebut dianggap sangat membahayakan pengaruh Inggris yang baru saja terlibat bentrokan senjata dengan daerah koloninya tersebut.
Inggris berpendapat tidak boleh terus berdiam diri dengan berpegang kepada politik neutrality and non interference seperti selama ini. Akan tetapi, harus aktif membendung meluasnya pengaruh negara lain di Aceh serta aktif membentuk suatu sphere of influence atau daerah pengaruh Inggris di dalam wilayah Negara Aceh. Dengan jalan demikian, diharapkan kepentingannya di Aceh dapat terjamin.
Inggris merasa kemelut politik di Negara Aceh perlu segera diakhiri. Salah satu dari kedua saingan (calon) yang sedang bertarung memperebutkan takhta Kerajaan Aceh, yaitu yang mendapat dukungan terbesar dari penduduk dan cukup mempunyai wewenang atas seluruh wilayah Aceh akan disokong untuk meme gang tampuk pimpinan kerajaan. Untuk melaksanakan politik yang baru ini, Kolonel Bannerman yang diangkat menjadi Gubernur Inggris di Penang pada penghujung tahun 1817, segera mengutus J.M. Coombs ke negara Aceh untuk menyelidiki siapa di antara kedua calon yang lebih berhak menjadi pemegang kendali , hambatan yang menyebabkan kerenggangan di antara kedua negara. Tujuan selanjutnya, membuat MOU antara kedua negara.ya itu Negara Aceh Dan Negara Inggris
Ketika Coombs sampai di Negara Aceh pada bulan Januari 1818, ternyata Sultan Jauhar Alam Syah telah hijrah ke wilayah pase’ (Lhokseumawe). Setelah mengadakan penyelidikan di Banda Aceh, Coombs segera menuju ke Lhokseumawe menemui Sultan Aceh. Pembicaraan dengan Jauhar Alam Syah melahirkan MOU yang oleh Inggris inginkan menjadi dasar perjanjian Bilateral Kedua Negara antara Negara Inggris dan Negara Aceh. Akan tetapi, sebelum sempat merumuskan MOU itu, Coombs terpaksa meninggalkan Aceh kembali ke Penang. Dari sana dia segera mengirim BERITA lengkap kepada Inggris di Benggal.
Setelah Berita Coombs dipelajari seksama, Inggris memutuskan mengirim suatu perutusan ke Negara Aceh Sir Stamford Raffles, yaitu tokoh yang memegang peran utama dalam mengubah politik Inggris di Aceh dan merupakan arsitek dari MOU Inggris-Aceh, dan J.M. Coombs yang merintis jalan menuju tercapainya MOU tersebut. Akhirnya, pada tanggal 22 April 1819 Raffles dan Jauhar Alam Syah berhasil menandatangani MOU Bilateral dan aliansi terdiri atas sembilan pasal. Berikut terjemahannya
MOU dan aliansi Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Negara Aceh dibuat oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan Kapten John Manckton Coombs, sebagai wakil yang Mulia Francis Marquess of Hastings, Gubernur Jenderal Inggris di India dari sebelah pihak dan Yang Maha Mulia Seri Sultan Jauhar Alam Syah, Raja Aceh untuk dirinya sendiri, ahli waris dan pengganti nya dari pihak yang lain. Mengingat perdamaian, persahabatan, dan saling pengertian yang baik, yang telah tumbuh sekian lama serta tidak pernah putus antara Yang Mulia Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Yang Maha Mulia Sultan Aceh; dan memandang perlu persahaba tan antara kedua belah pihak ditingkatkan, demi kepentingan bersama kedua negara dan demi kesejahteraan rakyat kedua bangsa, Butir MOU yang tetapkan sebagai berikut:
Pasal I
Diharapkan terjalin perdamaian dan persahabatan yang abadi antara kedua negara termasuk daerah-daerah taklukannya, demikian pula antara rakyat kedua belah pihak agung yang mengikat perjanjian ini; tidak akan ada satu pun dari kedua belah pihak yang bersedia memberikan bantuan atau pertolongan kepada musuh pihak lain.
Pasal II
Atas kehendak Yang Maha Mulia Sultan Aceh, Pemerintah Inggris berjanji akan mempergunakan pengaruhnya untuk menyingkirkan Saiful Alam dari daerah kekuasaan Sultan Aceh; dan selanjutnya Pemerintah Inggris berjanji akan mencegah Saiful Alam dan keluarganya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mengganggu Sultan Aceh dalam menjalankan kekuasaannya. Yang Mulia Sultan Aceh berjanji, melalui pemerintah agung Inggris di India, akan memberikan tunjangan hidup kepada Saiful Alam sebanyak yang dianggap patut oleh Negara Inggris dan negara Aceh , asal saja Saiful Alam bersedia meninggalkan daerah Aceh dan berdiam di Penang serta membatalkan segala tuntutannya untuk dapat menjadi Raja Aceh dalam waktu tiga bulan sejak MOU di tandatangani.
Pasal III
Yang Maha Mulia Sultan Kerajaan Negara Aceh akan memberikan kepada Negara Inggris hak bebas berniaga di seluruh pelabuhan Di Wilayah Aceh; dan Bea cukai yang dipungut atas barang-barang perniagaan akan ditetapkan dengan peraturan dan akan diumumkan; dan Bea cukai tersebut akan dibayar oleh saudagar yang bertempat tinggal di pelabuhan. Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberikan hak monopoli kepada siapa pun juga atas sesuatu komoditi yang dihasilkan oleh Negara Yang Maha Mulia.
Pasal IV
Yang Maha Mulia Sultan Kerajaan Negara Aceh, kapan saja dikehendaki oleh Negara Inggris akan menerima wakil Inggris sebagai duta untuk Aceh dengan mendapat Hukum Secara Hukum Islam(Qanun) Dan kepadanya akan diizinkan turut hadir dalam Dewan Mahkamah Kerajaan, apabila kehadirannya dianggap perlu untuk memberi penjelasan dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Kompeni Hindia Timur.
Pasal V
Kerugian yang diderita perniagaan Inggris di Kala Itu, lantaran kapal-kapal dan perahu-perahu Inggris tidakbolehkan masuk ke pelabuhan Aceh, yang pada waktu tunduk ke bawah wewenang Yang Maha Mulia, maka Yang Maha Mulia berjanji akan memberi izin kepada kapal-kapal dan perahu-perahu tersebut untuk melanjutkan hubungan dagangnya dengan pelabuhan-pelabuhan di seluruh Wilayah Negara Aceh dan dengan pelabuhan Lhokseumawe atas dasar yang sama menurut peraturan yang berlaku sampai sekarang ini, kecuali apabila pelabuhan-pelabuhan itu sewaktu-waktu dikenakan ketentuan blokade sementara oleh Yang Maha Mulia dengan persetujuan Pemerin tah Inggris atau atas wewenang penguasa setempat. Bagaimanapun juga, jelas dime ngerti oleh kedua belah pihak agung yang mengikat MOU ini, bahwa tiada barang-barang kebutuhan perang dan alat-alat senjata dari sembarang jenis boleh disedi akan, diberikan dan dijual oleh kapal-kapal dan perahu-perahu yang mengadakan hubungan dagang dengan pelabuhan-pel abuhan di Aceh, kepada siapa saja yang melawan Yang Maha Mulia Sultan Aceh. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang ke dapatan melanggar ketentuan ini akan di tangkap
Pasal VI
Yang Maha Mulia Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah berjanji untuk dirinya sendiri, ahli warisnya dan penggantinya untuk tidak memberi izin kepada siapa saja dari warga negara Eropa dan Amerika tinggal tetap di dalam wilayah Kerajaan Aceh dan daerah taklukannya; beliau berjanji pula tidak akan mengadakan perundingan atau membuat mou dengan suatu negara, ke cuali dengan sepengetahuan dan perse tujuan Pemerintah Inggris.
Pasal VII
Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberi izin bermukim di daerah ke kuasaannya kepada warga negara Inggris yang tidak mendapat persetujuan dari wakil pemerintahnya.
Pasal VIII
Pemerintah Inggris menyetujui untuk memberikan secepat mungkin kepada Yang Maha Mulia segala macam senjata dan barang-barang keperluan perang seperti yang dirinci dalam daftar terlampir yang ditandatangani oleh Yang Maha Mulia. Pemerintah Inggris berjanji pula akan' memberikan pinjaman kepada Yang Maha Mulia sejumlah uang dan secepat nya akan dibayar kembali sesuai kesempa tan baginda.
Pasal IX
MOU yang mengandung 9 pasal, yang pada hari ini sudah ditetapkan tergantung kepada ratifïkasi Gubernur Jenderal Inggris dalam tempo enam bulan sejak ditandatangani, akan tetapi dapat dimengerti bahwa beberapa ketentuan yang terkandung di dalamnya dapat segera dilaksanakan tanpa perlu menunggu ratifïkasi tersebut. Termaktub di Bandar Seri Duli, dekat Pidie, di dalam negeri Aceh pada hari ke-22 bulan April 1819, bersamaan dengan hari ke-26 bulan Jumadil Akhir 1234 tahun Hijrah.
Demikianlah Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Raffles Treaty of 1819 dan berhasil membuat Saiful Alam turun tahta berkat tekanan yang diberikan oleh Inggris. Saiful Alam kemudian menyingkir ke Penang dan mendapat tunjangan sebanyak 500 pound Spanyol per bulan. Dana tersebut diambil dari kas Kerajaan Aceh yang disalurkan oleh Inggris kepada Saiful Alam.
Proklamir pemberontakan terhadap neugara Aceh dilakukan pada 1816. Mereka lalu mengangkat anak Sayid Husin menjadi Raja Aceh dengan nama Sultan Saiful Alam. Propaganda dan sabotase dilakukan untuk menggulingkan kekuasaan sultan sehingga akhirnya Jauhar Syah Alam terpaksa meminta bantuan Letnan Gubernur Inggris, Mr. Fahrugar di Penang malaysia pada Mei 1805. Dia juga mengirimkan sepucuk surat lainnya kepada Inggris agar mengirimkan bala tantara mengatasi pemberontakan. Letnan Gubernur Inggris, Mr. Fahrugar menolak memberikan bantuan kepada Sultan Jauhar Syah Alam karena berada di luar wewenangnya. Namun dirinya berjanji akan meneruskan permintaan Sultan Aceh kepada Gubernur Jenderal di Benggal, India. Bantuan dari Inggris yang diharapkan tak kunjung datang meski telah terhitung belasan tahun lamanya. Sebagai sekutu kerajaan, Inggris sebenarnya tidak ingin mencampuri kemelut dalam neugara Aceh.
Inggris berprinsip politik neutrality and non interference atau politik tidak campur tangan. Kekecewaan Sultan Jauhar Syah Alam memuncak saat mengetahui adanya kapal-kapal berbendera negara Inggris melintasi perairan Aceh. Kapal-kapal tersebut turut membawa serta amunisi dan senjata yang ternyata milik Sayid Husin yang membantu pemberontakan. Inggris sebenarnya ragu dengan politik neutrality and non interference yang dijalankan saat mengetahui Belanda turut mengincar negara paling ujung pulau Sumatera tersebut. Politik Inggris kemudian berubah pada 1817, setelah mendapat informasi bahwa Belanda sedang mempersiapkan menghantarkan tiga pucuk meriam dan 2000 serdadu kepada Jauhar Alam Syah untuk menumpas pemberontakan. Sultan Aceh Jauhar Syah Alam terpaksa menerima bantuan Belanda karena Inggris tetap berdiam diri.
Perubahan politik Inggris ini terjadi setelah Kolonel Bennerman menjadi Gubernur Inggris di Penang pada akhir tahun 1817. Selain itu aktivitas perdagangan lada Amerika di Aceh bagian barat dan selatan yang semakin maju. Hal tersebut dianggap sangat membahayakan pengaruh Inggris yang baru saja terlibat bentrokan senjata dengan daerah koloninya tersebut.
Inggris berpendapat tidak boleh terus berdiam diri dengan berpegang kepada politik neutrality and non interference seperti selama ini. Akan tetapi, harus aktif membendung meluasnya pengaruh negara lain di Aceh serta aktif membentuk suatu sphere of influence atau daerah pengaruh Inggris di dalam wilayah Negara Aceh. Dengan jalan demikian, diharapkan kepentingannya di Aceh dapat terjamin.
Inggris merasa kemelut politik di Negara Aceh perlu segera diakhiri. Salah satu dari kedua saingan (calon) yang sedang bertarung memperebutkan takhta Kerajaan Aceh, yaitu yang mendapat dukungan terbesar dari penduduk dan cukup mempunyai wewenang atas seluruh wilayah Aceh akan disokong untuk meme gang tampuk pimpinan kerajaan. Untuk melaksanakan politik yang baru ini, Kolonel Bannerman yang diangkat menjadi Gubernur Inggris di Penang pada penghujung tahun 1817, segera mengutus J.M. Coombs ke negara Aceh untuk menyelidiki siapa di antara kedua calon yang lebih berhak menjadi pemegang kendali , hambatan yang menyebabkan kerenggangan di antara kedua negara. Tujuan selanjutnya, membuat MOU antara kedua negara.ya itu Negara Aceh Dan Negara Inggris
Ketika Coombs sampai di Negara Aceh pada bulan Januari 1818, ternyata Sultan Jauhar Alam Syah telah hijrah ke wilayah pase’ (Lhokseumawe). Setelah mengadakan penyelidikan di Banda Aceh, Coombs segera menuju ke Lhokseumawe menemui Sultan Aceh. Pembicaraan dengan Jauhar Alam Syah melahirkan MOU yang oleh Inggris inginkan menjadi dasar perjanjian Bilateral Kedua Negara antara Negara Inggris dan Negara Aceh. Akan tetapi, sebelum sempat merumuskan MOU itu, Coombs terpaksa meninggalkan Aceh kembali ke Penang. Dari sana dia segera mengirim BERITA lengkap kepada Inggris di Benggal.
Setelah Berita Coombs dipelajari seksama, Inggris memutuskan mengirim suatu perutusan ke Negara Aceh Sir Stamford Raffles, yaitu tokoh yang memegang peran utama dalam mengubah politik Inggris di Aceh dan merupakan arsitek dari MOU Inggris-Aceh, dan J.M. Coombs yang merintis jalan menuju tercapainya MOU tersebut. Akhirnya, pada tanggal 22 April 1819 Raffles dan Jauhar Alam Syah berhasil menandatangani MOU Bilateral dan aliansi terdiri atas sembilan pasal. Berikut terjemahannya
MOU dan aliansi Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Negara Aceh dibuat oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan Kapten John Manckton Coombs, sebagai wakil yang Mulia Francis Marquess of Hastings, Gubernur Jenderal Inggris di India dari sebelah pihak dan Yang Maha Mulia Seri Sultan Jauhar Alam Syah, Raja Aceh untuk dirinya sendiri, ahli waris dan pengganti nya dari pihak yang lain. Mengingat perdamaian, persahabatan, dan saling pengertian yang baik, yang telah tumbuh sekian lama serta tidak pernah putus antara Yang Mulia Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Yang Maha Mulia Sultan Aceh; dan memandang perlu persahaba tan antara kedua belah pihak ditingkatkan, demi kepentingan bersama kedua negara dan demi kesejahteraan rakyat kedua bangsa, Butir MOU yang tetapkan sebagai berikut:
Pasal I
Diharapkan terjalin perdamaian dan persahabatan yang abadi antara kedua negara termasuk daerah-daerah taklukannya, demikian pula antara rakyat kedua belah pihak agung yang mengikat perjanjian ini; tidak akan ada satu pun dari kedua belah pihak yang bersedia memberikan bantuan atau pertolongan kepada musuh pihak lain.
Pasal II
Atas kehendak Yang Maha Mulia Sultan Aceh, Pemerintah Inggris berjanji akan mempergunakan pengaruhnya untuk menyingkirkan Saiful Alam dari daerah kekuasaan Sultan Aceh; dan selanjutnya Pemerintah Inggris berjanji akan mencegah Saiful Alam dan keluarganya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mengganggu Sultan Aceh dalam menjalankan kekuasaannya. Yang Mulia Sultan Aceh berjanji, melalui pemerintah agung Inggris di India, akan memberikan tunjangan hidup kepada Saiful Alam sebanyak yang dianggap patut oleh Negara Inggris dan negara Aceh , asal saja Saiful Alam bersedia meninggalkan daerah Aceh dan berdiam di Penang serta membatalkan segala tuntutannya untuk dapat menjadi Raja Aceh dalam waktu tiga bulan sejak MOU di tandatangani.
Pasal III
Yang Maha Mulia Sultan Kerajaan Negara Aceh akan memberikan kepada Negara Inggris hak bebas berniaga di seluruh pelabuhan Di Wilayah Aceh; dan Bea cukai yang dipungut atas barang-barang perniagaan akan ditetapkan dengan peraturan dan akan diumumkan; dan Bea cukai tersebut akan dibayar oleh saudagar yang bertempat tinggal di pelabuhan. Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberikan hak monopoli kepada siapa pun juga atas sesuatu komoditi yang dihasilkan oleh Negara Yang Maha Mulia.
Pasal IV
Yang Maha Mulia Sultan Kerajaan Negara Aceh, kapan saja dikehendaki oleh Negara Inggris akan menerima wakil Inggris sebagai duta untuk Aceh dengan mendapat Hukum Secara Hukum Islam(Qanun) Dan kepadanya akan diizinkan turut hadir dalam Dewan Mahkamah Kerajaan, apabila kehadirannya dianggap perlu untuk memberi penjelasan dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Kompeni Hindia Timur.
Pasal V
Kerugian yang diderita perniagaan Inggris di Kala Itu, lantaran kapal-kapal dan perahu-perahu Inggris tidakbolehkan masuk ke pelabuhan Aceh, yang pada waktu tunduk ke bawah wewenang Yang Maha Mulia, maka Yang Maha Mulia berjanji akan memberi izin kepada kapal-kapal dan perahu-perahu tersebut untuk melanjutkan hubungan dagangnya dengan pelabuhan-pelabuhan di seluruh Wilayah Negara Aceh dan dengan pelabuhan Lhokseumawe atas dasar yang sama menurut peraturan yang berlaku sampai sekarang ini, kecuali apabila pelabuhan-pelabuhan itu sewaktu-waktu dikenakan ketentuan blokade sementara oleh Yang Maha Mulia dengan persetujuan Pemerin tah Inggris atau atas wewenang penguasa setempat. Bagaimanapun juga, jelas dime ngerti oleh kedua belah pihak agung yang mengikat MOU ini, bahwa tiada barang-barang kebutuhan perang dan alat-alat senjata dari sembarang jenis boleh disedi akan, diberikan dan dijual oleh kapal-kapal dan perahu-perahu yang mengadakan hubungan dagang dengan pelabuhan-pel abuhan di Aceh, kepada siapa saja yang melawan Yang Maha Mulia Sultan Aceh. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang ke dapatan melanggar ketentuan ini akan di tangkap
Pasal VI
Yang Maha Mulia Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah berjanji untuk dirinya sendiri, ahli warisnya dan penggantinya untuk tidak memberi izin kepada siapa saja dari warga negara Eropa dan Amerika tinggal tetap di dalam wilayah Kerajaan Aceh dan daerah taklukannya; beliau berjanji pula tidak akan mengadakan perundingan atau membuat mou dengan suatu negara, ke cuali dengan sepengetahuan dan perse tujuan Pemerintah Inggris.
Pasal VII
Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberi izin bermukim di daerah ke kuasaannya kepada warga negara Inggris yang tidak mendapat persetujuan dari wakil pemerintahnya.
Pasal VIII
Pemerintah Inggris menyetujui untuk memberikan secepat mungkin kepada Yang Maha Mulia segala macam senjata dan barang-barang keperluan perang seperti yang dirinci dalam daftar terlampir yang ditandatangani oleh Yang Maha Mulia. Pemerintah Inggris berjanji pula akan' memberikan pinjaman kepada Yang Maha Mulia sejumlah uang dan secepat nya akan dibayar kembali sesuai kesempa tan baginda.
Pasal IX
MOU yang mengandung 9 pasal, yang pada hari ini sudah ditetapkan tergantung kepada ratifïkasi Gubernur Jenderal Inggris dalam tempo enam bulan sejak ditandatangani, akan tetapi dapat dimengerti bahwa beberapa ketentuan yang terkandung di dalamnya dapat segera dilaksanakan tanpa perlu menunggu ratifïkasi tersebut. Termaktub di Bandar Seri Duli, dekat Pidie, di dalam negeri Aceh pada hari ke-22 bulan April 1819, bersamaan dengan hari ke-26 bulan Jumadil Akhir 1234 tahun Hijrah.
Demikianlah Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Raffles Treaty of 1819 dan berhasil membuat Saiful Alam turun tahta berkat tekanan yang diberikan oleh Inggris. Saiful Alam kemudian menyingkir ke Penang dan mendapat tunjangan sebanyak 500 pound Spanyol per bulan. Dana tersebut diambil dari kas Kerajaan Aceh yang disalurkan oleh Inggris kepada Saiful Alam.
Narasumber :
APAYUS PLITON KARIYA
Komentar